***
Hazel berbicara panjang lebar dengan klien sementara aku lebih banyak diam menyimak. Jujur, setelah lama tidak mengurus Perusahaan Papa rasanya aku kembali kikuk jika harus berhadapan dengan orang-orang penting ini.
"Mulai besok kembali bekerja di kantor, cari alasan agar Andra tidak curiga. Satu klien bisa kita atasi, tapi entah ada berapa banyak orang yang Andra hubungi, kamu harus bisa menghentikan sebelum semakin jauh dia bertindak."
Aku mengangguk. Setelah pertemuan di Cafe Cempaka aku segera membawa mobil pulang ke rumah. Rasanya lelah sekali, jiwa dan raga.
"Darimana kamu, Len? Sakit bukannya tidur malah kelayapan!"
Aku berjingkat. Untuk pertama kalinya melihat Mas Andra menggerutu di depanku. "Kenapa memangnya? Kamu khawatir?" sindirku.
"Helena, sini, Sayang. Andra bilang kamu sakit, Mama datang membawa sup ayam, makan selagi masih hangat."
Aku hanya mengangguk. Jika dulu aku akan luluh dan merasa disayangi dengan sikap mereka, maka tidak dengan saat ini. Muak sekali melihat Mama Desinta yang berpura-pura perhatian padahal dia juga mendukung aksi penghianatan anaknya.
"Darimana kamu, katakan!"
"Dari butik, Mas. Kamu pikir darimana?"
"Sudah pandai bohong ya kamu! Aku baru saja dari Butik dan kamu tidak ada disana. Apa menjadi yatim piatu membuatku lupa bagaimana caranya minta ijin pada suami?"
Plak ...
Aku berbalik dan menampar pipi Mas Andra dengan keras. Hatiku berdenyut nyeri mendengar dia menghina status yang memang benar adanya, ya ... aku memang yatim piatu, tapi kedua orang tuaku selalu mendidikku dengan baik.
"Andra!" teriak Mama Desinta. "Tenangkan dirimu, lagipula mungkin Helena sudah berada di jalan waktu kita ke butik."
Napasku memburu melihat laki-laki yang ternyata hanyalah seorang benalu selama ini. Lihat ... dia bahkan lupa siapa yang membiayai hidupnya selama ini.
"Maafkan Andra, Len. Dia hanya sedang kesal karena ada tetangga yang bilang kalau tadi kamu datang ke rumah."
"Lalu kenapa kalau aku memang kesana, Ma? Ada yang salah, lagipula itu juga rumahku, rumah yang kubeli dari uang Perusahaan Papaku. Iyakan? Atau mendadak kalian semua lupa kalau harta yang kalian nikmati ini adalah milikku?"
Kulihat wajah Mas Andra memerah. Aku tidak peduli, hatiku terlanjur sakit mendapat hinaan dari mulutnya.
"Kamu kenapa jadi bahas harta sih, Len?"
"Ya terus, apa aku salah kalau mengingatkan asal usul rumah yang Mama tempati? Lagipula kamu yang kenapa, Mas, istri baru datang malah marah-marah. Memang ada apa di rumah Mama sampai kamu begitu takut aku kesana, katakan?!"
Aku melirik tajam ke arah Mas Andra dan Mama Desinta. Keduanya terlihat saling pandang, lalu Mas Andra berjalan mendekat sembari menggenggam jemariku dengan lembut. "Maafkan Mas, Len. Mas hanya lelah seharian di kantor, pulang-pulang kamu malah nggak ada. Mas takut kamu kenapa-kenapa di luar."
Aku berdecih lirih. Kantor dia bilang? Aku semakin muak melihat tingkah Mas Andra dan Mamanya yang ternyata adalah ular selama ini.
"Minggir, aku mau istirahat!" Aku menepis tangannya dan hendak berlalu meninggalkan Mas Andra dan Mama di ruang tamu.
"Helena, Mama datang kesini ... ehm ... anu, Sayang ...."
Aku menghentikan langkah. Menoleh pada wanita yang selama ini aku sayangi sepenuh hati bahkan semua keinginannya aku yang penuhi, tapi apa yang kudapat ... penghianatan yang menyakitkan.
