Anna memandang Aditya dengan sikap dingin dan tatapan sinis."Apa nggak ada alasan lain? Enak saja suruh-suruh orang lakuin yang dia mau. Lalu, apa konsekuensinya kalau kamu membuat pengakuan seperti itu ke ayah mertuamu?" rasa ingin tahu Anna jadi semakin besar.Aditya menghela napas terlebih dahulu sebelum berucap. "Jessica bilang, justru ayahnya menyalahkan dirinya.""Kenapa? Kok bisa begitu?" tanya Anna penasaran."Walaupun Jessica anak sulung, tapi belum bisa di andalkan mewarisi bisnis keluarganya. Itu salah alasan yang aku tahu meskipun Jessica tidak secara terang-terangan mengatakannya.""Terus?" Pertanyaan Anna kali ini lebih lembut karena dia jadi merasa iba lagi pada Jessica."Bagaimana kalau misalkan dirimu selalu di anggap jadi pecundang terus?" Jawaban Aditya lebih kepada sebuah pertanyaan. Anna menelan ludahnya."Aku ... tentunya nggak mau di katakan sebagai pecundang terus.""Iya. Seperti itulah posisi Jessica saat ini." Aditya menerawang sebentar memikirkan apa yang d
"Kamu mau ngapain, Mas?" pertanyaan berkesan kekagetan.Keluar dari kamar mandi, Aditya hanya mengenakan handuk hotel, Anna yang menyiapkan baju untuknya jadi kaget karena laki-laki itu berniat membuka handuknya."Ganti baju. Memang kenapa?"Semalam, seperti biasanya, Anna hanya memperbolehkan Aditya menciumnya saja, tidak lebih. Tidur hanya berpelukan. Anna masih ketakutan akan kehadiran anak, dan Aditya tidak mempermasalahkanyya."Kenapa disini?" tanya Anna, menatap membeku terutama ke bagian handuk Aditya yang masih melingkar di pinggang."Lha terus? Masa di luar sih?!" Aditya menjawab dengan emosi."Kenapa nggak di kamar mandi?" Anna menyampaikn solusi, tapi buat Aditya bukanlah hal penting."Suka-suka aku lha!"Kalau Aditya sudah berbicara bernada seperti itu, Annapun nggak mampu menyanggah. Akhirnya, Anna yang mengalah. Dia mengambil baju ganti dan bergegas, cepat-cepat berjalan ke arah kamar mandi.*Sewaktu Aditya dan Anna keluar dari kamar. Ternyata Rama sudah menunggu di dep
"Sebagai akhir sambutan saya kali ini. Saya sampaikan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberi bantuan kepada kami, baik itu berupa tenaga, pikiran maupun sumbangan dana demi berdirinya yayasan ini, yang merupakan impian saya sejak lama. Terima kasih. Selamat malam."Tepukan menggema seketika setelah Aditya menyampaikan akhir kata sambutan pada ruangan yang meja setnya di tata berbentuk huruf U, dan panggung berada di tengah depan sebagai centre viewnya.Setelah bertepuk tangan, para undangan kembali duduk, sehingga baik Aditya bisa melihat Anna lebih jelas walau cahaya temaram lampu berwarana ungu dengan dekorasi dominan warna ungu juga. Gadis itu masih berdiri di pojok bersama Rama.Turun dari podium, Aditya melepaskan tangan Jessica yang kembali melingkar pada tangannya setelah menyampaikan sambutan tadi. Mereka berdua melakukan ramah tamah kembali sebagai tuan rumah.Sedang di pojok ruangan, dua orang sedang membincangkan nasib mereka berdua."An, aku lapar. Kita
