Di dalam mobil dalam perjalanan pulang.Suasana hening melanda untuk beberapa menit.Anna tahu Aditya merasa kecewa, karena dirinya pergi dengan Dani.Anna mengeluarkan amplop coklat besar, dan menunjukkan pada Aditya."Ini, laporan keuangannya. Dani cuma membantu, karena biar nggak ada yang curiga kalau Dani mau kasih berkas ini, ya sudah, kita akhirnya buat janji ketemuan di luar tadi."Aditya hanya menoleh sebentar, tapi belum ada respon darinya.Anna melanjutkan lagi."Ehmm, dia yang pilih tempatnya dan aku minta pulang. Tadinya mau diajak melantai, tapi aku nggak mau karena nggak bisa dansa. Minta pulang, terus kamu datang."Karena gemetaran dan menahan rasa pusingnya, Anna berbicara tak terarah."Kamu pusing?" Aditya bereaksi setelah melihat Anna memejamkan mata."Habis minum apa?" tanyanya lagi."Non alcohol. Tapi, rasanya seperti kopi, jadi tadi kuhabisin," jawab Anna masih memegang keningnya."Itu pasti liqor, ada alcohol, walau dikit." Terang Aditya. "Nggak kapok di bohongin
"AAAA."Teriakan Anna segera saja mengagetkan Aditya, sehingga dia terbangun dengan tergagap."Anna. Ada apa kamu teriak?!" tanya Aditya tak percaya."Apa yang sudah aku rasakan barusan?" tanya Anna pada dirimya sendiri."Apa?""Pada..." Anna berusaha mengumpulkan nyawanya. "Ah, lupakan. Aku mandi dulu."Anna tiba-tiba saja buru-buru keluar dari kamar Aditya.Pria itu memandang Anna dengan keheranan."Kapan kamu akan mengerti Anna ... Anna." Ekspresi Aditya menegang kemerahan di wajah, juga menggeleng-gelengkan kepala, kadang tak mengerti bagaimana begitu polosnya Anna.Aditya lalu menghela napas dan menghembuskannya dengan menyembulkan pada mulutnya."Ngerti nggak sih, aku ini laki-laki sejati!"Aditya lalu menghempaskan tubuhnya pada kasur dan menutupnya dengan selimut dengan perasaan kesal.*Sesampai di kantor.Anna duduk terdiam di kursi kerjanya. Dia melihat ke arah meja kerja Vani yang terlihat dari ruangannya. Anna menunggu kalau saja Vani datang tergopoh-gopoh padanya dan mem
Seperti malam sebelumnya, baik Anna maupun Aditya hanya melakukan rutinitas tidur malam hanya dengan berpelukan saja. Meskipun hal itu membuat Aditya agak kesulitan karena harua berbesar hati untuk menahan diri untuk menghormati keinginan dan kesepakatan yang di inginkan oleh Anna, jadi Aditya memilih aman saja, menuruti keinginan Anna, asalkan bisa terus memeluk wanita yang sangat dia cintai ini.Pada keesokan harinya, selesai jam kantor."Kau sudah siap Anna?" Alan membuka pintu ruangan Anna tanpa mengetuk terlebih dulu."Iya Pak." Anna menjawab dengan tersenyum dan kemudian berjalan di samping Alan.Setelah sampai di lantai dasar."Aku ambil mobil dulu, kamu tunggu di luar lobby.""Baik Pak." Annapun menuruti perintah atasannya ini. Karena menurutnya akan lama untuk menuju ke arah luar lobby, jadi Anna berjalan santai saja."Hai sobatku, apa kau mau ke parkiran mobil juga?"Suara Alan yang sedang menyapa seseorang ini, membuat Anna menghentikan langkah dan membalikkan badannya.Ann