Menatap wajah Mama Desinta membuat air mataku kembali menggenang. Hampir tiga tahun lamanya aku merasakan kasih sayang Mama yang telah lama hilang. Tapi ternyata Tuhan mempunyai takdir lain untuk hidupku. Dia tunjukkan kebusukan Mama dan Suamiku yang telah lama mereka sembunyikan.
"Katakan, Ma. Aku lelah, tidak punya banyak waktu."
"Helena!" Suara Mas Andra meninggi. Melihat wajahku yang datar, dia kembali merendahkan suaranya. "Maaf, Len. Tapi tolong hargai kedatangan Mama, dia kesini ingin melihat keadaan kamu dan ...."
"Biar Mama yang bicara, Ndra. Buatkan istrimu teh hangat, dia pasti lelah bekerja seharian disaat badannya sedang tidak sehat."
Mas Andra mengangguk samar kemudian berlalu meninggalkan aku dan Mama di ruang tamu. Jika dulu aku akan bermanja-manja dan bergelayut di lengannya, kini bahkan untuk menatap kedua matanya saja aku enggan. Ada sakit yang tidak bisa aku jelaskan saat ketulusan justru dibalas dengan penghianatan. Tidak tanggung-tanggung, Mas Andra bahkan hampir memberiku anak dari rahim wanita lain.
"Duduklah, Nak. Biar Mama pijit kakimu."
Aku menurut. Untuk saat ini tidak ada pilihan lain selain menekan rasa geram di dalam dada. Hazel benar, aku harus bermain cantik meskipun tidak jarang aku pun tersulut emosi melihat Mas Andra yang mulai menunjukkan kebusukannya.
"Maafkan Andra. Dia terlalu khawatir kamu kenapa-kenapa sampai terlihat marah sekali. Kamu percaya kan kalau anak Mama itu begitu mencintaimu?"
"Oh ya, Ma?"
Nampak wajah Mama terlihat kaget dengan ucapanku. "Kenapa kamu bicara seperti itu? Kamu mulai ragu pada Andra?" tanya Mama seraya memicingkan matanya.
Aku menggeleng. Mencoba tersenyum sekalipun hatiku rasanya hancur berkeping-keping. Lihat, betapa manis sikapnya di depanku, tapi di belakang ... dia tidak ubahnya ular yang siap mematuk.
"Andra mencintai kamu, Helena. Jangan berpikir yang tidak-tidak pada anak Mama. Dia laki-laki yang setia."
Aku membuang muka malas. "Sebenarnya apa yang ingin Mama katakan?"
"Mama ingin merayakan ulang tahun Kamila, Sayang," sahut Mas Andra dari arah dapur. Di tangannya membawa secangkir teh hangat dan diletakkan dengan perlahan di atas meja.
"Lalu?"
"Kok lalu sih? Ya, masa kamu diam-diam saja, Len. Adikku mau ulang tahun loh!" jawab Mas Andra ketus. "Setidaknya beri Kamila hadiah kejutan, Sayang. Apalagi biaya ulang tahun sekarang tidak murah."
Kedua tanganku mengepal kuat. Rahangku mengeras menahan geram mendengar ucapan Mas Andra. Helena ... Helena ... betapa kamu memang wanita bodoh! Mereka mengelabui kamu selama ini dan kamu bahkan tidak menyadarinya. Bodoh!
"Aku sedang tidak ada uang, Mas. Maaf."
"Len, bagaimana bisa nggak ada uang, pemasukan butik kamu melejit loh bulan ini."
Aku menoleh. Kedua mataku membulat lebar mendengar pernyataan yang keluar dari mulut suamiku.
"Tunggu, darimana kamu tau? Jangan bilang kalau ....?"
"Tadi aku lihat pemasukan butik, Ana yang kupaksa memperlihatkan. Tega ya kamu, Helena ... pemasukan butik kamu bahkan begitu besar dan untuk memberi hadiah Kamila saja kamu enggan. Kamu kenapa sih, Len?"
