Setelah sesampainya di dalam kamar.Anna membantu Aditya merapikan lagi baju-baju yang sudah di persiapkan untuk beberapa acara."Harusnya aku juga membantu Pak Alan. Aku jadi nggak enak sama Pak Alan." Gerutu Anna, walau dengan suara yang sengaja di pelanin tapi Aditya sempat mendengarnya, sehingga wajah Aditya berubah cemberut."Kamu lebih mentingin siapa sih?" tanya Aditya ketus."Akukan kerja sama dia.""Aku juga memberi belanja bulanan lebih besar dari gajimu!" Aditya seolah tidak mau kalah."Lalu kenapa aku nggak boleh resign?" Tanya Anna dengan alis mengkerut. Pertanyaan yang masih sering mengganjal dari dalam hatinya."Jangan sekarang. Aku masih membutuhkanmu disana." Aditya menatap Anna dengan pandangan sayu. "Setelah aku rasa semua sudah selesai, kamu boleh resign, dan kamu akan jadi istriku seutuhnya." Janjinya pada Anna.Anna.menunduk dan melanjutkan aktifitasnya lagi."Iya, aku tahu.""Malam ini aku akan pergi menemui suami adik iparku. Ada beberapa hal yang harus aku uru
Setelah mandi, Anna melihat ponselnya. Baik Aditya, maupun Alan tidak ada dari keduanya ini yang menghubunginya. Lagipula, Aditya mengatakan bahwasannya dia sudah mengultimatum Alan agar tidak menganggunya malam ini.Anna memandang ke sekeliling kamar, rasa bosan melandanya. Kalau harus memikirkan pertengkaran dengan Aditya barusan akan semakin membuatnya kalut. Anna merasa tidak peduli apa pikiran Aditya lagi."Mau marah, mau nggak, terserah deh!" gumam Anna, seolah tak peduli tapi sebenarnya di dalam hati juga membayangkan kalau seandainya Aditya berada di kamar ini lagi, membawa bunga atau benda-benda pencetus suasana romantis lainnya sebagai permintaan maaf. "Kayaknya orang itu nggak mungkin berbuat romantis-romantis gitu deh," gumam Anna dengan lesu.Harapannya saat ini hanya Rama. Aditya bilang, dia akan menemui suami adik iparnya sendirian, tanpa Rama."Berarti Rama nggak ikut," cetus Anna senyum ceria.Anna berniat keluar kamar dan menemui Rama, mengajaknya sekedar jalan mengi
2. Ego dan realistis"Maaf? Sayang?"Aditya masih saja bengong dengan sikap Anna saat ini. Meamang bukan pertama kalinya Anna mengatakan katanitu, tapi Aditya keheranan karena Anna mengatakannya sambil menangis."Are you okay?" tanya Aditya kemudian dengan salah satu alisnya terangkat."Iya, nggak apa-apa." Jawab Anna masih saja menangis sambil menunduk. "Aku minta maaf, Mas. Kalau misalkan kata-kataku ada yang menyinggungmu," tambah Anna.Aditya tersenyum geli, tapi di biarkan saja Anna berdiri seperti murid di hukum."Lalu, kenapa pake menangis?" tanya Aditya masih keheranan.Anna berangsur menhapus air matanya, tapi masih sesenggukan."Aku kira ... kamu tersinggung dan marah."Aditya turun dari tempat tidur melewati Anna, menuju ke jendela kaca besar kamar hotel. Dia menerawang, kedua tangannya di masukkan ke dalam kantung celana. Setiap merasakan hal yang terus mengganggu pikirannya, Aditya selalu melakukan hal itu. Tak ada respon darinya walau jelas-jelas melihat Anna menangis. B