"Huff"Anna mengambil napas tipis dan melepasnya cepat, tak di ketahui Alan yang berjalan di sampingnya. Sebenarnya Anna gugup dengan keadaan yang akan di hadapi di depannya sekarang.Dengan kegugupan yang tidak di tampakkan, Anna berusaha bersikap sewajarnya saja."Hai, Anna." Sapa Vera, tersenyum lalu berdiri dan memeluk Anna sebentar. "Senang bertemu denganmu lagi." Pelukan hangat dari Vera ini dapat Anna rasakan, memanglah tulus. "Aku sudah banyak dengar soal hasil pekerjaanmu, dan sepertinya aku nggak salah memilihmu sebagai penggantiku." Vera menggenggam tangan Anna dan mengajak Anna duduk di sampingnya.Setelah duduk, Anna menoleh ke arah cowok yang beberapa hari lalu sudah hampir menjebaknya. Kalau saja Aditya tidak datang waktu itu, Anna tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi. Dani memang tampan, punya senyuman dan pesona memikat, tapi Dani benar-benar bukanlah tipe Anna."Hai, Dan." Anna masih berusaha bersikap sewajarnya saja.Dani terlihat merespon hanya dengan terse
"Lepaskaannn!"Anna terbangun, dia duduk dengan napas tersengal-sengal. Di kerjapkan matanya berulang kali, mencoba keluar dari alam bawah sadarnya, dari mimpi buruk yang menyergap hingga jantungnya jadi berdetak tak karuan."Anna! Kamu nggak apa-apa?" Suara ketukan pintu bersamaan dengan suara panggilan dadi Aditya baru membuat Anna kembali tersadar kalau dirinya tadi berteriak setelah mengalami mimpi buruk."Anna, buka pintunya!" Suara Aditya masih saja terdenger menyuruhnya membuka pintu, kali ini nadanya lebih keras. Tapi Anna masih belum sepenuhnya sadar dan punya kekuatan untuk beranjak ke arah pintu dan membukanya untuk Aditya. Anna hanya menatap pintu itu sambil mengatur napas.Anna mengambil napas panjang dan menghembuskan perlahan-lahan.Pelan-pelan Anna beringsut berniat turun dari tempat tidur, tapi terdengar suara anak kunci di putar dan pintu kamarnyapun terbuka. Anna jadi mengurungkan niatnya dan kembali naikkan kaki ke atas tempat tidur.Sosok Aditya beringsut terlihat
"Ramaa."Anna memanggil Rama yang sudah datang terlebih dahulu."Hi, Anna," sapa Rama pada Anna, kemudian pandangannya beralih pada laki-laki berbadan tegap dan berwajah dingin di belakang Anna. "Selamat pagi Pak," sapa Rama jug pada Aditya.Adityapun mengangguk. "Alan belum datang?" tanya Aditya kemudian."Saya belum bertemu dengan Pak Alan dimana-mana Pak," laporan Rama.Baru selesai Rama mengatakannya, yang di harapkan datang menyapa mereka."Hai, selamat pagi semua," sapa Alan dengan wajah sumringah."Baiklah, karena sudah datang semua kita segera ke dalam." Tanpa basa-basi lagi Aditya berinisiatif mengajak terlebih dulu.Selama bercakap dengan Alan, Aditya memperhatikan kalau temannya itu suasana hatinya sedang dalam good mood, banyak tertawa dan antusias setiap kali membahas suatu topik.Aditya hanya menanggapi dengan sewajarnya saja. Tapi, tatapan Aditya seringkali memandang tajam pada Alan, atau dengan kerutan alis khas milik wajah Aditya yang menandakan dia sedang berpikir ke
Setelah sesampainya di dalam kamar.Anna membantu Aditya merapikan lagi baju-baju yang sudah di persiapkan untuk beberapa acara."Harusnya aku juga membantu Pak Alan. Aku jadi nggak enak sama Pak Alan." Gerutu Anna, walau dengan suara yang sengaja di pelanin tapi Aditya sempat mendengarnya, sehingga wajah Aditya berubah cemberut."Kamu lebih mentingin siapa sih?" tanya Aditya ketus."Akukan kerja sama dia.""Aku juga memberi belanja bulanan lebih besar dari gajimu!" Aditya seolah tidak mau kalah."Lalu kenapa aku nggak boleh resign?" Tanya Anna dengan alis mengkerut. Pertanyaan yang masih sering mengganjal dari dalam hatinya."Jangan sekarang. Aku masih membutuhkanmu disana." Aditya menatap Anna dengan pandangan sayu. "Setelah aku rasa semua sudah selesai, kamu boleh resign, dan kamu akan jadi istriku seutuhnya." Janjinya pada Anna.Anna.menunduk dan melanjutkan aktifitasnya lagi."Iya, aku tahu.""Malam ini aku akan pergi menemui suami adik iparku. Ada beberapa hal yang harus aku uru