Aku mencekal lengan Mas Andra dengan kuat. Ingin rasanya aku tampar dia sekarang juga dan mengusirnya dari rumah. Tapi lagi-lagi aku meraup udara dengan kasar, aku harus memastikan kalau uang yang Mas Andra ambil dari perusahaan kembali dengan utuh.
"Lancang kamu, Mas!" teriakku, "Tidak seharusnya kamu melihat apa yang menjadi privasiku! Lagipula kalau pendapatan butik melejit naik, apa urusannya denganmu, kenapa kamu terlihat ingin sekali menguasai semua hartaku, hah?"
"Aku suamimu, Len ... sekedar melihat perkembangan butikmu apa aku salah?"
"Ya! Jelas kamu salah, Mas!" sahutku cepat. "Kamu bertindak seolah-olah semua milikku adalah milikmu, seharusnya kamu sadar diri kalau semua peninggalan Papa adalah milikku, murni milikku. Jangan mengusik apapun selain Perusahaan yang bahkan hampir ...."
Aku membuang muka. Hampir saja aku kelepasan mengatakan semuanya jika aku sebenarnya mengetahui keadaan Perusahaan Papa.
"Hampir apa?" tanya Mas Andra dingin.
"Argh! Lama-lama aku muak melihat sikapmu, Mas! Kenapa yang ada di otakmu hanya uang, uang dan uang saja!"
Aku berlalu meninggalkan Mas Andra dan Mama di ruang tamu. Rasanya lelah sekali, jiwa dan ragaku benar-benar tidak sanggup menjalani ini semua. Aku berjalan sembari sibuk mengusap air mata yang mengalir membasahi pipi. Tapi tiba-tiba langkahku sengaja berhenti saat suara Mama sayup-sayup kudengar.
"Wanita kurang ajar! Beraninya dia berbicara sombong di depan kamu, Ndra."
Aku menghentikan langkah di balik dinding pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga.
"Pokoknya Mama tidak mau tau, besok harus ada mobil baru untuk Anita. Dia sedang hamil cucu Mama, apa iya seorang Andra tidak bisa membelikan mobil baru untuk istrinya?"
"Ma, aku sedang kebingungan menutup pengeluaran Perusahaan yang membengkak. Kalau sampai Helena tau sebelum aku menguras semuanya, kita akan hancur."
"Persetan dengan wanita mandul itu, Andra! Mama muak sekali melihatnya yang sok berkuasa. Lihat saja, selangkah lagi Mama akan buat dia menderita!"
Aku meremas dada dengan kuat. Tolong, Helena ... sekarang bukan waktunya untuk lemah. Musuh ada di dekatmu dan kamu hanya bisa menangis saja?
Baiklah, Ma. Mari kita lihat siapa yang akan hancur. Aku, atau kalian!
"Mama mau pulang. Percuma ngemis-ngemis kesini tapi nggak ada hasil. Dasar mandul!"
Tidak kudengar suara Mas Andra mengelak ucapan Mamanya. Langkah kaki terdengar semakin menjauh, lalu disusul deru mobil yang mulai meninggalkan halaman rumah.
Aku merogoh saku celana dan mengambil gawai di dalam sana. Kutekan nomor Hazel karena aku butuh dia untuk mengejutkan Mas Andra besok.
"Halo, Hazel ... besok aku akan kembali ke kantor, tolong jadi sekertarisku untuk saat ini karena tidak ada yang bisa kupercaya selain kamu."
"Apa balas dendam akan dimulai, Lena?"
"Ya, dan tidak ada ampun untuk penghianat!"
