Nazeela meremas tali selempangnya kuat. Langkah gadis itu berhenti tepat di pintu masuk restoran. Dia menggigit bibir bawahnya seraya menimbang perlu tidaknya menemui seseorang yang sedang menunggu di dalam restoran. Menghela napas perlahan dan menutup kelopak mata, dia melafalkan basmalah dalam hati. Menguatkan diri agar nanti kuat mendengarkan apa yang ingin dibicarakan sosok di dalam sana.
Nazeela memanjangkan lehernya. Mata gadis itu celingukkan melihat ke sekeliling restoran. Pada satu titik, matanya menangkap lambaian tangan seorang pria padanya. Gadis itu berjalan perlahan mendekati pria tersebut. Senyum mengembang terukir di wajah tampan yang selalu mengingatkannya pada seseorang."Aku senang akhirnya kamu datang," sapa pria itu sumeringah, seraya bangkit dari kursi dan mengulurkan tangan.Nazeela tersenyum canggung sambil mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada, membuat sang pria menarik tangannya kembali."Maaf, Bang. Apa yang mau dibicarakan?"Pria itu tersenyum. "Duduklah. Lebih baik kita makan dulu, aku tau kamu pasti lapar 'kan?""Aku tidak lapar. Sebaiknya Bang Fairuz langsung saja," pinta Nazeela sambil menghenyakkan bokongnya ke kursi restoran, hingga keduanya berhadapan.Pria bernama Fairuz tersebut menganjur napas pelan. "Apa Farah sudah bicara padamu?" tanyanya pelan, terkesan hati-hati.Dahi Nazeela berkerut mendengar pertanyaan Fairuz. Hatinya mulai menerka, jika apa yang akan dibicarakan pria itu tentang permintaan Farah."Tentang apa?" Nazeela mencoba berkelit. Sungguh hatinya mulai merasa tidak nyaman dengan arah pembicaraan Fairuz."Farah memintaku menikah denganmu, Dek ..."Begitu ringan Fairuz mengucapkan kata-kata tersebut, seolah apa yang dia ucapkan adalah hal yang biasa, membuat Nazeela hanya menatap tak berkedip pada pria berkulit putih tersebut."A-aku ngga ngerti apa maksud, Abang" lirih Nazeela setelah sadar dari keterkejutannya.Fairuz pun mengangguk. "Aku juga ngga ngerti apa yang dipikirkan Farah. Dia berkata mungkin dengan menikah lagi, aku bisa memberikan cucu pada Ibu. Dia bilang kamu orang yang cocok untuk menjadi madunya."Nazeela semakin tidak mampu berkata apa-apa. Pria itu menuturkan semua dengan gamblang. Gadis itu masih sangat muda untuk mengerti hal tersebut. Dia berusia dua puluh ahun dan baru saja meneruskan studi di sebuah universitas di kotanya. Gadis itu memiliki cita-cita untuk membahagiaan sang ibu, membuat wanita pemilik surganya itu bangga dengan keberhasilannya menjadi seorang sarjana."Maaf, Bang, Zee ngga bisa?" tolak gadis itu lirih.Dahi Fairuz berkerut. "Aku juga tidak menyetujuinya. Itu adalah ide tergila yang pernah kudengar. Apalagi aku tak pernah mempermasalahkan soal anak. Selama ini kami sudah sangat bahagia," tutur Fairuz blak-blakan."Lalu, apa maksud Abang ingin bertemu denganku?" tanya nazeela tak mengerti."Begini." Fairuz menegakkan punggungnya, "aku ingin kamu menolak ide gila itu. Aku tidak peduli seberapa keras Farah meminta, yang jelas aku tidak akan pernah menduakan dia.""Harusnya Abang yang mengatakan itu pada, Kak Farah."Fairuz mengusap kasar wajahnya. "Kamu tau gimana sifat Farah. Kalau dia ingin sesuatu pasti akan dia lakukan. Jadi, sekarang kuncinya sama kamu. Kamu harus tolak ide gila itu."Nazeela mengangguk. "Aku sudah menolaknya, Bang. Tapi, Kak Farah terus mendesak."Fairuz terdiam dengan dahi berkerut. "Apa Farah mengatakan alasan lain padamu?"Nazeela diam sejenak. "Kak Farah hanya mengatakan tak ingin melihat Abang terus-terusan bersedih karena harus berada di antara dia dan Ibu.""Apa itu benar?" Fairuz mencoba meyakinkan