Adam luluh karena Alya merajuk. Dia akhirnya menandatangani kertas yang Adam sendiri tak tahu isinya karena tidak sempat membaca. Tentu saja Alya merasa di atas angin. Rencananya selama ini bersama dengan Romi akhirnya mencapai titik akhir. "Terima kasih, Mas," ucap Alya seraya tersenyum manis. Dia kemudian langsung masuk ke dalam. Tanpa menunggu lama, Alya langsung mengabari Romi jika misi sudah selesai. Mereka berdua tertawa bersama di telepon. Romi juga mengatakan pada Alya jika Alya harus sudah bersiap-siap mulai sekarang karena nanti Romi akan bisa menjemputnya kapan saja. Setelah mendapat kabar dari Alya, Romi segera memasang iklan. Iklan untuk menjual rumah yang di tempati oleh Adam dan Alya. Jika nanti rumah itu laku cepat, Romi akan segera mengusir Adam dari sana. Waktu cepat berlalu. Sudah satu minggu sejak Adam menandatangani surat pemindahan kekayaan miliknya kepada Romi. Adam belum tahu semua itu karena Alya masih di sana. Hanya saja, sikap Alya setelah hari itu berub
Pemandangan yang tak terduga dilihat oleh Adam. Alya tengah bermesraan dengan Romi di rumahnya. Ya, Romi yang selama ini dianggap sahabatnya sendiri. "Kamu juga ngapain di sini? Dan kalian sedang apa?" Begitu polosnya pertanyaan dari Adam. "Kamu b*ta atau pura-pura tidak lihat? Apa perlu kami ulangi lagi?" kata Romi dengan senyum piciknya. Adam langsung teringat dengan ucapan Hana. Hana pernah mengatakan jika Romi dan Alya ada sesuatu. Bahkan Hana mengatakan jika Keenan bukan anaknya. "Apa kalian?" Adam bahkan tak sampai hati menyelesaikan kalimatnya. Keduanya tertawa bersamaan. Mereka menertawakan keb*dohan Adam. Romi mendekat ke arah Adam. Dia memutari Adam sambil memegang pundak Adam. Sebuah senyuman penuh kemenangan terukir di bibir Romi. "Iya. Aku dan Alya ada hubungan. Dan kamu tahu Adam, Keenan itu bukan anakmu melainkan anakku," bisik Romi tepat di telinga Adam. "Jadi Hana selama ini benar? Kalian menipuku?" Adam mulai terpancing emosinya. Perempuan yang selama ini dia
Lama sekali Adam beristirahat di sana sambil merenungkan nasibnya kini. Semua yang dia punya sebenarnya bukan berasal dari harta ayahnya. Adam berjuang dari nol sampai dia bisa membeli rumah dan mobil. Namun tak demikian pikiran Romi. Saudara satu ayah itu menganggap itu harta ayahnya sehingga dengan tipu muslihatnya dia berhasil merebut semuanya dari tangan Adam. "Nak ..." Suara pria sepuh terdengar di telinga Adam. Seketika itu Adam menoleh dan mencari sumber suara. Adam mengucek matanya karena tak percaya dengan apa yang dilihat dihadapannya. Berulang kali dia melakukan itu tapi tetap saja yang dilihatnya sama. Hal itu membuat Adam bertanya-tanya apakah dia bermimpi? Tapi tidak, ini begitu nyata bagi Adam. "Ayah ..." seru Adam. Sang ayah tersenyum kepada Adam lalu mendekatinya. Ayah Adam memakai pakaian serba putih. Ayah Adam tersenyum melihat anaknya yang sekarang sudah besar. "Apa benar ini ayah?" tanya Adam yang masih tak percaya. Tangan Adam menyentuh tubuh ayahnya dan itu
