Aku menikmati masa-masa kehamilanku. Yah, meskipun aku merasa menjalani masa-masa penting ini sendirian. Kehamilanku menginjak usia lima bulan, itu artinya sebentar lagi aku akan resmi menjadi seorang ibu.
Dari awal, saat aku baru saja tahu aku tengah mengandung. Aku memilih mempercayakan semua pekerjaanku pada orang-orang kepercayaanku. Aku ingin memberi yang terbaik untuk anakku.
Ah, ya. Selama hamil, aku jadi suka sekali membuat berbagai macam kue. Ada rasa bahagia tersendiri, bohong juga sih, sebenarnya itu semua untuk mengusir rasa sepi dan menjauhkan diri agar tidak lebih lama satu ruang dengan mas Aldi.
Moodku sangat berantakan sebenarnya. Aku takut akan berimbas buruk pada calon bayiku.
Aku sudah bertekad akan menganggap mas Aldi seperti tidak ada di rumah. Aku berhenti memasak dan menyiapkan baju kerjanya. Aku malas untuk berdebat lagi, karena untuk merasakan sakit hatiku saja perutku jadi sering kram.
Untungn
Sejak kejadian dua hari yang lalu, Mas Aldi menyuruhku diam saja di kamar, tapi tetap tidak aku gubris. Aku tetap menganggapnya tidak ada, bahkan suara yang keluar dari mulutnya, kuanggap hanya sebuah angin lalu.Aku memilih menyiram tanaman di pot kecil yang kuletakkan didekat garasi. Sambil bersenandung lirih, aku menyiraminya sampai semua tanamananku basah.“Oooh, pantes aja, Aldi nggak pernah mau diajak ketemu, ternyata bocahnya sedang hamil, tooh!”Mataku celingukan mencari sumber suara yang ternyata berasal dari seorang wanita berambut merah menyala tak jauh dari tempatku berdiri. Aku memutar bola mata malas dan berbalik hendak masuk kedalam rumah. Malas rasanya untuk meladeni.“Sadar diri, dong! Lu, tuh, cuma benalu di persahabatan gue sama Aldi,” teriaknya, membuat beberapa tetangga komplek menoleh kearahnya.Bahkan beberapa tetanggaku mengajak anak mereka m
Dulu, aku sangat menginginkan ini terjadi. Tapi setelah apa yang kudengar tadi ... Apakah salah aku meminta secercah harapan untuk kembali merajut tali kasih kami berdua?Aku memandang nanar tirai berwarna abu-abu. Terdengar suara petir bergemuruh dan hujan angin. Di mana mas Aldi akan tinggal? Ah, iya, aku ingat suamiku itu punya kakak laki-lakinya yang berkerja sebagai supir pribadi di daerah sumur batu. Mungkin suamiku akan ke sana.Di sisi lain hatiku, aku ingin sekali menanyakan dirinya kini ada di mana dan apa dirinya sudah makan? Namun gengsiku terlalu tinggi hingga merobohkan nuraniku.Tok! Tok! Tok!“Sebentar, Mbok,” sahutku setengah teriak, kemudian bergegas membuka pintu. Sesampainya di sana dan memutar kenopnya, aku tertegun. Di hadapanku, ada seorang wanita berambut ikal yang sangat aku kenali.Air mataku langsung merebak saat melihatnya, sesak di dada pun semakin terasa, aku takut, ini hanya h
Netraku terbelalak kala menatap layar ponsel Mita yang dia serahkan padaku. Kali ini, aku harus benar-benar mengambil keputusan dan membulatkan tekadku.“Lebih baik kita kesana sekarang, Mit.”Sahabatku mengangguk mengerti. Kami pun langsung bergegas membuka pintu, menuruni tangga dan tak lupa pula berpamitan dengan Mbok Nah.Wanita tua itu nampak khawatir padaku, terlihat dari sorot matanya yang sendu. Mungkin dia khawatir padaku, dalam kondisi hamil dan sudah larut malam malah keluar rumah, apa lagi di luar sedang hujan.Biarlah, kali ini aku akan menangkap basah mereka berdua. Aku mendesahkan napas berat, teringat dari story WhatsApp dari nomor gundik itu, mereka tengah berdansa disalah satu Cafe cukup mewah dan aku tahu itu di mana.Jarak pandang mereka berdua begitu dekat, hingga tersekat oleh hembusan napas mereka saja, begitulah yang kulihat. Sedangkan netra mereka berdua nampak hanyut dalam musik yang men