dirinya dengan bertanya kembali. Pria itu menghela napas perlahan melihat anggukan sang gadis. Dia mencoba menerka maksud Farah memintanya menikah lagi. Mungkin istrinya itu merasa tertekan dengan tuntutan sang ibu. Sebuah ide gila melintas di benak Fairuz."Kalau memang seperti itu, sebaiknya kamu turuti saja keinginan Farah," putus Fairuz setelah berpikir cukup lama."Apa abang sadar sama ucapan Abang?" Suara Nazeela sedikit bergetar mendengar kalimat yang meluncur dari bibir sang pria.Fairuz menjawab dengan cepat. "Aku sangat sadar.""Tapi, bukankah tadi Abang sendiri yang menolak, lalu bagaimana dengan Kak Farah? Abang tega menduakannya?" Kali ini suara Nazeela terdengar sedikit meninggi. Untung saja Fairuz memilih tempat duduk di pojok restoran dekat dengan jendela. Jarak yang sedikit jauh dari meja-meja yang lain, membuat mereka tidak menjadi perhatian publik kerena suara keras si gadis."Farah yang mengusulkan agar aku menikah denganmu. Dia bilang, kamu adalah calon yang pas untuk jadi madunya." Fairuz berdalih. "Lagipula, ini bukan pernikahan yang seperti kamu pikirkan. Hanya agar Ibu tidak terus-terusan mendesak Farah. Aku tidak suka setiap kali beliau menyudutkannya hanya karena masalah anak.""Dan Abang memilih mengorbankanku?!" sengit Nazeela. Sungguh gadis itu tidak mengerti apa yang dipikirkan si pria."Aku harus bagaimana? Aku melihat sendiri bagaimana Ibu terus memojokkan Farah di setiap pertemuan kelaurga, meski terlihat sabar menghadapi cercaan keluarga besarku, tapi aku tau dia sangat menderita. Jika dengan menikah lagi akan membuat desakan itu berhenti, maka aku akan melakukan untuknya. Kumohon kamu mau berkorban sedikit untuk kebahagiaan Farah."Tatapan Fairuz melembut pada Nazeela. Gadis itu bisa melihat keputusasaan di sana. Ada rasa iba menyusup perlahan ke dalam hati melihat wajah frustasi pria tersebut. Tanpa bisa dicegah, matanya menikmati wajah sang pria. Fairuz sangat tampan dengan fitur wajah Arab-Jawa, mewarisi garis wajah kedua orang tuanya. Pun Farah, wanita itu sangat ayu dengan wajah oval dan lesung pipit di kedua pipinya, serta memiliki tinggi semampai dengan tubuh proporsional. Tentu saja, sebelum menikah dia berprofesi sebagai model. Perusahaan Fairuz yang bergerak di bidang periklan memakai Farah sebagai brand ambassodor. Di sanalah kedua insan tersebut jatuh cinta dan memutuskan menikah tanpa proses pacaran.Keluarga Fairuz yang religius memberi pengaruh besar pada Farah. Perlahan wanita itu meninggalkan gaya pakaiannya yang terbuka. Menggunakan gamis dan hijab panjang yang menutupi tubuhnya. Dengan busana tertutup seperti itu, tidak mengurangi kecantikannya sama sekali. Seperti bintang yang menggantung di langit malam, Farah semakin bersinar dan benderang."Maaf, Bang ... aku benar-benar ngga bisa." Nazeela menundukkan pandangannya saat mengucapkan penolakan itu. Dia tak sanggup melihat kekecewaan untuk kedua kali, setelah kemarin melihat di mata Farah.Terdengar embusan napas berat di depannya. "Pikirkan lagi, Zee, ini demi Farah. Dia hanya mempercayai kamu sebagai partner. Kamu yang tidak akan memonopoli jika menjadi madunya."Mendengar kata-kata Fairuz, membuat gadis itu mengangkat pandangannya. "Kenapa Abang bisa seyakin itu?""Karena aku tau kamu tidak mencintaiku. Lagipula, aku tidak bisa mencintai wanita lain selain Farah," balas Fairuz cepat."Lalu bagaimana selanjutnya setelah aku setuju dengan ide ini? Apa aku akan benar-benar mendapatkan hakku sesebagai seorang istri?" tanya Nazeela lugas sekaligus penasaran. "Meski Kak Farah mengijinkan Abang menikah lagi, tapi aku