“Kau pilih makan denganku atau...”
“Atau apa?” Sela Lumia cepat
Seringai lebar tercipta dibibir Dylan “Atau kau yang kumakan.”
Lumia membeku, otaknya sejenak tidak bisa mencerna kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Dylan. Jantungnya berdegup kencang, namun dia berusaha untuk tetap tenang, meskipun ada gelombang panas yang mengalir di tubuhnya. "Kau... gila! Dasar pedofil tak waras" gumamnya, berusaha menahan amarah yang kembali merambat bercampur dengan rasa malu.
Dylan memutar kursi mobilnya sedikit, menatap Lumia dengan tatapan tajam namun penuh ketenangan. "Aku hanya memberikan pilihan, Puppy" katanya dengan nada santai, seolah kalimat barusan bukan ancaman serius. "Sekarang, apa pilihanmu?"
Lumia menatapnya dengan cemas dan marah. Dia tahu kalau Dylan tidak akan segan-segan melakukan apa saja untuk membuatnya berada dalam situasi yang tidak nyaman. "H-hanya makan sebentar, setelah itu antar aku pulang&r
Sebuah meja besar dipenuhi kertas, pensil, penggaris skala, dan buku-buku arsitektur. Akhir pekan Lumia diisi dengan pelajaran privat dari Dylan.Dua hari lalu, setelah mereka kembali dari restoran, Lumia menghabiskan 3 jam hanya untuk mencari tentang sosok Dylan diinternet dan hasil yang didapatnya.... sungguh impressive.Lumia yang selalu menganggap Dylan menyebalkan merasa terkena gangguan mental begitu melihat biografi Dylan yang ada di internet. Pria itu, yang dia sebut sebagai pedofil adalah lulusan terbaik program arsitektur dari universitas ternama di Inggris, dengan segudang penghargaan yang membuatnya menjadi salah satu arsitek muda paling berpengaruh di Asia dan Amerika.Semua itu membuat Lumia merasa kecil namun disisi lain dia bingung, apakah dia harus merasa senang atau kesal mendapat tutor yang begitu hebah sekaligus menyebalkan disaat bersamaan“Kau melamun, Puppy?” suara Dylan terdengar santai namun penuh sindiran, menyadarkan
Drtt!!Lumia menggeleng cepat begitu tersadar jika dirinya terlena oleh sosok pria didepannya. Wajahnya memerah sempurna. Dia hampir terlena oleh perlakuan Dylan sedangkan Dylan tersenyum tipisDia mundur selangkah, mengambil jarak lalu meraih ponselnya dari saku dan melihat layar “Sebentar” katanya singkat.Lumia mengangguk, memperhatikan pria itu melangkah menjauh. Ia mencoba kembali fokus pada denahnya, tetapi rasa penasaran mengalahkan niatnya. Ia melirik ke arah Dylan, yang sedang berbicara dengan suara pelan namun tegas. Wajahnya terlihat serius, lebih serius dari biasanya.Ia tidak bisa mendengar jelas apa yang Dylan bicarakan, tetapi frasa seperti “tidak bisa ditunda” dan “aku akan segera ke sana” terdengar samar-samar. Lumia mencoba menahan diri untuk tidak bertanya-tanya terlalu jauh, tetapi pikirannya tidak mau berhenti.Lumia penasaran dengan apa yang Dylan bicarakan disana.K
Pagi yang cerah tidak terasa menyenangkan bagi Lumia. Dia menguap lebar saat duduk di tepi tempat tidur, rambutnya berantakan, dan matanya sedikit sembab. Semalam, ia hampir tidak bisa tidur. Pikiran tentang pertemuannya dengan Maxim terus menghantui, seperti bayangan gelap yang tidak mau pergi.Setelah mandi dan berpakaian dengan seragam sekolah, Lumia turun ke dapur. Rumah terasa sepi tanpa kehadiran ayahnya yang sedang melakukan perjalanan dinas ke Belanda. Biasanya, sarapan bersama ayahnya memberikan rasa nyaman, tetapi pagi ini, ia hanya ditemani oleh suara jam dinding yang berdetak pelan.Ia menghabiskan sarapan seadanya—hanya roti panggang dan segelas susu—sebelum pamit kepada pengurus rumah. Supir keluarga sudah menunggu di luar, siap mengantarnya ke sekolah. Lumia duduk di dalam mobil dengan pandangan kosong ke luar jendela, mencoba mengalihkan pikirannya dari kecemasannya.Namun, semua itu buyar saat ia tiba di sekolah.Saat masuk ke