Bersambung
*** "Mau kemana, Len, kenapa rapi sekali?" Aku berjingkat mendengar suara Mama, pasalnya tadi malam dia sudah keluar diantar Mas Andra setelah mencaci makiku di belakang. Tapi pagi ini dia tiba-tiba sudah berada di dapur. "Lena?" "Ah, ehm ... ada urusan di kantor, Ma," sahutku cepat. "Apa Mas Andra sudah berangkat?" Mama Desinta mengangguk. Dia membawa sepiring nasi goreng dan satu gelas susu hangat di atas meja makan. Tanpa menghiraukan sarapan yang sudah Mama buat, aku segera berbalik hendak pergi ke kantor secepatnya, jangan sampai Mas Andra tahu jika aku sudah membatalkan semua pengajuan pinjaman yang sudah dia rencanakan. "Helena, makan dulu, Nak. Kamu baru pulih!" teriak Mama dari arah dapur. Aku berjalan semakin cepat menuju kamar, menyambar kunci mobil dan tas yang sudah berisi banyak bukti siapa sebenarnya Anita. Aku tidak akan memaafkan kalian! Setelah merebut Papa dari Mama, sekarang anaknya pula ingin merebut Mas Andra dariku. Apa mereka pikir aku akan selemah Mama beg
***"Jaga bicaramu, Len. Aku suamimu, tidak seharusnya kamu mempermalukan suami sendiri di depan umum," kata Mas Andra tegas. "Lihat, gara-gara suara kamu para staf sampai terganggu, sekarang ayo kita pergi!"Mas Andra menarik tanganku kasar. Kulihat senyuman tipis tergurat di bibir Anita. Oh ya, apa dia pikir aku selemah itu akan menangisi tamparan suamiku? Tentu tidak!"Lepaskan!" "Tolong jangan buat keributan di kantorku, Len. Aku tidak mau sampai harga diriku rusak gara-gara kamu yang terbakar cemburu!"Aku tertawa lantang. Saat Mas Andra menoleh ke arahku dengan setengah tercengang, disaat itulah aku melepaskan cekalan tangannya. Lihat, anak pelakor itu bahkan mengintil di belakang kami."Kamu sadar apa yang kamu katakan, Mas?"Wajah suamiku memerah. Mungkin dia merasa terhina. Ah, bukankah dia dan selingkuhnya memang hina. Kurang baik apa aku selama ini, sehingga dia berani mengkhianati ikatan suci sebuah pernikahan?"Ini Perusahaan Papaku, Mas. Mana ada kantor milikmu," jelask
*** "Sayang, sudah hentikan! Kamu hanya salah paham dan tersulut cemburu buta." "Cemburu buta?" kataku meniru ucapan Mas Andra. "Ha ... ha ... yang benar saja, Mas. Aku tidak akan menaruh rasa cemburu pada wanita murahan sepertinya! Bahkan jika dia mau ambil kamu, silahkan! Tapi jangan harap bisa mengambil harta orang tuaku sepeserpun!" Kulihat Mas Andra menggelengkank epalanya samar, dan saat itu pula Anita berlalu tanpa berani membalas hinaan yang keluar dari mulutku. Ayolah, Anita ... sakit hati atas ucapanku tidak sesakit kamu merebut suamiku bukan? Kamu dan Mamamu yang jalang itu sudah menghancurkan keluargaku. Aku merasakan tangan Mas Andra menggenggam jemariku. Bisa kulihat kedua mata Anita melotot melihat aksi laki-laki yang dia cintai memelas di depanku saat ini. "Pergilah, Nit! Jangan bikin suasana tambah runyam!" Aku membuang muka. Menepis tangan Mas Andra dan mulai berjalan hendak memasuki ruangan. "Kamu kenapa sih, Len? Kenapa tiba-tiba datang dan mau atur Perusaha
*** "A-- apa maksudmu, Len? Kumpulan pelakor siapa?" Aku tertawa getir. Ibu dan Anak sama saja, pintar bersandiwara. Jelas-jelas di dalam rumah ini ada Mama Fiona dan Anita, tapi dia bersikap seolah-olah tidak tahu menahu tentang apa maksud dari ucapanku. "Len, duduk, Sayang! Kita bicarakan baik-baik! Mama dengar dari Anita kalau kamu salah paham dengan Andra, iya?" Aku berdecih. "Tidak ada yang namanya salah paham. Sudahlah, Ma, aku lelah! Aku cuma mau bilang kalau besok rumah ini harus dikosongkan!" "Lalu kami semua akan tinggal dimana, Helena?" "Kami?" Mama nampak gelagapan. Dia berkali-kali mengerjapkan mata dan berusaha menggenggam jemariku. "Iya, kami. Mama dan Kamila. Apa kami akan kamu bawa tinggal di rumahmu, Nak?" Aku tertawa terbahak-bahak. Menatap satu per satu wajah di dalam rumah ini yang sangat aku benci. Mereka ... tega-teganya mereka membuat hidupku hancur setelah apa yang aku berikan selama ini. "Aku?" Aku menunjuk diriku sendiri di depan Mama. "Aku bawa