Pak Muh terlihat memanggil istrinya dan mengajaknya ke dalam. Sepertinya ada yang akan dibicarakan oleh Pak Muh pada istrinya. Adam pun menunggu di ruang tamu dengan setia sembari dia berpikir apakah akan jadi mengambil kos ini atau tidak. "Tapi tadi Pak Muh sudah bilang sama istrinya kalau aku mau kos di sini. Padahal aku saja belum mengiyakan. Gimana ini? Apakah harus aku ambil?" tanya Adam pada dirinya sendiri. "Ini kuncinya, Nak!" Tiba-tiba saja Pak Muh muncul dan langsung memberikan kunci kamar kepada Adam."Lho apa ini, Pak? Saya, kan, belum setuju kos di tempat Bapak atau tidak. Kenapa saya diberi kunci?" tanya Adam yang kebingungan. "Gak apa-apa. Kamu bayar nanti setelah kamu punya uang gak apa-apa, Nak. Bapak hanya niat membantu saja," ucap Pak Muh yang tetap memaksa Adam mengambil kunci itu. "Tapi saya belum punya pekerjaan, Pak. Bagaimana nanti kalau saya tidak bisa bayar?" kata Adam dengan sejujur-jujurnya. Kepala Pak Muh menggeleng dan tangannya mengibas. "Gak masala
Sejak kedatangan Adam ke tempat kosnya, Pak Muh menjadi lebih ceria dan bersemangat. Adam memang mengingatkannya pada Guntur. Pak Muh masuk ke dalam kamar Guntur yang sudah lama tidak ditempati. Awalnya Pak Muh ingin menawarkan Adam tinggal bersama dirinya dan menempati kamar Guntur. Tapi Pak Muh kembali berpikir lagi karena tak ingin membuat Adam merasa tidak nyaman. Pak Muh lama di kamar Guntur. Dia memilah-milah barang Guntur dan memasukannya ke dalam bungkus plastik. Tanpa memandang jam, Pak Muh bergegas pergi ke bangunan kosnya untuk memberikan bungkusan itu kepada Adam. "Masya Allah, Pak! Apa ini?" pekik Adam ketika tahu isi bungkusan yang dibawa Pak Muh. Pak Muh tersenyum dan menepuk pundak Adam dua kali. Bungkusan itu ada baju, kemeja, celana dan juga sepatu yang masih bagus-bagus. "Ini untuk kamu saja daripada di rumah gak kepakai. Saya lihat bajunya seukuran dengan kamu makanya saya bawa ke sini," kata Pak Muh. "Memangnya ini punya siapa, Pak?" Menurut Adam, barang yan
Adam bertemu teman semasa sekolah dahulu di masjid itu. Namanya temannya itu adalah Bowo. Sejak di dalam tadi memang Bowo sudah melihat Adam. Namun dia tak berani memanggil karena belum tahu kepastiannya. "Benar dugaanku. Ingat aku gak kamu, Dam?" tanya Bowo sambil menepuk agak kencang pundak Adam. "Tentu saja aku ingat," jawab Adam. Keduanya tampak mengobrol asyik untuk beberapa saat sebelum Bowo pamit untuk balik ke kantor lagi. Mengobrol dengan Bowo membuat Adam sedikit terhibur karena Bowo memang seasyik itu orangnya. Setelah istirahat, Adam kembali melanjutkan perjalanannya melamar pekerjaan. Dia pantang menyerah dan tetap semangat. Tepat pukul lima sore, Adam sudah sampai kos lagi. Sekarang, dia hanya tinggal menunggu untuk dihubungi. Baru saja Adam merebahkan tubuhnya, ada yang mengetuk pintu kamarnya. Dengan sedikit malas Adam membukanya. "Lho ... Pak Muh? Ada apa, Pak?" tanya Adam. Pak Muh sudah berdiri di depan pintunya lengkap dengan sarung dan peci kebanggaannya. "B
"Di rumah sakit mana biar saya ke sana sekarang?" tanya Adam. Yang ada dipikiran Adam saat ini hanyalah Keenan. Kasihan anak itu jika sendirian dengan kondisi kedua orang tuanya yang belum bisa Adam pastikan. Yang terpenting Adam sampai rumah sakit lebih dulu dan melihat kondisi keduanya. Biarpun kedua orang itu telah mengkhianati dan menipunya, Adam masih punya hati nurani. Apalagi setelah tahu jika Romi adalah saudaranya. "Di rumah sakit harapan, Mas."Setelah mendapatkan nama rumah sakitnya, Adam bergegas untuk pergi ke sana. Tentu saja naik angkutan umum atau cari ojek di sekitaran tempat kosnya. Tapi saat sampai di depan gerbang kos, Pak Muh memanggil. "Mau kemana, Nak?" tanya Pak Muh. "Mau ke rumah sakit, Pak. Ada teman yang kecelakaan dan ada anaknya yang kecil. Kasihan saya, Pak.""Innalilahi! Mau naik apa kamu ke sana, Nak? Pakai motor Bapak saja biar cepat," usul Pak Muh. Tanpa pikir panjang lagi Adam mengiyakan. Untuk saat ini hanya Keenan yang ada dipikirannya. Jika