Semua mata di meja bundar itu bersamaan menatap ke arah Aditya. Tapi, laki-laki itu seolah tak peduli pada apa tanggapan dari masing-masing pikiran orang yang mendengar perkataannya barusan.Aditya lalu berdiri, berjalan mendekati kursi temannya, Ray."Permisi Ray, aku tuker tempat duduk."Ray yang menatapnya kemudian kepada Anna, baru setelahnya berpindah tempat duduk di kursi kosong sebelah Alan, yang semula di tempati Allisa. Sedangkan Rama, mencari tempat duduk lain di sebelah meja mereka yang sedang kosong, menarik kursi tersebut dan di tempatkan agak ke belakang dekat kursi Aditya.Ray, Bob, dan Alan saling berpandangan, sedangkan Anna bukan tidak menunduk, tapi hanya tatapan bola matanya saja yang menunduk memperhatikan kemana Aditya bergerak lewat ujung matanya, hingga terlihat duduk di sampingnya. Degup jantung Anna lebih tidak karuan lagi. Menahan perasaan di kelilingi tiga laki-laki yang membuatnya seperti terpojok seolah membuatnya jadi orang yang menyedihkan. Kini, Aditya
"Kemana kita akan pergi, Pak?" Dengan masih mengenakan baju dan dandanan acara malam, Anna duduk di sebelah Alan di sebuah Taxi online. "Karena sudah malam, aku buat janji di hotel tempat kita menginap saja. Jadi, kalau tadi Aditya terlalu khawatir berlebihan aku kira sangat menggelikan. Aditya sekarang jadi seperti monster. Dia jadi terlalu overprotecting padamu Anna." Anna tersenyum menanggapi opini alasannya itu. Dia mencoba untuk tidak terprovokasi perkataan Alan. "Mungkin Mas Aditya dalam kondisi tertekan akhir-akhir ini Pak. Banyak pekerjaan kantor yang harus di kerjakan, dan juga beban pikiran masalah pribadinya." Alan menggeser posisi duduk lebih dekat ke Anna. "Asal kau tahu Anna, tadi aku sempet berbincaag dengan Jessica." Annapun jadi tertarik. "Lalu, bagaimana tanggapannya Pak?" Alan mengerucutkan bibirnya. "Tentu saja dia juga tertekan, semua orang membicarakannya. Keadaan lebih sulit pada Jessica daripada dirimu Anna." Penekanan pada namanya membuat hati Anna
"Ayo Anna, sudah jam 9, waktu kita nggak banyak." Alan mengingatkan lagi waktu yang terus berlari, begitu juga debaran irama jantung Anna yang ikut berlari.Di tempat yang sama, restoran di lantai dasar hotel, tempat dia menemui Jessica, dan sekarang ayahnya.Sebelum mendekati pria dengan julukan si tangan besi dalam keluarga, Anna mencoba mengafeksi karakter orang yang akan di temuinya.Pria telah lewat paruh baya, mempunyai mata sipit, kulit putih, bibir kecil mengerucut, walau bentuk mukanya mirip Jessica tapi yang membedakan adalah rahang kuat yang di miliki ayahnya. Warna putih sudah mulai semburat pada rambutnya. Kesan kharismatik sekaligus menakutkan terlihat jelas pada pribadinya. Walaupun demikian, garis-garis ketampanan sewaktu muda masih tampak pada wajahnya itu. Dialah Robert Soeryadjaya, sudah hampir 35 tahun berpengalaman di dunia konstruksi dengan keterlibatannya dalam beberapa properti terkemuka dan usaha keuangan.Ayah Jessica duduk sendirian tanpa di temani sekretari
"Bersabarlah." Dengan mata berbinar, Anna melingkarkan dengan lembut kedua tangannya pada area belakang leher Aditya. "Semua akan indah pada waktunya," hibur Anna. Tubuh Anna terasa lemas saat Aditya menindihnya. Napasnya tertahan karena rasa sakit dalam hati. Keinginan memberi kebahagiaan kepada Aditya, yang telah menjadi suaminya itu harus terus di tunda karena sebuah konsistensi pada keyakinan diri yang masih di pegang Anna hingga detik ini. Jemari Anna terangkat, menyentuh bibir Aditya yang terasa kering dan panas. "Aku ingin kita melakukannya nanti, setelah semua selesai." "Kapan itu?" tuntutan Aditya menanyakan dengan manja dan nada putus asa, seperti anak kecil menagih janji pada ibunya kapan akan di belikan permen lollypop warna-warni yang manis. Sekarang Anna membelai rambut Aditya, berharap bisa membuat laki-laki itu mengerti. "Aku ingin benar-benar merasakan kebahagiaan sejati. Hanya kita berdua. Tidak ada drama atau menyakiti siapa saja." "Aku bisa pakai pengama