Lumia tak tahu jika kehidupannya akan menjadi sangat berat. Senin hingga Jumat diganggu oleh Maxim, dan akhir pekan dibuat kesal oleh Dylan. Kedua pria itu memiliki misi khusus untuk membuatnya gila dan seperti tidak memberi ruang untuk bernapas“Kau melamun lagi, Puppy?”Lumia mendengus, mata bulatnya menatap Dylan yang duduk dengan tenang di sofa. Lumia tak menyangka jika akhir pekan datang sangat cepat, membuat dirinya kembali bertemu dengan Dylan yang kini berprofesi sebagai tutor pribadinyaKerjaan pria itu sejak tadi hanya duduk sambil meminum wine dan menatapnya lekat setelah memberikan perintah untuk merevisi semua rancangannya.“Sampai kapan kau akan terus memanggilku Puppy?” tanya Lumia, mencoba fokus pada kertas di depannya. Namun, tangannya yang memegang pensil gemetar ringan, dan garis yang ia tarik tidak sempurna seperti biasanya.Dylan tersenyum kecil, mengangkat gelas winenya seolah sedang bersulang. &l
5 hari sebelumnya.......Setelah menerima telpon dan meninggalkan Lumia, Dylan segera menuju Monarki. Caid mengatakan jika mereka akan melakukan kudeta sekarang dan ternyata pelengseran Robertino sebagai sultan Monarki berhasil dilakukan dengan mudah.Adanya kuasa kartel Oletros dan dukungan dari beberapa fraksi membuat Lorenzo berhasil mendapatkan posisi aslinya sebagai Sultan.“Sial ini tak terlalu menyenangkan” Lucius bersuara tak senang, dia kira akan ada pertumpahan darah yang cukup banyak namun ternyata hanya perlu sedikit menyalakan api dan semuanya langsung terbakar tanpa sisaCaid, Enid, dan Dayn sudah pergi dari sana, meninggalkan tempat yang penuh ketegangan itu. Sedangkan Dylan dan Lucius, sebagai juru bicara dan orang yang lebih terlibat dalam negosiasi, tetap berada di sana untuk membereskan kekacauan yang tersisa.“Robertino memang sejak awal tak punya dukungan dari fraksi manapun, dia bertahan karena dukungan CIA&r
Lumia meletakkan mangkuk mie di meja dengan hati-hati setelah menghabiskan semuanya. Dia meraih botol air mineral di dekatnya, meneguk air sambil tetap memperhatikan layar, meskipun adegan di drama mulai berubah.Di layar, anak perempuan pemimpin kartel mendekati Joon-mo, tatapannya penuh intensitas. Musik latar yang lembut tapi menegangkan mulai mengiringi adegan itu.Dylan melirik Lumia dari sudut matanya. Gadis itu terlihat menegang ketika adegan ciuman mulai terjadi di layar. Anak perempuan kartel dengan berani menarik wajah Joon-mo lebih dekat, dan detik berikutnya mereka saling berciuman dalam sebuah adegan panas yang penuh emosi.Lumia buru-buru mengalihkan pandangannya, pura-pura fokus pada botol air di tangannya. Ia memutar tutup botol itu berulang kali, meskipun botolnya sudah tertutup rapat. Wajahnya mulai memerah, dan ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menyembunyikan rasa salah tingkah.Dylan, yang duduk di sebelahnya, memperhatikan setiap