Drettt! Drettt!Terdengar suara ponsel bergetar, ponsel milik Aditya."Biarkan saja," gerutuan kesal Aditya karena terganggu. Diapun kembali melancarkan aksinya lagi, tapi kemudian di urungkan, karena panggilan pada ponselnya itu terus berbunyi, membuat konsentrasinya pecah. Dengan raut wajah cemberut dia berjalan ke arah ponselnya berada, di nakas dekat tempatnya duduk tadi, sambil menggerutu."Kalau ini Rama, langsung aku pecat dia!"Anna yang mendengarnya jadi tertawa geli.Aditya meraih ponsel, namun kini wajahnya berubah tegang. Dia mengangkat sambil menatap Anna."Iya, Jessi?"Ternyata Jessica, istrinya.Tawaan Anna seketika itu juga berubah jadi ketakutan tersendiri."Ehmm ... apa nggak terlalu malam?"Aditya melihat jam tangannya. "Baiklah, kalau itu maumu. Tunggu dulu ya."Wajah Anna jadi ikutan tegang."Nggak usah, aku saja yang menemuimu."Aditya lalu menutup telpon."Apa tadi ... " tanya Anna tergagap."Iya. Barusan telpon ini Jessica. Dia ingin menemuiku. Dia ... sudah di
3. PertemuanSuasana hening tercipta untuk beberapa detik lamanya.Aditya menatap Anna dengan tersenyum tipis. Tak di sangka, gadis yang kini telah jadi istrinya itu berani mengatakan secara to the point apa yang menjadi penghalang hubungan mereka berdua. Begitu juga Jessica, seolah tersentak dengan keberanian Anna mengutarakan apa yang ada di pikirannya. Penilaian Jessica tentang Anna sebagai gadis penurut dan hanya berani berdiri di belakang Aditya saja jadi berubah. Jessica mulai menganggap Anna tidak bisa di remehkan begitu saja."Maafkan aku Jessica. Kalau menilai mana yang paling realistis adalah dengan mencoba memposisikan diri sebagai orang lain, orang yang sedang kau hadapi. Kita berdua wanita yang sama-sama mencintai seorang laki-laki. Kalaupun laki-laki itu lebih memilihmu, aku dengan sadar akan mundur. Sejak dari awalpun aku sudah menyadari dan selalu melakukannya. Tapi ..."Anna menunduk setelah menatap Jessica, dia merasa sangat sulit mengatakannya untuk kalimat selanjut
Anna memandang Aditya dengan sikap dingin dan tatapan sinis."Apa nggak ada alasan lain? Enak saja suruh-suruh orang lakuin yang dia mau. Lalu, apa konsekuensinya kalau kamu membuat pengakuan seperti itu ke ayah mertuamu?" rasa ingin tahu Anna jadi semakin besar.Aditya menghela napas terlebih dahulu sebelum berucap. "Jessica bilang, justru ayahnya menyalahkan dirinya.""Kenapa? Kok bisa begitu?" tanya Anna penasaran."Walaupun Jessica anak sulung, tapi belum bisa di andalkan mewarisi bisnis keluarganya. Itu salah alasan yang aku tahu meskipun Jessica tidak secara terang-terangan mengatakannya.""Terus?" Pertanyaan Anna kali ini lebih lembut karena dia jadi merasa iba lagi pada Jessica."Bagaimana kalau misalkan dirimu selalu di anggap jadi pecundang terus?" Jawaban Aditya lebih kepada sebuah pertanyaan. Anna menelan ludahnya."Aku ... tentunya nggak mau di katakan sebagai pecundang terus.""Iya. Seperti itulah posisi Jessica saat ini." Aditya menerawang sebentar memikirkan apa yang d
"Kamu mau ngapain, Mas?" pertanyaan berkesan kekagetan.Keluar dari kamar mandi, Aditya hanya mengenakan handuk hotel, Anna yang menyiapkan baju untuknya jadi kaget karena laki-laki itu berniat membuka handuknya."Ganti baju. Memang kenapa?"Semalam, seperti biasanya, Anna hanya memperbolehkan Aditya menciumnya saja, tidak lebih. Tidur hanya berpelukan. Anna masih ketakutan akan kehadiran anak, dan Aditya tidak mempermasalahkanyya."Kenapa disini?" tanya Anna, menatap membeku terutama ke bagian handuk Aditya yang masih melingkar di pinggang."Lha terus? Masa di luar sih?!" Aditya menjawab dengan emosi."Kenapa nggak di kamar mandi?" Anna menyampaikn solusi, tapi buat Aditya bukanlah hal penting."Suka-suka aku lha!"Kalau Aditya sudah berbicara bernada seperti itu, Annapun nggak mampu menyanggah. Akhirnya, Anna yang mengalah. Dia mengambil baju ganti dan bergegas, cepat-cepat berjalan ke arah kamar mandi.*Sewaktu Aditya dan Anna keluar dari kamar. Ternyata Rama sudah menunggu di dep