"Apakah Bapak bisa ke rumah sakit sekarang? Kondisi saudara Anda tengah kritis," ucap petugas rumah sakit yang menelepon Adam."Astaghfirullah hal adzim! Baik, saya akan segera ke sana," jawab Adam cepat. Setelah sambungan terputus, Adam mulai kebingungan dengan Keenan. Dia merasa kasihan jika Keenan akan dibawa ke rumah sakit. Anak sekecil itu tak baik berada di lingkungan rumah sakit yang notabenenya banyak orang sakit. "Kenapa, Nak Adam? Kok sepertinya panik," tanya Pak Muh yang melihat gelagat Adam. "Saudara saya kritis, Pak. Saya harus ke rumah sakit tapi bingung dengan Keenan. Rasanya tak mungkin lagi saya ajak ke rumah sakit, Pak. Kasihan," jawab Adam. Istri Pak Muh ikut mendengar obrolan suami dan Adam karena kebetulan dia tak jauh duduknya dari mereka. Beliau langsung mendekat dan memberikan saran. "Biar Ibu yang menjaganya. Jika kamu tidak keberatan, biar Ibu bawa pulang anak itu," kata istri Pak Muh. Tentu saja Pak Muh sangat mendukung usul istrinya. Tadi memang Pak Mu
Perasaan Adam dan Hana campur aduk. Mereka tidak mau bahagia lebih dahulu karena belum ada bukti, biarpun yang memeriksa Hana adalah dokter kandungan. Selama perjalanan menuju poliklinik Dokter Arif, Hana dan Adam saling berpegangan. Mereka menguatkan satu sama lain. Mereka akan melalui hari ini secara bersama-sama apapun hasilnya. "Aku takut, Mas," kata Hana ketika mereka menunggu di ruang tunggu depan poliklinik kandungan. "Kita hadapi sama-sama, ya! Berdoa saja semoga hasilnya sesuai dengan apa yang kita harapkan.""Aamiin."Hana dan Adam masih menunggu karena jadwal praktek Dokter Arif masih setengah jam lagi. Sudah ada beberapa ibu hamil yang juga ikut menunggu. Rasa rindu menghinggapi Hana ketika melihat hal itu. Dia rindu dengan Kanaya. Rindu akan tawa kecil yang selalu menghiasi harinya kala itu. Rindu hingga membuat Hana berharap jika dirinya saat ini benar-benar hamil. Setengah jam kemudian, mereka melihat Dokter Arif masuk ke dalam ruangan. Hati keduanya semakin berdeb
Kesedihan Hana tak berlangsung lama karena dia harus terus menjalani hidupnya. Masih ada Keenan dan juga Adam yang membuatnya bahagia. Tak ada waktu untuk bersedih. Dia harus bisa mensyukuri pemberian dari Allah setelah semua yang telah dia lalui. Dua bulan berlalu setelah kejadian testpack pagi itu. Hana semakin hari semakin giat bekerja. Sekarang bisnis Adam dan Hana mereka kelola sendiri-sendiri. Hana fokus pada bisnis baju-bajunya. Sedangkan Adam meneruskan bisnisnya yang sudah lama. "Kamu kok pucat sekali, Sayang? Kamu lagi sakit?" tanya Adam saat mereka hendak berangkat bekerja. Hana menggeleng pelan. Dia memang merasakan pusing. Tapi karena ada pekerjaan yang harus dia selesaikan, Hana terpaksa berbohong pada Adam. Jika Adam sampai tahu kalau dia sakit, pasti Adam tidak akan mengizinkannya untuk bekerja. Hana sudah terlalu mencintai pekerjaannya itu. Dengan bekerja, dia akan sedikit melupakan keinginannya untuk mempunyai anak. "Kamu yakin?" tanya Adam lagi untuk memastikan