Terdengar suara televisi menyala.Anna merasa lega, karena Aditya sepertinya nggak berniat mengikutinya.Anna belum ingin membahas semua soal rencana Alan. Saat ini Anna seperti sudah mulai pintar mana saja yang akan informasikan ke Aditya dan mana yang belum saatnya. Anna menyeringai, matanya menyipit, sambil menggumam."Tidak juga untuk yang satu itu Mas!"*Pagi di ke esokan harinya. Anna menyisir rambut saat terdengar suara kran shower terdengar, Aditya masih mandi pikirnya.Pagi ini, seharusnya Anna sudah berada di pesawat, di penerbangan paginya kembali pulang. Tapi, karena Aditya menginginkan dirinya ikut menemui ayah mertuanya, jadi rencanaawal harus di cancel dan dia ikut pulang malam harinya bersama Aditya.Anna tidak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan Robert Soeryadjaya untuk yang kedua kalinya dengan topik bahasan berbeda.Anna menatap pantulan dirinya di depan cermin sambil terus menyisir rambutnya. Anna mencoba memotivasi diri sendiri."Semua sudah berjalan sejauh
Perkataan Ivan mempunyai dua sisi baginya. Pertama, sebagai sanjungan pertama yang di dengarnya selama di rumah ibunya Aditya, yang kedua berkaitan dengan emosi Aditya, yang akan bertambah sinis pada Ivan.Anna menatap terang-terangan ke arah Aditya yang tercengang dengan ucapan Ivan.'Hei singa, tenanglah! Dia hanya memujiku, bukan mau merebutku!'Aditya bergerak, sedikit memundurkan letak duduknya, mengendalikan rasa tidak nyaman."Iya, tentu saja. Karena dia istriku," tegasnya tanpa ekspresi. Anna mengira Aditya memang tidak berniat menampakkan ekspresi apa-apa, hanya bersikap dingin seperti biasanya.Pandangan Ivan beralih pada Anna, dan langsung di balasnya dengan senyuman. Rasanya naif buat Anna kalau tidak tersenyum pada pria itu, karena dia benar-benar seperti cowboy Texas dengan garis wajah old westnya yang tampan."Anna, kamu bekerja di perusahaan bidang apa?" tanya Ivan berat dan dalam. Ivan merasa mendapat peluang mengambil alih pembicaraan, yang tadi hanya di isi percakap
Selama perjalanan menuju ke rumah Ivan. Masih saja terjadi adu argumentasi antara Anna dan Aditya. Hal yang masih mengganjal pada pikiran, selalu saja segera di ungkapkan. "Apa pentingnya kamu bertemu dengan Fita?" tanya Aditya seketika. Merasa heran, karena Anna terlihat sangat ingin melakukannya, bahkan seperti memaksakan diri. "Dia orang pertama yang menyadarkanku suatu hal," sahut Anna mencoba memberi jawaban masuk akal buat Aditya yang rasional person. Memang benar, selama di pesawat menuju ke tempat Aditya berada saat ini, Anna banyak mengobrol dengan wanita itu. Seornag wanita yang sudah menikah tiga kali dan kemudian menyadari kalau pernikahan tidak hanya sebuah skin to skin relationship, tapi juga pengorbanan. Pengorbanan yang tidak hanya satu, dua, tapi bisa mengorbankan banyak hal, dengan harapan mendapatkan imbalan yang manis, dan itulah yang ingin di dapatkan dalam sebuah pernikahan. "Apa itu?" sahut Aditya sangat ingin tahu. Anna menghela napas dalam-dalam sebelum
