Ting! Lantai 17, bel lift berbunyi. Anna keluar, langsung berbelok ke arah kanan ke tempat yang di tujunya. Sebuah kantor kontraktor dan investasi bidang konstruksi milik Aditya Adam Winata. Hari ini Anna memakai setelan jas dan rok pensil dengan warna fanta polos, di permanis sebuah bros dengan inisial A besar sebagai ornamen pada bagian atas jasnya agar tidak berkesan sepi. Pulasan make up nuansa pink lembut, dengan rambut di kuncir kuda juga poni rapi ke samping. Karena paginya sudah menguras tenaganya, Anna hanya menguncir kuda, di harapkannya agar tidak terlalu sering membenahi rambut, juga dandanan yang simple untuk menaikkan moodnya. Anna terlihat cantik seperti riasan boneka Barbie. Saat memasuki pintu utama, Anna sudah di buat takjub dengan desain interior kantor Aditya yang baru pertama kali ini di datanginya. Desain monochrome yang cozy dan simple, sama seperti interior kondominiumnya. Saat Anna menapakkan tangannya di permukaan pintu masuk, Anna dapat melihat furnitur
Berbicara dengan Aditya bagi Anna seperti bermain catur. Aditya merupakan lawan yang cerdas, punya komitmen dan konsistensi tinggi yang sudah di pegangnya sejak awal permainan. Dalam hal ini nggak berlaku kata jaim, untuk Anna harus lebih aktif. Seperti sebuah ungkapan. 'Act like a lady, but think like a man.' Aditya bukan tipe cowok misterius, hanya saja lawan mainnya harus punya strategi untuk mengorek pikiran dan maksud tindakannya. Ada sebuah gerbang kokoh yang di jaganya agar tidak semua orang bisa mengerti pikiran dan apa yang juga di rasakan. Hal itu yang mulai Anna pahami satu persatu. Tapi, ada satu yang belum Anna pahami adalah bagaimana hubungan dan interaksi Aditya dengan istrinya. Hal yang kadang masih tabu untuk Anna tanyakam. Belum banyak cerita yang Anna dapatkan tentang kehidupan perkawinannya. Dan sepertinya akan sulit mencari informasi yang sebenarnya tentang itu selain melalui Aditya sendiri. "Aku baru mengenalmu, itu masalahnya. Bukannya nggak percaya, cuma ..
Sepulang kerja, Anna ingin segera pulang ke rumahnya. Kejadian di kantor Aditya, masih buat Anna kepikiran, meski coba di tepis sedemikian rupa, tapi masih saja menjadi beban tersendiri. Sudah Anna upayakan mencari banyak kesibukan, tapi wajah dan setiap perkataan Aditya, masih nyelip di antara pikiran Anna. Biasanya, adiknya menyambutnya karena datang terlebih dahulu. Tapi, kali ini adik dan ibunya sudah berada di apartment pertama Aditya sebelum memilih tinggal di kondominium, dan Anna tahu itu. Anna belum berniat mengikuti mereka tinggal di sana, tapi memilih pulang ke rumahnya, meski sebagian barang sudah berpindah ke sana. Hari ini, bagi Anna juga terasa melelahkan seperti hari kemarin. Tapi kali ini bukan saja secara fisik, tapi juga psikologisnya terganggu, sehingga mempengaruhi keadaan fisiknya. Kalau cuma kecapekan karena gerakan fisik, Anna bisa saja menuruti anjuran kesehatan seperti makan dan tidur cukup, dengan sendirinya akan berkurang. Tapi kalau soal psikologis, masa
