Terkejut atas pertanyaan Viola, Dava pun diam, lalu Hanum menyenggol bahunya. "Kenapa diem? Kamu habis ketemu sama Nara di belakang?""Ng-nggak, kok," jawabnya terbata. "Kamu tanya sendiri aja sama orangnya."Tidak perlu ditanyakan pun Nara sudah mendengarnya. "Nggak ko, Num. Aku habis keluar Nerima telepon, nggak tau Pak Dava habis dari mana." Tidak seperti Dava, Nara menjawab pertanyaan Hanum dengan lugas."Iya, kan?" ucap Dava.Walau ada sedikit rasa curiga, Hanum pun memilih percaya dari pada harus berdebat. "Ya udah.""Kita pergi ke sana, yuk! Aku mau nyapa temen sekolah aku. Kamu mau ikut?" ajak Dava."Oke, kita ke sana. Nafas aku terasa sesak ada di sini." Hanum menjawab sambil melihat ke arah Nara dengan tatapan membunuh."Ayo."Hanum melingkarkan tangan pada lengan Dava, mereka berjalan ke sisi lain meninggalkan Nani dengan Nara. Lebih tepatnya menghindar dari mereka berdua.***Satu Minggu berlalu, sore ini Dava pulang ke rumah Nara dan dari sejak kemarin Hanum mempersiapkan
"Tunggu, Gin!" Hanum meminta Gina jangan dulu membalas pesan Dava.Jari Gina langsung berhenti mengetik, lalu bertanya, "Kenapa?""Nara chat gue, Gin. Lu liat deh dia bilang apa." Hanum menunjukkan pesan dari Nara."Loh, dia kok bilang kayak gitu? Itu artinya mas Dava nggak lagi sama Nara," ucap Gina setelah selesai membaca."Nah iya, kan? Coba deh gue yang chat dia."Hanum mulai mengetik pesan yang akan ia kirim kepada Dava yang berisi,Hanum: Kamu di mana, Mas?Pesan yang Hanum kirim memang berhasil terkirim, bahkan sudah terbaca oleh Dava. Setelah menunggu beberapa menit, Hanum kembali mengirim pesan yang berisi,Hanum: Jawab aku, Mas. Kamu di mana sekarang?Tidak seperti pesan pertama, pesan kedua yang Hanum kirim malah tidak berhasil terkirim."Nggak terkirim, Gin. Coba deh gue telepon."Hanum coba menghubungi nomor suaminya melalui sambungan telepon, tetapi gagal karna ada suara operator yang menjawab. Memberikan keterangan kalau nomer yang dia hubungi sedang di luar jangkauan.
Setelah berada di kamar, Hanum menangis sejadi-jadinya. Dia menjatuhkan dirinya di balik pintu, bersandar sambil menutup wajah dengan tangannya."Aku nggak kuat, Ya Allah. Aku nggak bisa seperti ini, aku nggak sanggup." Terus menangis meraung meratapi nasib rumah tangganya yang hancur berantakan hanya karena keegoisan mertua.Mendengar suara suara mesin mobil menyala, Hanum berlari ke atas balkon, menyaksikan mobil suaminya berlalu pergi meninggalkan rumah. Air mata yang sudah jatuh sejak tadi, tidak bisa berhenti mengalir. Hanum kembali menjatuhkan tubuhnya, menangis meraung sambil duduk di lantai balkon.Tidak lama setelah itu seseorang mengetuk pintu kamar, lalu pintu tersebut terbuka. Tanpa dipersilahkan, orang itu masuk ke dalam kamar, lalu menghampiri Hanum."Hanum," panggil Gina sambil berjalan masuk."Gina?"Kondisi Hanum saat ini sangat kacau. Gina berlari menghampiri Hanum, lalu membawa ia ke dalam pelukannya."Gina. Sakit banget, Gin. Hati gue sakit banget." Terus Hanum men
"Aku bisa saja memberikan apa yang kamu inginkan. Tapi, kamu jangan pernah lupa kalau aku melakukannya hanya karena kewajiban, bukan atas dasar cinta."Sambil menautkan kedua tangannya di atas pundak Dava, Nara menjawab, "Aku tau dan aku nggak keberatan, minimal kamu menghargai aku sebagai istri kamu.""Kamu akan merasakan sakit sepuluh kali lipat saat aku menceraikan kamu nanti.""Justru aku akan berterima kasih sumur hidup karna sudah bisa melahirkan anak kamu.""Jangan mencintai aku terlalu dalam, Nara. Aku khawatir kamu ...."Nara mengangkat tangannya, lalu meletakkan jari pada bibir Dava. "Mungkin kebersamaan kita hanya selama dua tahun, tetapi kamu harus ingat, Mas. Hubungan kita sebagai orang tua akan tetap ada sampai kapan pun. Anak kita yang akan menjadi jembatan penghubung.""Aku akan bahagia hidup bertiga bersama Hanum," balas Dava."Nggak masalah. Karna sampai kapan pun aku adalah ibu kandungnya.""Nara, kamu selalu menyetujui semua peraturan yang aku buat. Baik itu secara