tau, tak satu pun wanita di dunia ini yang rela berbagi, apalagi suami."Fairuz menatap cangkir kopi yang sudah mendingin. Hening sejenak mengambil tempat di antara keduanya sesaat. Lalu, pandangannya naik ke arah Nazeela, lekat dan lama."Aku akan melakukan apa pun yang membuat Farah bahagia, karena aku ngga mau kehilangan dia. Farah mengancam akan menggugat cerai jika aku menolak ide tersebut," ujar Fairuz akhirnya dengan nada lemah.Nazeela tertegun mendengar penjelasan Fairuz. Ada denyut nyeri yang kala mengingat seseorang di tempat lain. Andai, sosok itu juga mencintai dirinya sebesar Fairuz mencintai Farah, tentu dia akan menjadi gadis paling bahagia di dunia."Aku ngga mau jadi tameng, Bang. Mungkin Abang dan Kak Farah perlu bicara dari hati ke hati sama Ibu Bang Fairuz, bukan ikut menyeretku dalam pusaran masalah kalian berdua," tolak Nazela tegas. Dia tak ingin mengorbankan dirinya hanya untuk sebuah pernikahan sandiwara. Lagipula dia juga takut terkena dampak di masa depan karena mempermainkan hubungan sakral tersebut."Aku akan membayar untuk itu."Kalimat pendek yang diucapkan Fairuz seperti anak panah yang membidik dan meluncur tepat di jantung Nazeela. Gadis itu berdiri dengan cepat, hingga kursi bergeser ke belakang dan menimbulkan suara gesekan yang cukup keras."Aku memang miskin, Bang. Hidup dengan bekerja menjadi pembantu di rumahmu, tetapi bukan berarti Abang bebas merendahkanku. Sebaiknya cari saja wanita lain yang mau menuruti ide gila itu!"Setelah memuntahkan ketersinggungannya, Nazeela gegas meninggalkan restoran itu diiringi tatapan penuh tanya dari pemgunjung restoran. Gadis itu tidak mengira, Fairuz yang dia pikir adalah pria bijak, mampu berpikir sepicik itu. Ternyata, tak cukup menilai orang lain dari luarnya saja."Nazeela, Tunggu!"Gadis itu menoleh, dia tidak mengira Fairuz mengekori langkahnya keluar restoran. Pria itu menarik lengan yang kemudian ditepis kasar oleh si gadis."Maaf, aku ngga bermaksud seperti itu. Aku hanya bingung demgan permintaan Farah yang tiba-tiba. Delapan tahun menikah, tetapi baru kali ini dia memperlihatkan kelemahannya. Artinya, Farah sudah lelah dan aku ngga tega melihatnya seperti itu. Hampir setiap malam aku melihat dia menangis. Jika dengan menikah lagi adalah jalan terbaik yang bisa membuat Farah bahagia, maka aku akan mewujudkannya.""Maaf, Bang. Kalau masalah keturunan, Abang bisa mengusahakan dengan cara medis. Bayi tabung misalnya. Sulit hamil, bukan berarti ngga bisa bukan?" debat Nazeela memelankan nada suaranya."Tapi, kurasa Farah sudah kehilangan harapan, -karena itulah dia mengijinkan aku menikah lagi. Kurasa itu jalan terbaik untuk menyelamatkan rumah tangga kami dari rongrongan Ibu. Aku tak sanggup melihat dia terus-terusan bersedih. Percayalah, aku tidak akan menyentuhmu. Setidaknya, hati Farah akan lega dan mau kembali berusaha mengikuti program kehamilan. Setelah dia hamil aku akan menceraikanmu."Nazeela tertegun mendengar ucapan Fairuz. Entah mengapa ada sedikit iri bercokol di gadis itu."Apa Kak Farah tau ide gila ini?"Fairuz menggeleng lemah. "Dia pasti akan membenciku. Baginya pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Aku tak pernah berniat menduakannya, tetapi jika dengan menikah denganmu bisa mengembalikan semangat Farah, maka akan kulakukan, meski dengan cara seperti itu. Tenang saja, aku akan membayarmu sangat tinggi dan menjamin masa depan keluargamu," tutur Fairuz tanpa ada keraguan di nada suaranya.Nazeela diam sejenak. Gadis itu mengalihkan menatap jalanan. Gerimis telah turun perlahan, orang-orang yang berlalu lalang