Sudut pandang Noah:Sesampainya di rumah, aku tidur selama beberapa jam. Begitu terbangun, hal pertama yang kulakukan adalah mengecek ponselku. Aku melihat beberapa telepon yang tak terjawab di riwayat panggilan.Aku mengecek nomor-nomor tersebut dan menelepon panggilan yang terbaru."Ayah, kapan Ayah ke sini?" Suara anak kecil yang menggemaskan menjawab panggilanku.Aku tersenyum sambil merenggangkan tubuhku di kasur."Halo, Beni. Ayah mau mandi dulu sebelum ke sana," jawabku.Sebelum aku menutup telepon, aku mendengar suara anak lain di latar belakang yang bertanya, "Berapa lama lagi?"Dari nadanya yang tegas, aku bisa menebak bahwa itu suara Roni."Kasih tahu Roni kalau aku akan ke sana satu jam lagi."Beni melaporkan jawabanku pada saudaranya itu sebelum mengakhiri panggilan. Aku langsung bergegas turun dari kasur dan berlari ke kamar mandi.Setelah mandi dengan tergesa-gesa, aku langsung keluar dari rumah. Aku tahu bahwa tindakanku yang tidak biasa ini membuat para staf merasa pen
Sudut pandang Noah:Pertemuanku bersama Hendra berlangsung dengan sangat cepat."Sepertinya ini berkat kehadiran anak-anak. Membawa anak-anak ke sini adalah ide yang brilian, Pak Noah," puji Chris. Dia tampak sangat puas."Aku nggak mengajak anak-anak untuk pamer kalau aku adalah ayah yang baik. Aku mengajak mereka karena aku nggak ingin mengingkari janjiku. Aku ingin anak-anak mendapat kesan bahwa aku adalah ayah yang menepati janji. Ketika aku berjanji akan datang, aku pasti datang," jawabku tegas sambil memelototi Chris.Aku tidak suka karena Chris bersikap seolah aku punya motif terselubung. Padahal aku tulus melakukannya."Kuharap kamu bisa mengerti bahwa aku akan mendahulukan anak-anakku di atas segalanya. Bisnis bisa bangkrut, tapi tugasku sebagai ayah adalah tugas seumur hidup," tambahku."Maaf, Pak Noah. Baik disengaja maupun tidak, kupikir kehadiran anak-anak sangat membantu. Kudengar Pak Hendra sangat menghargai keluarga. Dia sendiri adalah bapak dan suami yang baik," Chris
Sudut pandang Noah:Mengidentifikasi siapa yang duduk dengan siapa agak rumit. Membawa anak-anak ke dalam mobilku lebih mudah karena kursi mobil bayi milik anak-anak semuanya ada di dalam mobilku, sedangkan mobil Nikita tidak memilikinya.Walau demikian, dia bersikeras agar anak-anak ikut ke mobilnya dan tidak ada seorang pun yang berani membantahnya terutama aku. Tidak di saat dia menatap galak pada kami semua."Taruh kursi mereka di mobilku," perintahnya pada para pengasuh yang langsung melaksanakannya.Aku mencoba berbicara dengannya, tetapi auranya yang dingin membuatku mengurungkan niatku. Aku hanya bisa menontonnya dengan putus asa. Anak-anak juga berdiri di sampingnya dengan patuh.Setelah kursi mobil bayi dibawa keluar dari dalam mobilku dan dimasukkan ke mobil Nikita, para pengasuh mendudukkan ketiga anak itu dan memasangkan sabuk pengaman."Mana ayah!" Pada suasana yang tegang ini, terdengar suara Roni.Dia menoleh ke kiri dan ke kanan untuk mencariku.Aku tidak tega melihat
Sudut pandang Noah:Aku terus memandangi Nikita dan pria itu sampai mereka menghilang dari pandangan. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku karena aku masih belum bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi.'Nikita pergi dengan seorang pria?'Dia tidak berkencan dengan sembarang pria. Aku yakin bahwa pria itu adalah pria yang sama yang menghadiri pelelangan dan yang ada di foto-foto lima tahun yang lalu.Setelah Nikita menandatangani surat cerai kami, aku terus memandangi foto-foto yang diberikan oleh pamanku. Foto-foto itu sempat menghantuiku."Apakah dia pergi kencan?" tanya Romi tiba-tiba sehingga mengagetkanku.Aku terlalu larut dalam lamunanku sehingga tidak sadar bahwa Romi sudah berada di dekatku. Aku baru menyadari keberadaannya setelah dia mengatakan sesuatu."Sepertinya begitu," jawabku datar sambil berusaha menyembunyikan rasa sakit di hatiku.Di saat aku bertekad untuk mengejarnya kembali dan memenangkan hatinya, hal yang tak terduga terjadi. Rencanaku terancam gagal."Wow!
