***
Ting ...
|Lama sekali kamu, Andra! Anita sudah menunggu sejak tadi||Jangan-jangan Helen menahan kamu di rumah? Ingat ya, Helen itu cuma wanita mandul, jangan terlalu memanjakan dia. Mengerti?!|Aku meremas ponsel Mas Andra dalam genggaman. Entah bagaimana ceritanya laki-laki yang sudah menikahiku sejak tiga tahun yang lalu itu meninggalkan ponselnya di atas meja makan. Padahal biasanya dia dan ponsel bagai Ibu dan anak yang tidak terpisahkan. Atau mungkin ini cara Tuhan memberitahu padaku betapa Mama pandai sekali mengemas kelembutan sikapnya selama ini, tapi ternyata di belakangku ... dia berani mengataiku mandul.Drrtt ....Drrtt ....Aku menggeser ikon ke kanan saat nama 'Anitaku' terpampang di layar ponsel suamiku. "Halo, Mas ... kamu lama sekali sih? Keburu dokter kandungan rame nanti," gerutu suara wanita di seberang sana. "Aku tunggu sekarang juga, kalau kamu masih juga jagain Helen yang lagi pura-pura sakit maka aku akan pergi membawa calon bayi kita!"Tut ....Lemas sudah persendianku mendengar suara wanita yang menelepon Mas Andra barusan. Bahkan ponsel yang kupegang hampir saja terlepas dalam genggaman.Dokter kandungan ...?Aku yang pura-pura sakit ...?Siapa sebenarnya wanita yang diberi nama Anitaku' ini?Kuraup udara dengan rakus dan mengembuskannya kasar. Hari ini sengaja aku meliburkan diri untuk tidak pergi ke butik karena badan terasa begitu letih dan lemas sejak pagi. Mas Andra pun pamit untuk pergi ke kantor karena dia bilang ada meeting dengan divisi pemasaran. Produk minuman kemasan yang sedang kami pasarkan mengalami peningkatan yang pesat. Kupikir alasannya adalah sebuah kebenaran yang wajib aku percaya, tapi nyatanya ....Tidak ingin membuang-buang waktu, gegas aku menyadap W******p miliknya ke dalam ponselku. Setelah beres, sejenak kubaca pesan-pesan yang ternyata ada di daftar arsip selama ini. Oh, Tuhan! Bodohnya aku yang tidak pernah mengutak-atik ponsel suami sendiri. Semua itu kulakukan karena aku percaya pada Mas Andra, tapi sepertinya kepercayaan yang kuberikan dia sia-siakan begitu saja.|Permainan kamu sungguh membuat Mas ketagihan, Nit. Besok kita ulangi lagi ya?||Jangan lupa pakai lingeri yang Mas belikan. Kamu benar-benar seksi, berbeda sekali dengan Helen yang tubuhnya semakin melar. Membosankan!|Aku menggigit bibir geram. Ternyata begini kelakuan Mas Andra selama ini? Dan wanita yang bernama Anita ... lihat saja, aku akan mencari tau sendiri kebenarannya. Mereka semua harus hancur karena sudah menyakitiku sedemikian dalam. Mas Andra mungkin lupa darimana dia berasal. Baiklah, mari aku ingatkan siapa dirimu sebenarnya, Mas!Tok ... Tok ... Tok ....Segera kuhapus air mata yang membekas di pipi. Aku yakin sekali kalau yang datang adalah Mas Andra, dia pasti teringat ponselnya ketika di jalan."Kenapa balik lagi, Mas?"Mas Andra mengulas senyum manis di depanku. Tiba-tiba saja keningku dikecup dengan lembut. Jika dulu aku akan merasa tersanjung dan begitu beruntung sebagai seorang wanita, maka hari ini aku benar-benar ingin muntah di wajahnya. Dasar buaya!"Hape Mas ketinggalan. Mas taruh dimana ya tadi, kamu lihat, Len?"Aku menggeleng. Biar saja dia mencari hapenya sampai ketemu, sukur-sukur kalau wanita yang bernama