Mam
PoV Author *** Helena terkekeh. Dia menarik rambut Anita hingga wanita itu berteriak kesakitan. Fiona menahan napas melihat anaknya diperlakukan kasar oleh Helena. Apalagi saat ini Anita sedang hamil, tentu saja Fiona takut jika satu-satunya senjata yang mereka miliki justru hilang begitu saja. Melihat ada pergerakan dari Fiona dan Desinta, Hazel menghalangi jalan mereka dengan tegap. "Berani meringsek maju, kupatahkan kedua tangan kalian!" serunya sengit. Desinta dan Fiona saling pandang sementara di depan pintu Helena semakin mengeratkan tarikannya di rambut panjang Anita. Wanita itu semakin mendongak, air mata mengalir di sudut-sudut matanya. "Gila kamu, Helena! Lepaskan aku!" teriaknya marah. "Kalau Mas Andra tau kamu memperlakukanku seperti ini, dia tidak akan mengampunimu!" "Kamu pikir aku butuh pengampunan dari laki-laki miskin itu, Nit?" tanya balik Helena seraya melirik Desinta sinis. "Dia dan keluarganya, atau bahkan kamu dan Mama lacurmu itu hidup dari uangku, dari bela
*** "Menangislah sekarang. Sepuasnya, seberapa banyak pun kamu ingin membuang air mata. Menangislah!" Helena semakin tergugu. Dia tidak menyangka jika selama ini Hazel justru selalu memantaunya dari jauh. "Andai saja dulu aku menikah denganmu, aku yakin Papa pasti masih hidup, Zel," lirih Helena sembari memanggil Hazel dengan sebutan masa kecil mereka. Hazel menoleh. Dadanya berdegup kencang, lebih kencang dari biasanya. Bibirnya tersenyum tipis kemudian membuang muka perlahan. Dia tidak mau Helena melihat wajahnya yang memerah karena bahagia wanita yang dia cintai memanggilnya dengan panggilan masa lalu mereka. "Bagaimana kalau kita menikah saja sekarang?" Helena menghembuskan napas kasar. Dia melengos dan mencebik. "Aku bahkan tidak berselera bercanda kali ini. Hatiku benar-benar hancur. Orang-orang yang aku anggap baik ternyata tidak ubahnya ular dalam hidupku," papar Helena mengurai pedihnya takdir yang menyapa. "Aku pikir menikah dengan laki-laki yang kucintai akan berakhir
*** "Len ... Helena!" Aku menutup telinga dengan bantal saat suara Mas Andra menggelegar di depan pintu pagar. "Keluar kamu, Helena!" Dadaku berdegup kencang. Untuk area Perumahan yang tidak banyak penghuni, suara Mas Andra cukup terdengar sampai ke lantai atas rumahku. Beruntung Hazel segera membawa dua orang satpam dan satu ART untuk menemaniku malam ini. Prediksinya benar, Mas Andra akan datang ke rumah ini karena sore tadi anak buah yang aku sewa sudah mengusir keluarganya dari rumah. "Bangsat kamu, Len!" Aku meremas tangan dengan gusar. Untuk pertama kalinya, setelah bertahun-tahun kami menjadi suami istri, aku bisa mendengar umpatan yang akhirnya keluar juga dari mulut suamiku. Ah, calon mantan suami. Tiba-tiba mataku menyapu ruangan. Di dalam kamar ini dulu kita selalu memadu kasih, berbagi cerita tentang kegiatan sehari-hari, juga menyusun rencana masa depan yang ternyata semua itu hanyalah pemanis saja. Mas Andra benar-benar membuat duniaku hancur. "Lepaskan! Aku sua
PoV Helena *** "Cukup! Diam kalian berdua!" Aku berteriak lantang. Kesal sekali melihat Mama dan Kamila bersikap seolah begitu tertindas dengan perilakuku, padahal sebenarnya mereka lah yang bersalah. "Pergi dari sini atau kulaporkan tindakan Mas Andra yang sudah menguras keuangan perusahaan!" Mama Desinta dan Kamila sontak menoleh ke arah laki-laki di samping mereka. Aku bisa melihat wajah Mas Andra yang pucat mendapat tatajam tajam dari dua wanita dalam hidupnya. "Pergi! Kalian benar-benar keluarga tidak tau malu!" Setelah mengatakan demikian, aku berjalan dengan langkah lebar memasuki rumah dan menutup pintunya dengan keras. Suara panggilan Mas Andra masih terdengar, bahkan Mama dan Kamila juga tidak putus asa memanggil namaku. Hampir kurang lebih sepuluh menit lamanya kedua satpam pilihan Hazel akhirnya bisa membuat kutu-kutu itu pergi dari rumahku. Rasa lega tentu saja menyeruak di dalam dada meskipun sebenarnya hatiku masih saja merasakan sakit karena penghianatan mereka.