Anna menatap sebuah benda dalam jepitan kedua jarinya dengan perasaan campur aduk. Sebenarnya, Aditya yang berniat membuangnya, tapi karena rasa ingin tahunya lebih besar dari rasa jijiknya, jadi Anna ngotot minta dia saja yang membuangnya. "Owh, jadi begini?" ucapnya pelan, lalu segera di buang cepat-cepat ke tempat sampah. Tanpa di sadari, Aditya telah membuntutinya dari arah belakang. Laki-laki itu tertawa tak tertahankan. "Sekarang kamu tahukan?" candanya, masih dengan tawanya. Anna berlari kecil melewati Aditya, "Aku nggak mau tahu lagi!" balas Anna, kedua tangannya melambai, ekspresi wajahnya cemberut. Aditya menyeringai. "Nggak mau tahu, tapi dianya yang ngebet duluan!" Setelah membersihkan diri bersama, masih menggunakan handuk mantelnya, Anna berlari ke arah lemari dan memilih baju yang akan di kenakan nanti. "Kalau kamu nggak mau datang, tak apa, aku janjian sama Fita aja," seru Anna sesaat setelah berpakain dan sambil menyiapkan hair dryer, mengeringkan rambu
Anna kemudian turun dari mobil secara enggan dan perlahan. Bertemu anak-anak saudara ibu Aditya di jadikan Anna sebagai kamuflase rasa canggung yang masih di rasakannya ketika harus berhadapan dengan adik-adik dari mendiang ibu Aditya. Anna berusaha mengajak mereka mengobrol di selingi canda."Jadi, kalian akan pulang sekarang? Tante juga akan pulang besok," ucapnya memulai pembicaraan, berjongkok dengan satu kaki menekuk, juga menggandeng si kembar. Mereka berdualah yang paling syok saat dirinya teriak kala bersama Aditya menjalin pelukan di bawah selimut pagi itu."Tante sama Om nanti ke sini lagi, kan?" tanya Kiki."Tentu saja. Tante bahkan sekarang sudah tahu mana yang Kiki dan mana yang Koko, kalian di bedakan dari garis panjang seperti lesung pada pipi kiri saat tersenyum, yaitu padamu Koko." balas Anna, lalu beralih cepat ke arah Koko, dan anak itu tersenyum setelah di kejutkan Anna yang di lakukannya secara sengaja itu.Kiki lebih cerewet dan banyak tanya, sedang Koko lebih ba
Ketidaktahuan cerita yang sebenarnya, membuat Anna berusaha bijak. "Para singa berasal dari kumpulan yang sama, apa kau tega membiarkan kami para heyna betina kelaparan?" sahutnya dengan melingkarkan kedua tangannya pada lengan Aditya dengan manja, membuat Fita jadi terkekeh, Ronny dan Ivan yang menyaksikan juga jadi tersenyum. Urat syaraf pada kening Aditya berdenyut, dia berpikir sejenak menentukan apa jawabannya sebelun akhirnyapun menjawab. "Lebih baik kau siapkan tidak hanya satu daging, karena itu tidak cukup bagi seorang singa yang mudah marah," balas Aditya diplomatis, lalu dia menarik tangan Anna mengajaknya meninggalkan area pemakaman dan orang-orang yang di temui setelah berpamitan.Setelah keduanya berjalan menjauh, Adityapun melanjutkan isi dalam pikiran yang belum di utarakan semua. "Singa dan heyna tidak pernah akur. Lain kali, sepertinya aku harus berhati-hati dengan wanita yang menganggap dirinya heyna betina di sampingku ini, kalau tidak aku akan menerkamnya terleb
"Anna, aku nggak pake pengaman lagi." Suara lembut bisikan Aditya pada kuping Anna yang masih terlelap. Suaranya memang lembut tapi justru membuat Anna sontak terperanjat. Tak perlu mengumpulkan nyawa dulu untuk bangun, karena ucapan Aditya itu sudah cukup berfungsi sebagai alarm yang memekakkan telinga Anna. "Ke kamar mandi! Buang-buang!" pekik Anna. Matanya langsung terbuka lebar walaupun kesadaran belum sepenuhnya. Meski begitu, artikel yang pernah di bacanya di sebuah kolom khusus wanita itu, segera saja terlintas. Anna berlari ke kamar mandi, dan sibuk sendiri, sedang Aditya tertawa sambil menggelengkan kepala. "Sebegitunya. Anna Anna," sahut Aditya tak habis pikir. Selama Anna di dalam kamar mandi, ponsel miliknya bergetar. Aditya meraihnya yang di letakkan Anna serampangan dan di temukannya di samping bawah nakas. Dengan tubuh masih di dalam selimut, Aditya meraih dengan sedikit membungkuk. Di lihat sebuah nama kontak yang di kenalnya, tapi justru karena itu Aditya