Lumia terduduk di sofa untuk beberapa waktu, mencoba menenangkan pikirannya yang terus berputar. Ia memejamkan matanya, tetapi bayangan Dylan dan kata-katanya terus terngiang di kepala.Saat matanya terbuka, tatapannya tertuju pada mangkuk bekas mie didepannya. Lumia tiba-tiba teringat sesuatu. Dylan. Dia belum makan sama sekali.Dengan rasa bersalah yang tiba-tiba muncul, Lumia bangkit dari sofa dan melirik jam dinding. Sudah hampir tengah malam, dan Dylan belum menyentuh makanan apapun sejak selesai mengajarinya sekitar dari siang hingga soreTanpa berpikir panjang, Lumia berjalan menuju kamar tamu yang ditempati Dylan. Pintu kamar itu tidak terkunci, sedikit terbuka, memungkinkan cahaya dari dalam keluar. Lumia ragu sejenak, berdiri di depan pintu, lalu mengetuknya pelan.“Dylan?” panggilnya, tetapi tidak ada jawaban.Ia mengintip ke dalam. Ruangan itu rapi, dengan koper Dylan tergeletak di sudut. Namun, kamar mandi yang berada di da
Ini baru malam pertama dari dua minggu yang akan datang namun Dylan sudah tak bisa menahan diri. Ciuman yang semula hanya lumatan kini berubah menjadi cumbuan panas saat lidah Dylan ikut terlibat didalamnya“Buka mulutmu” Bisik Dylan serakLumia membeku sejenak, tubuhnya kaku di bawah kendali Dylan yang begitu mendominasi. Bisikan serak itu membuat tubuhnya bergetar, tetapi entah bagaimana, ia menemukan dirinya patuh. Bibirnya sedikit terbuka, memberi ruang yang segera Dylan manfaatkan.Ciuman mereka menjadi lebih dalam, intensitas yang semakin meningkat membuat suasana di antara mereka semakin panas. Dylan menarik tengkuk Lumia dengan lembut tetapi tegas, menjaga jarak mereka tetap dekat, sementara tangannya yang lain bergerak perlahan menyusuri lengannya, menciptakan sensasi yang asing tetapi tak bisa diabaikan.Lumia mengerang kecil di sela-sela ciuman mereka, wajahnya memerah tetapi pikirannya kabur oleh sensasi yang terus menguasainya.
Kediaman Hilton yang luas dan elegan terlihat semakin hidup hari itu. Di ruang tengah yang mewah, suara tawa dan obrolan lembut bercampur dengan tangisan kecil bayi yang sesekali terdengar.“Akhirnya kalian datang juga. Lumia sudah menunggu” kata Dylan sambil mengarahkan pandangannya ke Matthias. “Dan siapa ini? Calon kakak besar yang gagah, ya?”Matthias tersenyum lebar, jelas sekali jika dia senang mendapat perhatian dan menjadi pusat perhatian “Uncle Dylan! Mana bayinya?” tanyanya tanpa basa-basi.Dylan tertawa kecil dan mengangguk. “Di sana, dengan Aunty. Tapi hati-hati, ya. Dia masih sangat kecil.”Matthias mengangguk penuh semangat. Dengan panduan Lova, ia berjalan ke arah sofa besar tempat Lumia duduk. Wanita muda itu terlihat anggun meskipun kelelahan, mengenakan gaun sederhana yang nyaman. Di pelukannya, seorang bayi mungil dengan kulit kemerahan sedang tidur nyenyak.“Lova, terima kasih sudah datang” sapa Lumia dengan senyum lembut. Matanya berbinar saat melihat Matthias mend
Matahari bersinar hangat di atas taman hijau yang luas. Angin lembut menerpa rambut Lova yang tergerai, membuatnya merasa lebih damai dari biasanya. Dia duduk di atas tikar piknik yang empuk, mengenakan gaun longgar yang menonjolkan perut besarnya. Di sebelahnya, Matthias tertidur pulas dengan kepala di pangkuannya, tangannya kecilnya masih menyentuh perut Lova seolah sedang mencoba merasakan gerakan adik kecilnya.Lova tersenyum lembut, mengusap rambut Matthias dengan penuh kasih. Pandangannya lalu beralih ke Caid, yang duduk di sebelahnya, tangan kekarnya melingkar di pinggangnya dengan erat. Matanya yang gelap tampak lebih lembut hari itu, penuh perhatian saat menatap istri dan anaknya."Dia sudah tidak sabar, ya," gumam Caid sambil menyentuh tangan Matthias yang masih berada di perut Lova. "Setiap hari dia bertanya kapan adiknya keluar."Lova terkekeh pelan, matanya bersinar bahagia. "Dia memang sangat antusias. Tapi aku juga tidak kalah senangnya. Akhirnya,