mulai mempercepat langkah untuk memghindari rinai yang semakin deras. Ada yang menancap di relung hatinya, sesuatu yang membuat dadanya perih. Fairuz begitu mencintai Farah, hingga menyetujui pernikahan yang diajukan sang istri, lalu tanpa basa-basi mengutarakan ide gila tadi dan mengiminginya dengan lembaran rupiah. Nazeela tersenyum miris menyadari besarnya cinta pria itu pada Farah, membuat setan mengembuskan dengki ke hatinya. Setelah lama terdiam dan bergelut dengan egonya, dia kembali menatap si pria."Aku wanita biasa. Memiliki cemburu dan iri di dalam hati. Jika, Abang ingin menikahiku, maka aku ingin menjadi satu-satunya. Ceraikan Kak Farah."Fairuz hanya mampu menatap Nazeela dengan sorot terkejut. Dia tidak mengira gadis itu mengajukan syarat yang tidak dia duga sebelumnya. Sepi segera menyelimuti bersama dingin yang membelai tubuh keduanya, seiring rinai yang semakin deras.Fairuz masih bertahan di dalam mobil, meski dia telah berada di pekarangan rumah. Pikiran pria itu masih berkelana, mengingat permintaan Nazeela. Dia pikir akan sangat mudah meminta gadis dua puluh tahun itu menjadi istrinya. Melihat dari keadaan ekonomi Nazeela yang senin-kamis, apalagi sejak sang ibu tak bisa lagi bekerja. Jika, tidak dibantu oleh Farah, mungkin keluarga si gadis akan selalu kesusahan setiap hari. Keadaan si ibu yang sakit-sakitan, membuat Nazeela harus menggantikan pekerjaan beliau sebagai asisten rumah tangga di rumah mereka. Fairuz ingat saat pertama Farah membawa gadis tersebut dua tahun yang lalu. Kala itu, Nazeela baru saja lulus dari sekolah menengah atas. Wajahnya cantik, dengan tulang hidung tinggi, serta alis tebal menaungi mata indahnya yang menyorot teduh. Tanpa bisa dicegah hatinya menyayangi Nazeela. Hanya sebatas itu. Gadis tersebut dia anggap seperti adiknya sendiri. Seperti apa Farah memperlakukan Nazeela, seperti itu pula dirinya. Fairuz selalu
Suasana masih sepi di sekitar tempat tinggal Nazeela. Bahkan ayam jantan pun belum berkokok. Akan tetapi, tidak menjadi halangan bagi gadis tersebut untuk bangkit dari tempat tidur, lalu berjalan menuju kamar mandi. Meski di luar terdengar curah hujan yang cukup deras, tak membuat langkah Nazeela surut. Dia sudah terbiasa bangun pukul tiga dini hari. Mengambil peralatan mandi yang tergantung di pintu dapur, dia bermaksud membersihkan diri dan berwudhuk, lalu mengerjakan sholat sunnah tahajud. Kebiasaan sholat malam sudah dia lakukan sejak kecil. Dulu, saat sang ibu belum bekerja pada Farah dan Suaminya, Ibu Nazeela mencari nafkah dengan berjualan kue-kue basah yang dititipkan ke warung dan sebagian lagi dijual sendiri ke pasar. Sejak dini hari Nazeela kecil sudah terbiasa membantu sang ibu mengolah bahan-bahan mentah menjadi aneka kue. Sebelum membantu, dia selalu menyempatkan sholat sunnah tahajud dua rakaat. Menurut ibunya, di saat itulah waktu yang mustajab meminta rahmat dari Yan
Mega kembali mencurahkan rinai, langit pun masih mendung dinaungi awan kelabu, meski waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Di depan sebuah rumah berlantai dua, dipasang bendera hitam tanda sang pemilik tengah berduka. Para wanita sibuk menyiapkan tempat untuk memandikan jenazah yang terbujur kaki di atas dipan kayu di ruang tamu, sedangkan para lelaki memasang tenda dan menyusun kursi untuk para pelayat.Nazeela terlihat bersandar di dinding rumah seraya menatap nanar ke arah jenazah sang ibu yang tertutup kain panjang. Mata gadis tersebut sembab karena tak berhenti mengeluarkan air mata sejak pagi. Kebakaran yang melahap habis rumahnya menewaskan sang ibu yang berusaha keluar dari kepungan api. Beberapa tetangga sempat menyelamatkan Ibu Nazeela, tetapi malang tak dapat ditolak, untung tak bisa diraih. Wanita tersebut mengembuskan napas di rumah sakit setelah terlalu banyak menghirup asap dan terkena serangan jantung tiba-tiba."Zee, waktunya memandikan Ibu." Farah menyentuh lemb