"Mau kabur?" Anna mengulang pertanyaan Aditya dengan kikuk. "Eh, masa? Iya. Eh, nggak kok!" Anna gelagapan karena Aditya berdiri terlalu dekat dengannya. Bahkan Aditya kini berjalan maju, sehingga Anna terpaksa melangkah mundur, agar tidak sampai tubuh mereka saling menempel.Anna pernah merasakan hal yang sama seperti saat ini tapi Anna alami dengan Dani, teman satu kantornya. Mereka berbicara dengan jarak sedekat ini juga, tetapi saat dengan Dani, Anna berusaha melarikan diri, dalam arti yang sebenarnya. Berbeda dengan Aditya, Anna juga berusaha menghindari tapi juga nggak berdaya menolak kehadirannya. Memang benar kalau beda produk, beda rasa.Karena merasa Anna tidak nyaman dengan tindakannya, akhirnya Aditya menarik kursi makan di belakang Anna, hingga Anna bergeser dengan harapan tidak bersinggungan dengan Aditya. "Duduk! Temani aku makan!" perintah Aditya."Memangnya, ibuku juga menemani kamu makan?" tanya Anna dan mengalah menuruti perintah Aditya untuk duduk dengan pelan-pel
Anna masih mengerutkan dahinya. Di cerna lagi ucapan Aditya barusan."Maksudnya, kamu yang seharusnya di salahin itu bagaimana ya, Mas?" ulang Anna dengan polosnya."Yang kamu lakukan hanya menuruti apa yang kamu rasakan, Anna. Jangan kamu bohongi dirimu sendiri. Kamu harus jujur, jangan pernah pungkiri setiap apa yang kamu rasakan.""Ma maksudmu, Mas?" Anna memiringkan kepala sambil satu alisnya naik. Anna memang benar-benar tidak mengerti."Kamu juga mencintaiku, iya kan Anna? Kenapa sulit sekali bagimu mengatakan hal itu padaku, hah? It's just a simple thing, Anna. You just say Yes I love you too, Aditya. That's all!"Nada bicara meninggi sekaligus geregetan dari Aditya, justru buat Anna cemberut."Mungkin bagimu sesimple itu, tapi tidak bagiku, Mas!" sahutan kesal Anna."It's simple, Anna. Kita bisa pikirkan bersama apa yang harus kita lakukan selanjutnya, dengan adanya masalah-masalah yang akan kita hadapi nantinya." Aditya yang sudah berpengalaman berumah tangga, jadi sudah tahu
Di dalam kamar sebuah unit apartment.Setelah berhasil keluar dari unit kondominium milik Aditya, Anna duduk di tempat tidurnya, tetap saja tak dapat memejamkan mata. Kedua kakinya menekuk, dagunya di sandarkan pada kedua lututnya, kedua tangannya melingkar memeluk lututnya. Di depannya terpampang sebuah brosur perjalanan ke Korea yang di berikan Aditya.Anna tidak habis pikir, bagaimana Aditya bisa nggak ngerti-ngerti juga kalau dirinya sudah menolak cintanya secara terang-terangan. Tapi justru sekarang Aditya menawarinya untuk bepergian ke Korea, dan boleh saja mengajak temannya, Vani.Anna tidak heran bilamana Aditya beranggapan Vani adalah teman dekatnya, karena memang itu keahlihannya. Dengan kontak mata dan senyuman antara dirinya dan Vani saat itu, membuat Aditya berkesimpulan kalau mereka berdua adalah teman dekat. Aditya memang mempunyai kemampuan analisa yang kuat."Kenapa perjalanan bisnisnya pake ngajak-ngajak? Memangnya aku sekretarisnya? Dan mengapa di suruh ajakin Vani
"Korea ... Gengsi ... Korea ...Gengsi. Pengen ke Korea tapi gengsi."Anna merutuki dahi dengan jari-jari tangan kirinya pada meja kerja, menimbang-nimbang keputusan apa yang akan di ambil dengan tawaran Aditya. Hati berkeinginan agar tetap teguh pada pendirian, tidak akan mau di dekati laki-laki yang masih beristri itu. Tapi pikirannya juga nggak bisa lepas dari bayangan bertemu oppa-oppa korea langsung di negaranya."Dia kan menyebutnya sebagai reward, jadi bukan sepenuhnya di sebut sogokan biar aku berubah pikiran, kan?" Anna terus menimbang-nimbang."Tapi apa anggapannya nanti? Di kasih iming-iming seperti begini, aku langsung luluh. Nanti dia berpikir kalau hatiku cuma seharga negara korea? Tapi masalahnya, aku juga mau kesana?"Di ambil ponselnya, berencana menanyakan langsung pada Aditya, dicari namanya 'Cowok Judes'.Di timang-timang ponselnya sendiri. Anna masih bimbang dengan kata-kata yang akan di ucapkannya pada lelaki itu. Membayangkan mendengar Aditya baru berkata 'Ada ap
