Menunggu. Menunggu adalah hobi yang Nania lalui bahkan sebelum mengena Brata. Di awal pernikahannya dengan Dono, Nania akan menunggu suaminya di depan pintu dan menyambutnya dengan pelukan hangat.Semua itu dia lakukan sebelum akhirnya kondisi ekonomi mereka memburuk. Saat itu Nania baru sadar jika pernikahan tak hanya tentang cinta, tapi juga tentang finansial yang harus dipenuhi.Sebenarnya hidup mereka bisa saja berjalan tanpa adanya hambatan dan kekerasan, tapi seperti manusia yang lain, selalu saja ada perasaan kurang yang terpenuhi dengan jalan pintas. Dono mulai merasa jika dia tak bisa hidup hanya dengan dua puluh ribu sehari, dia juga mulai memikirkan rokok dan juga tambahan untuk bersenang-senang.Hanya saja, Nania tak pernah mengerti kenapa jalan keluarnya harus ditempuh dengan menjual dirinya?Dono membujuk Nania dengan alasan ingin membuka usaha yang lebih menguntungkan rumah tangga mereka. Dimulai dengan seorang preman yang membayarnya dengan uang dua ratus ribu. Dan Don
“Wah, wah, wah. Apa ini yang aku lihat?”Sebuah langkah anggun mendekati dapur. Baik wajah atau pun bajunya tidak cocok dengan lingkungan dapur itu dan menandakan bahwa dia ada di sana hanya untuk membuat keributan.“Nyonya rumah lagi pegang-pegang bumbu dapur? Kamu beneran istri dari Brata Sudibyo yang pengusaha terkenal itu, bukan sih?”Evani. Dia selalu saja bisa membuat Nania resah. Bahkan kini, tangan Nania sudah gemetar ketika membayangkan apa yang akan terjadi padanya setelah ini.Evani melangkah lebih dekat dan menyentuh satu bumbu dan menciumnya.“Kalau aku jadi kamu, aku gak akan mau nyeburin diri ke dapur kotor ini.” Bumbu itu ia lempar sembarangan. “Lagi pula, buat apa kamu masak, Nan? Kamu mau kelihatan hebat sebagai istri Brata? Apa itu perlu?” Evani tampak kesal setengah mati dan terus mengejek. “Tapi wajar, sih. Kamu mungkin terbiasa jadi pelayan di rumahmu yang kecil dan udik. Kamu gak tahu cara senang-senang dan bersolek biar cantik.”Lalu wanita jahat itu berlalu. D
“Tuan?” Budi sebenarnya paham betul maksud dari ucapan Brata, tapi Tuannya itu belakangan ini bersikap aneh dengan Nyonyanya dan dia merasa menjawab tak akan menyelesaikan apa pun.“Aku berpikir untuk menceraikan Nania.” Brata menghentikan jarinya yang semula bermain di atas keyboard laptop. Ada rasa bergetar yang perih saat dia berkata seperti itu. “Nania adalah wanita yang baik, begitu pula denganmu. Belakangan aku merasa kalau dia tak akan bahagia dengan cara lingkunganku memperlakukannya.”Brata menarik dasinya. Dadanya sesak dan dia butuh udara lebih dari pada sekedar beban cinta.“Aku ingin kamu menikahi Nania, menjaganya, dan memberikan yang terbaik.” Lalu mata tajam itu menatap Budi yang juga menyimak Tuannya. “Akan kuberikan kalian uang dan juga tempat tinggal yang layak. Kau bisa membangun bisnismu sendiri dan tak perlu menghawatirkan masa depanmu. Anakmu keturunanmu juga kelak akan kubiayai sampai meraih universitas yang ia mau.” Brata tampak sudah memikirkan hal ini dengan
