Debby tak menghiraukan rasa ingin tahu sang asisten rumah tangga. Ia terus saja berjalan menuju pintu utama. “Maafkan aku, Bi. Aku nggak mau bohong sama Bi Siti,” gumam Debby sembari menutup pintu depan.
Tak lama kemudian, Debby sudah melajukan mobil kesayangannya menjauhi rumah orang tuanya. Beruntung rute yang harus ia tempuh berbeda arah dengan gereja yang sedang dikunjungi oleh orang tuanya. Debby merasa santai, toh ia memang tidak sedang terburu-buru.
Selagi berada di Kota Kembang ini, Debby memutuskan untuk sekalian bernostalgia sejenak ke masa-masa ketika tengah mengenyam pendidikan di salah satu perguruan tinggi negeri di kota ini. Debby melajukan kendaraannya ke daerah kos-kosan yang dahulu ia tempati bersama dengan Fanny. Banyak kenangan yang terpatri di sana karena dari tempat itulah persahabatan Debby dan Fanny dimulai.
“Hmm, sudah banyak yang berubah,” gumam Debby seraya melajukan ken
Debby menunduk dan menutup mulutnya dengan satu tangan. Tubuhnya lama-lama berguncang dengan keras. Tak kuat berdiri, Debby akhirnya menjatuhkan tubuh hingga berjongkok.Ia meluapkan semua amarah, kekecewaan, dan sakit hati pada sang mami lewat air mata. Dengan menggigit punggung tangan, Debby berusaha meredam isak tangisnya. Dadanya terasa sesak dan napasnya tersengal-sengal. Sesekali, Debby bahkan sampai membuka mulutnya untuk meraup oksigen banyak-banyak.Setelah puas menumpahkan kekesalan hati, Debby mulai berusaha menguasai diri. Tubuhnya tidak lagi berguncang-guncang. Isak tangisnya juga sudah berganti menjadi sesenggukan kecil. Cairan bening yang menganak sungai di wajah sudah semakin berkurang. Jejak-jejaknya pun sudah dibersihkan. Tampak di samping kanan Debby, seonggok tisu bekas pakai yang wujudnya sudah tak beraturan.Kini, Debby sudah duduk bersila di depan batu nisan. Ia tak peduli jika pak
Tak ingin memperpanjang otaknya berkelana tentang pria itu, Debby segera menggerakkan roda kemudi meninggalkan tanah lapang. Ketika sedang memundurkan mobilnya, Debby baru teringat sesuatu. Ia menyadari kalau kedua mobil SUV hitam dan sedan putih yang tadi pagi sudah berada di tanah lapang sebelum dirinya tiba sekarang sudah tidak tampak.“Oh, astaga! Apa tadi ada yang dengar suara tangisanku? Duh, moga-moga aja sih nggaklah, ya,” harap Debby sambil terus menggerakkan roda kemudi.“Tapi … kalau ada yang dengar juga, ya, bodoh amatlah!” putus Debby kemudian.Sebelum memasuki jalan beraspal, Debby menoleh ke belakang sebentar dan bergumam, “Aku pulang dulu, Tante.”Namun, alih-alih langsung melarikan mobilnya ke rumah, Debby justru membelokkan kendaraan SUV-nya ke salah satu mal di ibu kota. Selain untuk mengisi perut, ia juga berniat untuk menghabiskan waktu
Kelegaan sekonyong-konyong membanjiri hati Debby begitu mendengar suara yang sudah sangat dikenalnya dengan baik. Untuk sesaat tadi, ia mengira kalau dirinya sudah gegabah menerima panggilan telepon. Ia tidak sempat memperhatikan siapa yang meneleponnya.Kali ini, Debby tidak keberatan dengan mulut Fanny yang bawel. Ia jadi bisa mengatur napasnya lebih dahulu supaya emosinya mereda. Sembari menyimak pertanyaan Fanny, Debby kembali memejamkan mata sejenak. Kedua sikunya kembali bertumpu pada meja rias. Tangannya yang bebas memijit-mijit pangkal hidungnya dengan ibu jari dan jari telunjuk.“Deb?” panggil Fanny dengan tidak sabar.“Ya, aku masih di sini.”“Kamu baik-baik aja, ‘kan? Kenapa lesu? Ada masalah apa?”“Hmm,” jawab Debby dengan enggan, “biasalah.”“Tengkar lagi sama Tante Lily?&rdq