'Lee Min Ho ... Ji Chan Wook ... BTS... beginikah rasanya ...'Bayangan aktor-aktor Korea pujaannya langsung terlintas. Selama ini, Anna hanya bisa membayangkan seandainya jadi lawan main di drama yang mereka bintangi.Dengan posisi kedua tangan bersentuhan langsung dengan dada Aditya, Anna dapat merasakan detak jantung Aditya yang seperti kuda berlari."Kamu menerimakukan Anna?" tanya Aditya lagi dengan suara lembut sembari tersenyum.Gagap Anna langsung naik stadium."A ... aku ... pengen pipis." Dengan rasa takut, Anna menatap Aditya, berharap dengan wajah memelas dan keadaan mendesak seperti ini, laki-laki itu mau melepas kunciannya."Bohong! Jawab dulu pertanyaanku," serang Aditya. Di rengkuhnya Anna lebih erat, lebih dekat dengannya, kali ini dengan lembut.Karena gerakan Aditya semakin dekat, dari bagian tubuh atas hingga ke bawah, membuat tangan Anna berkeringat dan luutnya lemah serasa tak bertulang. Konsentrasi hormon Norepinehimnya meningkat sehingga meningkatkan adrenalinn
Perkataan Ivan mempunyai dua sisi baginya. Pertama, sebagai sanjungan pertama yang di dengarnya selama di rumah ibunya Aditya, yang kedua berkaitan dengan emosi Aditya, yang akan bertambah sinis pada Ivan.Anna menatap terang-terangan ke arah Aditya yang tercengang dengan ucapan Ivan.'Hei singa, tenanglah! Dia hanya memujiku, bukan mau merebutku!'Aditya bergerak, sedikit memundurkan letak duduknya, mengendalikan rasa tidak nyaman."Iya, tentu saja. Karena dia istriku," tegasnya tanpa ekspresi. Anna mengira Aditya memang tidak berniat menampakkan ekspresi apa-apa, hanya bersikap dingin seperti biasanya.Pandangan Ivan beralih pada Anna, dan langsung di balasnya dengan senyuman. Rasanya naif buat Anna kalau tidak tersenyum pada pria itu, karena dia benar-benar seperti cowboy Texas dengan garis wajah old westnya yang tampan."Anna, kamu bekerja di perusahaan bidang apa?" tanya Ivan berat dan dalam. Ivan merasa mendapat peluang mengambil alih pembicaraan, yang tadi hanya di isi percakap
Selama perjalanan menuju ke rumah Ivan. Masih saja terjadi adu argumentasi antara Anna dan Aditya. Hal yang masih mengganjal pada pikiran, selalu saja segera di ungkapkan. "Apa pentingnya kamu bertemu dengan Fita?" tanya Aditya seketika. Merasa heran, karena Anna terlihat sangat ingin melakukannya, bahkan seperti memaksakan diri. "Dia orang pertama yang menyadarkanku suatu hal," sahut Anna mencoba memberi jawaban masuk akal buat Aditya yang rasional person. Memang benar, selama di pesawat menuju ke tempat Aditya berada saat ini, Anna banyak mengobrol dengan wanita itu. Seornag wanita yang sudah menikah tiga kali dan kemudian menyadari kalau pernikahan tidak hanya sebuah skin to skin relationship, tapi juga pengorbanan. Pengorbanan yang tidak hanya satu, dua, tapi bisa mengorbankan banyak hal, dengan harapan mendapatkan imbalan yang manis, dan itulah yang ingin di dapatkan dalam sebuah pernikahan. "Apa itu?" sahut Aditya sangat ingin tahu. Anna menghela napas dalam-dalam sebelum