Nania tak pernah mau jadi lembek. Dia tak mau menjadi wanita yang hanya mampu mengeluarkan air mata. Tapi seperti sebuah pengaturan dalam ponsel pintar, jiwa Nania yang dijejali kepahitan hidup yang tak bisa ia lawan membuat air mata Nania jadi satu-satunya pengobat deritanya.Tepat saat dia menghapus titik air yang mengalir pipinya itu, sebuah mobil yang Nania kenali sebagai milik Brata menggelinding memasuki lahan parkir. Seorang wanita keluar dengan langkah marah dan Brata menyusulnya di belakang.Dia Nyonya Martha. Seorang Ibu dengan tangan yang dingin dalam mengatur segala hal di hidupnya. Tak ada yang berani menatapnya berlama-lama seakan matanya mampu melahap esensi jiwa seseorang sampai mengering."Ibu tidak suka dengan wanita itu. Titik. Kamu hanya perlu menuruti ibu atau lebih baik kamu tak lagi anggap ibu ada." Nyonya Martha melepas kaca matanya dan berbalik menatap Brata. "Kamu tidak bisa menghancurkan reputasi keluarga kita, Brata. Dan Ibu tahu betul dari mana asal wanita
"Pak?"Brata terdiam menatap Nania. Gadis berkulit terpanggang matahari itu terlihat begitu memesona. Mungkin dia mabuk, tapi Brata tak ingat jika ia minum sesiang itu.Tidak. Cintanya pada Nania yang membuatnya mabuk. Padahal dia baru saja berniat membicarakan perceraian mereka siang ini, tapi ketika dia menatap Budi yang berada begitu dekat dengan Nania, hatinya mulai terbakar."Maaf." Brata lemas dan mulai melepaskan diri dari Nania, membuat wanita itu sedikit kesal karena harapannya yang sempat meninggi. "Aku pasti sudah sangat gila.""Tuan?" Nania menahan tangan Brata dan membuat desir aneh di jiwa pria itu.Brata menepis tangan Nania. Tidak. Dia tak bisa jatuh dalam cinta begitu saja. Dia harus memperhatikan kehidupan di sekitarnya yang tak menerima Nania. Dia tak mau Nania menderita ketika ada di sisinya.Orang-orang yang hidup dengan kelas yang sama dengannya tak pernah suka pada wanita semacam Nania. Mereka akan menggancurkan wanita itu dengan semua ucapan buruk mereka.Brata
"Wanita menyebalkan! Baiknya kamu mati saja, Nan!" Evani tengah dibakar amarah. Pasalnya dia mengingat hari dimana dia memakan masakan yang Nania buat.Sebagai orang dengan strata tinggi di ibu kota Jakarta, Evani selalu merasa kalau tidak semua makanan bisa dinikmati. Dia hanya tahu jika makanan mahal lah yang bisa membuatnya terpuaskan.Sampai masakan Nania mampir ke mulutnya.Rasanya kesal saat tahu wanita hina seperti Nania bisa membuatnya terpesona. Apa lagi jika membayangkan Brata memakan makanan itu setiap hari."Aku juga bisa masak. Aku bahkan bisa menyalakan kompor."Evani tahu jika kompor induksi di rumahnya bekerja seperti tombol pada coffee maker miliknya. Dia tak tahu kalau memasak tak hanya tentang satu atau dua tombol, tapi tentang jumlah bumbu dan juga waktu dimana seluruh bahan harus tercampur."Pa! Kita punya kenalan chef, gak sih?"Papa Evani tampak bingung saat tiba-tiba anaknya menelepon hanya untuk bicara soal chef."Ada. Steven kan chef restoran teman Papa, mema
[Ev, bisa ke ruanganku?]Evani membelalakkan mata. Baru saja dia berencana untuk pulang karena pekerjaan kantornya yang membosankan, tiba-tiba Brata mengiriminya pesan chat yang membuatnya merasa dibutuhkan."Bisa, dong. Tunggu, ya sayang."Tanpa banyak basa-basi, wanita itu melenggang menuju ruangan Brata. Di kepalanya, berbagai situasi romantis sudah terbayang.Dulu, saat dia dan Brata belum terikat dengan pernikahan, dia biasa merayu kekasihnya itu hanya agar mereka bisa mampir ke hotel terdekat dan berdiam di dalamnya selama beberapa jam. Akan terjadi hal panas,dan Evani suka membayangkan adegan itu untuk terjadi lagi."Sayang?" Evani berlari kecil dan duduk dalam pelukan Brata. Dia bahkan mengecup belakang telinga suaminya itu dan membuat Brata risi setengah mati.Itu lah mengapa Brata merasa tak bisa menjadikan Evani sebagai seorang istri. Dia lelah dengan cara agresif wanita itu memperlakukannya. Dia tahu jika bercinta akan membuatnya semangat menjalani banyak hal dalam pekerja