Tidak ada satu hari pun Dava tidak memikirkan keadaan Hanum. Di setiap kegiatan, di setiap waktu, di setiap detik, di setiap hembusan nafas nama Hanum terus terpatri di dalam pikirannya. Wajahnya selalu muncul di setiap ia memejamkan mata, terkadang hal itu yang membuat Dava sulit tidur. Seperti sekarang ini, dia masih berdiri di depan jendela kamar melihat ke arah luar, apa lagi kalau bukan sedang memikirkan Hanum yang saat ini masih berada di Yogyakarta."Aku merindukan kamu, Sayang." Batin Dava bergumam.Tiba-tiba seseorang memeluk Dava dari belakang, menyandarkan pipinya di belakang punggung Dava. Siapa lagi kalau bukan Nara?"Kenapa kamu belum tidur, Mas?" tanya Nara."Belum ngantuk," jawabnya simple."Kamu pasti lagi mikirin Hanum?""Bohong kalau aku bilang nggak.""Kalau kamu kangen, kenapa nggak coba telepon?""Nggak, aku takut Hanum sedih lagi, aku takut mengganggu konsentrasinya.""Aku rasa nggak. Hanum pasti seneng kamu telepon, takutnya selama ini kamu nggak menghubungi di
Waktu satu minggu berlalu begitu cepat, tetapi kenapa hanya beberapa menit terasa sangat lama? Dava mempersiapkan diri menyambut kedatangan Hanum dengan menyediakam makan malam romantis di taman belakang rumah. Lampu berwarna kuning juga putih turut menghiasi suasana taman menjadi lebih indah."Pak, ini bunganya mau disimpan di mana?" Marni bertanya sambil berjalan menghampiri sang majikan, membawakan seikat bunga yang baru saja diantar oleh kurir."Sini, Bi." Dava juga berjalan menghampiri Marni, lalu mengambil bunga tersebut."Ada yang bisa saya bantu lagi, Pak?" tanya Marni sebelum ia meninggalkan rumah sang majikan."Kayaknya udah semua sih. Bi Marni boleh pulang sekarang.""Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu."Setelah Marni pergi, Dava kembali ke tengah-tengah taman di mana di sana sudah ada meja makan plus dua kursi saling berhadapan, lalu ia meletakkan bunga tersebut di atas meja, di samping piring milik Hanum."Perfect," ucap Dava sambil tersenyum.Tidak lama setelah it
"Pertama saya ucapkan selamat, karena istri Anda saat ini tengah hamil.""Hamil?" Semua terkejut, terutama Dava."Hamil? Menantu saya, Nara. Hamil?" Nani mengulang kalimat untuk lebih memastikan."Iya, Bu. Anda akan menjadi nenek," jelas dokter tersebut."Alhamdulillah," ucap syukur Nani seraya mengangkat tangannya ke atas, lalu ia pun memeluk Dava. "Akhinya semua berjalan sesuai dengan rencana.""Iya, Bu. Alhamdulillah.""Tapi pak Dava, untuk sementara ini istri Anda belum dibolehkan pulang, kondisinya masih lemah mungkin karna perubahan hormon.""Sejauh ini tidak ada tanda-tanda berbahaya pada kehamilannya kan, Dok?" tanya Dava khawatir."Tidak ada, coba nanti bu bidan yang menjelaskan kepada Anda lebih detailnya."Tidak lama setelah itu bidan pun datang dan langsung menyapa dokter tersebut. "Ada apa, Dok?""Ini keluarga dari pasien bernama Nara, Dok."Bidan itu berdiri di samping dokter, lalu menyapa Dava juga Nani. "Malam, Bu, Pak. Saya bidan yang menangani pasien bernama Nara.""