Sudut pandang Nikita:Anton mengajakku ke sebuah restoran mewah.Begitu kami masuk ke dalam, aku langsung merasakan suasana yang romantis dan merasa jengah. Terutama ketika dia menggenggam tanganku saat kami berjalan mengikuti kepala pelayan. Sebenarnya aku ingin sekali menarik tanganku dari genggamannya, tetapi aku tidak mau mempermalukannya. Dia adalah pria yang baik.Sepanjang makan malam, aku tidak fokus. Aku bertanya-tanya apakah Noah telah pergi dari rumahku atau belum? Bagaimana tanggapannya saat dia tahu kalau aku berkencan dengan Anton? Aku ingin membuatnya cemburu. Aku ingin dia merasakan perasaan yang sama dengan yang kurasakan saat aku mengetahui hubungannya dengan Bella. Rasa sakit itu masih membekas di hatiku sampai saat ini.Aku menarik napas dalam-dalam sambil menatap Anton yang tengah tersenyum. Kami duduk di meja untuk dua orang di ruang makan pribadi di mana hanya ada kami berdua.Rasa malu menyelimuti batinku karena aku telah memanfaatkan pria yang baik dan lembut
Sudut pandang Nikita:Setelah kami selesai makan malam, seseorang menelepon Anton dan dia meminta izin padaku untuk menjawabnya di luar. Aku juga mempergunakan kesempatan ini untuk mengecek anak-anak."Mereka baik-baik saja," jawab Romi.Sebenarnya sudah tidak ada lagi hal yang perlu kukatakan, tetapi aku tidak menutup teleponku. Aku ingin menanyakan sesuatu pada Romo, tetapi aku terlalu malu untuk mengatakannya."Apakah ada lagi yang mau kamu katakan?" tanya Romi.Aku menggelengkan kepalaku.Pada saat itu, aku melihat Anton kembali ke meja kami. Sepertinya dia sudah menyelesaikan urusannya."Sudah itu saja. Terima kasih Romi.""Oke, selamat bersenang-senang."Kemudian, dia memutuskan sambungan telepon.Anton duduk di kursinya. "Apa kamu barusan mengecek keadaan anak-anak?" tanyanya sambil meletakkan ponselnya di dalam sakuAku mengangguk dengan canggung. "Si kembar tiga sedang tidur. Mereka bahkan nggak mencariku," jawabku sambil mengangkat bahu."Kamu pasti bersyukur karena mereka ng
Sudut pandang Nikita:Aku menatap wajah Noah yang marah dengan tercengang. Dia mengguncangku tubuhku dengan pelan hingga membuat perhatianku kembali terpusat padanya."Kalau Bella melabrak kamu, bilang sama aku!"Ucapannya membuat amarahku memuncak."Memangnya aku sudah gila? Dia itu pacarmu. Cinta dalam hidupmu. Memangnya kata-kataku akan berpengaruh buat dia?" balasku sambil meringis saat menyadari pahitnya kenyataan dalam ucapanku sendiri.Karena harga diriku, aku tidak mau tampak menyedihkan di hadapan Noah. Jadi, tanganku menopang dada Noah dan mendorongnya. Noah terhuyung mundur, tetapi ketika dia sadar, dia menatapku dengan mata yang berkobar. Aku membalas tatapannya. Rahangku menegang karena menahan geram.Dengan frustrasi, Noah menyibakkan rambutnya ke belakang. "Sudah kubilang, kami sudah putus."Ucapan Noah membuatku makin gusar. Aku melangkah mendekatinya dan menamparnya dengan keras. Noah tampak terkejut. Dia memijat pipinya yang terasa sakit dan tatapannya tidak pernah le