Mobil mewah mengisi parkiran kepolisian setempat pagi itu. Pemiliknya pasti tengah tergesa karena suatu masalah yang harus mereka laporkan. Termasuk seorang paruh baya yang saat itu terlihat gugup dengan pakaian yang bahkan tak sempat dia ganti ketika bangun tidur.Pria yang terburu-buru itu bernama Agustinus. Seorang pengusaha kaya yang seharusnya di masa tuanya ini hanya memperhatikan nilai saham perusahaan-perusahaannya sembari mengontrol satu persatu karyawannya dari rumah besar yang ia punya.Kini tampilan pria itu menunjukkan bahwa tak selamanya kekayaan membuatnya hidup dengan tenang. Pagi tadi, saat ia baru saja membuka mata, supir pribadi anak semata wayangnya datang dengan jalan terseok dan wajah separuh hancur. Dia berkata bahwa dia berusaha setengah mati untuk lepas dari penjahat yang kini membawa Evani, anaknya entah ke mana.Menantunya sendiri datang ke kepolisian satu jam lebih cepat darinya setelah mendapat berita serupa. Mereka berdua kini menghadap polisi yang bertug
"Rasa lapar bukanlah hal terpenting bagi manusia seperti saya, Tuan." Nania menerawang entah kepada apa. Matanya yang hitam kecoklatan itu seperti membayangkan masa lalunya yang tak pernah diliputi bahagia."Yang terpenting bagi saya adalah, apakah orang-orang di sekitar saya bisa tidur nyenyak. Apakah mereka bisa bangun keesokan harinya tanpa banyak mengeluh."Mata itu kemudian menatap pada sosok Brata. Seorang pria yang entah bagaimana bisa terlarut dengan semua cerita Nania.Brata yang mengerti apa yang Nania rasa, kemudian bangkit. Dia mendekati Nania, memeluknya dan mengecup keningnya."Entah apa saja yang sudah kamu lalui selama ini. Yang jelas, aku tak mau kamu kembali menjadi Nania yang dulu."Nania menarik napas. Entah kenapa dia begitu tenang saat ada di peluk pria itu. Entah kenapa dia tak ingin lepas walau tahu bahwa dirinya tak pantas ada di naungan seorang Brata.***Nania membuka laptopnya dengan susah payah. Dia kehilangan fokus pada beberapa kolom dokumen yang sengaja
"Ga, Gado-gado?" Suara Budi seperti seekor tikus yang terkena jebakan. Dia tak mengira jika seluruh effort yang dia keluarkan adalah untuk mengabulkan keinginan Nyonyanya berjualan gado-gado. "Nyonya mau buka usaha gado-gado?" ulang Budi."Ya, Pak Budi. Ada yang salah?Sebenarnya tak ada yang salah. Semua bebas menentukan keinginannnya dalam menjalani hidup. Bahkan burung unta juga tak harus bisa terbang untuk mendapatkan predikat burung.Hanya saja, berjualan gado-gado tampaknya terlalu aneh. Biasanya, para wanita kaya akan memikirkan usaha elegan seperti sebuah rumah makan bergaya klasik yang lampu-lampunya dibiarkan temaram, atau sebuah coffee shop dengan biji kopi yang dimasukkan dalam toples demi sebuah kesan bahwa coffee shop itu hanya menggunakan biji kopi asli di menu mereka.Dan gado-gado tampaknya tak sesuai denga ciri khas mahal keluarga Sudibyo. Budi bisa membayangkan betapa murkanya Nyonya Martha jika tahu menantu yang tak dia inginkan justru mendirikan sebuah rumah makan