Anita menunggu cukup lama. Biar dia tau rasa karena sudah bermain api dengan suami orang."Ck! Perasaan tadi Mas cuma duduk di ruang makan deh, Sayang. Kamu beneran nggak lihat?""Mas curiga sama aku?""Bukan begitu," sahut Mas Andra salah tingkah. Aku bersedekap dada menatap kedua mata suamiku dan berkata, "Lagipula kenapa panik sekali sih, Mas? Nanti kan bisa kamu cari lagi kalau sudah pulang dari kantor, katanya tadi buru-buru?" selaku dengan tersenyum tipis berusaha menyembunyikan kekesalan di dalam hati."Tidak bisa gitu, Len. Hape itu penting sekali buat Mas, lagipula kalau nanti Anita ...."Mas Andra menghentikan ucapannya ketika dia tanpa sadar menyebut nama Anita. Aku menaikkan satu alis dan menatap tajam ke arahnya. "Siapa Anita?""Ah, anu ... klien baru kita di kantor, Sayang. Mas tadi ada janji bertemu klien di Cafe, takut dia bingung cari Cafe yang Mas maksud."Aku terkekeh. Kenapa setelah tiga tahun bersama, aku baru menyadari jika Mas Andra benar-benar buaya berbulu musang! Pandai sekali dia bersilat lidah."Sudahlah. Nanti tolong bantu cari ponsel Mas ya, aku buru-buru takut ditunggu sama staf yang lain. Ingat, jangan buka-buka hape suami karena itu adalah privasi. Mengerti?"Aku mengangguk malas. Anggap saja kamu bisa lepas kali ini, Mas. Tapi setelah aku menemukan gambaran siapa Anita sebenarnya, maka bersiap-siaplah untuk kutendang dari rumah ini. Setelah memastikan kepergian Mas Andra, aku segera menekan nomor Hazel saat itu juga. Badan lemas dan kepala pusing tiba-tiba tidak lagi aku rasakan. Hari ini juga aku ingin memastikan jika prasangkaku tidak salah. Aku tidak akan membiarkan mereka membodohiku terlalu lama."Halo, Bu Helen ....""Datang ke rumah saya sekarang juga!""Baik, Bu!"Selain Mas Andra, Hazel adalah salah satu orang kepercayaan almarhum Papa yang bertugas memantau perkembangan perusahaan kami selama ini, meskipun aku yakin jika Mas Andra tidak tau akan hal itu. Aku menyambar cardigan di balik pintu dan menutup wajah yang pucat dengan sedikit make up. Lalu mengaplikasikan pewarna bibir tipis sekali hanya untuk mengurangi kesan pucat di wajah. Setelah kurasa selesai, aku kembali membuka ponsel dan mendapati satu pesan yang ternyata mampu mengoyak hatiku hingga membiarkan kedua mata yang selama ini selalu berbinar seketika mengeluarkan tangisnya.Bersambung
***|Kalau kamu masih juga nungguin Helen di rumah, aku akan bilang ke semua orang kalau aku juga istrimu, Mas|Hancur sudah persendianku. Mas Andra dengan wanita yang bernama Anita itu ternyata sudah menikah?Tapi kapan?Apa sebegitu sibuknya aku selama ini sampai-sampai tidak mengendus perselingkuhan suamiku sehingga hampir menghasilkan seorang anak?Kuraup udara dengan rakus. Berusaha mengeluarkan semua sesak yang berdesakan di dalam dada. Sekarang bukan waktunya untuk menangis, Helen! Ada masa depan yang harus kamu perjuangkan dan jika Mas Andra memang ingin lepas dari ikatan pernikahan suci ini, maka dia harus kembali menjadi Andra yang dulu. Bel di depan rumah berbunyi, aku yakin sekali jika Hazel yang datang menemuiku pagi ini. Selain tanggap, dia juga cekatan selama membantuku mengurus perusahaan yang Papa tinggalkan. Apalagi saat Mama tiriku berusaha merebut harta