Sudut pandang Nikita:Aku menggigit bibirku, berharap bumi menelanku bulat-bulat saat mendengar penjelasan Noah. Aku sangat malu karena telah meributkan hal ini.Sudut bibir Noah mengukir seutas senyum. Diam-diam, dia mentertawakanku. Tingkahnya mengingatkanku akan malam-malam ketika kami masih menikah. Noah biasa mentertawakanku, dan aku akan mendorongnya dengan keras karena sifatku yang pemarah.'Jangan cari masalah, Nikita Feri!' teriak suara cerewet di kepalaku.Mengenang masa lalu bisa mengembalikan perasaan lama, dan aku tidak bisa membiarkannya. Tidak sekarang atau selamanya. Aku tidak bisa melunakkan pendirianku di hadapan pria ini karena dia adalah seorang manipulator ulung. 'Dia bisa berakting semudah membalikkan telapak tangan,' ucapku dalam hati untuk mengingatkan diriku sendiri."Bohong!" teriakku. Sontak, senyum di wajah Noah menghilang."Jangan anggap aku bodoh. Pria mana yang bisa menahan diri di depan wanita yang dicintainya?" gerutuku padanya.Noah hanya mengangkat ba
Sudut pandang Noah:Aku mengikuti langkah Nikita dengan mataku. Sambil memperhatikannya berjalan tergesa-gesa menaiki tangga, aku memutuskan bahwa kali ini, aku akan berusaha mati-matian hingga kami bisa bersatu lagi.Setelah beberapa menit, Nikita turun lagi. Dia menghindari tatapan mataku saat aku berusaha bertatapan dengannya."Kamu mau berangkat ke kantor?" tanyaku."Iya," jawabnya singkat seperti sengaja menghindar dariku. Namun, aku tidak terlalu memikirkannya. Nikita pasti merasa canggung setelah kejadian di dapur tadi.Aku bangkit dari sofa, lalu mengambil kunci mobil dari saku depan celanaku."Ayo. Biar aku antar ke sana." Aku memberi isyarat padanya untuk mengikutiku, tetapi Nikita menghentikan langkahnya. Saat aku menoleh ke belakang, Nikita tampak canggung."Ayo. Aku antar ke Hotel Jati sebelum aku berangkat kerja," ujarku.Nikita berdeham. Namun, aku tidak menyangka akan mendengar jawaban seperti ini darinya."Lukas menungguku di luar," katanya.Langkah kakiku yang beriram
Sudut pandang Nikita:Saat memasuki dapur, aku mendengar salah satu kakakku sedang mendiskusikan sesuatu dengan Roni."Karena Ayah kami ada di sini. Aku takut Om Romi kesepian dan merasa cemburu, jadi aku carikan seorang gadis supaya Om Romi bisa menikah dan punya bayi," kata Roni. Ucapannya membuat mulutku ternganga karena terkejut.Romi tiba-tiba mengalihkan pandangan matanya. Dia tampak tercengang saat tatapan mata kami bertemu."Roni, kamu ngomong apa, sih?" tanyaku pada anakku. Nada suaraku terdengar kaget, sementara para lelaki di sekitarku tertawa, kecuali Romi sendiri."Menurut Ayah, Om Romi nggak butuh bantuanmu, Ron," kata Noah saat melihat Roni tampak kecewa karena ditertawakan yang lainnya."Kenapa kamu mikir begitu?" tanyaku penasaran. Noah tampak sangat bersemangat dan itu membuatku merasa ada yang aneh."Kemarin, kakakmu keluar dari hotel bareng seorang karyawan," ungkap Noah. Ucapannya itu membuat Romi malu. Tidak biasanya kakakku merasa malu saat ketahuan sedang bersam
Sudut pandang Romi:Aku meninggalkan Hilda setelah melihat ekspresi sakit hati di wajahnya. Mungkin orang lain akan berpikir kalau aku ini berengsek, tapi aku merasa puas karena hinaanku membuatnya tersinggung.Aku pun pergi ke kamar mandi dalam untuk mandi. Ketika aku keluar dengan hanya berbalut handuk di pinggangku, kulihat dia memalingkan wajahnya."Kamu sengaja mempermainkanku, ya?!" bentak Hilda.Aku mengernyitkan alis dan menyadari kalau gadis itu tidak mau melihat ke arahku. Aku