Anna menatap sebuah benda dalam jepitan kedua jarinya dengan perasaan campur aduk. Sebenarnya, Aditya yang berniat membuangnya, tapi karena rasa ingin tahunya lebih besar dari rasa jijiknya, jadi Anna ngotot minta dia saja yang membuangnya. "Owh, jadi begini?" ucapnya pelan, lalu segera di buang cepat-cepat ke tempat sampah. Tanpa di sadari, Aditya telah membuntutinya dari arah belakang. Laki-laki itu tertawa tak tertahankan. "Sekarang kamu tahukan?" candanya, masih dengan tawanya. Anna berlari kecil melewati Aditya, "Aku nggak mau tahu lagi!" balas Anna, kedua tangannya melambai, ekspresi wajahnya cemberut. Aditya menyeringai. "Nggak mau tahu, tapi dianya yang ngebet duluan!" Setelah membersihkan diri bersama, masih menggunakan handuk mantelnya, Anna berlari ke arah lemari dan memilih baju yang akan di kenakan nanti. "Kalau kamu nggak mau datang, tak apa, aku janjian sama Fita aja," seru Anna sesaat setelah berpakain dan sambil menyiapkan hair dryer, mengeringkan rambu
Anna kemudian turun dari mobil secara enggan dan perlahan. Bertemu anak-anak saudara ibu Aditya di jadikan Anna sebagai kamuflase rasa canggung yang masih di rasakannya ketika harus berhadapan dengan adik-adik dari mendiang ibu Aditya. Anna berusaha mengajak mereka mengobrol di selingi canda."Jadi, kalian akan pulang sekarang? Tante juga akan pulang besok," ucapnya memulai pembicaraan, berjongkok dengan satu kaki menekuk, juga menggandeng si kembar. Mereka berdualah yang paling syok saat dirinya teriak kala bersama Aditya menjalin pelukan di bawah selimut pagi itu."Tante sama Om nanti ke sini lagi, kan?" tanya Kiki."Tentu saja. Tante bahkan sekarang sudah tahu mana yang Kiki dan mana yang Koko, kalian di bedakan dari garis panjang seperti lesung pada pipi kiri saat tersenyum, yaitu padamu Koko." balas Anna, lalu beralih cepat ke arah Koko, dan anak itu tersenyum setelah di kejutkan Anna yang di lakukannya secara sengaja itu.Kiki lebih cerewet dan banyak tanya, sedang Koko lebih ba
Ketidaktahuan cerita yang sebenarnya, membuat Anna berusaha bijak. "Para singa berasal dari kumpulan yang sama, apa kau tega membiarkan kami para heyna betina kelaparan?" sahutnya dengan melingkarkan kedua tangannya pada lengan Aditya dengan manja, membuat Fita jadi terkekeh, Ronny dan Ivan yang menyaksikan juga jadi tersenyum. Urat syaraf pada kening Aditya berdenyut, dia berpikir sejenak menentukan apa jawabannya sebelun akhirnyapun menjawab. "Lebih baik kau siapkan tidak hanya satu daging, karena itu tidak cukup bagi seorang singa yang mudah marah," balas Aditya diplomatis, lalu dia menarik tangan Anna mengajaknya meninggalkan area pemakaman dan orang-orang yang di temui setelah berpamitan.Setelah keduanya berjalan menjauh, Adityapun melanjutkan isi dalam pikiran yang belum di utarakan semua. "Singa dan heyna tidak pernah akur. Lain kali, sepertinya aku harus berhati-hati dengan wanita yang menganggap dirinya heyna betina di sampingku ini, kalau tidak aku akan menerkamnya terleb
"Anna, aku nggak pake pengaman lagi." Suara lembut bisikan Aditya pada kuping Anna yang masih terlelap. Suaranya memang lembut tapi justru membuat Anna sontak terperanjat. Tak perlu mengumpulkan nyawa dulu untuk bangun, karena ucapan Aditya itu sudah cukup berfungsi sebagai alarm yang memekakkan telinga Anna. "Ke kamar mandi! Buang-buang!" pekik Anna. Matanya langsung terbuka lebar walaupun kesadaran belum sepenuhnya. Meski begitu, artikel yang pernah di bacanya di sebuah kolom khusus wanita itu, segera saja terlintas. Anna berlari ke kamar mandi, dan sibuk sendiri, sedang Aditya tertawa sambil menggelengkan kepala. "Sebegitunya. Anna Anna," sahut Aditya tak habis pikir. Selama Anna di dalam kamar mandi, ponsel miliknya bergetar. Aditya meraihnya yang di letakkan Anna serampangan dan di temukannya di samping bawah nakas. Dengan tubuh masih di dalam selimut, Aditya meraih dengan sedikit membungkuk. Di lihat sebuah nama kontak yang di kenalnya, tapi justru karena itu Aditya