Malam semakin menua. Semesta terdengar amat sunyi. Sepertinya air yang tercurah dari mega tadi sore menciptakan udara dingin yang lelapkan semua makhluk. Terkecuali Nazeela. Dari tadi mata gadis itu tak mau terpejam. Pikirannya menerawang memikirkan keadaan Hasan. Ingin ke rumah sakit, tetapi ditahan oleh Farah. Wanita itu mengatakan, telah mengutus salah satu pegawainya untuk melihat keadaan sang adik. Namun, sampai dini hari belum ada kabar terdengar. Nazeela bergerak membuka ransel berwarna coklat yang sudah terlihat lusuh. Gadis itu mengeluarkan beberapa lembaran #kertas dan foto hitam putih. Bergetar jemarinya meraih kertas yang sudah menguning. Membaca kata per kata yang tertulis di sana. Haru menyulut panas di matanya, mendorong bulir bening jatuh di pipinya. Pikirannya melayang pada kebiasaan almarhum sang ibu. Setiap gadis itu berulang tahun, beliau menuliskan harapan dan doa di secarik kertas, kemudian meletakkan di bawah bantal Nazeela, agar saat pagi menjelang sang putri
Satu minggu telah berlalu. Keadaan Hasan perlahan membaik. Remaja itu telah melewati masa kritisnya, meski belum sadar sepenuhnya. Hampir setiap hari Farah menemani Nazeela di rumah sakit, lalu pulang di sore hari setelah dijemput Fairuz. Wanita itu terlihat semakin kurus dan pucat. Namun, selalu menutupi bibirnya dengan lipstik berwarna terang. Akan tetapi, Farah tak bisa mengelabui mata Nazeela, meski tak sedarah, tetapi dia tahu ada yang tidak beres pada wanita tersebut."Kak, sebaiknya kakak istirahat. Ngga usah paksain ke sini, aku ngga papa."Farah tersenyum dan menggeleng pelan. "Aku baik-baik aja, kamu ngga usah khawatir gitu."Nazeela menganjur napas perlahan. "Kakak mungkin bisa bohongin orang lain, tapi aku ngga. Kapan terakhir Kakak kemo dan minum obat?"Farah diam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Wanita itu melarikan pandangannya ke arah Hasan yang terbaring diam di atas brankar rumah sakit."Kapan dia akan bangun?" tanya Farah mencoba menghindari pertanyaan Nazeela.
Nazeela setengah berlari menyusuri lorong rumah sakit. Dia baru saja mendapat kabar dari Fairuz jika Farah kolaps. Akhirnya, apa yang ditakutkan gadis itu terjadi juga. Akan tetapi, dia tidak mengerti mengapa harus secepat itu. Siang, Farah masih baik-baik saja, meski tadi sore ponsel wanita itu tidak aktif saat dia mengabarkan keadaan Hasan."Bang ..."Gadis itu memanggil lirih Fairuz yang menatap kosong ke arah pintu ICU, di mana Farah dirawat. Wajah pria itu terlihat kusut dan kacau. Dia bahkan tak menyadari keberadaan Nazeela di sampingnya, seolah larut dengan kesedihannya.Nazeela tak tahu harus bagaimana membesarkan hati pria tersebut. Jauh di relung, dia juga terpukul mendengar keadaan Farah. Terbayang hari-hari bersama wanita itu. Betapa Farah tak pernah memperlihatkan sakitnya. Bibirnya selalu mengembangkan senyum tulus, yang mampu menularkan bahagia kepada orang-orang di sekitar. Juga semua celotehnya yang memancing tawa. Dada gadis itu dibekap rasa penyesalan, mengapa dia