yang Papa tinggalkan, Hazel berusaha keras agar harta Papa tidak jatuh ke tangan mereka. Tiba-tiba air mata men
***"Dew-- Dewi anak Mama Fiona?"Hazel mengangguk lemah. Entah mengapa aku membenci sikapnya yang terkesan mengasihaniku. Aku yakin, di dalam lubuk hatinya pasti merasa puas karena aku sudah salah memilih lelaki dan menolak perjodohan dengannya dulu."Ba-- Bagaimana bisa, Hazel? Dewi dan Mas Andra tidak saling kenal," kilahku. Berharap apa yang Hazel katakan adalah sebuah kesalahan."Banyak hal yang tidak kamu tau, Len. Kamu terlalu sibuk dengan butik dan ya ... terlalu menikmati gombalan Andra, mungkin." Kulihat Hazel menyandarkan punggungnya di sofa. "Terlalu banyak kesalahan yang Andra buat, keluarlah dari zona nyamanmu. Sudah saatnya kamu mengurus semua peninggalan Papamu dengan baik, Len. Hentikan kebucinan yang benar-benar merugikanmu. Andra adalah laki-laki brengsek yang tidak pantas mendapat cinta dari wanita sepertimu. Aku ....""Cukup!" selaku cepat. "Kamu boleh kembali ke kantor, aku ada urusan sebentar lagi.""Len ... setelah kuberitahu apa yang Andra lakukan dengan adik
***Aku melangkah mundur dengan perlahan. Meskipun ingin sekali melabrak mereka sekarang juga, tapi aku tidak mau penghianatan yang Mas Andra berikan hanya berujung pada perceraian semata. Aku akan membalaskan dendam Mama dan Papa jika memang wanita yang menggoda suamiku adalah Dewi. Akan kupastikan jika balas dendam yang kuberikan tidak akan bisa dia lupakan. "Kok balik lagi, Mbak?"Bu Jihan yang masih menggendong cucunya melihatku dengan mengernyit. Aku terkekeh, lalu menarik tangan tetangga yang terkenal ramah itu untuk bersembunyi di balik mobil."Boleh saya minta tolong, Bu?"Bu Jihan nampak mengerjapkan mata lalu mengangguk samar. "Kalau saya bisa, insyaallah saya bantu, Mbak Helen."Aku menceritakan tentang wanita hamil di rumah Mertuanya, nampak wajah Bu Jihan begitu terkejut, lalu kembali menguasai diri karena terlihat jelas dari senyum yang dia paksakan."Mungkin adik ipar Pak Andra, Mbak. Kenapa tidak langsung masuk saja untuk memastikan."Aku mematung. Kugigit bibir denga
***Hazel berbicara panjang lebar dengan klien sementara aku lebih banyak diam menyimak. Jujur, setelah lama tidak mengurus Perusahaan Papa rasanya aku kembali kikuk jika harus berhadapan dengan orang-orang penting ini."Mulai besok kembali bekerja di kantor, cari alasan agar Andra tidak curiga. Satu klien bisa kita atasi, tapi entah ada berapa banyak orang yang Andra hubungi, kamu harus bisa menghentikan sebelum semakin jauh dia bertindak."Aku mengangguk. Setelah pertemuan di Cafe Cempaka aku segera membawa mobil pulang ke rumah. Rasanya lelah sekali, jiwa dan raga."Darimana kamu, Len? Sakit bukannya tidur malah kelayapan!"Aku berjingkat. Untuk pertama kalinya melihat Mas Andra menggerutu di depanku. "Kenapa memangnya? Kamu khawatir?" sindirku. "Helena, sini, Sayang. Andra bilang kamu sakit, Mama datang membawa sup ayam, makan selagi masih hangat."Aku hanya mengangguk. Jika dulu aku akan luluh dan merasa disayangi dengan sikap mereka, maka tidak dengan saat ini. Muak sekali meli
*** "Mau kemana, Len, kenapa rapi sekali?" Aku berjingkat mendengar suara Mama, pasalnya tadi malam dia sudah