"Sorry ya, Gin. Gue nggak bisa ikut sama lu. Gue minta infonya aja deh dealnya mau gimana. Gue bantu bahan meeting aja, ya. Setiap desain udah gue kasih harganya berapa, tapi itu cuma lu yang tau." Saat ini Hanum sedang fokus pada layar laptopnya, mempersiapkan bahan untuk meeting bersama pelanggan butik. Hanum duduk di atas karpet berbulu tebal, begitupun dengan Gina yang saat ini duduk di sebelahnya, memperhatikan arahan Hanum."Kalau pengajuan harga terserah gue, ya. Soalnya lu ngasih harga murah banget. Gue jadi ngerasa rugi sendiri," ucap Gina seraya mengambil gelas berisi kopi cappucino di atas meja, lalu menyeruputnya secara perlahan."Udah biarin aja. Lu bisa ambil untung juga kan kalau lu bisa jual lebih mahal lagi." Hanum bicara, tetapi fokusnya tetap ke depan layar laptop."Iya juga sih."Di tengah-tengah diskusi sedang berlangsung, Hanum mendengar suara mobil milik suaminya. Dia berjalan ke arah jendela, melihatnya dari sana dan benar saja itu mobil milik Dava."Laki lu ud
"Kamu hamil, Num?" ucap Nani masih menatap tidak percaya. Masih menggendong Abiyu, Nani mengambil tespek dari tangan Hanum dan matanya langsung berkaca-kaca. "Alhamdulillah, Ya Allah. Akhirnya Allah mengabulkan doa kamu, Num.""Berkat doa ibu juga, Bu," sambung Hanum."Doa kita semua."Hanum mengangguk, lalu merangkul sang ibu mertua dari samping. "Lengkap sudah kebahagiaan aku sama Mas Dava, Bu.""Iya, Num." Selepas bicara dengan Hanum, Nani bicara kepada cucunya. "Abiyu mau jadi kakak. Ye, ye. Punya temen main."Dia yang belum mengerti apa-apa pun merengek sambil berontak minta diturunkan, karena mau bermain lagi dengan mainannya yang banyak berserakan di atas rumput.Nani menurunkan cucunya turun dari pangkuan, membiarkan cucunya bermain di bawah, sementara dia bicara dengan Hanum."Udah satu Minggu kita belum ketemu sama Nara. Kamu mau nggak ajak Abiyu ke sana?" ajak Nani.Tanpa ragu Hanum menjawab, "Boleh. Kapan?""Sekarang, yuk. Dava udah berangkat, kan?""Udah, Bu.""Ya udah ayo
Fitri berhasil diamankan, karena dianggap biang kerok dari keributan. Setelah Fitri dibawa pergi, Hanum meneteskan air mata sambil menatap wajah Nani seraya memanggilnya dengan suara lirih. "Ibu."Nani menatap lekat-lekat wajah Hanum, lalu mengusap air matanya. "Kenapa nangis?""Ibu membela aku.""Maafkan ibu, Num. Selama ini ibu udah salah menilai kamu. Sungguh maafkan ibu, Num."Hanum menggelengkan kepalanya. "Nggak, Bu. Ibu nggak salah, aku sebagai anak yang seharusnya mengerti Ibu. Hanum juga minta maaf sempat menentang Ibu, menyakiti perasaan Ibu.""Kamu nggak pernah melakukan itu, Hanum. Ibulah yang udah melakukan itu semua, Ibu sampai malu mau minta maaf sama kamu, hingga akhirnya bapak berhasil meyakinkan ibu untuk tidak perlu takut jika ingin memperbaiki diri dan ibu baru punya keberanian untuk membela kamu," jelas Nani dan penjelasan itu membuat Hanum semakin terharu, tangisnya semakin menjadi."Ibu ...." Suara Hanum bergetar, lalu Nani memeluk Hanum dengan erat. Mulai hari