Lova duduk di kursi makan dengan ekspresi tenang, tetapi jantungnya berdebar kencang. Dia telah menyiapkan sarapan untuk Matthias, yang sedang menggambar sesuatu di buku kecilnya. Caid duduk di seberangnya, membaca laporan di tablet, terlihat seperti biasa: tenang, mendominasi, dan mengendalikan segalanya."Aku hamil" kata Lova tiba-tiba, memecah keheningan dengan suaranya yang terdengar datar tapi penuh tekad.Caid menghentikan gerakan tangannya yang hendak mengambil secangkir kopi. Mata gelapnya beralih dari tablet ke wajah Lova, terpaku pada ucapan yang baru saja keluar dari bibirnya. Sekilas, ia tampak bingung, seolah otaknya membutuhkan waktu untuk mencerna informasi itu.“Aku hamil” Lova mengulang lagiKeheningan yang terjadi setelah kata-kata itu terasa berat, seperti udara di sekitar mereka mendadak berubah. Caid menatap Lova lekat-lekat, ekspresi wajahnya sulit ditebak. Jari-jarinya yang masih menggenggam tablet perlahan melonggar, hi
Caid menghentakan miliknya, memompa inti Lova hingga sampai pada klimaksnya. Dihentakannya dalam-dalam pinggangnya sekali lagi, tubuh mereka bergetar dalam gelombang gairah yang saling memenuhi.Ditariknya benda panjang nan berurat itu kemudian melepaskan pengaman yang berisi cairan putih kental miliknya.Keringat menetes di pelipis keduanya, namun hanya satu yang terlihat puas. Lova mendengus keras, matanya menyipit tajam saat menatap pria di atasnya.“Kenapa kau selalu main aman?” Lova bertanya dengan nada kesal, napasnya masih memburu. “Aku ingin anak lagi, Caid. Apa kau bahkan memikirkannya?”Caid menundukkan kepala, menyentuh wajah Lova dengan lembut, tetapi senyumnya yang santai hanya membuat Lova semakin frustrasi. “Matthias baru tiga tahun, Love. Kau serius ingin anak lagi sekarang?”“Ya! Aku serius” tegas Lova, menyingkirkan tangan Caid dari wajahnya.Caid tertawa kecil mendengar
3 tahun kemudian..."Di mana Matthias?" Lova memutar tubuhnya, mencari putranya yang seharusnya berada di kamar bermain.Seorang pelayan mendekat dengan ekspresi cemas. "Nyonya, saya baru saja melihat tuan muda keluar melalui pintu belakang."Jantung Lova berdebar keras. Matthias jarang sekali pergi tanpa memberitahu. Ia tahu putranya yang berusia empat tahun itu pintar dan penuh rasa ingin tahu, tapi naluri keibuannya langsung membuatnya khawatir.Lova melangkah keluar dengan tergesa, sepatu haknya membuat suara berirama di lantai. Ketika ia mencapai taman belakang, ia mendengar suara sesuatu yang mencurigakan.Bang!Lova terhenti. Suara itu adalah tembakan—dan itu berasal dari arah taman yang lebih dalam. Jantungnya seolah berhenti sejenak. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arah suara itu.Di sana, Matthias berdiri dengan sebuah pistol kecil di tangannya. Tubuh mungilnya berdiri tegak, matanya yan
