"Pertama saya ucapkan selamat, karena istri Anda saat ini tengah hamil.""Hamil?" Semua terkejut, terutama Dava."Hamil? Menantu saya, Nara. Hamil?" Nani mengulang kalimat untuk lebih memastikan."Iya, Bu. Anda akan menjadi nenek," jelas dokter tersebut."Alhamdulillah," ucap syukur Nani seraya mengangkat tangannya ke atas, lalu ia pun memeluk Dava. "Akhinya semua berjalan sesuai dengan rencana.""Iya, Bu. Alhamdulillah.""Tapi pak Dava, untuk sementara ini istri Anda belum dibolehkan pulang, kondisinya masih lemah mungkin karna perubahan hormon.""Sejauh ini tidak ada tanda-tanda berbahaya pada kehamilannya kan, Dok?" tanya Dava khawatir."Tidak ada, coba nanti bu bidan yang menjelaskan kepada Anda lebih detailnya."Tidak lama setelah itu bidan pun datang dan langsung menyapa dokter tersebut. "Ada apa, Dok?""Ini keluarga dari pasien bernama Nara, Dok."Bidan itu berdiri di samping dokter, lalu menyapa Dava juga Nani. "Malam, Bu, Pak. Saya bidan yang menangani pasien bernama Nara.""
"Sorry ya, Gin. Gue nggak bisa ikut sama lu. Gue minta infonya aja deh dealnya mau gimana. Gue bantu bahan meeting aja, ya. Setiap desain udah gue kasih harganya berapa, tapi itu cuma lu yang tau." Saat ini Hanum sedang fokus pada layar laptopnya, mempersiapkan bahan untuk meeting bersama pelanggan butik. Hanum duduk di atas karpet berbulu tebal, begitupun dengan Gina yang saat ini duduk di sebelahnya, memperhatikan arahan Hanum."Kalau pengajuan harga terserah gue, ya. Soalnya lu ngasih harga murah banget. Gue jadi ngerasa rugi sendiri," ucap Gina seraya mengambil gelas berisi kopi cappucino di atas meja, lalu menyeruputnya secara perlahan."Udah biarin aja. Lu bisa ambil untung juga kan kalau lu bisa jual lebih mahal lagi." Hanum bicara, tetapi fokusnya tetap ke depan layar laptop."Iya juga sih."Di tengah-tengah diskusi sedang berlangsung, Hanum mendengar suara mobil milik suaminya. Dia berjalan ke arah jendela, melihatnya dari sana dan benar saja itu mobil milik Dava."Laki lu ud
Jawaban Dava mengenai perasaannya terhadap Nara, jawabannya tentu saja tidak. Kebersamannya dengan Nara hanya sebatas memenuhi kewajiban, tidak dengan cinta dan Hanum sangat senang mendengarnya.Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tidak terasa usia kandungan Nara menginjak angka sembilan dan beberapa hari lagi Nara akan melahirkan seorang baby boy ke dunia ini. Buah cintanya bersama Dava."Assalamualaikum," ucap salam Dava yang baru saja datang di hari Sabtu."Waalaulaikumsalam," jawab Nara yang saat ini duduk di sofa depan TV sedang dipijat oleh ahli pijat."Kamu kenapa, Ra?" tanya Dava sambil berjalan menghampiri Nara."Kaki aku pegal-pegal, Mas. Rasanya kaku banget.""Tapi ini nggak apa-apa dipijat?" Rasa khawatir tampak jelas di raut wajah Dava. Dia meletakkan tasnya di atas meja, lalu mengecup singkat kening Nara, sebelum akhirnya duduk di sebelahnya."Nggak apa-apa. Lagian kan ini cuma kaki." Untuk lebih meyakinkan sang suami, Nara bertanya kepada orang yang sedang memijat