Di rumah, Hanum menunggu dengan gelisah. Saat ini dia sedang duduk di sofa ruang keluarga, sambil memegang handphone di tangannya, menunggu kabar baik dari Dava."Non, minum teh hangat dulu biar lebih tenang." Marni menyerahkan secangkir teh manis hangat kepada Hanum."Terima kasih ya, Bi. Maaf kalau aku sering merepotkan Bibi." Hanum bicara sambil menerima secangkir teh manis buatan Marni."Sama-sama, Non. Bibi ke belakang dulu.""Iya, Bi." Kembali dia menikmati secangkir teh manis di tangannya, dan ia merasa sedikit lebih tenang dari sebelumnya.Masih memegang gagang cangkir, handphone yang tadi disimpan di atas sofa saat ini berdering. Hanum mengambil kembali handphonenya, melihat nama ibu mertua pada layar ponselnya, lalu ia pun menjawab panggilan itu walau sedikit ragu."Assalamualaikum, Bu.""Waalaikumsalam," balas Nani. Tanpa basa-basi dia langsung bertanya mengajukan pertanyaan. "Memangnya tadi Nara ada ke situ?""Iya, Bu. Ada. Nara ke sini cuma mau ambil Abiyu.""Pantesan tad
"Nara?" Hanum mendorong stroller menuju ruang keluarga, terlihat Nara sedang berjalan cepat menghampirinya dengan memasang wajah marah."Dasar perempuan tidak punya hati, perempuan egois.""Berhenti, Nara!" Teriak Hanum meminta Nara untuk tidak menghampirinya.Dia yang saat ini hati dan pikirannya sedang diselimuti rasa amarah, tidak mau mendengar ucapan Hanum dan tetap berjalan cepat menghampirinya."Kembalikan putraku!"Hanum langsung menggendong Abiyu dari stroller, memeluknya seraya memberikan perlindungan. "Nggak! Aku nggak mau.""Kembalikan!" Nara merebut Abiyu secara paksa dari dekapan Hanum, hingga akhirnya dia berhasil memindahtangankan Abiyu dari tangan Hanum."Apa yang kamu lakuin? Jangan ambil anak aku!""Anak kamu? Ini anak aku!" Suara Nara membentak."Mas Dava ayahnya dan aku adalah istrinya!" Suara Hanum tak kalah membentak."Kamu sadar kalau Abiyu Itu anak aku bersama mas Dava, kenapa kamu merusak kebahagiaan kami? Kenapa kamu tega memisahkan kamu?""Aku nggak misahin
Setelah Dava pergi, Hanum meminta maaf kepada semua orang, terutama kepada Nara. "Maafkan aku, Ra. Aku udah berusaha supaya kamu tetap menjadi istri mas Dava, tapi ternyata mas Dava tetap pada keputusannya.Tidak terima akan kekalahan yang ia dapatkan, Nara melepaskan diri dari pelukan Fitri, lalu berjalan menghampiri Hanum, mengangkat tangannya hendak menampar. Beruntung Dava kembali masuk ke dalam berhasil menahan tangan Nara yang sudah melayang di udara."Mas Dava?" Nara terkejut."Berani kamu menyentuh istri aku, akan aku pastikan kamu tidak akan pernah bertemu dengan Abiyu lagi. Paham?" Secara kasar Dava mengibaskan tangan Nara, lalu Dava meraih tangan Hanum. "Ayo kita pergi, Num."Tidak ada lagi yang bisa merubah keputusan Dava. Baik itu Heru, Fitri, sekalipun Nani. Semua diam ketika Dava mengambil sikap tegas. Akhirnya Dava, Hanum, Abiyu, juga Fitri meninggalkan kediaman Nara tanpa embel-embel apa pun, mereka pergi tanpa menoleh lagi ke belakang."Ayo, Num. Kita harus cari mini
Hanum terkejut atas apa yang sudah Dava ucapkan, pasalnya dia sendiri saja tidak tahu akan tujuan Dava mengumpulkan semua orang. Dava tidak pernah mendiskusikan masalah ini dengan dirinya.Nara yang tidak setuju terus menolak, Dava mengeluarkan semua berkas perjanjian yang pernah mereka tanda tangani lalu menyimpannya di atas meja."Kamu sudah menandatangani semuanya, Ra. Aku harap kamu bisa kooperatif."Nara mengambil surat tersebut bukan untuk membacanya, tetapi untuk merobeknya dan beberapa kertas itu ia robek di hadapan semua orang, robekan kertas itu dia lempar ke sembarang arah."Aku nggak peduli! Pokoknya aku nggak mau kita bercerai!""Aku nggak cinta sama kamu, Ra," tegas Dava."Pikirkan bagaimana nasib putra kita, Mas. Abiyu masih membutuhkan aku, Abiyu masih minum ASI.""Itu bukan masalah serius, aku bisa kasih dia susu formula.""Aku nggak setuju. Kamu mau anak kita sakit?""Susu formula itu kurang bagus, Dava. Ada ASI, buat apa susu formula?" Nani ikut membela menantu kesa