Setelah mandi, Anna melihat ponselnya. Baik Aditya, maupun Alan tidak ada dari keduanya ini yang menghubunginya. Lagipula, Aditya mengatakan bahwasannya dia sudah mengultimatum Alan agar tidak menganggunya malam ini.Anna memandang ke sekeliling kamar, rasa bosan melandanya. Kalau harus memikirkan pertengkaran dengan Aditya barusan akan semakin membuatnya kalut. Anna merasa tidak peduli apa pikiran Aditya lagi."Mau marah, mau nggak, terserah deh!" gumam Anna, seolah tak peduli tapi sebenarnya di dalam hati juga membayangkan kalau seandainya Aditya berada di kamar ini lagi, membawa bunga atau benda-benda pencetus suasana romantis lainnya sebagai permintaan maaf. "Kayaknya orang itu nggak mungkin berbuat romantis-romantis gitu deh," gumam Anna dengan lesu.Harapannya saat ini hanya Rama. Aditya bilang, dia akan menemui suami adik iparnya sendirian, tanpa Rama."Berarti Rama nggak ikut," cetus Anna senyum ceria.Anna berniat keluar kamar dan menemui Rama, mengajaknya sekedar jalan mengi
Perkataan Ivan mempunyai dua sisi baginya. Pertama, sebagai sanjungan pertama yang di dengarnya selama di rumah ibunya Aditya, yang kedua berkaitan dengan emosi Aditya, yang akan bertambah sinis pada Ivan.Anna menatap terang-terangan ke arah Aditya yang tercengang dengan ucapan Ivan.'Hei singa, tenanglah! Dia hanya memujiku, bukan mau merebutku!'Aditya bergerak, sedikit memundurkan letak duduknya, mengendalikan rasa tidak nyaman."Iya, tentu saja. Karena dia istriku," tegasnya tanpa ekspresi. Anna mengira Aditya memang tidak berniat menampakkan ekspresi apa-apa, hanya bersikap dingin seperti biasanya.Pandangan Ivan beralih pada Anna, dan langsung di balasnya dengan senyuman. Rasanya naif buat Anna kalau tidak tersenyum pada pria itu, karena dia benar-benar seperti cowboy Texas dengan garis wajah old westnya yang tampan."Anna, kamu bekerja di perusahaan bidang apa?" tanya Ivan berat dan dalam. Ivan merasa mendapat peluang mengambil alih pembicaraan, yang tadi hanya di isi percakap
Selama perjalanan menuju ke rumah Ivan. Masih saja terjadi adu argumentasi antara Anna dan Aditya. Hal yang masih mengganjal pada pikiran, selalu saja segera di ungkapkan. "Apa pentingnya kamu bertemu dengan Fita?" tanya Aditya seketika. Merasa heran, karena Anna terlihat sangat ingin melakukannya, bahkan seperti memaksakan diri. "Dia orang pertama yang menyadarkanku suatu hal," sahut Anna mencoba memberi jawaban masuk akal buat Aditya yang rasional person. Memang benar, selama di pesawat menuju ke tempat Aditya berada saat ini, Anna banyak mengobrol dengan wanita itu. Seornag wanita yang sudah menikah tiga kali dan kemudian menyadari kalau pernikahan tidak hanya sebuah skin to skin relationship, tapi juga pengorbanan. Pengorbanan yang tidak hanya satu, dua, tapi bisa mengorbankan banyak hal, dengan harapan mendapatkan imbalan yang manis, dan itulah yang ingin di dapatkan dalam sebuah pernikahan. "Apa itu?" sahut Aditya sangat ingin tahu. Anna menghela napas dalam-dalam sebelum