"Sebagai akhir sambutan saya kali ini. Saya sampaikan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberi bantuan kepada kami, baik itu berupa tenaga, pikiran maupun sumbangan dana demi berdirinya yayasan ini, yang merupakan impian saya sejak lama. Terima kasih. Selamat malam."Tepukan menggema seketika setelah Aditya menyampaikan akhir kata sambutan pada ruangan yang meja setnya di tata berbentuk huruf U, dan panggung berada di tengah depan sebagai centre viewnya.Setelah bertepuk tangan, para undangan kembali duduk, sehingga baik Aditya bisa melihat Anna lebih jelas walau cahaya temaram lampu berwarana ungu dengan dekorasi dominan warna ungu juga. Gadis itu masih berdiri di pojok bersama Rama.Turun dari podium, Aditya melepaskan tangan Jessica yang kembali melingkar pada tangannya setelah menyampaikan sambutan tadi. Mereka berdua melakukan ramah tamah kembali sebagai tuan rumah.Sedang di pojok ruangan, dua orang sedang membincangkan nasib mereka berdua."An, aku lapar. Kita
Perkataan Ivan mempunyai dua sisi baginya. Pertama, sebagai sanjungan pertama yang di dengarnya selama di rumah ibunya Aditya, yang kedua berkaitan dengan emosi Aditya, yang akan bertambah sinis pada Ivan.Anna menatap terang-terangan ke arah Aditya yang tercengang dengan ucapan Ivan.'Hei singa, tenanglah! Dia hanya memujiku, bukan mau merebutku!'Aditya bergerak, sedikit memundurkan letak duduknya, mengendalikan rasa tidak nyaman."Iya, tentu saja. Karena dia istriku," tegasnya tanpa ekspresi. Anna mengira Aditya memang tidak berniat menampakkan ekspresi apa-apa, hanya bersikap dingin seperti biasanya.Pandangan Ivan beralih pada Anna, dan langsung di balasnya dengan senyuman. Rasanya naif buat Anna kalau tidak tersenyum pada pria itu, karena dia benar-benar seperti cowboy Texas dengan garis wajah old westnya yang tampan."Anna, kamu bekerja di perusahaan bidang apa?" tanya Ivan berat dan dalam. Ivan merasa mendapat peluang mengambil alih pembicaraan, yang tadi hanya di isi percakap
Selama perjalanan menuju ke rumah Ivan. Masih saja terjadi adu argumentasi antara Anna dan Aditya. Hal yang masih mengganjal pada pikiran, selalu saja segera di ungkapkan. "Apa pentingnya kamu bertemu dengan Fita?" tanya Aditya seketika. Merasa heran, karena Anna terlihat sangat ingin melakukannya, bahkan seperti memaksakan diri. "Dia orang pertama yang menyadarkanku suatu hal," sahut Anna mencoba memberi jawaban masuk akal buat Aditya yang rasional person. Memang benar, selama di pesawat menuju ke tempat Aditya berada saat ini, Anna banyak mengobrol dengan wanita itu. Seornag wanita yang sudah menikah tiga kali dan kemudian menyadari kalau pernikahan tidak hanya sebuah skin to skin relationship, tapi juga pengorbanan. Pengorbanan yang tidak hanya satu, dua, tapi bisa mengorbankan banyak hal, dengan harapan mendapatkan imbalan yang manis, dan itulah yang ingin di dapatkan dalam sebuah pernikahan. "Apa itu?" sahut Aditya sangat ingin tahu. Anna menghela napas dalam-dalam sebelum