Rena, ya ampuun! Lu, tuh, gue cariin dari tadiiii .... Ternyata malah di sini! Ayo, ikut gue. Lu harus liat ada Ji Chang Wook KW yang lagi berantem sama calon mantan laki lu!”Aku menghentikan langkah yang diseret paksa oleh Mita. Aku baru ingat Risjad sudah tidak di sini. Hatiku tak karuan saat kembali berjalan menyusuri lorong bernuansa serba cokelat dengan lampu hias dikanan-kirinya, mempercantik suasana lorong Cafe.Dengan langkah ragu, aku melangkah kembali menuju pintu masuk Cafe, tapi sebelum masuk ke dalam bahkan baru saja sampai diambang pintu, aku dikejutkan oleh dua orang lelaki yang tengah berkelahi.Mataku terbuka lebar saat tinju beruntun yang di layangkan dari tangan Risjad.”Brengsek Lo!” teriak Risjad dengan tatapan nyalang menatap bengis lelaki di hadapannya.Aku hanya mematung saat tangan putih Risjad memegang kuat kerah kemeja Mas Aldi,
Tok, tok, tok...Mita membuka pintu, meninggalkan kami yang sedang bersitegang di ruang tengah. Lelaki yang masih sah suamiku itu masih menatapku tajam saat mendengar ucapanku barusan.Tiba-tiba Mita berlari menghampiriku, membisikan sesuatu yang membuatku terkejut. Kemudian mengekori langkahnya.“Ka-kamu ... Ngapain, Ris?” tanyaku gugup, bagaimana pun, aku masih sah sebagai seorang istri dari Kresnaldi pecundang itu.Risjad memakai kaos putih polos, membuat dada bidangnya terpampang jelas. Kata Mita, dada yang sandarable banget. Maklumlah, dia jomblo dan suka berekspektasi.“Oooh ... Jadi lu kesini mau berusaha ngegebet bini gue, iya?!”Sebelum Risjad menjawab pertanyaanku, Mas Aldi lebih dulu merangsek dan meninju wajah tamuku itu. Sungguh, kesadaran dirinya mungkin sangat minim.“Stooop!!!” teriakku hingga membuat per
Mas Aldi tiba-tiba pergi seraya menggandeng tanganku dengan tangan kirinya. Menghiraukan suara Wulan yang memerintah lelaki itu agar kembali. Sedangkan aku diam saja, ingin tahu kemana dia akan membawaku. Ternyata, Mas Aldi membawaku ke area parkir yang sedang sepi. Hanya ada penjual minuman dan tukang parkir di sana. Mas Aldi menatapku dengan pandangan yang susah diartikan. “Bilang, ada apa ... Aku malas berbasa-basi!” ucapku enggan. “Rena Theressia ... Kamu bukan lagi seorang wanita yang patuh seperti dulu,” katanya sambil tersenyum kecil, dan menuntunku agar duduk di pinggiran trotoar sebuah perumahan. “Apa maksudmu ingin aku diam saja begitu, melihat Suamiku sendiri dengan terang-terangan keluyuran dengan gundiknya?!” aku yang memang mudah tersulut emosi langsung berdiri sambil menudingnya. Namun lelaki itu masih saja tersenyum kecil. “
Tepat tiga hari ini, mas Aldi menepati janjinya. Lelaki itu datang sambil membawa plastik hitam dalam tangan kirinya. Membuatku menerka-nerka, apa yang ia bawa?“Terimakasih udah nunggu aku, meski aku tau, kamu pasti pengen banget bawa pergi masalah kita ke Pengadilan agar cepat selesai.” ocehnya, membuatku memutar bola mata malas.“Aku sengaja mendekati Wulan agar bisa mengambil ini, meski aku tau caraku salah di matamu,” lanjutnya sambil membuka plastik hitam yang dibawanya. Mataku membulat melihat boneka yang ia beri pada gundikinya ada tepat di depanku.“Kamu tau? Aku juga sakit melihat kamu diperhatiin lelaki lain. Tapi karena sekarang aku di sini ... Kamu mau 'kan membatalkan perceraian kita?”Kini mulutku membisu. Tekad yang sudah ada diujung membuatku ingin memundurkannnya. Namun, aku juga masih ragu. Karena boneka di depanku ini tampak mulus tanpa koyakan ditengah kepalanya seperti yang