keluar diantar Mas Andra setelah mencaci makiku di belakang. Tapi pagi ini dia tiba-tiba sudah berada di dapur. "Lena?" "Ah, ehm ... ada urusan di kantor, Ma," sahutku cepat. "Apa Mas Andra sudah berangkat?" Mama Desinta mengangguk. Dia membawa sepiring nasi goreng dan satu gelas susu hangat di atas meja makan. Tanpa menghiraukan sarapan yang sudah Mama buat, aku segera berbalik hendak pergi ke kantor secepatnya, jangan sampai Mas Andra tahu jika aku sudah membatalkan semua pengajuan pinjaman yang sudah dia rencanakan. "Helena, makan dulu, Nak. Kamu baru pulih!" teriak Mama dari arah dapur. Aku berjalan semakin cepat menuju kamar, menyambar kunci mobil dan tas yang sudah berisi banyak bukti siapa sebenarnya Anita. Aku tidak akan memaafkan kalian! Setelah merebut Papa dari Mama, sekarang anaknya pula ingin merebut Mas Andra dariku. Apa mereka pikir aku akan selemah Mama beg
***"Jaga bicaramu, Len. Aku suamimu, tidak seharusnya kamu mempermalukan suami sendiri di depan umum," kata Mas Andra tegas. "Lihat, gara-gara suara kamu para staf sampai terganggu, sekarang ayo kita pergi!"Mas Andra menarik tanganku kasar. Kulihat senyuman tipis tergurat di bibir Anita. Oh ya, apa dia pikir aku selemah itu akan menangisi tamparan suamiku? Tentu tidak!"Lepaskan!" "Tolong jangan buat keributan di kantorku, Len. Aku tidak mau sampai harga diriku rusak gara-gara kamu yang terbakar cemburu!"Aku tertawa lantang. Saat Mas Andra menoleh ke arahku dengan setengah tercengang, disaat itulah aku melepaskan cekalan tangannya. Lihat, anak pelakor itu bahkan mengintil di belakang kami."Kamu sadar apa yang kamu katakan, Mas?"Wajah suamiku memerah. Mungkin dia merasa terhina. Ah, bukankah dia dan selingkuhnya memang hina. Kurang baik apa aku selama ini, sehingga dia berani mengkhianati ikatan suci sebuah pernikahan?"Ini Perusahaan Papaku, Mas. Mana ada kantor milikmu," jelask
*** "Sayang, sudah hentikan! Kamu hanya salah paham dan tersulut cemburu buta." "Cemburu buta?" kataku meniru ucapan Mas Andra. "Ha ... ha ... yang benar saja, Mas. Aku tidak akan menaruh rasa cemburu pada wanita murahan sepertinya! Bahkan jika dia mau ambil kamu, silahkan! Tapi jangan harap bisa mengambil harta orang tuaku sepeserpun!" Kulihat Mas Andra menggelengkank epalanya samar, dan saat itu pula Anita berlalu tanpa berani membalas hinaan yang keluar dari mulutku. Ayolah, Anita ... sakit hati atas ucapanku tidak sesakit kamu merebut suamiku bukan? Kamu dan Mamamu yang jalang itu sudah menghancurkan keluargaku. Aku merasakan tangan Mas Andra menggenggam jemariku. Bisa kulihat kedua mata Anita melotot melihat aksi laki-laki yang dia cintai memelas di depanku saat ini. "Pergilah, Nit! Jangan bikin suasana tambah runyam!" Aku membuang muka. Menepis tangan Mas Andra dan mulai berjalan hendak memasuki ruangan. "Kamu kenapa sih, Len? Kenapa tiba-tiba datang dan mau atur Perusaha
*** "A-- apa maksudmu, Len? Kumpulan pelakor siapa?" Aku tertawa getir. Ibu dan Anak sama saja, pintar bersandiwara. Jelas-jelas di dalam rumah ini ada Mama Fiona dan Anita, tapi dia bersikap seolah-olah tidak tahu menahu tentang apa maksud dari ucapanku. "Len, duduk, Sayang! Kita bicarakan baik-baik! Mama dengar dari Anita kalau