***"Saudara Hazel, saya nikahkan dan saya kawinkan anda dengan Helena Bagaskara binti Bagaskara dengan mas kawin uang tunai sebesar 2023 dollar, dibayar tunai!""Saya terima nikah dan kawinnya Helena Bagaskara binti Bagaskara dengan mas kawin tersebut, tunai!""Sah?""Sah!""Alhamdulillah ...."Gedung tempat terlaksananya acara riuh dengan doa-doa para tamu. Helena mengusap sudut matanya yang berair. Di sudut ruangan, sekelebat terlihat bayangan Papa dan Mamanya tengah tersenyum ke arahnya."Selamat ya, Sayang. Semoga pernikahan kalian langgeng sampai maut memisahkan," kata Bu Nela haru. "Jangan sedih, Mama dan Papa ada buat kamu."Helena mengangguk. Hatinya membuncah bahagia karena pernikahannya berjalan dengan lancar. Di sebelah Helena, Hazel tak kalah terharu dengan momen sakral yang baru saja ia lakoni. Kini dia menjadi wanita yang memiliki keluarga. Di tempat lain, Kamila dan Mama Desinta duduk berdampingan. Di ujung yang lain terlihat Mama Fiona menangis haru sambil memangku c
***"Kamu baik-baik saja, Mil?"Kamila menangis namun kepalanya mengangguk memberi jawaban. Helena dan Hazel membawa adik Andra itu ke sebuah Rumah Sakit terdekat. Luka di wajah Kamila harus mendapatkan perawatan. "Terima kasih, Mbak ....""Jangan bicara dulu, bibirmu makin robek," kata Helena mencegah. "Diam saja, kalau sudah mendapat pengobatan di wajahmu, baru berbicara!"Kamila terus menangis. Sesekali tangannya mengusap perut yang terasa perih namun ia enggan menceritakannya itu pada Helena. Kamila tidak mau dianggap sebagai orang yang memanfaatkan kebaikan orang lain, apalagi orang itu adalah Helena. Di kursi kemudi, Hazel tidak berbicara sepatah katapun. Dia terus menatap ke depan seakan-akan Helena dan Kamila di belakang tidak mempengaruhi keadaan hatinya saat ini. Hazel cemburu. Tentu saja. Wanita yang Helena tolong adalah mantan adik iparnya. Ada perasaan nyeri di hati Hazel saat ini. Sesampainya di rumah sakit, Helena dengan sigap meminta bantuan perawat untuk mengobati
***"Maafkan Tante, Len. Sungguh, Tante minta maaf," cicit Mama Fiona. "Kamu sebaik ini pada Tante padahal Tante sudah menyakiti kamu, Helena. Maafkan Tante ...."Helena membuang muka hingga tanpa sadar dia menatap Hazel yang sedang memperhatikannya dengan tatapan lembut. Pria itu mengangguk samar di depan Helena seolah sedang berkata. "Kamu bisa, Sayang!""Aku belum bisa memaafkan semua kesalahan Tante," kata Helena datar. "Mau sebanyak apapun Tante meminta maaf, aku sepertinya tidak bisa memaafkan begitu saja," imbuhnya."Aku tidak perduli apakah nanti berdosa sudah menyimpan dendam, tapi ... sungguh, aku tidak bisa memaafkan semuanya, Tante. Aku melakukan ini karena tidak bisa membiarkan bayi yang tidak bersalah menanggung dosa Ibu dan Neneknya. Tante tau bukan jika aku tidak punya urusan apapun pada bayi itu? Seharusnya aku bisa abai, tapi berulang kali Mama hadir dalam mimpi. Dia terlihat sedang menggendong bayi di depanku ...."Mama Fiona menangis tergugu di depan Helena. Terbay