Debby menimbang-nimbang sejenak apakah mau langsung menelepon William saja atau mengkonfrontasi lelaki itu melalui pesan percakapan. Akhirnya, pilihan jatuh pada opsi pertama. Lagi-lagi Debby mengambil napas panjang sebelum menyentuh ikon telepon pada layar ponsel.“Hai, Debby,” sahut William dengan riang.‘Astaga! Langsung dijawab! Baru juga dering pertama kayaknya. Memangnya dia lagi pegang ponsel?’“Wah, senang banget akhirnya Debby mau menghubungiku!”“Maaf, Pak, jangan keburu senang dulu! Saya menelepon Bapak bukan buat menyapa Bapak kok!” timpal Debby dengan perasaan dongkol mendengar nada riang dari seberang telepon.“Oh? Lantas?”“Dengan segala hormat, Pak, saya cuma mau minta sama Bapak supaya jangan menguntit saya lagi.”“Eh? Menguntit?” tanya Wi
William hanya diam saja sembari mengelap keringat di wajah dan lengan. Ia menggunakan bandana tipis warna biru tua untuk menahan rambut bagian depannya yang biasanya jatuh menutupi sebagian keningnya. Kaus olahraga yang dikenakannya juga sebagian sudah berubah warna menjadi lebih gelap.“Gila, ya!” seru Leon ketika tidak mendapatkan respons apa-apa dari William. “Sudah dipanggil mendadak, main juga diserang habis-habisan! Ampun!” gerutu Leon tanpa jeda. “Nggak kasih kesempatan buat ambil napas lagi!”“Lawanlah kalau gitu! Jangan melempem! Ayo!” ajak William sembari meletakkan handuk kecil di atas tas olahraga warna biru dongker dengan kombinasi putih.“Astaga! Harus secepat ini?” sungut Leon. Namun, diturutinya juga permintaan William.Meskipun lelaki berdagu belah itu berhasil mengalahkan Leon pada ronde pertama, tetapi William masih merasa
“Ini untukmu.” “Apa ini, Ko?” “Lihatlah sendiri!” “Wah! Cantik banget, Ko! Lucu-lucu!” “Kau suka?” tanya seorang pemuda pada seorang gadis muda dengan pita merah di rambutnya. “Kudengar kau suka sekali jepit rambut.” Gadis itu tersenyum lebar sambil mengangguk-angguk dengan penuh semangat. “Suka banget, Ko! Makasih banyak! Koko tahu dari siapa kalau aku suka jepit rambut? Wah, koleksiku jadi bertambah sekarang! Teman-teman pasti bakal iri!” Senyum gadis itu berubah menjadi tawa. Si pemuda ikut tertawa lepas. “Kau ini, baru juga dikasih hadiah seperti itu sudah kegirangan.” Lengan bertato terulur ke atas dan mengusap-usap puncak kepala gadis berpita merah itu. Gadis itu tak menampik dan kembali menunduk menatap hadiah yang baru saja diterimanya. Satu set jepit rambut berjumlah dua belas buah, berbentuk kuku-kupu dengan warna-warni cerah. Sayap kupu-kupu yang bergliter itu dihubungkan ke bagian badan dengan menggunakan per kecil-kecil, membuat sayap-sayap itu bisa bergoyang-goyang
Debby kembali ke rumah dengan perasaan kacau. Niat hati ingin mengembalikan suasana hati yang muram malah kembali dalam keadaan yang tidak lebih baik dari saat berangkat. Bahkan mungkin lebih buruk.Debby menggeram kesal. “Ya, ampun! Ini sih namanya gagal total!” sungut Debby sembari menjatuhkan tas olahraga ke atas sofa di ruang duduk. Tubuhnya menyusul dihempaskan di samping tas yang memiliki dua kompartemen utama itu. “Hah, sekarang aku harus apa?” Salah satu tangan mengusap-usap keningnya dan berakhir memegang puncak kepala dengan rambut yang masih basah.Setelah berdiam diri sejenak, Debby akhirnya bangkit dari sofa sembari menyambar tas olahraga menuju pintu belakang untuk mengeluarkan isi tas. Niatnya tak mau mengingat-ingat peristiwa memalukan yang terjadi di kolam renang dengan menyibukkan diri di ruang cuci. Namun, melihat pakaian basah yang dikeluarkan dari kompartemen khusus untuk barang-barang basah justr
“Ya, ini. Kamu ajak makan siang, tapi dadakan. Hmm ... kalau diingat-ingat lagi, kayaknya kamu belum pernah deh kasih usul apa gitu, tapi mendadak kayak gini. Biasa kan aku yang suka bikin acara dadakan. Kalau kamu, pasti selalu direncana dulu. Kenapa kali ini beda?” cerocos Fanny. “Tunggu dulu ...! Kamu baik-baik aja ‘kan, Deb?”Debby yang mendengarkan penuturan Fanny juga merasa terkesiap. Ia seperti baru disadarkan dari sesuatu. ‘Benar juga! Selama ini aku selalu terencana, tapi belakangan ini kayaknya banyak yang kacau deh.’ Debby hanya bisa mendesah.“Ada apa?” tanya Fanny dengan khawatir. “Oh! Apa kamu tengkar lagi sama Tante Lily? Aduh, gimana ini? Aku ke tempatmu aja, ya? Kamu di rumah, ‘kan? Tunggu sebentar, ya. Aku kasih tahu Ko Steven dulu.”“Nggak usah, Fan! Kamu nggak perlu sampai segitunya! Lagian aku juga bukan bertengkar sama Ma
