Pagi ini Anin sedang membuat sarapan didapur, Noah dan Leon minta dibuatkan bubur ayam kesukaan mereka. Noah memang benar-benar persis seperti Leon, entah dari wajah, hoby bahkan makanan favorit pun sama. Karena Anin sudah tahu pa-apa saja yang mereka suka dan yang tidak mereka suka. "Bun, punyaku banyakin kulit ayamnya ya!" oceh Noah dengan wajah tak sabar."Iya, Sayang. Papah juga kan?" "Iyaa doong!" tukas Leon menjawab.Anin pun kemudian memberikan semangkok bubur ayam untuk suaminya dan Noah dimangkok yang lainnya. Noah dan Leon juga sama-sama tidak menyukai pedas, keduanya hanya menambahkan kecap manis saja pada bubur mereka.Anin kemudian menghampiri ibu mertuanya yang sedang menggendong Shafiyya dihalaman rumahnya, bayi perempuan itu terlihat senang ketika sang nenek memperlihatkan seekor burung pipit yang sedang berjalan diteras rumah mereka. "Mah, sarapan dulu! Shafiyya gendong sama bunda lagi ya!" "Kamu udah sarapan belum, Nin?" "Udah Mah, tadi Anin makan mangga yang d
Saat ini Leon sudah bersama Syaikh Ali. Mereka berada disebuah restoran yang memiliki tempat privasi. Setelah menyapa dsn berkenalan dengannya, Leon tak sabar ingin menanyakan tentang kabar sahabatnya."Bagaimana kabar Hasan?" tanya Leon memulai pembicaraan. "Saat ini, ia sedang dirawat disebuah rumah sakit di Jordania, kami terpaksa membawanya kesana, karena seperti yang kita tahu Rumah sakit di Palestina tidak cukup memadai fasilitasnya, semua serba terbatas.""Apa yang terjadi padanya?" tanya Leon dengan wajah panik."Dia tertembak dibagian lutut dan matanya terkena serpihan kaca saat tentara Israel mengebom kami." ucap pria berperawakan tinggi dan berwajah tampan itu."Subhanallah!" lirih Leon dengan nada putus asa."Aku tidak bisa lama disini, Hasan yang menyuruhku untuk menghubungimu dan dia memberiku nomor teleponmu karena dia menghapalnya. Ponselnya hancur karena ledakan bom tersebut.""Apa kau bersedia ikut denganku sekarang juga? aku juga tidak bisa lama disini, karena seja
Setelah memasuki pekarangan Rumah sakit, Leon dan Ali bergegas menuju ruangan tempat Hasan dirawat. Seorang perawat baru saja keluar dari sana, lalu Ali pun menanyakan perkembangan laki-laki yang sudah banyak membantu kelompoknya itu. "Tuan Hasan akan menjalani operasi matanya setengah jam lagi, peluru dilututnya sudah berhasil dikeluarkan." seru sang perawat memberikan keterangan pada keduanya."Apa kemungkinan operasi matanya akan berhasil?" tanya Leon dengan wajah penuh selidik."Kita berdoa saja, semoga Allah berikan yang terbaik untuk Tuan Hasan." Perawat itu pun kemudian berlalu meninggalkan Leon dan Zahir. Mereka masuk kedalam ruangan itu, Hasan masih tidak sadarkan diri. Mungkin karena efek obat bius. Sementara itu Ali terlihat gelisah, berulang kali ia melihat ke arah ponselnya."Ada apa? Apa ada sesuatu yang penting?" Leon bertanya pada laki-laki itu. "Maap, Leon. Aku harus pergi sekarang juga, kedatanganku sedang ditunggu oleh komandan. Senjata-senjata itu harus segera s
Tanpa sadar Leon terlelap disamping Hasan selama hampir dua jam, Leon merasakan pegal disekitar punggungnya karena tertidur sambil duduk. Ia melihat jam ditangannya, menunjukkan pukul sembilan malam, Leon pun sedikit terkejut, karena ia belum melaksanakan sholat maghrib. Leon pun kemudian menuju kamar mandi untuk berwudhu. Setelahnya Leon pun menjamak qashar shalatnya, antara shalat maghrib dan sholat isya, lantaran ia tanpa sengaja tertidur saat waktu maghrib karena saking lelahnya. Baru saja Leon mengucapkan salam terakhir ketika ia mendengar suara Hasan menyebut namanya."Leon, kaukah itu?" tanya Hasan dengan suara pelan.Leon pun langsung menghampiri sahabatnya itu."Ya, ini aku. Kau sudah sadar? Apa yang kamu rasakan sekarang? Apa masih sakit lutut dan matamu?"tanya Leon khawatir."Aku senang kamu ada disini, terima kasih kawan." ucap Hasan seraya tersenyum."Aku juga bersyukur bisa menemanimu, bagaimana keadaanmu, saudaraku?" "Lebih baik kurasa, hanya lutut dan mataku masih te