Bunga yang disusun, kelopak yang berjatuhan, matahari yang menyengat dengan perasaan damai kurasakan di tempat ini. Perutku semakin membesar dengan status baru. Kini aku resmi menjanda.Ada rasa bahagia sekarang lebih memilih melepaskan apa yang membuatku terpuruk dan sakit. Sebulan yang lalu ketika hakim mengetuk palu tanda aku dan mas Aldi bercerai, sepulangnya dari Pengadilan mungkin aku masih menyempatkan diri untuk menangis.Bagaimanapun, dia memiliki andil besar di hidupku. Kami tetap pernah merasakan bahagia bersama sampai akhirnya kami saling menyakiti. Mobil Harrier mas Aldi dijadikan harta gono gini karena memang itu ada andil uangnya juga.Aku masih ingat betapa senang dan histeris kegembiraan dari Wulan yang memekik ketika palu diketuk menandakan aku resmi bercerai. Hatiku akan pulih, hatiku akan bahagia, meski tidak dalam waktu beberapa bulan kedepan.Fais juga berkali-kali meminta maaf karena rumah tanggaku hancur kar
Semalaman Rena tidak tidur, bahkan ia hanya duduk sambil menyender di pojok ranjangnya. Sementara, Katya berada dengan ibu kandung Rena karena memang sedari pemakaman kemarin, Rena hanya mengurung diri di kamar. Matanya memerah dan menimbulkan tanda hitam di bawahnya. Air matanya sudah kering, ia sudah tidak menangisi suaminya, akan tetapi ia masih belum bisa untuk mengikhlaskannya. Ikhlas? Satu kata dengan sejuta kesulitan.”Aku mau berlama-lama di sini sama Risjad, Kak.” Suara Rena serak, saat Adisana menyuruhnya pulang karena terlalu lama di pemakaman tadi siang.”Apa ada yang bisa kulakukan buat kamu, Yang, biar kamu tetep hidup?” racau Rena.Adisana mengusap wajahnya mendengar suara parau adiknya semakin membuatnya pilu. ”Dek, doakan Haris agar tenang di sana.”Rena mengerling tajam ke arah Adisana, ia tidak suka mendengar ucapan Adisana. ”Tenang? Aku yakin dia belum tenang kalau aku belum bertemu dengan pembunuhnya. Lagipula, apa motif Clara? Kenapa sasarannya ke aku dan Risjad
Rena segera berlari ke ruangan dokter Regant untuk memberitahukan suaminya menggerakkan tangan ke atas dan ke samping. Bahkan matanya berkedip seperti orang yang berusaha bangun dari tidur. Suara gumaman pun terdengar kembali.”Dok, suami saya! Suami saya menggerakkan tangannya, dia juga berkedip!” Rena terlalu antusias hingga tak memperdulikan jika dokter Regant tengah melakukan pertemuan dengan tamunya. Senyumnya memudar saat menyadari jika Rena tidak sopan, ia menunduk dan kembali membuka pintu.”Mari, Bu Rena, akan saya lihat keadaan Pak Haris,” katanya. Rena mengangguk canggung. ”Maaf, Dok.””Nggak pa-pa, ini ibu saya.”Mereka berdua jalan saling beriringan menuju ruang ICU. Dokter Regant juga meminta 2 susternya untuk ikut. Sesampainya di dalam, mata Rena membesar, tubuhnya mematung karena suaminya membuka mata. Tanpa dipinta, air mata bening mengalir di pipi Rena, ia begitu terharu.Dokter Regant memeriksa kondisi Haris dan tersenyum cerah ke arah Rena. ”Alhamdulillah, Bu, ko