Fairuz menutup pintu mobil pelan. Langkah pria tersebut gontai masuk ke rumahnya. Semalaman dia menenangkan diri ke tepi pantai, menatap kerlap-kerlip lampu dari perahu para nelayan. Cahaya di tengah laut itu seperti barisan kunang-kunang yang menari di kanvas langit malam. Begitu larut dengan pikirannya, hingga dia tertidur semalaman di sana, sepoi angin laut semakin melenakan Fairuz ke alam mimpi. Melupakan sejenak kenyataan yang terpampang di depan mata dan berharap esok pagi bangun di atas tempat tidur sambil memeluk istri tercinta.Namun, pria itu harus kembali merasakan denyut ngilu di dada, ketika harapan itu hanyalah pepesan kosong. Nyatanya, dia terbangun karena teriknya sinar mentari yang menebus kaca mobil yang dilapisi filter."Dari mana kamu?"Fairus menghentikan langkahnya ketika mendengar teguran dari seorang wanita, yang sangat dia hafal suaranya. Pria itu berhenti, sejenak guna menganjur napas perlahan sebelum berbalik. Dia yakin akan terjadi perdebatan seperti biasa
Fairuz mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sesekali membunyikan klakson untuk meminta jalan pada kendaraan yang ada di depan. Jika memungkinkan dia menyalip kendaraan tersebut, membuat Kinaya harus berpegangan erat pada jok mobil. Wanita itu memutuskan ikut dengan Fairuz. Dia penasaran kabar apa yang tadi disampaikan oleh Nazeela.Tadi, Fairuz memutuskan sambungan telepon begitu saja tanpa mendengar penjelasan dari Nazeela. Kinaya yang merupakan sahabat pria tersebut berinisiatif mendampinginya. Bukan apa-apa, dia takut Fairuz kehilangan kendali dan melakukan sesuatu yang merugikan, tidak hanya diri sendiri, tetapi juga orang lain."Ke mana lagi?" tanya Ratmi yang melihat Fairuz berlari menuruni tangga menuju pintu keluar, membuat pria itu menghentikan langkahnya dan menatap wanita yang rambutnya telah ditumbuhi #uban."Aku ke rumah sakit dulu. Terjadi sesuatu, Ibu ikut?" Alih-alih menjawab. Ratmi malah meneruskan bacaannya sebagai isyarat menolak ajakan Fairuz."Fai, jang
"Selamat."Dru menyambut uluran tangan Fairuz hangat. Keduanya lalu berpelukan erat, seperti tak pernah ada masalah yang pernah mepingkupi keduanya dulu. Waktu memang bisa menyembuhkan luka dan mendewasakan semua. Ada yang menjadi lebih kuat setelah ditempa berbagai cobaan, ada juga yang memilih patah. Semua berpulang kepada diri masing-masing.Hari ini, suara Dru lantang mengucapkan akad nikah yang menyebut nama Nazeela Sahara di dalamnya. Wajah cerah dan bahagia terlihat pada wajah semua undangan. Tak terkecuali Hasan yang bertindak sebagai wali nikah. Pun Fairuz, meski masih ada cinta untuk mantan istrinya itu, dia telah mengikhlaskan Nazeela. Dia belajar untuk mengerti jika cinta tak melulu soal hati. Namun, tentang pengorbanan. Sekarang Fairuz mengerti keputusan yang diambil Farah dulu. Bukan karena wanita egois ingin memaksakan kehendaknya. Akan tetapi, dia ingin memberikan kebahagiaan kepada orang yang dia cintai. Pun Dru. Pria itu memilih melepaskan Nazeela, karena melihat Fa
Nazeela membuka jendela kamarnya. Pagi belum sepenuhnya datang. Aroma tanah basah menguar menggelitik indera penciumannya. Gadis itu menghirup udara segar di pagi buta tersebut, membuat paru-parunya terasa lapang dan mampu menenagkan hati yang resah.Semalaman gadis itu tak bisa tidur. Bayang-bayang Dru bermain di benaknya. Bagaimana pria itu mengacuhkannya dan interaksinya dengan wanita lain. Semua seperti racun yang menyakitinya perlahan. Mata gadis itu sembab karena menangis semalaman. Di sepertiga malam, dia mengadukan semua keresahan hati. Meminta Tuhan menghapuskan rasa dan dan ingatan tentang Dru jika pria itu tak baik untuknya. Kokok ayam jantan membuyarkan lamunan Nazeela. Dia melirik jam dinding yang tergantung di kamar. Pukul enam tepat. Nazeela beranjak dari jendela menuju ke dapur. Senin adalah waktu tersibuk gadis itu. Selain membuat sarapan untuk Hasan yang kini sudah melanjutkan pendidikannya, dia juga memiliki jadwal mengajar piano privat, selain memiliki kelas sendi