"Ah rasanya aku sudah lupa hamil itu seperti apa. Apa aku cek saja? Tapi, nanti kalau hasilnya tak sesuai yang aku harapkan, pasti aku sedih. Tapi, aku penasaran juga. Toh aku juga sudah terlambat haid sudah hampir seminggu."Hati Hana bimbang. Dia merasa belum siap tapi penasaran juga. Apalagi dia juga sudah sangat merindukan kehadiran buah hati kembali. Walaupun ada Keenan, bukankah anak dari darahnya sendiri itu membahagiakan? Jikalau benar dia hamil, Hana berjanji akan tetap menyayangi Keenan seperti sebelumnya. Tanpa sepengetahuan Adam, Hana pergi ke apotik untuk membeli testpack. Dia memasukkan benda tipis itu ke dalam tasnya dan kembali lagi ke kantor. Kebetulan ada apotik yang dekat dengan tempat yang dijadikan kantor oleh Adam. Di kantor, dia pun bekerja seperti biasanya. Saat pertama kali Adam masuk ke kantornya, dia sangat kagum dengan banyaknya perubahan. Bahkan ada beberapa bisnis baru yang dikerjakan oleh Hana dan itu sangat diapresiasi oleh Adam. "Kamu darimana, Saya
"Kenapa kamu bisa sampai di sini, Lun?" tanya Hana yang kebingungan melihat sahabat yang sudah lama tidak ditemui sekarang ada di rumahnya. Bahkan sampai Marvin ada di rumahnya. Padahal mereka sudah lama sekali tidak berkomunikasi. Luna tak menjawab. Dia mengajak Hana dan Lita untuk duduk terlebih dahulu. Lalu, Luna mengambilkan air minum untuk diminum mereka berdua. Tujuannya agar bisa membuat keadaan keduanya lebih tenang. Sayup-sayup terdengar beberapa orang yang tengah berbisik. Saat itu juga mendadak rumah Hana menjadi ramai. Hana sampai dibuat bingung karenanya. "Terima kasih," ucap Hana setelah kondisinya agak tenang. Keenan pun juga ikut tenang saat melihat Hana tenang. Suasana menjadi hening. Baik Hana maupun Luna tidak saling bicara. Dan mata Hana pun menatap Luna seolah sedang menunggu jawaban dari sahabat yang sudah lama tidak dia temui itu. "Luna ..." ucap Hana lirih. "Iya, Hana. Kamu mau tahu kenapa aku dan Mas Marvin bisa di sini? Iya, kan?" Hana mengangguk cepat.
Sebuah bungkusan plastik yang isinya sudah berhamburan keluar. Banyak darah di sekitar plastik hitam itu. Hana bertakbir karena terkejut melihat hal itu. Tak lama kemudian terdengar lagi suara kaca dilempar batu. "Astaghfirullah hal adzim!" seru Hana dan Lita hampir bersamaan."Apa lagi itu, Bu?" tanya Lita yang melihat kertas yang sudah diremas-remas ada di dekat batu yang dipakai untuk melempar. Hana dengan hati-hati mengambil kertas itu dan membukanya. Matanya melotot ketika melihat tulisan berwarna merah menyala itu. "MAT* KALIAN!" eja Lita saat membaca tulisan yang ada di kertas. "Siapa yang melakukan ini, Bu? Saya takut sekali, Bu," kata Lita kemudian. "Ayo kita masuk ke dalam kamar! Aku harus minta bantuan karena kita sudah diteror," balas Hana. Dia kemudian mengajak Lita untuk ke kamarnya. Saat itu Hana ponsel Hana terletak di dalam kamarnya. Dengan langkah yang cepat keduanya berjalan menuju ke kamar Hana. Sesampainya di kamar, Hana segera mengambil ponsel miliknya unt
Hana membawa Lita ke klinik terdekat untuk diperiksa. Masih dengan ditemani pengacara dan juga polisi. Dan saat pemeriksaan Lita selesai, Hana pun pulang ke rumah.Asam lambung Lita naik karena dia terlalu stres dan juga makan tidak teratur. Dia membawa Lita pulang ke rumah agar bisa dipantau dengan baik. "Dia siapa, Nak?" tanya Ibu Muh saat mengantarkan Keenan pulang ke rumah Hana. "Dia karyawan Mas Adam, Bu. Ada hal yang ingin dia sampaikan ke Hana tapi kemarin dia sempat hilang. Baru tadi ketemu tapi malah dia sakit," jawab Hana. "Oh begitu. Semoga masalahmu cepat selesai, ya, Nak. Dan semoga Nak Adam cepat pulih juga seperti semula.""Aamiin. Terima kasih, ya, Bu, sudah mau Hana repotkan terus.""Gak apa-apa, Nak. Ibu malah senang jadi ada kegiatan ngurus Keenan. Badan Ibu rasanya sakit kalau gak dipakai ngapa-ngapain," sahut Ibu Muh. Walaupun menempuh jarak yang tidak dekat, Ibu Muh tidak pernah mengeluh. Dia dan Pak Muh sama-sama baiknya. Terkadang Ibu Muh diantar Pak Muh ke