Setelah pernikahan yang menguras emosi, Dylan membawa Lumia ke sebuah tempat yang sejak awal ia siapkan dengan hati-hati. Sebuah mobil meluncur melewati jalan kecil yang diapit oleh pepohonan, sebelum akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang megah namun terasa hangat.Lumia turun dari mobil dengan perlahan, matanya terfokus pada rumah di depannya. Ia berdiri diam beberapa saat, mencoba mencerna perasaannya. Rumah itu terasa aneh baginya—familiar namun seperti mimpi yang lama terkubur.“Dylan...” panggilnya pelan, suaranya hampir bergetar. “Ini...?”Dylan mendekatinya, menyelipkan tangan ke pinggangnya dengan lembut. “Masuklah. Lihatlah lebih dekat.”Lumia mengikuti Dylan memasuki rumah itu, langkahnya terasa berat karena perasaan gugup yang membuncah. Begitu pintu utama terbuka, ia langsung disambut oleh interior yang begitu detail, hingga membuat dadanya berdebar kencang. Setiap sudut rumah itu terasa seperti
Kamar Lumia dipenuhi aroma bunga segar dan suara gemerisik sutra. Lumia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih sederhana namun elegan, dengan renda yang menjuntai hingga lantai. Cahaya matahari pagi menyinari rambutnya yang dibiarkan tergerai, memberikan kilauan keemasan yang membuatnya tampak memukau."Kau terlihat seperti malaikat, sangat cantik" ujar seorang wanita yang membantu menyempurnakan veil pengantinnya.Lumia hanya tersenyum kecil, tetapi ada kilatan gugup di matanya.Pintu terbuka, ayahnya, Petrus, muncul dengan setelan kemeja putih rapi yang dipadukan dengan jas abu-abu tua. Wajahnya tampak serius, tetapi sorot matanya menyiratkan kebanggaan yang sulit disembunyikan.“Lumia” panggilnya lembut, suaranya sedikit serak. Ia berjalan mendekat, memperhatikan putrinya yang kini terlihat begitu dewasa dan cantik“Papa..” Lumia berseru lirih. Rasanya dia hendak menangis namun dia tak enak dengan perias yan
Lumia menatap cincin di jari manisnya dengan campuran perasaan yang sulit dijelaskan. Cincin itu tidak berkilau mewah, tetapi desainnya elegan, seolah-olah Dylan tahu bahwa ia tidak menyukai sesuatu yang berlebihan.Namun, yang lebih membuatnya gelisah adalah momen ketika cincin itu dipakaikan ke jarinya—begitu mendadak, tanpa persiapan, tanpa janji, dan di depan ayahnya yang sakit.Ia menghela napas panjang, pikirannya melayang ke detik-detik itu.Dylan berdiri di hadapannya dengan raut serius, sementara Petrus mengangguk kecil, memberikan persetujuannya tanpa banyak bicara. Lumia bahkan tidak sempat memproses semuanya sebelum Dylan berlutut, mengeluarkan cincin dari sakunya, dan menatap matanya dengan intens.Lumia bahkan belum mengenal siapa pun dari keluarga Dylan. Orang tua pria itu, saudara, bahkan masa lalunya yang lebih dalam—semuanya adalah misteri baginya. Lumia mengerti bahwa Dylan bukan tipe orang yang suka membuka diri, tetapi jik
Lumia tak bisa tenang selama disekolah, karena itu baru 10 menit sejak kelas pertama, dia langsung izin untuk pulang untuk menemani papa-nya. Namun apa yang didengarnya setelah sampai dirumah sungguh membuat dunia terasa hampaPapanya sakit dan Lumia tak tahu sama sekali“Mia...”“Apa yang sebenarnya terjadi, Pa?” tanyanya akhirnya, suaranya serak, hampir berbisik. Air mata yang ia tahan mulai memburamkan pandangannya. “Kenapa Papa tidak bilang apa-apa padaku?”Petrus menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan lelah. “Papa tidak ingin kau khawatir, sayang. Kau masih muda, masih punya banyak hal yang harus kau pikirkan. Papa tidak ingin menjadi beban untukmu.”“Beban?” suara Lumia meninggi, nada protes yang bercampur kesedihan. “Papa bukan beban! Aku ini anak Papa, aku berhak tahu! Aku bisa membantu! Kenapa Papa malah menyembunyikan ini dariku? Apa papa akan pergi t