”Maafin mbak, Shil. Mbak terlalu mengandalkan kamu dan Wulan, sedang mbak di rumah ongkang-ongkang kaki tanpa mikirin kalian berdua banting tulang buatku dan ibu. Karena aku yang nggak mau terbebani hutang yang ditinggalkan almarhum bapak, kamu dan Wulan jadi korban,” racau Fitria sambil memandangi peti mati di hadapannya.Sudah berapa bulir air mata yang keluar, Fitria tidak tahu, yang jelas kini ia tengah merunduk sambil memegangi kayu peti itu dengan bahu terguncang. Kehilangan 2 adiknya dalam waktu berdekatan sangat menyiksanya. Meski ia hidup, agaknya Fitria akan merasa bersalah sepanjang hidupnya.Kemeja hitam yang dipakainya sudah basah untuk mengelap air mata. Semalam ia menelfon Fais untuk memberitahukan kematian Shilla, Fitria meminta tolong untuk membantu pemakaman adiknya. Bahkan Fais sudah pulang lebih dulu karena sebelumnya mengadakan pengajian untuk Wulan.Pikirannya menerawang pada saat ia kembali dari kantor polisi dan mendengar cerita dari Rose, jika adiknya mengalam
POV AuthorDi Jakarta tengah gaduh, lebih tepatnya di kediaman Rose karena polisi yang sudah hampir 2 minggu mencari biang keladi dari semua rentetan kejadian akhirnya mengirimi surat agar Aldi ke kantor polisi karena tersangka sudah ditangkap meski yang satunya lagi masih dalam status buron.Keadaan Shilla seperti mayat hidup sekarang, bahkan hidupnya bergantung pada alat-alat yang menopang hidupnya. Fitria benar-benar terpukul saat 2 hari sebelum Haris mengalami kecelakaan, infus milik adiknya justru terisi cairan yang diduga racun. Tubuh Shilla langsung mengejang, bahkan dari mulutnya mengeluarkan busa hingga urat-urat di sekitar lehernya membiru.Mendengar pelakunya sudah ditangkap meski belum semua membuat Fitria mengepalkan tangannya. Ia bahkan berjanji pada adiknya akan menampar pelaku itu hingga membuat kelima jarinya membekas. Fitria mendekati Rose dan Aldi, menatap mereka dengan tatapan datar namun hatinya bergemuruh.”Ajak aku ke sana, Di. Aku mohon,” pintanya.Aldi menoleh
PoV RenaIni adalah kedua kalinya aku berada di rumah sakit. Satu kali saat melahirkan Katya, dan ini yang kedua kalinya karena mengalami kecelakaan. Aku sangat menyesal karena menyusul suamiku kemari dan menjadi penyebab dirinya seperti ini. Rasa rindu yang kukira akan menyelamatkanku dari rasa haus kasih sayang Risjad, kini justru menjadi boomerang untukku. Kini melihatnya hanya diam tanpa ada kosa kata pun yang keluar dari mulutnya membuatku semakin lemah. Hatiku sudah ditawan olehnya. Dia sudah mendapatkan seluruh hatiku yang sebelumnya sudah hampir mati rasa akibat dihianati oleh Aldi.Dia yang membuatku merasakan kembali bagaimana indahnya dicintai sebaik ini. Bahkan dia juga yang membuatku merasa menjadi wanita yang sangat diinginkan. Kuusap keningnya yang bersih tanpa cela, kucium kening itu lama. Seolah berada dalam sebuah film, aku berharap ini adalah mimpi.”Sus, nggak pa-pa tinggalin saya di sini.”Aku ingin berdua saja dengan suamiku, memeluknya meski selang infusku meng
”Halo, Di?”Adisana memang hendak menelfon Aldi untuk mengabarkan kondisi Katya. Meski adiknya berkata agar tidak perlu menghubungi Aldi karena pasti sibuk mengelola cafe barunya. (”Ya, Kak?”)Adisana menghirup napas dalam-dalam. ”Katya kecelakaan, dan sekarang ada di Surabaya. Lo nggak perlu dateng, karena pasti lo banyak pekerjaan. Gue cuma mau ngabarin aja, Di.”(”Di rumah sakit mana, Kak? Besok gue ke sana.”)Adisana yang tak ada pilihan lain pun mengatakan di mana rumah sakit Katya dirawat. Ia pun menceritakan bagaimana Katya sampai seperti sekarang.Di seberang, Aldi langsung terduduk lemas karena mendengar musibah yang menimpa mantan istri beserta anaknya.(”Sekarang kabar Haris gimana?”)Adisana menggeleng meski lawannya tak melihat. ”Dokter bilang, cuma mukjizat yang bisa sembuhin dia. Gue nggak bilang ke Rena, gue nggak mau adek gue stress. Dia lagi hamil.”Mendengar fakta itu, Aldi hanya diam dengan pikiran tak menentu.(”Pasti Rena sedih banget pas tau ini, Kak. Semoga Al