Tepuk tangan riuh membahana di gedung serba guna salah satu universitas terkenal di ibukota. Seorang gadis mengenakan gamis berwarna biru langit dengan aksen bis putih di bagian pergelangan tangan dan pinggang. Terlihat sangat anggun dengan hijab berwarna biru tua bermotif bunga-bunga sakura, yang menjulur menutupi dadanya. Dia tersenyum, seraya membungkuk memberi hormat kepada para juri dan penonton yang memberi standing aplause atas penampilannya. Gadis itu, Nazeela Sahara. Bertahun yang lalu dia hanyalah gadis miskin yang tak punya apa-apa, selain harga diri dan prinsip kuat. Lalu cobaan hidup menempanya menjadi gadis dewasa yang matang. Melalui masalah demi masalah dengan penuh kepasrahan dan keikhlasan. Membunuh cinta sejati, lalu menikah dengan seorang pria demi sebuah janji. Tak pernah menyesali pengorbanan demi orang-orang tercinta, karena dia yakin kebahagiaan yang sebenarnya berasal dari Sang Maha Cinta.Nazeela menghampiri orang-orang yang telah berjasa besar menghantar
Ratmi menatap nanar semua benda yang ada di atas meja. Bibir wanita itu terkatup rapat. Meski tertutup kaca mata hitam, Dru tahu jika mata itu sedang bertahan untuk tidak merinaikan tangis. Hening menjadi teman yang setia bertandang sejak tadi. Wajah ceria Ratmi perlahan memudar saat Dru menyampaikan maksud dari pertemuan mereka. Lembayung sore ini berubah mendung di hati wanita itu. Berkali-kali dia menghela napas, menenangkan badai yang berkecamuk di hati. Wanita itu tak pernah mengira, masa lalu yang dia kubur sangat dalam, tercium juga ke permukaan. Bukan oleh orang lain, melainkan oleh seseorang yang sangat dia sayangi. "Aku ngga tau harus berkata apa, juga ngga tau harus bersikap bagaimana." Suara Dru lirih berucap, tetapi seperti tusukan besi ke telinga Ratmi."Maaf, aku ..." Ratmi tak bisa menyelesaikan kalimatnya. Melihat wajah Dru yang frustasi membuat hatinya mencelos. "Apa aku harus memanggilmu Tante atau Ibu?"Pertahanan Ratmi jebol juga. Dia melepas kaca matanya. Iris
"Kerjamu bagus. Terima kasih."Dru memutuskan sambungan telepon setelah seseorang di seberang sana menjawab. Dia lalu menimang amplop coklat yang baru saja diantar oleh kurir. Dua bulan menyelidiki siapa dalang di balik pembunuhan Farah, akhirnya semua akan terjawab hari ini.Pria itu membayar seorang detektif handal untuk menyelidiki seorang wanita yang dia curigai sebagai pelaku. Akan tetapi, di tengah penyelidikan ditemukan fakta baru yang tak kalah mengejutkan. Dru bahkan meminta sang detektif untuk menyelidiki lebih dalam. Dia tak mau salah menjebloskan orang yang tak bersalah.Namun, justru fakta lain semakin membuat tuduhan yang awalnya mengarah pada orang lain, berbalik arah kepada orang tersebut. Dru shock! Ingin dia tidak mempercayai semua itu, tetapi semua bukti dan fakta menuding dengan sangat jelas. Dia dilema. Haruskah membuka tabir kematian Farah dan mendapatkan Nazeela? Atau membiarkan semua tetap menjadi rahasia agar hidup sang pelaku tenang menikmati masa tuanya. Na