Yeay!!! 🎉🎉Cerita “Wanita Incaran CEO Arogan” akhirnya sampai di penghujung juga. Ini merupakan cerita pertama saya dalam bentuk novel. Gak nyangka bakal bisa sepanjang ini, bahkan sampai dua season. Biasanya pendek-pendek. 😄Perjalanan yang panjang dan gak selalu mulus, tapi menyenangkan 😄. Sudah sama aja kayak lika-liku kisah cintanya William dan Debby yang gak selalu mulus tapi happy ending ... eaakkk ....Saya pribadi sangat menikmati proses penulisan kisah cinta William dan Debby ini. Meskipun sudah dibuat outline-nya, beberapa kali muncul ide secara tiba-tiba di tengah-tengah saya tengah mengetik yang belum terpikirkan sebelumnya saat membuat outline. Adegan-adegan tersebut memang diperlukan, tapi waktu bikin outline masih belum ada bayangan nanti adegannya bakal seperti apa. Ups, buka kartu deh! 🤭😁Tak lupa saya ucapkan terima kasih buat para pembaca yang baik hati, yang sudah bersedia mampir ke lapak saya, dan terutama yang sudah memberikan gem buat William dan Debby. Ter
“Sssh! Jangan nangis, Sayang.” William buru-buru menenangkan si sulung. Ini bukan kali pertama si sulung merengek minta adik bayi di perut maminya perempuan. “Laki-laki apa perempuan sama aja, Sayang. Di mata Papi sama Mami, kalian semua anak-anak kesayangan Papi sama Mami. Gak ada yang dibeda-bedain.” William juga meminta anak lelakinya untuk mendekat.“Cici juga harus sayang sama dedek bayi yang masih ada di perut Mami, sama seperti Cici sayang sama Dedek Ello. Cici sayang ‘kan sama Dedek Ello?”“Sayang, Pi.”“Nah, kalau gitu, jangan bilang kayak tadi lagi, ya. Kalau gak, Dedek bayinya nanti sedih, lo. Apa Cici senang kalau Shelin bilang gak suka atau gak mau temanan lagi sama Cici di sekolah?”“Nggak senang. Tapi kalau dedek bayinya kayak Dedek Ello, nanti aku nggak punya teman di rumah, Pi,” rengek Grace lagi dengan bibir mungilnya maju beberapa senti.
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Bukannya berhenti, sang istri justru berpindah ke titik sensitif lainnya.“Baby, please,” desis William lagi dengan gelisah.Tangannya kini mencengkeram pergelangan sang istri. “Koko gak mau sampai lepas kendali.”“Ssst! Kalau gitu, jangan ditahan-tahan, Ko. Aku sengaja kok mau kasih kompensasi buat Koko,” terang Debby sambil tangannya memainkan salah satu kepik tak bersayap milik William. “Jadi, Koko rileks aja. Serahkan semuanya sama aku. Aku bakal kasih servis yang memuaskan malam ini.”“Tunggu, tunggu! Kompensasi buat apa?” tanya William di antara giginya yang kembali bera
William menunggu sejenak hingga anak perempuannya memusatkan perhatian padanya.“Ya, Pi,” sahut Grace.“Cici bantuin Papi sama Mami jagain Dedek Ello sementara waktu, ya.”“Siap, Pi,” sahut Grace dengan antusias. Kepalanya manggut-manggut dengan cepat.“Anak pintar,” puji William sambil mengacungkan ibu jari. “Ya sudah, kalian bobo sekarang. Papi sama Mami sayang kalian. Peluk cium buat kalian berdua. Selamat bobo dan mimpi indah, malaikat-malaikat kecil kesayangannya Papi sama Mami.”“Oh, Tuhan! Aku sudah kangen sama anak-anak, Ko,” ucap Debby begitu panggilan video terputus.“Bukan cuma kamu aja, Baby,” timpal William. Sesaat, ia jadi teringat ketika siang tadi, ia dan sang istri mengantar anak-anak ke rumah ka