Bianglala yang dinaiki Rena berada di posisi tertinggi, dengan pengait yang hampir putus. Bahkan kurungan bianglala tak jauh darinya sudah jatuh hingga pengunjung pasar malam semakin histeris. Haris memeluk Katya dan istrinya yang panik, ditambah suara dalam telfon yang seakan menertawakan kepanikan mereka.”Ris ....” Rena benar-benar tak tahu untuk berbuat apa, sedangkan petugas yang menjalankan bianglala berusaha memperbaiki mesinnya. Perlahan tapi pasti, Rena merasa ia akan menjadi yang selanjutnya yang akan jatuh.Haris berusaha membuka pintu bianglala yang ia naiki, tapi nihil karena dalam keadaan panik membuat semuanya terlihat sulit. Rena, Katya dan Lira berpelukan bersama ...Hingga,Kreek!”Aaaaakkkk! Risjad!”Selama hidup, Rena merasa ini adalah bagian yang paling menyakitkan di hidupnya. Ia merasa dipermainkan oleh takdir. Kebahagiaan yang baru saja ia reguk seakan kembali direnggut.Pengunjung pasar malam dapat melihat bagaimana kurungan yang terdapat keluarga kecil Rena
Sudah seminggu ini Rena tidak ke mana-mana, bahkan untuk ke supermarket atau ke restoran. Rena merasa tidak memiliki semangat seperti biasa untuk mengganggu Rose, bahkan sekedar menanyakan kabar Shilla saja dia tidak menanyakannya. Bahkan saat Mita datang ke rumah dan mengajaknya hang out, Rena menolak ajakan Mita. Hidupnya terasa tidak bergairah setelah suaminya akan pergi 2 hari lagi ke Amerika. Bukan ia tidak ingin suaminya semakin sukses mendapat proyek besar, hanya saja ada perasaan lain yang ia pun tidak tahu.Ketika perasaan aneh itu muncul, Rena hanya akan menangis sambil menelfon suaminya dan merengek agar membatalkan kepergiannya ke Amerika. Bahkan meski Haris kehilangan proyek besar itu, Rena tidak perduli dibanding berjauhan selama itu.”Kamu tau kan aku nggak bisa LDR. Pikiran aku gampang banget parno. Kamu pulang aja, Ris ...,” rengeknya. ”Nggak bisa, Sayang. Gini deh, kamu kasih kepercayaan buat aku, dan bisa aku pastiin kalo nggak ada bule yang nempel nantinya di hat
”Clara dorong aku, Mbak. Dia juga ke sini kemarin siang saat Lira lagi di kantin. Dia ancam aku, dan nggak bolehin aku buat ngomong ini ke siapa pun. Clara ... Clara ....”Shilla terisak, tangannya menyentuh perut. Shilla benar-benar merasa kesakitan di sekitar perutnya saat terisak. Braak!Semua orang sontak melihat ke arah pintu. Mata Shilla, Rose dan Rena terbuka lebar. Sedangkan Fitria dan Lira tidak tahu siapa gadis yang tengah melangkah mendekati Shilla sambil membawa buah-buahan yang tersusun rapi.”Oh, lo udah cerita, Shil? Baguslah, jadi gue pun tau ternyata orang yang gue kira sahabat pun cepuin gue.” Clara memandang Rose.Fitria bagai baru tersadar jika gadis di hadapannya ini adalah gadis yang baru saja mereka bicarakan. Fitria berdiri sambil melangkah mendekati Clara, tak segan-segan ia bahkan mendaratkan cap lima jari di pipi mulus Clara.”Ja-lang! Harusnya lo yang gue gampar! Keluarga lo busuk semua!” maki Clara. Tangannya mendorong Fitria, namun Fitria kembali berdiri