"Loh? Pak Budi udah kerja?" Nania terkejut saat Budi siap di depan mobil yang akan dia gunakan hari itu. "Pak! Bapak istirahat aja. Nanti saya hubungi suami saya, ya?""Tidak usah, Nyonya." Budi tersenyum santun dan meletakkan lap yang dia gunakan untuk menghapus bekas tetes air d mobil tuannya. "Saya sengaja bekerja hari ini karena bosan di kamar setiap hari.""Jangan khawtir pada Budi, Nyonya. Dia dan Tuan Brata sama-sama keras kepala dan tak bisa diam saja menunggu sembuh. Saya rasa tubuh mereka dibuat dari semacam lempengan besi.""Bi, jangan keterlaluan." Budi berusaha menahan kecepatan suara Bi Hanna yang entah kenapa semakin mudah berkomentar ketika ada di dekat Nania. "Nyonya tak perlu khawatir. Aku dan Tuan terlalu kuat untuk ditumbangkan."Sebenarnya Nania merasa kesal. Baru saja tadi pagi dia mendapati Brata yang hampir jatuh saat kesusahan berdiri. Dia ingin baik Brata mau pun Budi duduk tenang dan sembuh seperti sedia kala tanpa harus memaksakan diri bekerja.Apa yang seb
Nania melihat punggung Evani menghilang. Dia hanya bisa menggeleng pasrah atas kelakuan tak sopan yang dia terima hari ini. Mungkin dia pantas atau mungkin hal semacam ini adalah hal wajar yang biasa diterima kalangan yang disebut Evani sebagai kalangan kelas bawah.Lalu mata Nania menatap Tuan Agustinus yang masih tak berdaya dengan segala alat bantu kehidupan. Dia menggenggam tangan itu, berdoa sejenak ke pada Tuhannya dan menyerahkan keajaiban yang bahkan tak bisa dilakukan manusia oleh tubuh sang pria kaya."Tuan, anda harus tetap kuat." Nania mencoba mengirim pesan positif walau mungkin Tuan Agustinus tak akan bisa mendengar. "Anda adalah orang yang luar biasa bagi keluarga anda. Nyonya Evani sangat beruntung bisa memiliki anda sebagai ayahnya." Nania mencoba memberikan segala dorongan yang bisa ia telurkan."Nyonya Evani pasti menunggu anda di rumah. Dia akan sangat bahagia jika anda kembali seperti sedia kala."Nania menarik napas dan mengalihkan pandangannya pada jendela rumah
Agustinus tidak sekuat apa yang dia coba tunjukkan. Tepat saat penyiksaannya selesai, dia mulai menunjukkan wajah pucat dan juga napas yang berembus kasar.Pria itu mencoba duduk di salah satu bangku dan berusaha tetap sadar. Dia masih memikirkan putrinya dan tak mau jatuh tak sadarkan diri begitu saja.Tapi Agustinus hanya pria tua dengan berbagai masalah kesehatan. Dia mungkin berpikir jika duduk diam sembari mengatur napas akan membuat kesadarannya kembali. Tapi masalah kesehatan tidak sesederhana itu.Saat denyut jantungnya mulai menyakiti, Agustinus mulai tak lagi bisa menahan fokusnya. Dia mulai jatuh tergeletak dengan mengerang dan sekarat.Beranjak pada sisi lain di sebuah ruangan rumah sakit, berbeda dari Ayahnya yang sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit yang sama, Evani justru sudah membuka mata dan mendapati tubuhnya mulai berbau seperti obat.Dia mencoba bangkit dan duduk, tapi ada rasa linu dan juga pusing yang menyadarkannya bahwa kepalanya juga terluka dan kini di
"Kemungkinan fraktur! Semoga dia tetap tak sadar sampai rumah sakit."Kericuhan terjadi saat ambulan membawa Brata."Sayang! Jangan mati! Tolong jangan mati!"Evani yang ikut masuk ke dalam ambulance, histeris seperti jika nyawanya ikut melayang.Evakuasi Evani dari para penjahat sudah berhasil dilakukan. Bahkan pemimpinnya telah diamankan setelah ditemukan tak jauh dari tempat kejadian.Yang justru bernasib naas adalah sosok Budi dan Brata. Mereka melompat dari atas gedung dan harus mengalami beberapa luka walau tubuh mereka mendarat pada tumpukan sampah tak jauh dari gedung lama itu."Brata! Demi Tuhan, jangan tinggalkan aku!"Brata mengedip. Dengan tangan gemetar, dia meraih wajah Evani yang basah dan penuh lebam."Kau tetap cantik," ujar Brata yang bicara tanpa sadar."Jangan bicara omong kosong!"Brata tersenyum samar dengan oksigen di mulutnya."Kenapa aku harus membiarkan diriku jatuh cinta padamu?"Evani terenyuh. Tangan kekar itu seperti terbenam dalam wajahnya yang banjir ai