Sesuai dengan arahan sang ibu, Dava pun membawa Nara ke rumah sakit bersalin terdekat. Begitu sampai di sana, dia langsung ditangani oleh perawat yang sedang bertugas di UGD, turut temani oleh Dava.Dia menyaksikan langsung bagaimana perawat melakukan pemeriksaan dini dengan memeriksa pembukaan atau jalan lahir dengan memasukkan jari ke dalamnya. Selesai diperiksa, suster itu memberikan pernyataan. "Baru pembukaan tiga.""Ketuban istri saya sudah pecah, Sust.""Nanti akan dilakukan pemeriksaan USG, insyaallah bayi Anda masih sehat," tutur suster yang menanganiTidak lama bidan pun datang melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan Dava menyaksikan itu semua, dengan hasil semua bagus. Detak jantung kuat, air ketuban masih ada, induksi pun sudah diberikan melalui infus. Tinggal menunggu pembukaan sempurna, barulah masuk ke ruangan bersalin."Mas, aku mau melahirkan normal," pinta Nara setelah selesai menjalankan beberapa rangkaian pemeriksaan."Gimana baiknya aja ya, Ra. Kalau dokter menyara
Tadinya Gina sudah malas memberikan support kepada Hanum, tetapi melihat dia sebingung itu membuat Gina merasa tidak tega, sehingga akhirnya ia pun mengikuti keinginan Hanum mengantarkannya ke rumah sakit."Cuma sebentar aja, ya." seru Gina begitu sampai di rumah sakit."Iya, gue juga ngapain lama-lama di sini."Saat ini mereka sedang antri di depan pintu lift, lalu ponsel Hanum berdering. Sebuah notifikasi masuk. Notifikasi pesan baru. Ia mengeluarkan handphone dari dalam tas selempang yang ditakutkan di atas pundak, tertera nama ibu mertua pada layar ponselnya. Penasaran dengan isi pesan dari sang ibu mertua, Hanum pun membukanya."Di mana?" Isi pesan dari Nani yang Hanum terima."Di rumah sakit, Bu. Mau jenguk Nara," balas Hanum."Kamu jangan ke sana!"Dahi Hanum mengerut membaca balasan Nani, lalu ia pun bertanya, "Kenapa, Bu?""Cuma ngerepotin doang. Dava jug nggak bakal anggap kamu ada. Dia sibuk sama bayinya juga Nara. Daripada di sana kamu sakit hati mending nggak usah ke ruma
Satu minggu sudah baby Abiyu berada di dunia yang fana ini, selama itu juga Dava belum pulang menemui Hanum dan memang rencananya hari di hari Sabtu Dava akan menemuinya.Seharusnya Dava datang di Sabtu pagi, tetapi karena ada pekerjaan di pabrik, Dava akan menemui Hanum di siang harinya. Namun, sampai jarum jam berada di angka empat pun Dava belum menunjukkan batang hidungnya, lalu Hanum memutuskan untuk mengirim pesan, menanyakan keberadaannya."Di mana, Mas?" tanya Hanum dalam sebuah pesan yang ia kirim. Saat ini Hanum sedang duduk di kursi di dapur, sedang memasak untuk makan malam."Bu, minyak ikannya mau dibanyakin nggak?" tanya Marni, sang asisten rumah tangga."Sedang aja, Bi," jawab Hanum masih memegangi handphonenya, menunggu balasan dari Dava."Siap, Bu."Tidak lama setelah itu, Dava membalas pesan Hanum yang berisi, "Di rumah Nara, Num. Maaf aku nggak jadi menemui kamu hari ini. Tadi Nara bilang Abiyu muntah-muntah."Mengetahui kabar tersebut, Hanum pun ikut merasa khawati
Di saat keadaan seperti ini, terkadang kita membutuhkan waktu untuk sendiri untuk berdamai dengan keadaan. Mencari jalan keluar sendiri, instrospeksi, berusaha menilai positif dari semua sisi, yang paling utama lebih mendekatkan diri kepada sang Maha Pencipta karena dialah yang maha memiliki kekuatan, maha Segalanya.Hanum sedang melakukan itu. Dia memilih tinggal di hotel rencananya untuk beberapa hari sampai keadaan hati dan pikirannya lebih tenang. Sebetulnya tidak membutuhkan waktu yang lama, hanya saja belum ada niatan untuk kembali ke rumah.Derrt....Handphone miliknya bergetar di atas nakas. Dia mengambil benda pipih berwarna putih itu, lalu melihat pesan masuk yang ternyata dari Dava dan berisi sebuah pertanyaan. "Di mana?"Tidak nanti-nanti, Hanum langsung membalasnya. "Lagi di rumah Gina. Bantu-bantu.""Jawab yang jujur ya, Sayang. Kamu di mana?""Jujur, aku lagi di rumah Gina.""Aku barusan telepon rumah Gina, nggak ada acara apa-apa di sana, nggak ada kamu juga. Tolong ka