Anna menatap sebuah benda dalam jepitan kedua jarinya dengan perasaan campur aduk. Sebenarnya, Aditya yang berniat membuangnya, tapi karena rasa ingin tahunya lebih besar dari rasa jijiknya, jadi Anna ngotot minta dia saja yang membuangnya. "Owh, jadi begini?" ucapnya pelan, lalu segera di buang cepat-cepat ke tempat sampah. Tanpa di sadari, Aditya telah membuntutinya dari arah belakang. Laki-laki itu tertawa tak tertahankan. "Sekarang kamu tahukan?" candanya, masih dengan tawanya. Anna berlari kecil melewati Aditya, "Aku nggak mau tahu lagi!" balas Anna, kedua tangannya melambai, ekspresi wajahnya cemberut. Aditya menyeringai. "Nggak mau tahu, tapi dianya yang ngebet duluan!" Setelah membersihkan diri bersama, masih menggunakan handuk mantelnya, Anna berlari ke arah lemari dan memilih baju yang akan di kenakan nanti. "Kalau kamu nggak mau datang, tak apa, aku janjian sama Fita aja," seru Anna sesaat setelah berpakain dan sambil menyiapkan hair dryer, mengeringkan rambu
Anna kemudian turun dari mobil secara enggan dan perlahan. Bertemu anak-anak saudara ibu Aditya di jadikan Anna sebagai kamuflase rasa canggung yang masih di rasakannya ketika harus berhadapan dengan adik-adik dari mendiang ibu Aditya. Anna berusaha mengajak mereka mengobrol di selingi canda."Jadi, kalian akan pulang sekarang? Tante juga akan pulang besok," ucapnya memulai pembicaraan, berjongkok dengan satu kaki menekuk, juga menggandeng si kembar. Mereka berdualah yang paling syok saat dirinya teriak kala bersama Aditya menjalin pelukan di bawah selimut pagi itu."Tante sama Om nanti ke sini lagi, kan?" tanya Kiki."Tentu saja. Tante bahkan sekarang sudah tahu mana yang Kiki dan mana yang Koko, kalian di bedakan dari garis panjang seperti lesung pada pipi kiri saat tersenyum, yaitu padamu Koko." balas Anna, lalu beralih cepat ke arah Koko, dan anak itu tersenyum setelah di kejutkan Anna yang di lakukannya secara sengaja itu.Kiki lebih cerewet dan banyak tanya, sedang Koko lebih ba
Ketidaktahuan cerita yang sebenarnya, membuat Anna berusaha bijak. "Para singa berasal dari kumpulan yang sama, apa kau tega membiarkan kami para heyna betina kelaparan?" sahutnya dengan melingkarkan kedua tangannya pada lengan Aditya dengan manja, membuat Fita jadi terkekeh, Ronny dan Ivan yang menyaksikan juga jadi tersenyum. Urat syaraf pada kening Aditya berdenyut, dia berpikir sejenak menentukan apa jawabannya sebelun akhirnyapun menjawab. "Lebih baik kau siapkan tidak hanya satu daging, karena itu tidak cukup bagi seorang singa yang mudah marah," balas Aditya diplomatis, lalu dia menarik tangan Anna mengajaknya meninggalkan area pemakaman dan orang-orang yang di temui setelah berpamitan.Setelah keduanya berjalan menjauh, Adityapun melanjutkan isi dalam pikiran yang belum di utarakan semua. "Singa dan heyna tidak pernah akur. Lain kali, sepertinya aku harus berhati-hati dengan wanita yang menganggap dirinya heyna betina di sampingku ini, kalau tidak aku akan menerkamnya terleb
"Anna, aku nggak pake pengaman lagi." Suara lembut bisikan Aditya pada kuping Anna yang masih terlelap. Suaranya memang lembut tapi justru membuat Anna sontak terperanjat. Tak perlu mengumpulkan nyawa dulu untuk bangun, karena ucapan Aditya itu sudah cukup berfungsi sebagai alarm yang memekakkan telinga Anna. "Ke kamar mandi! Buang-buang!" pekik Anna. Matanya langsung terbuka lebar walaupun kesadaran belum sepenuhnya. Meski begitu, artikel yang pernah di bacanya di sebuah kolom khusus wanita itu, segera saja terlintas. Anna berlari ke kamar mandi, dan sibuk sendiri, sedang Aditya tertawa sambil menggelengkan kepala. "Sebegitunya. Anna Anna," sahut Aditya tak habis pikir. Selama Anna di dalam kamar mandi, ponsel miliknya bergetar. Aditya meraihnya yang di letakkan Anna serampangan dan di temukannya di samping bawah nakas. Dengan tubuh masih di dalam selimut, Aditya meraih dengan sedikit membungkuk. Di lihat sebuah nama kontak yang di kenalnya, tapi justru karena itu Aditya