kamu salah paham dengan Andra, iya?" Aku berdecih. "Tidak ada yang namanya salah paham. Sudahlah, Ma, aku lelah! Aku cuma mau bilang kalau besok rumah ini harus dikosongkan!" "Lalu kami semua akan tinggal dimana, Helena?" "Kami?" Mama nampak gelagapan. Dia berkali-kali mengerjapkan mata dan berusaha menggenggam jemariku. "Iya, kami. Mama dan Kamila. Apa kami akan kamu bawa tinggal di rumahmu, Nak?" Aku tertawa terbahak-bahak. Menatap satu per satu wajah di dalam rumah ini yang sangat aku benci. Mereka ... tega-teganya mereka membuat hidupku hancur setelah apa yang aku berikan selama ini. "Aku?" Aku menunjuk diriku sendiri di depan Mama. "Aku bawa Mam
***"Saudara Hazel, saya nikahkan dan saya kawinkan anda dengan Helena Bagaskara binti Bagaskara dengan mas kawin uang tunai sebesar 2023 dollar, dibayar tunai!""Saya terima nikah dan kawinnya Helena Bagaskara binti Bagaskara dengan mas kawin tersebut, tunai!""Sah?""Sah!""Alhamdulillah ...."Gedung tempat terlaksananya acara riuh dengan doa-doa para tamu. Helena mengusap sudut matanya yang berair. Di sudut ruangan, sekelebat terlihat bayangan Papa dan Mamanya tengah tersenyum ke arahnya."Selamat ya, Sayang. Semoga pernikahan kalian langgeng sampai maut memisahkan," kata Bu Nela haru. "Jangan sedih, Mama dan Papa ada buat kamu."Helena mengangguk. Hatinya membuncah bahagia karena pernikahannya berjalan dengan lancar. Di sebelah Helena, Hazel tak kalah terharu dengan momen sakral yang baru saja ia lakoni. Kini dia menjadi wanita yang memiliki keluarga. Di tempat lain, Kamila dan Mama Desinta duduk berdampingan. Di ujung yang lain terlihat Mama Fiona menangis haru sambil memangku c
***"Kamu baik-baik saja, Mil?"Kamila menangis namun kepalanya mengangguk memberi jawaban. Helena dan Hazel membawa adik Andra itu ke sebuah Rumah Sakit terdekat. Luka di wajah Kamila harus mendapatkan perawatan. "Terima kasih, Mbak ....""Jangan bicara dulu, bibirmu makin robek," kata Helena mencegah. "Diam saja, kalau sudah mendapat pengobatan di wajahmu, baru berbicara!"Kamila terus menangis. Sesekali tangannya mengusap perut yang terasa perih namun ia enggan menceritakannya itu pada Helena. Kamila tidak mau dianggap sebagai orang yang memanfaatkan kebaikan orang lain, apalagi orang itu adalah Helena. Di kursi kemudi, Hazel tidak berbicara sepatah katapun. Dia terus menatap ke depan seakan-akan Helena dan Kamila di belakang tidak mempengaruhi keadaan hatinya saat ini. Hazel cemburu. Tentu saja. Wanita yang Helena tolong adalah mantan adik iparnya. Ada perasaan nyeri di hati Hazel saat ini. Sesampainya di rumah sakit, Helena dengan sigap meminta bantuan perawat untuk mengobati
***"Maafkan Tante, Len. Sungguh, Tante minta maaf," cicit Mama Fiona. "Kamu sebaik ini pada Tante padahal Tante sudah menyakiti kamu, Helena. Maafkan Tante ...."Helena membuang muka hingga tanpa sadar dia menatap Hazel yang sedang memperhatikannya dengan tatapan lembut. Pria itu mengangguk samar di depan Helena seolah sedang berkata. "Kamu bisa, Sayang!""Aku belum bisa memaafkan semua kesalahan Tante," kata Helena datar. "Mau sebanyak apapun Tante meminta maaf, aku sepertinya tidak bisa memaafkan begitu saja," imbuhnya."Aku tidak perduli apakah nanti