pun tersenyum sinis saat melihat lehernya merona merah."Kenapa? Kamu nungguin aku telanjang bulat?" tanyaku seraya menarik handukku dan melemparkannya ke arah Hilda. Handuk itu jatuh mengenai dadanya."Romi!" serunya parau. Wajahnya menoleh padaku dengan marah. Aku merentangkan tanganku lebar-lebar agar dia melihat bahwa aku tidak telanjang seperti dugaannya.Aku melihatnya menelan ludah ketika matanya beralih dari wajahku ke dadaku yang terbentuk sempurna, perutku yang berotot, dan kakiku yang kencang
Sudut pandang Romi:"Keluar!" perintahku saat Hilda tidak beranjak dari kursi penumpang.Aku tidak menunggunya dan beranjak dari kursi pengemudi untuk membukakan pintu untuknya.Hilda bergerak perlahan.Saat dia keluar dari mobil, cahaya menyinari wajahnya. Saat itulah aku melihat wajah pucatnya yang tidak wajar.Dia terhuyung saat melangkah dan hampir terjungkal saat kehilangan keseimbangan.Aku menyusulnya tepat waktu. Tanganku segera mencengkeram bagian atas lengannya."Kamu nggak apa-apa?" tanyaku sambil mengerutkan kening.Dia tidak menjawab dan bergeming di tempatnya."Aku merasa nggak enak badan," ucapnya akhirnya.Keraguan memenuhi hatiku. Kupikir itu taktik untuk mengalihkan perhatianku agar bisa melarikan diri. Aku tidak mengira kepala Hilda akan terkulai ke samping sebelum kemudian jatuh ke dadaku.Saat itulah aku menyadarinya. Kutempelkan punggung tanganku ke dahinya dan merasakan tingginya suhu tubuhnya. Hal ini langsung membuatku khawatir. Tanpa pikir panjang, aku membopo
Sudut pandang Hilda:Area lift itu kosong.Saat berbelok di tikungan, aku merapatkan tubuhku ke dinding dan mengintip ke luar, ke tempat terakhir kali aku melihat Romi Feri. Aku memastikan diriku benar-benar tidak terlihat dari luar.Selama pengintaian ini, jantungku terus berdebar kencang.Rasa bersalah menggerogotiku. Kecurigaan yang kulihat di mata Romi tadi membuatku gelisah.Aku menghela napas lega saat melihat tempat itu sudah kosong. Dia sudah pergi.Napasku mulai teratur dan dadaku kembang kempis dengan cepat saat aku mengisi paru-paruku dengan udara.Lift berdenting, lalu pintunya terbuka untuk mengeluarkan penumpangnya.Saat lift sudah kosong, aku masuk. Setiap kali lift berhenti dan terbuka, jantungku mulai berdetak lebih kencang.Pemikiran gila memenuhi otakku. Romi Feri pasti tidak akan tinggal diam dengan temuannya itu. Dia akan mengikutiku untuk mengorek informasi sebanyak mungkin. Dia adalah saudara Nikita. Kecurigaannya terhadapku mungkin akan membuat Nikita turut menc
Sudut pandang Hilda:Aku baru saja hendak meninggalkan kafe. Tiba-tiba, seseorang menyambar lenganku.Gerakan itu terlalu tiba-tiba.Aku terkejut, tetapi saat aku mengenali pelakunya, mataku membelalak dengan ketakutan dan aku menahan teriakan yang hampir keluar dari mulutku.Ketakutan memenuhi sekujur tubuhku saat aku menatap mata coklatnya, warna yang sama seperti mata Nikita."Romi," ucapku terbata-bata.Mulutku mengucapkan namanya dengan gugup. Dia adalah kakak Nikita.Dalam sekejap, kepalaku bergerak mengarah ke kafe dengan gelisah."Aku senang kamu mengingatku," kata Romi sambil tersenyum seraya mengikuti arah pandang mataku.Aku mulai banjir keringat. Tangan-tanganku juga terasa dingin dan basah."Kita pernah ketemu sekali," jelasku dengan terbata-bata.Aku ingin sekali melarikan diri, tetapi cengkeraman Romi di lenganku menghalangiku untuk pergi.Aku menatap tangannya yang menggenggam lenganku. Mataku beralih ke wajahnya yang penuh amarah, dan aku menelan ludah dengan susah pay