"Penculikan dari Evani Agustinus mulai menemuka titik terang. Diduga tersangka kasus penculikan sempat terekam oleh kamera cctv dan tengah membuang barang bukti mereka."Seorang reporter tampak serius dengan pekerjaannya. Dia harus berkejaran dengan waktu agar menjadi pembawa berita pertama atas sebuah kasus yang sempat menghebohkan Jakarta.Perihal keluarga Agustinus bukanlah berita sepele. Mereka adalah keluarga terkaya di Jakarta yang memiliki berbagai usaha hingga namanya dikenal banyak pihak.Beberapa yang menyaksikan berita itu beranggapan bahwa sang penculik terlalu berani mengambil resiko. Tampaknya mereka tak tahu kalau orang kaya bisa melakukan banyak hal untuk membalas luka yang mereka rasa. Terlebih jika luka itu didapat dari seseorang yang menyakiti anggota keluarganya."Bagaimana, Brata?" Agustinus mendekati menantunya. Mereka baru saja keluar dari kantor polisi setelah drama panjang di sana."Para polisi sudah mendapatkan laporan terakhir dari mobil terduga penculik. Se
"Eh?" Nania tertegun. Bukan pertanyaan semacam ini yang dia duga akan keluar dari mulut sang suami. "Cem-cemburu? Tuan, apa hak saya untuk cemburu pada anda?"Brata diam dan mencoba mendekat. Ada satu hal di diri Nania yang membuatnya ingin ada di jarak sedekat itu.Bahkan Nania mulai bisa mencium bau Brata yang seperti air mandi. Pria itu bahkan belum membersihkan dirinya, tapi malah punya harum sememmikat itu.Nania memejamkan mata. Apa pun yang akan dilakukan suaminya, akan dia terima dengan pasrah dan penuh gairah.Seperti ibu jari Brata yang mengusap bibirnya dengan lembut sembari berkata, "bibirmu ada krimnya," lalu menjilat ibu jarinya seakan krim yang dia usap punya rasa yang sangat nikmat.Jika saja kulit Nania lebih putih, pasti warnanya akan semerah tomat. Brata terlalu sempurna untuk menggoda dirinya. Bahkan hal tak penting yang baru saja pria itu lakukan bisa membuat degub jantungnya menggila."Hah ..., Evani, ya?" Brata kembali pada fokus pembicaraan. Jarinya menggaruki
"Laporannya sudah masuk, Ndan." Seorang pria berseragam menyetorkan dokumen yang baru saja dia susun filenya."Coba kamu cari panggila ln terakhir dari nomer Pak Robert. Lacak lokasinya, dan juga lacak nomer lain yang terhubung di nomer itu."Tapi, anak buah itu tak berkutik. Dia justru terliha resah dan menutup mulutnya."Kok diem?" Jelas saja hal itu memancing keheranan sang komandan."Sebenarnya kami sudah melacak pemilik nomer itu. Tapi sepertinya datanya palsu.""Maksudnya?" Informasi itu terdengar sangat tak masuk akal tapi juga menarik perhatian pemimpin kepolisian.Anak buahnya sendiri merenggut folder laporan yang sudah dia susun dan membuka lembar demi lembar laporan itu."Nama pemilik nomer itu Hamzah. Tempat tinggal dan juga seluruh identitasnya sudah kami selidiki, hanya saja ....""Hanya saja apa?""Hamzah ini sudah meninggal tiga tahun lalu, Pak. Apakah mungkin seseorang yang sudah mati bisa bangkit kembali untuk melakukan kejahatan?"Berita itu cukup mengejutkan. Polis