***"Tidak bisa, kami tidak mau menerima pekerja dengan membawa anak.""Maaf, Ibu. Kami menolak pekerja yang usianya sudah tidak muda lagi.""Lebih baik di rumah saja, Nek, sudah tua masih saja mikirin dunia!""Sudah sana pergi! Gak ada lowongan pekerjaan disini!" Banyak sekali kalimat-kalimat menyakitkan yang Mana Fiona terima hari ini. Rumah yang ia tempati seharusnya sudah jatuh tempo biaya bulanan namun Mama Fiona bahkan tidak memiliki sepeserpun uang. Beruntung susu yang Helena belikan masih ada jadi cucunya bisa menyusu tanpa takut kelaparan. "Permisi ...."Seorang wanita muda berpakaiannya terbuka muncul di ambang pintu. "Jangan minta-minta disini, sana!"Mama Fiona seketika menggeleng. "Mbak, bisa saya melamar bekerja disini?"Wanita dengan belahan dada rendah itu tertawa terbahak-bahak. Dia menepuk-nepuk pipi Mama Fiona dan menjawab. "Bu, disini itu salon kecantikan. Kalau kamu yang penampilannya kucel dan lusuh seperti ini bekerja di tempatku, bisa kabur semua pelangganku.
***"Ma, gak bisa gitu dong! Aku maunya bebas!" Anita menggebrak meja tanpa peduli apakah bayinya akan terkejut dan menangis atau tidak. Beruntung sebelum berangkat mengunjungi Anita, Mama Fiona sudah memberi susu yang cukup untuk cucunya. "Enak saja Mama mau lepas tangan, ingat ya ... semua ini gara-gara rencana Mama!"Mama Fiona menunduk menatap wajah cucunya yang tertidur sangat pulas. "Mama tau, Nit. Mama mengaku salah, tapi tolong mengertilah ....""Aku tidak bisa mengerti apapun saat ini! Melihat Mama bebas sementara aku terkurung di penjara rasanya hatiku seolah terbakar. Aku marah, tentu saja!""Dengarkan Mama, Anita!" bentak Mama Fiona lantang. "Dengarkan Mama sekali ini saja, setelah itu ... terserah langkah apa yang mau kamu ambil."Anita diam meskipun dadanya naik turun menahan amarah. Bagaimana tidak, otak dari rencana kejahatan ini adalah Mama Fiona namun wanita paruh baya itu justru bebas sementara Anita yang harus mendekam di penjara. "Mama sudah terlanjut mendapatkan
***Helena dan Bu Nela sama-sama menangis. Hazel yang sedang membawa nampan berisi minuman hanya bisa terpaku di balik dinding penyekat antara dapur dan ruang keluarga. "Den, mau Bibi bawakan?" Hazel menggeleng, "Tidak perlu, Bi. Aku sengaja menunggu sampai Mama dan Helena tenang," kata Hazel menolak.Bibi mengangguk pasrah dan kembali ke dapur, sementara Hazel masih terus berdiri dengan telinga yang sedang mencuri dengar perbincangan dua wanita hebat dalam hidupnya. "Aku ingin sekali membenci, Ma, tapi entah kenapa aku justru merasa bersalah sekarang," tutur Helena di tengah isak tangisnya. "Mama Fiona dan Anita sudah menghancurkan hidupku, tapi kenapa aku justru iba pada bayinya? Tidak bisakah aku membenci bayi itu juga, Ma?""Dia tidak bersalah, Sayang ...." Bu Nela menyahuti ucapan calon menantunya dengan sigap. "Mau sebanyak apapun kesalahan dan kejahatan yang Anita dan Ibunya lakukan, bayi itu tidak bersalah, Helena."Helena menatap wajah Bu Nel lamat-lamat. "Aku ingin memban