"Mau kamu bawa ke mana anak aku?" Nara bangkit dari duduknya."Ke mana saja, asalkan aku bisa hidup bahagia sama anak aku.""Aku nggak izinin kamu bawa Abiyu keluar dari rumah.""Aku nggak minta izin dari kamu, Nara.""Mas Dava!" Nara meninggikan suaranya. "Kembalikan Abiyu!" pintar Nara seraya mengulurkan tangan."Maafkan aku, Nara. Aku harus pergi." Dava melangkah mundur, lalu berjalan cepat menuju pintu utama."Jangan bawa anak aku! Kembalikan!" Dengan sudah payah Nara mengejar Dava yang berjalan cepat menuju pintu utama.Tidak perduli, Dava tetap berjalan seraya menekan tombol buka kunci pada remote control di tangannya hingga terdengar bunyi beep tanda kunci terbuka."Ayah akan membawa kamu ke suatu tempat di mana kita akan hidup bahagia," ucap Dava seraya melihat wajah tampan baby Abiyu tanpa menghentikan langkah kakinya menuju garasi. Saat bicara bayi itu hanya menggeliat dengan mata masih terpejam setelah kenyang disusui oleh ibunya.Begitu sampai di garasi, Dava membuka pintu
"Kamu hamil, Num?" ucap Nani masih menatap tidak percaya. Masih menggendong Abiyu, Nani mengambil tespek dari tangan Hanum dan matanya langsung berkaca-kaca. "Alhamdulillah, Ya Allah. Akhirnya Allah mengabulkan doa kamu, Num.""Berkat doa ibu juga, Bu," sambung Hanum."Doa kita semua."Hanum mengangguk, lalu merangkul sang ibu mertua dari samping. "Lengkap sudah kebahagiaan aku sama Mas Dava, Bu.""Iya, Num." Selepas bicara dengan Hanum, Nani bicara kepada cucunya. "Abiyu mau jadi kakak. Ye, ye. Punya temen main."Dia yang belum mengerti apa-apa pun merengek sambil berontak minta diturunkan, karena mau bermain lagi dengan mainannya yang banyak berserakan di atas rumput.Nani menurunkan cucunya turun dari pangkuan, membiarkan cucunya bermain di bawah, sementara dia bicara dengan Hanum."Udah satu Minggu kita belum ketemu sama Nara. Kamu mau nggak ajak Abiyu ke sana?" ajak Nani.Tanpa ragu Hanum menjawab, "Boleh. Kapan?""Sekarang, yuk. Dava udah berangkat, kan?""Udah, Bu.""Ya udah ayo
Fitri berhasil diamankan, karena dianggap biang kerok dari keributan. Setelah Fitri dibawa pergi, Hanum meneteskan air mata sambil menatap wajah Nani seraya memanggilnya dengan suara lirih. "Ibu."Nani menatap lekat-lekat wajah Hanum, lalu mengusap air matanya. "Kenapa nangis?""Ibu membela aku.""Maafkan ibu, Num. Selama ini ibu udah salah menilai kamu. Sungguh maafkan ibu, Num."Hanum menggelengkan kepalanya. "Nggak, Bu. Ibu nggak salah, aku sebagai anak yang seharusnya mengerti Ibu. Hanum juga minta maaf sempat menentang Ibu, menyakiti perasaan Ibu.""Kamu nggak pernah melakukan itu, Hanum. Ibulah yang udah melakukan itu semua, Ibu sampai malu mau minta maaf sama kamu, hingga akhirnya bapak berhasil meyakinkan ibu untuk tidak perlu takut jika ingin memperbaiki diri dan ibu baru punya keberanian untuk membela kamu," jelas Nani dan penjelasan itu membuat Hanum semakin terharu, tangisnya semakin menjadi."Ibu ...." Suara Hanum bergetar, lalu Nani memeluk Hanum dengan erat. Mulai hari