berdosa sudah menyimpan dendam, tapi ... sungguh, aku tidak bisa memaafkan semuanya, Tante. Aku melakukan ini karena tidak bisa membiarkan bayi yang tidak bersalah menanggung dosa Ibu dan Neneknya. Tante tau bukan jika aku tidak punya urusan apapun pada bayi itu? Seharusnya aku bisa abai, tapi berulang kali Mama hadir dalam mimpi. Dia terlihat sedang menggendong bayi di depanku ...."Mama Fiona menangis tergugu di depan Helena. Terbay
***"Tidak bisa, kami tidak mau menerima pekerja dengan membawa anak.""Maaf, Ibu. Kami menolak pekerja yang usianya sudah tidak muda lagi.""Lebih baik di rumah saja, Nek, sudah tua masih saja mikirin dunia!""Sudah sana pergi! Gak ada lowongan pekerjaan disini!" Banyak sekali kalimat-kalimat menyakitkan yang Mana Fiona terima hari ini. Rumah yang ia tempati seharusnya sudah jatuh tempo biaya bulanan namun Mama Fiona bahkan tidak memiliki sepeserpun uang. Beruntung susu yang Helena belikan masih ada jadi cucunya bisa menyusu tanpa takut kelaparan. "Permisi ...."Seorang wanita muda berpakaiannya terbuka muncul di ambang pintu. "Jangan minta-minta disini, sana!"Mama Fiona seketika menggeleng. "Mbak, bisa saya melamar bekerja disini?"Wanita dengan belahan dada rendah itu tertawa terbahak-bahak. Dia menepuk-nepuk pipi Mama Fiona dan menjawab. "Bu, disini itu salon kecantikan. Kalau kamu yang penampilannya kucel dan lusuh seperti ini bekerja di tempatku, bisa kabur semua pelangganku.
***"Ma, gak bisa gitu dong! Aku maunya bebas!" Anita menggebrak meja tanpa peduli apakah bayinya akan terkejut dan menangis atau tidak. Beruntung sebelum berangkat mengunjungi Anita, Mama Fiona sudah memberi susu yang cukup untuk cucunya. "Enak saja Mama mau lepas tangan, ingat ya ... semua ini gara-gara rencana Mama!"Mama Fiona menunduk menatap wajah cucunya yang tertidur sangat pulas. "Mama tau, Nit. Mama mengaku salah, tapi tolong mengertilah ....""Aku tidak bisa mengerti apapun saat ini! Melihat Mama bebas sementara aku terkurung di penjara rasanya hatiku seolah terbakar. Aku marah, tentu saja!""Dengarkan Mama, Anita!" bentak Mama Fiona lantang. "Dengarkan Mama sekali ini saja, setelah itu ... terserah langkah apa yang mau kamu ambil."Anita diam meskipun dadanya naik turun menahan amarah. Bagaimana tidak, otak dari rencana kejahatan ini adalah Mama Fiona namun wanita paruh baya itu justru bebas sementara Anita yang harus mendekam di penjara. "Mama sudah terlanjut mendapatkan
***Helena dan Bu Nela sama-sama menangis. Hazel yang sedang membawa nampan berisi minuman hanya bisa terpaku di balik dinding penyekat antara dapur dan ruang keluarga. "Den, mau Bibi bawakan?" Hazel menggeleng, "Tidak perlu, Bi. Aku sengaja menunggu sampai Mama dan Helena tenang," kata Hazel menolak.Bibi mengangguk pasrah dan kembali ke dapur, sementara Hazel masih terus berdiri dengan telinga yang sedang mencuri dengar perbincangan dua wanita hebat dalam hidupnya. "Aku ingin sekali membenci, Ma, tapi entah kenapa aku justru merasa bersalah sekarang," tutur Helena di tengah isak tangisnya. "Mama Fiona dan Anita sudah menghancurkan hidupku, tapi kenapa aku justru iba pada bayinya? Tidak bisakah aku membenci bayi itu juga, Ma?""Dia tidak bersalah, Sayang ...." Bu Nela