***"Ah, tidak begitu ... apakah yang aku putuskan ini benar kalau aku membantu biaya hidup bayi itu? Dia ... wajahnya yang damai membuatku selalu merasa bersalah, Hazel."Kedua mata Helena lagi-lagi berkaca-kaca. Tangannya yang semula terlihat jauh lebih tenang kini kembali bergetar. Tampak betapa pergulatan hebat di dalam hatinya dengan berlangsung saat ini."Aku tahu, dulu ... Mama Fiona tidak peduli bagaimana aku akan melanjutkan hidup. Dia tanpa hati menyingkirkan Mama dan Papa, tapi ... saat itu posisiku adalah wanita yang sudah bersuami, Hazel. Jika aku adalah seorang bayi, apakah Mama Fiona akan memberikan rasa kasihannya padaku?" Helena berbicara seorang diri. Ya, lagi-lagi Hazel memberi ruang agar Helena bisa melampiaskan apa yang ia rasa saat ini. "Aku tidak bisa abai pada bayi itu, apakah ini memang rencana Mama Fiona, Hazel? Dia tahu bahwa aku tidak akan sampai hati untuk tidak perduli itu sebabnya dia menemuiku dengan membawa bayi? Begitukah, Hazel?"Hazel masih belum be
***"Apa Tante pikir dengan membenci saya maka semua pahit yang aku rasakan musnah sudah?" Helena bertanya parau. "Aku sebenarnya muak membahas tentang masa lalu, Tante. Tapi hari ini aku mau semuanya berakhir. Tante ... Anita, Mas Andra dan keluarganya aku harap tidak lagi menggangguku!"Mama Fiona mengangguk lemah. "Ya, Tante berjanji, Helena."Hazel mengusap punggung tangan Helena seraya melontarkan tatapan lembut pada wanita yang saat ini terlihat begitu kalut itu. "Kita pulang?"Helena mengangguk. Ada perasaan iba pada bayi yang tidak bersalah, namun ada perasaan benci ketika netranya menangkap wajah Mama Fiona. Selalu saja pahit di masa lalu membuatnya tidak mau menaruh rasa kasihan saat ini. "Untuk ke depannya, aku tidak mau tahu bagaimana kabar Tante dan siapapun itu. Mau itu bayi Anita atau bayi-bayi yang lain. Aku tidak perduli!""Tante paham, Helena," sahut Mama Fiona sendu. "Tante sangat paham," imbuhnya. "Untuk yang terakhir kalinya, tolong maafkan Tante.""Aku tidak bis
***"Masih punya muka menemui Helena, Tante?" Hazel langsung memberi pertanyaan menohok setelah makanan di depannya tandas tak bersisa. "Sepertinya muka Tante Fiona tebal sekali ya, Sayang?" tanya Hazel kepada Helena seraya terkekeh mencibir. "Putrinya hampir membunuhku, kini dia datang menemui calon istriku, mau apa, Tante?"Mama Fiona terus menunduk. Tangannya sibuk menepuk-nepuk bokong bayi dalam dekapannya sementara jantungnya sejak tadi sudah berdebar hebat. Tidak cukup nyali untuk mengangkat kepala di depan Hazel karena saat ini posisinya sudah kalah telak."Om Bagas dan istrinya meninggal di tangan Tante, sekarang Tante Fiona datang membawa bayi di depan Helena, wah ... paham sekali kalau calon istriku ini wanita baik," tutur Hazel lagi. "Belum lagi, aku yakin kalau otak lain dari rencana kecelakaan yang menimpaku adalah Tante Fiona, mustahil sekali jika Anita merencanakan itu sendirian."Mama Fiona mengangkat wajahnya perlahan. Saat kedua matanya bersirobok dengan mata Hazel,