Anna menatap sebuah benda dalam jepitan kedua jarinya dengan perasaan campur aduk. Sebenarnya, Aditya yang berniat membuangnya, tapi karena rasa ingin tahunya lebih besar dari rasa jijiknya, jadi Anna ngotot minta dia saja yang membuangnya. "Owh, jadi begini?" ucapnya pelan, lalu segera di buang cepat-cepat ke tempat sampah. Tanpa di sadari, Aditya telah membuntutinya dari arah belakang. Laki-laki itu tertawa tak tertahankan. "Sekarang kamu tahukan?" candanya, masih dengan tawanya. Anna berlari kecil melewati Aditya, "Aku nggak mau tahu lagi!" balas Anna, kedua tangannya melambai, ekspresi wajahnya cemberut. Aditya menyeringai. "Nggak mau tahu, tapi dianya yang ngebet duluan!" Setelah membersihkan diri bersama, masih menggunakan handuk mantelnya, Anna berlari ke arah lemari dan memilih baju yang akan di kenakan nanti. "Kalau kamu nggak mau datang, tak apa, aku janjian sama Fita aja," seru Anna sesaat setelah berpakain dan sambil menyiapkan hair dryer, mengeringkan rambu
Anna kemudian turun dari mobil secara enggan dan perlahan. Bertemu anak-anak saudara ibu Aditya di jadikan Anna sebagai kamuflase rasa canggung yang masih di rasakannya ketika harus berhadapan dengan adik-adik dari mendiang ibu Aditya. Anna berusaha mengajak mereka mengobrol di selingi canda."Jadi, kalian akan pulang sekarang? Tante juga akan pulang besok," ucapnya memulai pembicaraan, berjongkok dengan satu kaki menekuk, juga menggandeng si kembar. Mereka berdualah yang paling syok saat dirinya teriak kala bersama Aditya menjalin pelukan di bawah selimut pagi itu."Tante sama Om nanti ke sini lagi, kan?" tanya Kiki."Tentu saja. Tante bahkan sekarang sudah tahu mana yang Kiki dan mana yang Koko, kalian di bedakan dari garis panjang seperti lesung pada pipi kiri saat tersenyum, yaitu padamu Koko." balas Anna, lalu beralih cepat ke arah Koko, dan anak itu tersenyum setelah di kejutkan Anna yang di lakukannya secara sengaja itu.Kiki lebih cerewet dan banyak tanya, sedang Koko lebih ba
Ketidaktahuan cerita yang sebenarnya, membuat Anna berusaha bijak. "Para singa berasal dari kumpulan yang sama, apa kau tega membiarkan kami para heyna betina kelaparan?" sahutnya dengan melingkarkan kedua tangannya pada lengan Aditya dengan manja, membuat Fita jadi terkekeh, Ronny dan Ivan yang menyaksikan juga jadi tersenyum. Urat syaraf pada kening Aditya berdenyut, dia berpikir sejenak menentukan apa jawabannya sebelun akhirnyapun menjawab. "Lebih baik kau siapkan tidak hanya satu daging, karena itu tidak cukup bagi seorang singa yang mudah marah," balas Aditya diplomatis, lalu dia menarik tangan Anna mengajaknya meninggalkan area pemakaman dan orang-orang yang di temui setelah berpamitan.Setelah keduanya berjalan menjauh, Adityapun melanjutkan isi dalam pikiran yang belum di utarakan semua. "Singa dan heyna tidak pernah akur. Lain kali, sepertinya aku harus berhati-hati dengan wanita yang menganggap dirinya heyna betina di sampingku ini, kalau tidak aku akan menerkamnya terleb
"Anna, aku nggak pake pengaman lagi." Suara lembut bisikan Aditya pada kuping Anna yang masih terlelap. Suaranya memang lembut tapi justru membuat Anna sontak terperanjat. Tak perlu mengumpulkan nyawa dulu untuk bangun, karena ucapan Aditya itu sudah cukup berfungsi sebagai alarm yang memekakkan telinga Anna. "Ke kamar mandi! Buang-buang!" pekik Anna. Matanya langsung terbuka lebar walaupun kesadaran belum sepenuhnya. Meski begitu, artikel yang pernah di bacanya di sebuah kolom khusus wanita itu, segera saja terlintas. Anna berlari ke kamar mandi, dan sibuk sendiri, sedang Aditya tertawa sambil menggelengkan kepala. "Sebegitunya. Anna Anna," sahut Aditya tak habis pikir. Selama Anna di dalam kamar mandi, ponsel miliknya bergetar. Aditya meraihnya yang di letakkan Anna serampangan dan di temukannya di samping bawah nakas. Dengan tubuh masih di dalam selimut, Aditya meraih dengan sedikit membungkuk. Di lihat sebuah nama kontak yang di kenalnya, tapi justru karena itu Aditya