Selama lebih dari dua jam Dava mengadakan pertemuan dengan guru ngaji Haris di salah satu mesjid kota Jakarta. Dia mengutarakan semua isi hatinya, keluh kesahnya selama ini, selama menikahi Nara secara diam-diam. Dava menceritakan semuanya dari A-Z, tidak ada yang dikurangi apa lagi dilebih-lebihkan.Guru ngaji Haris memberikan beberapa nasihat, mengutarakan pendapat, juga menyampaikan apa yang seharusnya ia sampaikan. Bukan tanpa ilmu, semua yang beliau sampaikan tidak melenceng dari syari'at agama islam, tidak melenceng dari peraturan-peraturannya sehingga Dava sudah tau keputusan apa yang harus ia ambil.Setelah mendapatkan jawaban atas kegusarannya selama ini, malam harinya Dava pun memutuskan untuk pulang ke rumah Nara tentunya."Assalamualaikum," ucap salam Dava seraya membuka pintu utama.Tidak ada siapa pun, tetapi televisi dalam keadaan menyala. Dava berjalan menuju meja, mengambil remote control, lalu televisi pun dimatikan. Dia berpikir kalau saat ini Nara bersama putranya
Sejak Dava memimpikan Nara, sejak saat itu juga hatinya merasa gusar. Tidak berhenti ia memikirkan makna dari mimpi itu apa, hingga akhirnya ia pun menghubungi sang sahabat bernama Haris untuk mengutarakan kegusarannya, bertukar pikiran dengan harapan mendapatkan jalan keluar terbaik."Di mana?" tanya Dava dalam sebuah pesan.Tidak lama ia pun langsung mendapatkan balasan. "Di kantor. Kenapa?""Bisa ketemu sekarang?""Di mana?""Kafe depan kantor lu aja.""Oke, lu bisa datang ke sini satu jam lagi. Gue lagi nanggung kerjaan nih.""Oke, kalau udah nyampe gue kabarin lagi.""Sip."Setelah berbalas pesan dengan sang sahabat, Dava menyeruput kopinya, lalu mengetik pesan untuk dikirim kepada Hanum."Assalamualaikum, Num.""Waalaulaikumsalam. Ada apa, Mas?""Kamu lagi apa?""Lagi di butik. Kenapa, Mas? Mas Dava mau pulang sekarang?""Nggak. Aku mau izin pulang ke rumah Nara, boleh?"Lama tidak mendapatkan balasan, Dava meletakkan handphonenya di atas meja. Sambil menunggu, dia menyandarkan
Nara: Oh, jadi lu yang nyuruh Mas Dava bawa Abiyu ke sana? Gila ya emang lu, anak gue belum juga satu bulan udah lu bawa-bawa ke sana. Mau lu apa sih?Balasan dari Nara yang Hanum terima.Tidak ingin ketahuan kalau saat ini dia sedang berbalas pesan dengan Nara, Hanum pun pergi ke kamar mandi dengan dalih ingin buang air kecil. Dia pergi meninggalkan Dava yang sedang asik ngobrol bersama Abiyu di sofa ruang keluarga.Hanum: Apaan sih lu? Marah-marah nggak jelas. Masih untung gue kasih tau mas Dava ada di sini.Balasan yang Hanum kirim kepada Nara. Sabil berdiri di depan cermin kamar mandi, Nara: Suruh mas Dava pulang! Hanum: Gue udah nyuruh dia pulang dari kemaren, tapi mas Dava nggak mau.Nara: Bohong! Pasti lu yang ngelarang mas Dava pulang.Hanum: Terserah lu mau percaya atau nggak deh.Nara: Gue ke rumah lu sekarang.Hanum: Silakan.Selesai berbalas pesan dengan Nara, Hanum berdiri sebentar di depan wastafel sambil mencuci tangan. Selesai mencuci tangan, barulah ia keluar dari k