“Happy wedding anniversary, Baby!” ucap William dengan sangat mesra. Lelaki itu mencium punggung tangan sang istri dengan sangat lembut.Mereka baru saja selesai makan malam romantis yang sengaja disiapkan oleh William. Sayangnya, kebahagiaan William bercampur dengan rasa jengkel setiap kali ada pria yang memandang istrinya hingga dua kali. Tak ingin membagi pesona sang istri dengan orang lain, William pun buru-buru mengajak wanita itu untuk kembali ke kamar suite yang khusus dipesan untuk momen istimewa ini.William tak bosan-bosannya memandangi sang istri. Hingga detik ini, ia masih dan selalu saja terpukau dengan sosok sang istri yang tak banyak berubah selain bertambah cantik sejak ia menikahinya, apalagi malam ini. Berbalut busana malam warna merah menyala dengan bahu terbuka dan belahan gaun setinggi setengah paha yang menampilkan lekuk tubuh di tempat-tempat yang tep
“Koko kenapa? Masuk angin?” tanya Debby dengan panik. Wanita itu tahu-tahu sudah ada di sampingnya. Satu tangan memijat-mijat tengkuknya sementara tangan yang lain meraba keningnya.Perutnya kembali bergolak. Namun, William mencoba mengabaikannya. Tak berani membuka mulut, lelaki itu hanya bisa menggeleng sembari menghentikan apa pun niat Debby saat ini dengan isyarat tangan.Ketika Debby menyingkir, William sedikit merasa lega. Ia menghirup napas dalam-dalam sambil bertumpu pada dinding. William mengerutkan kening dengan perasaan tak enak.Setelah perutnya berhenti bergolak, William melangkah ke wastafel. Ia menatap sekilas pantulan dirinya di cermin, lalu membasuh wajahnya. Saat menegakkan tubuh, sang istri kembali muncul di sisinya dengan membawa botol minyak kayu putih.“Gak perlu, Baby. Koko gak apa-apa kok,&rdquo
“I love you too, Baby. My Love. My Wife. Now and forever,” sahut William dengan senyum mesra terpampang di wajah. Lelaki itu pun balas mencium Debby di beberapa titik di wajah.Setelah mendapatkan ciuman di kening, kedua pipi, dan bibir, Debby lantas menghirup napas dalam-dalam sambil memejamkan mata sejenak. Saat membuka mata, ada kebulatan tekad dan keberanian yang bersemayam di hati.“Aku percaya sama Koko. Kalau sikap Koko kayak gitu, mana mungkin aku tega membuat Koko berharap lama-lama. Aku nggak bakal minta Koko buat nunda kehamilan. Kalau Tuhan kasih kepercayaan itu sama kita sekarang, aku bakal menerima dan menjalaninya.”“Oh, Baby! Kamu serius? Kamu benar gak apa-apa?”Debby mengiyakan dengan mantap. Kepalanya ikut mengangguk untuk meyakinkan suaminya.&ldqu
Seringai jahil sang suami semakin lebar saja. Lelaki itu kemudian bertanya, “Apa kamu sadar, Baby, kalau nanti ada yang kebakaran lagi seperti dulu, sekarang sudah gak perlu bingung-bingung lagi buat cari pemadamnya?”“Ish! Koko ini, lo!” pekik Debby. Tangannya pun langsung mencubit daging terdekat.William sontak mengaduh kesakitan dan menggosok-gosok dada kirinya. “Astaga, Baby! Jarimu pedas juga, ya.”“Hmm! Siapa suruh godain terus?” rajuk Debby. Namun, sesaat kemudian Debby kembali berujar, “Tapi sori, ya, Ko, aku baru bisa kasih semalam.”“Hush! Kamu ini omong apaan sih! Setelah pemberkatan di gereja dan resepsi dengan segitu banyak tamu, kita kan sama-sama kecapaian, Baby. Kamu jangan omong gitu, ah. Meskipun Koko pengin, Koko juga gak mau ma
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Selagi Debby menerka-nerka siapa sosok yang dengan lancang berani memanggil-manggil nama suaminya, tiba-tiba suara William yang terdengar parau menembus gendang telinga Debby. “Lepaskan, Baby. Lepaskan.”“Ko Billy!” jerit Debby putus asa. ‘Ah! Kenapa suara yang keluar sama dengan yang tadi? Apa tadi itu suaraku sendiri?’“Ya, Baby, ya. Ayo, jangan ditahan lagi. Koko pengin lihat kamu, Baby,” ucap William terus menyemangati.Tak ingin mengecewakan lelaki itu, Debby berusaha menuruti kata-katanya. Dengan sedikit takut, dorongan yang semula ia tahan-tahan kini ia biarkan lepas mengalir begitu sa