Di rumah, Hanum menunggu dengan gelisah. Saat ini dia sedang duduk di sofa ruang keluarga, sambil memegang handphone di tangannya, menunggu kabar baik dari Dava."Non, minum teh hangat dulu biar lebih tenang." Marni menyerahkan secangkir teh manis hangat kepada Hanum."Terima kasih ya, Bi. Maaf kalau aku sering merepotkan Bibi." Hanum bicara sambil menerima secangkir teh manis buatan Marni."Sama-sama, Non. Bibi ke belakang dulu.""Iya, Bi." Kembali dia menikmati secangkir teh manis di tangannya, dan ia merasa sedikit lebih tenang dari sebelumnya.Masih memegang gagang cangkir, handphone yang tadi disimpan di atas sofa saat ini berdering. Hanum mengambil kembali handphonenya, melihat nama ibu mertua pada layar ponselnya, lalu ia pun menjawab panggilan itu walau sedikit ragu."Assalamualaikum, Bu.""Waalaikumsalam," balas Nani. Tanpa basa-basi dia langsung bertanya mengajukan pertanyaan. "Memangnya tadi Nara ada ke situ?""Iya, Bu. Ada. Nara ke sini cuma mau ambil Abiyu.""Pantesan tad
"Nara?" Hanum mendorong stroller menuju ruang keluarga, terlihat Nara sedang berjalan cepat menghampirinya dengan memasang wajah marah."Dasar perempuan tidak punya hati, perempuan egois.""Berhenti, Nara!" Teriak Hanum meminta Nara untuk tidak menghampirinya.Dia yang saat ini hati dan pikirannya sedang diselimuti rasa amarah, tidak mau mendengar ucapan Hanum dan tetap berjalan cepat menghampirinya."Kembalikan putraku!"Hanum langsung menggendong Abiyu dari stroller, memeluknya seraya memberikan perlindungan. "Nggak! Aku nggak mau.""Kembalikan!" Nara merebut Abiyu secara paksa dari dekapan Hanum, hingga akhirnya dia berhasil memindahtangankan Abiyu dari tangan Hanum."Apa yang kamu lakuin? Jangan ambil anak aku!""Anak kamu? Ini anak aku!" Suara Nara membentak."Mas Dava ayahnya dan aku adalah istrinya!" Suara Hanum tak kalah membentak."Kamu sadar kalau Abiyu Itu anak aku bersama mas Dava, kenapa kamu merusak kebahagiaan kami? Kenapa kamu tega memisahkan kamu?""Aku nggak misahin
Setelah Dava pergi, Hanum meminta maaf kepada semua orang, terutama kepada Nara. "Maafkan aku, Ra. Aku udah berusaha supaya kamu tetap menjadi istri mas Dava, tapi ternyata mas Dava tetap pada keputusannya.Tidak terima akan kekalahan yang ia dapatkan, Nara melepaskan diri dari pelukan Fitri, lalu berjalan menghampiri Hanum, mengangkat tangannya hendak menampar. Beruntung Dava kembali masuk ke dalam berhasil menahan tangan Nara yang sudah melayang di udara."Mas Dava?" Nara terkejut."Berani kamu menyentuh istri aku, akan aku pastikan kamu tidak akan pernah bertemu dengan Abiyu lagi. Paham?" Secara kasar Dava mengibaskan tangan Nara, lalu Dava meraih tangan Hanum. "Ayo kita pergi, Num."Tidak ada lagi yang bisa merubah keputusan Dava. Baik itu Heru, Fitri, sekalipun Nani. Semua diam ketika Dava mengambil sikap tegas. Akhirnya Dava, Hanum, Abiyu, juga Fitri meninggalkan kediaman Nara tanpa embel-embel apa pun, mereka pergi tanpa menoleh lagi ke belakang."Ayo, Num. Kita harus cari mini
Hanum terkejut atas apa yang sudah Dava ucapkan, pasalnya dia sendiri saja tidak tahu akan tujuan Dava mengumpulkan semua orang. Dava tidak pernah mendiskusikan masalah ini dengan dirinya.Nara yang tidak setuju terus menolak, Dava mengeluarkan semua berkas perjanjian yang pernah mereka tanda tangani lalu menyimpannya di atas meja."Kamu sudah menandatangani semuanya, Ra. Aku harap kamu bisa kooperatif."Nara mengambil surat tersebut bukan untuk membacanya, tetapi untuk merobeknya dan beberapa kertas itu ia robek di hadapan semua orang, robekan kertas itu dia lempar ke sembarang arah."Aku nggak peduli! Pokoknya aku nggak mau kita bercerai!""Aku nggak cinta sama kamu, Ra," tegas Dava."Pikirkan bagaimana nasib putra kita, Mas. Abiyu masih membutuhkan aku, Abiyu masih minum ASI.""Itu bukan masalah serius, aku bisa kasih dia susu formula.""Aku nggak setuju. Kamu mau anak kita sakit?""Susu formula itu kurang bagus, Dava. Ada ASI, buat apa susu formula?" Nani ikut membela menantu kesa