Syaikh Abdullah menghampiri seorang pemuda Palestina yang terkena luka tembak dilengannya, darah terus mengucur dari lengan pria yang bernama Zain itu. Pemuda ini nekad ikut melawan tentara Isarel yang sedang menyerang Syaikh Abdullah dan kelompoknya, padahal ia belum pernah belajar menembak dan memegang silah sebelumnya, tapi karena ia sangat bersemangat untuk turun ke dalam pertempuran sengit itu, akhirnya ia harus terkena peluru pada saat berlari ingin menghindar dari serangan para pasukan iblis itu. "Tenanglah, apa kau masih bisa berjalan?" tanya Syaikh Abdullah pada Zain.Zain pun mengangguk, saat ini ia masih bisa berjalan hanya pandangannya sedikit tidak fokus. "Apa kau bisa melihatku dengan jelas?" tanya Syaik Abdullah lagi."Tidak, semakin lama semakin buram yaa ... Syaikh." ucap sang pemuda dengan napas terengah.Syaikh Abdullah pun kemudian hendak menolongnya menghentikan pendarahan pada lengan pemuda itu."Maap, ini akan terasa sakit. Lenganmu harus diikat agar darahnyan
Ali berhasil masuk kembali kedalam kota, ia menemui Syaikh Abdullah dengan membawa persedian senjata yang diberikan oleh Leon dan Zahir. Kali ini ia dibantu oleh seorang pejuang lagi untuk membantu membawa senjata-senjata itu. "Dimana Syaikh Abdullah?"tanya Ali pada temannya itu. "Kami sudah berpindah tempat lagi, aku ditugaskan untuk menjemputmu." ucap pria itu bernama Salman."Alhamdulillah teman-teman Hasan memberikan kita pasokan senjata dan beberapa makanan." ucap Ali, sambil berjalan menyusuri reruntuhan bangunan yang hancur terkena bom, mereka berjalan menuju tempat persembunyian baru."Alhamdulillah, bagaimana keadaan Hasan?" tanya Salman, pasalnya pria itu pernah Hasan tolong saat kakinya tertembak dua minggu lalu."Bersyukur serpihan yang masuk kedalam matanya hanya sedikit saja, dokter bilang ia masih bisa melihat tapi butuh waktu untuk bisa melihat dengan normal lagi, kita doakan saja semoga Hasan cepat sembuh dan bergabung bersama kita lagi." jawab Ali "Aamiin."Mereka
Zahir saat ini sudah sampai di Rumah Sakit yang diberitahu oleh Leon. Ia membawa beberapa bungkusan berisikan baju ganti untuk Leon dan Hasan, juga ada beberapa makanan yang ia bawa. Tibalah ia didepan pintu ruangan tempat Hasan dirawat, lalu ia pun masuk kedalamnya seraya mengucap salam."Wa'alaikumussalam, akhirnya kamu sampai disini juga Hir!" seru Leon mereka pun berpelukan, Zahir juga memeluk Hasan yang duduk diatas ranjangnya. "Bagaimana kabarmu, adik ipar?" tanya Zahir seraya menepuk bahu Hasan."Alhamdulillah lebih baik karena kedatanganmu kakak ipar." ucap Hasan yang membuat ketiganya tertawa. "Syukurlah, aku berharap kau lekas sembuh.""Aamiin.""Ini kubawakan pesenanmu dan Leon juga ada, sekotak donat dan nasi briyani dengan kambing panggang, dan juga buah-buahan."Zahir menaruh semua bawaannya diatas meja."Terima kasih saudaraku, kau memang the best." sahut Leon seraya mengacungkan jempolnya."Makanlah, San! Kulihat kau lebih kurus sekarang." sambung Zahir sambil memper
Zahira sedang mengganti popok Amira ketika ponselnya berdering, bayi cantik itu menangis karena tidak betah jika popoknya basah. Setelah mengganti popok, Zahira pun lanjut menyusui putrinya yang terlihat sudah mulai mengantuk. Tiba-tiba terdengar ketukan suara pintu dari luar kamarnya."Kamu sudah mau tidur?" tanya Hasna seraya masuk kedalam kamar."Belum ngantuk sih, lagi ngelonin Amira. Ada apa Kak?" Zahira balik bertanya."Hmm ... Itu, tadi kata Kak Zahir, Hasan menelponmu dengan nomor baru." terang Hasna pada adik iparnya itu. Zahira pun terdiam sejenak, lalu beranjak perlahan dari ranjangnya karena Amira yang sudah mulai tertidur. Ia mengambil ponselnya lalu mengecek panggilan yang baru saja masuk. Ternyata benar nomor baru, hatinya sedikit bergetar dan bahagia. Apa dia harus menelpon balik sekarang? tanyanya dalam hati. "Terima kasih Kak, maaf aku lupa." ucap Zahira tak enak hati. Hasna hanya tersenyum lalu mengangguk, kemudian wanita itu pun keluar dari kamar Zahira.Baru s