"Apa kau tersinggung Anna?"Pertanyaan dari Fatma membuat Anna menurunkan pandangannya lagi karena merasa tak enak. "Eh, hanya ingin mencoba jawab saja," tusukan kecil buat Anna, tapi bagaimanapun juga dia merasa sudah terlanjur mengatakannya, jadi Anna berusaha bersikap biasa saja.Anna melirik ke arah Aditya, merasa cemas karena laki-laki itu belum memberi reaksi, tidak berniat membela atau semacamnya. Aditya bahkan tidak membalas tatapannya.Tapi, meskipun tak menatap secara langsung, ternyata Aditya tersenyum dan beberapa detik kemudian baru membalas memandangnya dengan sayu. Rasanya jantung Anna berdetak seperti saat pertemuan pertama mereka saja."Aku benar-benar mencintai Anna. Memang kami belum lama berkenalan, aku sadar itu, tapi aku sangat mencintainya. Dia partner bisnis dan juga hidupku sekarang," reaksi Aditya yang benar-benar Anna harapkan terjadi.Senyuman lebarpun tak dapat Anna sembunyikan.Sejenak Anna menjadi pusat perhatian, semua mata tertuju padanya."Ehmm, aku r
'Berhentilah menatapku seperti itu. Kamu tahu, aku benci harus mengatakannya, tapi semua ini benar adanya. Sebenarnya, meski nggak aku akui secara jujur padamu, kehadiranmu lebih indah dari integritas ambisi dan mimpiku selama ini.'Anna membatin sambil melirik lagi ke Aditya yang sedang mengemudi dengan bersiul riang. Berbanding terbalik dengan perasaannya saat ini. Integritas mimpi dan ambisi yang belum sepenuhnya terwujud, masih mambuatnya galau.Memang benar, Aditya tidak pernah memaksa secara fisik atau kata-kata kalau mengenai pernikahan yang ingin Anna sembunyikan, tapi justru argumen-argumen kecilnya selalu masuk di akal dan membuat Anna berpikir, yah, masih dalam proses berpikir.Masalahnya, Anna masih menjadi penganut setia ajaran stashing, yaitu orang yang berakting seperti seorang lajang, padahal sebenarnya sudah memiliki pasangan karena alasan-alasan yang rasional. Rasionalitas menurut Anna tentunya."Apa kau sudah putuskan?" tanya Aditya di sela-sela fokus menyetirnya, b
'Kenapa aku jadi suka berpikir yang berlebihan ya?' Senyuman Aditya, tidak ... semua yang ada pada laki-laki itu, membuat Anna jadi seperti kehilangan akal sehat. Anna merasa selalu ada keinginan untuk menjalin malam berdua lagi dengannya. Bahkan sekarang, keinginan itu tanpa ragu lagi terang-terangan akan dia perlihatkan. Anna yakin saja, kalau tidak akan mendapat penolakan dari Aditya. "Jawab dong, nanti aku dapat lagi, nggak?" tanya Aditya manja. Anna menatap Aditya dengan suara parau, "Mas, apa perlu melakukannya sesering mungkin ya?" tanya Anna polos. Keingintahuan Anna karena hal seperti itu tak pernah terpikir olehnya. Aditya tertawa keras, tawa yang baru pertama kali Anna melihatnya pada laki-laki itu. "Kau lucu Anna. Kita ini pasangan yang sudah menikah Kalau surat nikah kita sudah aku daftarkan, aku ingin membuat rencana bulan madu, oh tidak aku rasa ... tidak perlu di rencanakan. Lebih indah kalau dadakan." Aditya terus merandai-andai, hingga rasanya Anna ingin menget