Suara merdu penyanyi pop Indonesia mengalun merdu memenuhi gendang telinga Kinaya. Wanita itu asyik mengamati anak muda yang menghabiskan sore di cafe yang terkenal cozy dan unik. Mereka bersantai di bagian luar cafe yang dipasangi payung besar berwarna merah. Terdapat meja dan kursi dengan bentuk yang sama, tetapi dengan tinggi yang berbeda. Mereka tertawa dan saling bercanda, seolah tak pernah ada masalah. Ada juga yang tengah bercengkerama dengan kekasihnya. Melihat pemandangan itu, Kinaya tersenyum getir. Sejak remaja dia hanya mengenal satu cinta dan itu adalah untuk Fairuz. Pria tersebut yang menanamkan rindu, gelisah, dan cemburu ke dalam dadanya. Tak pernah berpaling menatap pria lain, meski mereka berlomba -lomba mencari perhatiannya.Namun, kenyataan memaksa Kinaya berlapang dada, saat pria yang dia cintai akhirnya memilih Farah sebagai istri. Setahun dia terpuruk karena patah hati. Dia tak punya daya untuk melanjutkan hidup, sebab pria yang dia cintai tak pernah melihat
Fairuz terlalu asyik mengamati pergerakan Nazeela dari balkon kamarnya. Jemari gadis tersebut sangat lincah membenahi bunga-bunga hias yang ditanam di halaman samping rumah. Bunga krisan, mawar, dan anggrek dengan aneka macam warna terlihat sangat terawat sejak gadis itu tinggal di rumahnya. Koleksi bunga almarhum Farah semakin semarak di tangan Nazeela.Sejak pertemuannya dengan Dru, hati Fairuz tak pernah tenang. Permintaan pria tersebut memantul-mantul di gendang telinga. Entah mengapa, ada bagian dirinya yang tak rela dengan kesepakatan yang keduanya buat. Kehadiran Nazeela di rumahnya membawa atmosfir baru. Mendung yang sempat melingkupi bagunan mewah berlantai dua itu, perlahan memudar. Ada kesejukan mengisi relung Fairuz yang kerontang karena kepergian sang istri, saat suara gadis berlesung pipit itu begitu merdu membaca ayat-ayat suci. Bahkan pria itu seolah tak mau menjauh dari sosok Nazeela, meski dia tetap memperlihatkan sikap ketus dan menjaga jarak. Namun, tak sekali pun
Debur ombak terdengar nyaring mengetuk gendang telinga. Kokohnya batu karang begitu sabar menghadang laju air laut mengikis pasir di tepi pantai. Burung-burung camar terlihat terbang berputar-putar, lalu memukik ketika melihat sekumpulan ikan.Fairuz yang asyik menikmati keindahan laut di sore hari, menoleh ketika suara gesekan kursi terdengar di belakangnya. Matanya menangkap sosok Dru yang baru saja duduk bersedekap, seraya menatap ke arahnya lekat. Lebam yang membiru di wajah pria tersebut terlihat samar, membuat Fairuz tersenyum puas. Hasil karya mampu meninggalkan jejak berhari -hari."Untuk apa kau mengundangku?" tanya Dru dengan raut datar. Fairuz berjalan mendekat, lalu duduk di depan Dru. Tangannya memberi isyarat agar pelayan restoran mendekat. Pria itu memesan kopi untuknya dan Dru. Tak ada makanan yang mereka pesan terlihat sekali keduanya tak ingin berbasa-basi."Aku ingin kau menyerahkan diri ke polisi," pinta Fairuz tiba-tiba.Dahi Dru berkerut dengan wajah bingung. "K
Fairuz mengabaikan laporan keuangan di atas meja. Satu minggu lebih pria itu tak pulang ke rumahnya dan memilih tidurdi apartemen atau rumah yang dia belikan untuk Kinaya. Bayang-bayang wajah Nazeela selalu menghantuinya. Tangan pria itu mengusap bibirnya yang pernah tersentuh tangan gadis tersebut. Tanpa sadar bibirnya mengulas senyum. Benaknya tanpa diperintah mengingat kembali betapa lembutnya jemari itu menyentuh kulitnya. Sinar kecemasan terbias di sorot matanya, dan semua kata-kata Nazeela berputar-putar seperti kaset di kepalanya."Abang adalah suamiku. Sejak seorang pria mengucap akad dengan namaku, sejak itulah diamenjadi ladang pahalaku. Ridhomu adalah ridho Tuhan. Suami adalah junjungan yang harus dihormati dan dipatuhi."Darah Fairuz berdesir kala mengingat untaian kata-kata indah tersebut. Tak bisa dipungkiri hati pria itu mengembang bahagia. Meski masih sangat muda, tetapi pemahaman Nazeela tentang adap seorang istri kepada suami patut diacungi jempol. Gadis itu begitu l