menyahuti ucapan calon menantunya dengan sigap. "Mau sebanyak apapun kesalahan dan kejahatan yang Anita dan Ibunya lakukan, bayi itu tidak bersalah, Helena."Helena menatap wajah Bu Nel lamat-lamat. "Aku ingin memban
***"Ah, tidak begitu ... apakah yang aku putuskan ini benar kalau aku membantu biaya hidup bayi itu? Dia ... wajahnya yang damai membuatku selalu merasa bersalah, Hazel."Kedua mata Helena lagi-lagi berkaca-kaca. Tangannya yang semula terlihat jauh lebih tenang kini kembali bergetar. Tampak betapa pergulatan hebat di dalam hatinya dengan berlangsung saat ini."Aku tahu, dulu ... Mama Fiona tidak peduli bagaimana aku akan melanjutkan hidup. Dia tanpa hati menyingkirkan Mama dan Papa, tapi ... saat itu posisiku adalah wanita yang sudah bersuami, Hazel. Jika aku adalah seorang bayi, apakah Mama Fiona akan memberikan rasa kasihannya padaku?" Helena berbicara seorang diri. Ya, lagi-lagi Hazel memberi ruang agar Helena bisa melampiaskan apa yang ia rasa saat ini. "Aku tidak bisa abai pada bayi itu, apakah ini memang rencana Mama Fiona, Hazel? Dia tahu bahwa aku tidak akan sampai hati untuk tidak perduli itu sebabnya dia menemuiku dengan membawa bayi? Begitukah, Hazel?"Hazel masih belum be
***"Apa Tante pikir dengan membenci saya maka semua pahit yang aku rasakan musnah sudah?" Helena bertanya parau. "Aku sebenarnya muak membahas tentang masa lalu, Tante. Tapi hari ini aku mau semuanya berakhir. Tante ... Anita, Mas Andra dan keluarganya aku harap tidak lagi menggangguku!"Mama Fiona mengangguk lemah. "Ya, Tante berjanji, Helena."Hazel mengusap punggung tangan Helena seraya melontarkan tatapan lembut pada wanita yang saat ini terlihat begitu kalut itu. "Kita pulang?"Helena mengangguk. Ada perasaan iba pada bayi yang tidak bersalah, namun ada perasaan benci ketika netranya menangkap wajah Mama Fiona. Selalu saja pahit di masa lalu membuatnya tidak mau menaruh rasa kasihan saat ini. "Untuk ke depannya, aku tidak mau tahu bagaimana kabar Tante dan siapapun itu. Mau itu bayi Anita atau bayi-bayi yang lain. Aku tidak perduli!""Tante paham, Helena," sahut Mama Fiona sendu. "Tante sangat paham," imbuhnya. "Untuk yang terakhir kalinya, tolong maafkan Tante.""Aku tidak bis
***"Masih punya muka menemui Helena, Tante?" Hazel langsung memberi pertanyaan menohok setelah makanan di depannya tandas tak bersisa. "Sepertinya muka Tante Fiona tebal sekali ya, Sayang?" tanya Hazel kepada Helena seraya terkekeh mencibir. "Putrinya hampir membunuhku, kini dia datang menemui calon istriku, mau apa, Tante?"Mama Fiona terus menunduk. Tangannya sibuk menepuk-nepuk bokong bayi dalam dekapannya sementara jantungnya sejak tadi sudah berdebar hebat. Tidak cukup nyali untuk mengangkat kepala di depan Hazel karena saat ini posisinya sudah kalah telak."Om Bagas dan istrinya meninggal di tangan Tante, sekarang Tante Fiona datang membawa bayi di depan Helena, wah ... paham sekali kalau calon istriku ini wanita baik," tutur Hazel lagi. "Belum lagi, aku yakin kalau otak lain dari rencana kecelakaan yang menimpaku adalah Tante Fiona, mustahil sekali jika Anita merencanakan itu sendirian."Mama Fiona mengangkat wajahnya perlahan. Saat kedua matanya bersirobok dengan mata Hazel,