"Apa kau tersinggung Anna?"Pertanyaan dari Fatma membuat Anna menurunkan pandangannya lagi karena merasa tak enak. "Eh, hanya ingin mencoba jawab saja," tusukan kecil buat Anna, tapi bagaimanapun juga dia merasa sudah terlanjur mengatakannya, jadi Anna berusaha bersikap biasa saja.Anna melirik ke arah Aditya, merasa cemas karena laki-laki itu belum memberi reaksi, tidak berniat membela atau semacamnya. Aditya bahkan tidak membalas tatapannya.Tapi, meskipun tak menatap secara langsung, ternyata Aditya tersenyum dan beberapa detik kemudian baru membalas memandangnya dengan sayu. Rasanya jantung Anna berdetak seperti saat pertemuan pertama mereka saja."Aku benar-benar mencintai Anna. Memang kami belum lama berkenalan, aku sadar itu, tapi aku sangat mencintainya. Dia partner bisnis dan juga hidupku sekarang," reaksi Aditya yang benar-benar Anna harapkan terjadi.Senyuman lebarpun tak dapat Anna sembunyikan.Sejenak Anna menjadi pusat perhatian, semua mata tertuju padanya."Ehmm, aku r
'Berhentilah menatapku seperti itu. Kamu tahu, aku benci harus mengatakannya, tapi semua ini benar adanya. Sebenarnya, meski nggak aku akui secara jujur padamu, kehadiranmu lebih indah dari integritas ambisi dan mimpiku selama ini.'Anna membatin sambil melirik lagi ke Aditya yang sedang mengemudi dengan bersiul riang. Berbanding terbalik dengan perasaannya saat ini. Integritas mimpi dan ambisi yang belum sepenuhnya terwujud, masih mambuatnya galau.Memang benar, Aditya tidak pernah memaksa secara fisik atau kata-kata kalau mengenai pernikahan yang ingin Anna sembunyikan, tapi justru argumen-argumen kecilnya selalu masuk di akal dan membuat Anna berpikir, yah, masih dalam proses berpikir.Masalahnya, Anna masih menjadi penganut setia ajaran stashing, yaitu orang yang berakting seperti seorang lajang, padahal sebenarnya sudah memiliki pasangan karena alasan-alasan yang rasional. Rasionalitas menurut Anna tentunya."Apa kau sudah putuskan?" tanya Aditya di sela-sela fokus menyetirnya, b
'Kenapa aku jadi suka berpikir yang berlebihan ya?' Senyuman Aditya, tidak ... semua yang ada pada laki-laki itu, membuat Anna jadi seperti kehilangan akal sehat. Anna merasa selalu ada keinginan untuk menjalin malam berdua lagi dengannya. Bahkan sekarang, keinginan itu tanpa ragu lagi terang-terangan akan dia perlihatkan. Anna yakin saja, kalau tidak akan mendapat penolakan dari Aditya. "Jawab dong, nanti aku dapat lagi, nggak?" tanya Aditya manja. Anna menatap Aditya dengan suara parau, "Mas, apa perlu melakukannya sesering mungkin ya?" tanya Anna polos. Keingintahuan Anna karena hal seperti itu tak pernah terpikir olehnya. Aditya tertawa keras, tawa yang baru pertama kali Anna melihatnya pada laki-laki itu. "Kau lucu Anna. Kita ini pasangan yang sudah menikah Kalau surat nikah kita sudah aku daftarkan, aku ingin membuat rencana bulan madu, oh tidak aku rasa ... tidak perlu di rencanakan. Lebih indah kalau dadakan." Aditya terus merandai-andai, hingga rasanya Anna ingin menget