Sudut pandang Bella:"Apa maumu?" Nada tajam Hilda membuatku terkejut."Lama nggak jumpa, adikku sayang. Apa kita nggak bisa setidaknya sopan satu sama lain? Kamu nggak bisa membenciku selamanya cuma karena Ibu lebih menyayangiku daripada kamu."Hilda memutar bola matanya."Kamu pikir aku masih marah soal itu? Dewasalah, Bella!"Aku tidak peduli saat dia memelototiku. Aku langsung ke inti pembicaraan."Aku nggak tahu di mana Matthew Millano, paman Noah. Kamu punya petunjuk soal keberadaannya?"Mata Hilda langsung menyipit."Sudah kubilang, aku nggak akan bekerja sama denganmu lagi. Terakhir kali kulakukan itu, aku membuat Nikita kecewa berat. Aku nggak bisa melakukannya lagi, mengkhianati sahabatku cuma karena kita saudari!"Aku tertawa, meskipun suaranya terasa hampa."Kamu yang bilang kalau kita saudari, ‘kan? Bukankah darah lebih kental daripada air? Kenapa kamu selalu membela dia? Apa kamu nggak lihat yang dia lakukan padaku?"Hilda tampak tidak peduli, malah seolah ingin membuat e
Sudut pandang Bella:"Nomor yang Anda hubungi berada di luar jangkauan. Silakan menghubungi kembali setelah beberapa saat." Aku sudah berkali-kali mendengar rekaman suara ini sejak minggu lalu dan suara itu membuatku gila.Aku mencoba menghubungi nomor itu lagi tetapi hasilnya sama saja."Sial!" Aku menengadah ke langit dengan putus asa."Bella, jangan mondar-mandir. Kamu butuh istirahat. Kamu belum tidur sejak tadi malam," kata manajer sekaligus temanku."Gimana aku bisa tidur kalau Noah ninggalin aku begitu saja? Dia mutusin semua hubungan denganku." Aku menjerit frustrasi dan marah.Manajerku terkejut melihat sikap kasar yang kutunjukkan. Ini pertama kalinya dia melihatku seperti ini. Biasanya aku selalu tenang dan terkendali."Ya ampun. Noah memang putus sama kamu, tapi ini bukan berarti kiamat, 'kan?"Aku mengepalkan tangan dan merapatkan gigiku saat mengingat ancaman Noah, yaitu surat perintah penahanan sementara. Yang lebih buruk lagi, dia mengumumkan putus hubungan denganku di
Sudut pandang Nikita:Awalnya, Noah tampak tidak memahami ucapanku."Heidi. Dia mantan pacarmu. Kamu pernah berpacaran dengannya sebelum aku muncul," kataku, mencoba menyegarkan ingatannya.Kerutan di wajah Noah menghilang dan dia mengangkat bahu seolah-olah masalah itu tidak mengganggunya."Kenapa nggak? Dia punya kemampuan. Lagi pula, kejadian itu sudah lama sekali. Aku yakin Heidi sudah melupakannya, sama sepertiku."Noah jelas tidak tahu apa yang kumaksud. Jadi, siapa yang bodoh sekarang?Aku mengangguk mengejek."Ya, dan kujamin dia belum melupakanmu. Dia adalah gunung berapi yang menunggu untuk meletus. Apa kamu nggak melihat caranya memandangmu? Gadis itu masih merindukanmu!" teriakku frustrasi."Memangnya kenapa? Aku nggak peduli kepadanya.""Noah!" tegasku memperingatkannya.Noah menyisir rambutnya ke belakang."Kamu mau aku bagaimana? Memecatnya?" balasnya.Apakah aku hanya membesar-besarkan masalah kecil?Aku berbalik untuk pergi saat dia mulai menjelaskan."Kayak aku peduli