Selama lebih dari dua jam Dava mengadakan pertemuan dengan guru ngaji Haris di salah satu mesjid kota Jakarta. Dia mengutarakan semua isi hatinya, keluh kesahnya selama ini, selama menikahi Nara secara diam-diam. Dava menceritakan semuanya dari A-Z, tidak ada yang dikurangi apa lagi dilebih-lebihkan.Guru ngaji Haris memberikan beberapa nasihat, mengutarakan pendapat, juga menyampaikan apa yang seharusnya ia sampaikan. Bukan tanpa ilmu, semua yang beliau sampaikan tidak melenceng dari syari'at agama islam, tidak melenceng dari peraturan-peraturannya sehingga Dava sudah tau keputusan apa yang harus ia ambil.Setelah mendapatkan jawaban atas kegusarannya selama ini, malam harinya Dava pun memutuskan untuk pulang ke rumah Nara tentunya."Assalamualaikum," ucap salam Dava seraya membuka pintu utama.Tidak ada siapa pun, tetapi televisi dalam keadaan menyala. Dava berjalan menuju meja, mengambil remote control, lalu televisi pun dimatikan. Dia berpikir kalau saat ini Nara bersama putranya
Sejak Dava memimpikan Nara, sejak saat itu juga hatinya merasa gusar. Tidak berhenti ia memikirkan makna dari mimpi itu apa, hingga akhirnya ia pun menghubungi sang sahabat bernama Haris untuk mengutarakan kegusarannya, bertukar pikiran dengan harapan mendapatkan jalan keluar terbaik."Di mana?" tanya Dava dalam sebuah pesan.Tidak lama ia pun langsung mendapatkan balasan. "Di kantor. Kenapa?""Bisa ketemu sekarang?""Di mana?""Kafe depan kantor lu aja.""Oke, lu bisa datang ke sini satu jam lagi. Gue lagi nanggung kerjaan nih.""Oke, kalau udah nyampe gue kabarin lagi.""Sip."Setelah berbalas pesan dengan sang sahabat, Dava menyeruput kopinya, lalu mengetik pesan untuk dikirim kepada Hanum."Assalamualaikum, Num.""Waalaulaikumsalam. Ada apa, Mas?""Kamu lagi apa?""Lagi di butik. Kenapa, Mas? Mas Dava mau pulang sekarang?""Nggak. Aku mau izin pulang ke rumah Nara, boleh?"Lama tidak mendapatkan balasan, Dava meletakkan handphonenya di atas meja. Sambil menunggu, dia menyandarkan
Nara: Oh, jadi lu yang nyuruh Mas Dava bawa Abiyu ke sana? Gila ya emang lu, anak gue belum juga satu bulan udah lu bawa-bawa ke sana. Mau lu apa sih?Balasan dari Nara yang Hanum terima.Tidak ingin ketahuan kalau saat ini dia sedang berbalas pesan dengan Nara, Hanum pun pergi ke kamar mandi dengan dalih ingin buang air kecil. Dia pergi meninggalkan Dava yang sedang asik ngobrol bersama Abiyu di sofa ruang keluarga.Hanum: Apaan sih lu? Marah-marah nggak jelas. Masih untung gue kasih tau mas Dava ada di sini.Balasan yang Hanum kirim kepada Nara. Sabil berdiri di depan cermin kamar mandi, Nara: Suruh mas Dava pulang! Hanum: Gue udah nyuruh dia pulang dari kemaren, tapi mas Dava nggak mau.Nara: Bohong! Pasti lu yang ngelarang mas Dava pulang.Hanum: Terserah lu mau percaya atau nggak deh.Nara: Gue ke rumah lu sekarang.Hanum: Silakan.Selesai berbalas pesan dengan Nara, Hanum berdiri sebentar di depan wastafel sambil mencuci tangan. Selesai mencuci tangan, barulah ia keluar dari k