"Apa kau tersinggung Anna?"Pertanyaan dari Fatma membuat Anna menurunkan pandangannya lagi karena merasa tak enak. "Eh, hanya ingin mencoba jawab saja," tusukan kecil buat Anna, tapi bagaimanapun juga dia merasa sudah terlanjur mengatakannya, jadi Anna berusaha bersikap biasa saja.Anna melirik ke arah Aditya, merasa cemas karena laki-laki itu belum memberi reaksi, tidak berniat membela atau semacamnya. Aditya bahkan tidak membalas tatapannya.Tapi, meskipun tak menatap secara langsung, ternyata Aditya tersenyum dan beberapa detik kemudian baru membalas memandangnya dengan sayu. Rasanya jantung Anna berdetak seperti saat pertemuan pertama mereka saja."Aku benar-benar mencintai Anna. Memang kami belum lama berkenalan, aku sadar itu, tapi aku sangat mencintainya. Dia partner bisnis dan juga hidupku sekarang," reaksi Aditya yang benar-benar Anna harapkan terjadi.Senyuman lebarpun tak dapat Anna sembunyikan.Sejenak Anna menjadi pusat perhatian, semua mata tertuju padanya."Ehmm, aku r
'Berhentilah menatapku seperti itu. Kamu tahu, aku benci harus mengatakannya, tapi semua ini benar adanya. Sebenarnya, meski nggak aku akui secara jujur padamu, kehadiranmu lebih indah dari integritas ambisi dan mimpiku selama ini.'Anna membatin sambil melirik lagi ke Aditya yang sedang mengemudi dengan bersiul riang. Berbanding terbalik dengan perasaannya saat ini. Integritas mimpi dan ambisi yang belum sepenuhnya terwujud, masih mambuatnya galau.Memang benar, Aditya tidak pernah memaksa secara fisik atau kata-kata kalau mengenai pernikahan yang ingin Anna sembunyikan, tapi justru argumen-argumen kecilnya selalu masuk di akal dan membuat Anna berpikir, yah, masih dalam proses berpikir.Masalahnya, Anna masih menjadi penganut setia ajaran stashing, yaitu orang yang berakting seperti seorang lajang, padahal sebenarnya sudah memiliki pasangan karena alasan-alasan yang rasional. Rasionalitas menurut Anna tentunya."Apa kau sudah putuskan?" tanya Aditya di sela-sela fokus menyetirnya, b
'Kenapa aku jadi suka berpikir yang berlebihan ya?' Senyuman Aditya, tidak ... semua yang ada pada laki-laki itu, membuat Anna jadi seperti kehilangan akal sehat. Anna merasa selalu ada keinginan untuk menjalin malam berdua lagi dengannya. Bahkan sekarang, keinginan itu tanpa ragu lagi terang-terangan akan dia perlihatkan. Anna yakin saja, kalau tidak akan mendapat penolakan dari Aditya. "Jawab dong, nanti aku dapat lagi, nggak?" tanya Aditya manja. Anna menatap Aditya dengan suara parau, "Mas, apa perlu melakukannya sesering mungkin ya?" tanya Anna polos. Keingintahuan Anna karena hal seperti itu tak pernah terpikir olehnya. Aditya tertawa keras, tawa yang baru pertama kali Anna melihatnya pada laki-laki itu. "Kau lucu Anna. Kita ini pasangan yang sudah menikah Kalau surat nikah kita sudah aku daftarkan, aku ingin membuat rencana bulan madu, oh tidak aku rasa ... tidak perlu di rencanakan. Lebih indah kalau dadakan." Aditya terus merandai-andai, hingga rasanya Anna ingin menget