Hana terus memaksa Lina untuk mengantarkan dirinya ke tempat Lita. Dia sudah tidak sabar mengetahui apa yang hendak dibicarakan oleh Lita kepadanya. "Tapi Lita bilang nanti setelah pulang kantor, Bu. Lita bilang takut ada yang mengikuti," ucap Lina mengutarakan alasannya. "Siapa yang akan mengikuti? Sebenarnya apa yang Lita tahu? Apa kamu tahu?" tanya Hana pada Lina. Lina menggelengkan kepala. Lina hanya penyampai pesan. Dia memang tak tahu apapun karena dia bukan di bagian keuangan. Dia dan Lita memang sudah berteman lama dan kebetulan bertemu kembali di satu kerjaan. Hanya Lina yang Lita percaya. Sehingga dia memberikan pesan untuk Lina sampaikan pada Hana. Dia sudah tak bisa menahan rahasia bisnis Adam lebih lama lagi karena ada beberapa orang yang mencari dirinya. "Kamu gak usah takut. Nanti sebelum kita sampai di tempat Lita, kita mampir ke kantor polisi untuk minta pengawalan dan perlindungan," ucap Hana menjawab kegundahan Lina. Setelah memikirkannya matang-matang, akhirn
Hana mengendari motor dengan kecepatan yang cukup tinggi. Dalam otaknya hanya berpikiran supaya cepat sampai di rumah sakit. Air matanya tak berhenti mengalir di sepanjang jalan. Tentu saja dia sudah menitipkan Keenan pada Bu Muh. Kebetulan atau tidak, Allah sudah merancang semuanya. Saat pihak rumah sakit menelepon dan meminta Hana untuk datang, kebetulan yang pas karena Bu Muh sedang berkunjung. Perjalanan kali ini terasa sangat lama sekali padahal Hana sudah berusaha cepat. Sebenarnya pihak rumah sakit tak menjelaskan apapun. Hanya saja Hana khawatir dan sampai punya pikiran yang tidak-tidak karena petugas yang menelepon dirinya mengatakan jika ada hal yang mendesak yang mengharuskan Hana untuk datang saat itu juga. "Dok! Sus! Ada apa? Suami saya baik-baik saja, kan?" Setengah berlari Hana menghampiri dokter dan perawat yang tengah berdiri di depan ruangan ICU. Keduanya sontak menoleh ke arah Hana tanpa ekspresi apapun. "Mari ikuti saya, Bu!" ajak perawat itu. Pintu ICU dibuka
Kejanggalan itu terjadi beberapa tahun lamanya. Dan suaminya tak menyadari hal itu. Dalam hatinya Hana bertekad harus menemukan Lita bagaimana pun caranya. Dia kemudian keluar dari ruangan dan mencoba bertanya ke beberapa karyawan yang ada di sana. Namun sayang tidak ada satu pun yang tahu alamat rumah Lita karena Lita hanya menyewa kamar. "Dulu sebelum pindah saya tahu, Bu. Tapi sudah hampir sebulan dia pindah dan saat saya mau main ke kosnya selalu tidak boleh sama Lita," kata teman yang bisa dibilang dekat dengan Lita saat ke kantor. "Oh begitu, ya. Boleh gak saya minta alamat kos yang lama?"Karyawannya itu langsung menuliskan sebuah alamat dan menyerahkannya kepada Hana. Hari berikutnya, Lita benar-benar tidak masuk kantor. Itu dapat diartikan bahwa Lita benar-benar mengundurkan diri dari kantornya. Setelah menyelesaikan beberapa urusan kantor, Hana keluar kantor dengan tujuan ke alamat kos Lita yang lama. Setelah berputar selama kurang lebih satu jam akhirnya Hana dapat men