"Apa kau tersinggung Anna?"Pertanyaan dari Fatma membuat Anna menurunkan pandangannya lagi karena merasa tak enak. "Eh, hanya ingin mencoba jawab saja," tusukan kecil buat Anna, tapi bagaimanapun juga dia merasa sudah terlanjur mengatakannya, jadi Anna berusaha bersikap biasa saja.Anna melirik ke arah Aditya, merasa cemas karena laki-laki itu belum memberi reaksi, tidak berniat membela atau semacamnya. Aditya bahkan tidak membalas tatapannya.Tapi, meskipun tak menatap secara langsung, ternyata Aditya tersenyum dan beberapa detik kemudian baru membalas memandangnya dengan sayu. Rasanya jantung Anna berdetak seperti saat pertemuan pertama mereka saja."Aku benar-benar mencintai Anna. Memang kami belum lama berkenalan, aku sadar itu, tapi aku sangat mencintainya. Dia partner bisnis dan juga hidupku sekarang," reaksi Aditya yang benar-benar Anna harapkan terjadi.Senyuman lebarpun tak dapat Anna sembunyikan.Sejenak Anna menjadi pusat perhatian, semua mata tertuju padanya."Ehmm, aku r
'Berhentilah menatapku seperti itu. Kamu tahu, aku benci harus mengatakannya, tapi semua ini benar adanya. Sebenarnya, meski nggak aku akui secara jujur padamu, kehadiranmu lebih indah dari integritas ambisi dan mimpiku selama ini.'Anna membatin sambil melirik lagi ke Aditya yang sedang mengemudi dengan bersiul riang. Berbanding terbalik dengan perasaannya saat ini. Integritas mimpi dan ambisi yang belum sepenuhnya terwujud, masih mambuatnya galau.Memang benar, Aditya tidak pernah memaksa secara fisik atau kata-kata kalau mengenai pernikahan yang ingin Anna sembunyikan, tapi justru argumen-argumen kecilnya selalu masuk di akal dan membuat Anna berpikir, yah, masih dalam proses berpikir.Masalahnya, Anna masih menjadi penganut setia ajaran stashing, yaitu orang yang berakting seperti seorang lajang, padahal sebenarnya sudah memiliki pasangan karena alasan-alasan yang rasional. Rasionalitas menurut Anna tentunya."Apa kau sudah putuskan?" tanya Aditya di sela-sela fokus menyetirnya, b
'Kenapa aku jadi suka berpikir yang berlebihan ya?' Senyuman Aditya, tidak ... semua yang ada pada laki-laki itu, membuat Anna jadi seperti kehilangan akal sehat. Anna merasa selalu ada keinginan untuk menjalin malam berdua lagi dengannya. Bahkan sekarang, keinginan itu tanpa ragu lagi terang-terangan akan dia perlihatkan. Anna yakin saja, kalau tidak akan mendapat penolakan dari Aditya. "Jawab dong, nanti aku dapat lagi, nggak?" tanya Aditya manja. Anna menatap Aditya dengan suara parau, "Mas, apa perlu melakukannya sesering mungkin ya?" tanya Anna polos. Keingintahuan Anna karena hal seperti itu tak pernah terpikir olehnya. Aditya tertawa keras, tawa yang baru pertama kali Anna melihatnya pada laki-laki itu. "Kau lucu Anna. Kita ini pasangan yang sudah menikah Kalau surat nikah kita sudah aku daftarkan, aku ingin membuat rencana bulan madu, oh tidak aku rasa ... tidak perlu di rencanakan. Lebih indah kalau dadakan." Aditya terus merandai-andai, hingga rasanya Anna ingin menget