*** "Wow, ada angin apa seorang titisan pelakor datang ke kantorku? Ah, sepertinya aku harus membuat brifing pada para satpam agar wanita ular sepertimu tidak bisa masuk ke sini." Helena berdiri. Dia berjalan anggun mendekati Anita yang terpaku di depan pintu ruangannya. "Ada urusan apa mendatangi perusahaan saya, Nona Anita?" Anita membuang muka. Kedatangannya kali ini bukan tanpa alasan. Bagaimana tidak, tadi malam Andra dan Mamanya serta Kamila datang ke rumahnya tanpa diundang. Meminta tinggal sementara disana dengan dalih menyusun rencana untuk menghancurkan Helena yang sudah berbuat semena-mena pada keluarganya. Begitulah benalu! "Kamu keterlaluan, Len! Bisa-bisanya mengusir suami sendiri dari rumah mereka!" "Rumah mereka?" Ulang Helena terkekeh. "Sejak kapan mereka punya rumah, Dewi Anita? Bahkan rumah yang kamu tempati jika mau pun bisa merebutnya." Kedua tangan Anita mengepal kuat. Rahangnya mengatup rapat mendengar ancaman dari mulut Helena. "Rumah yang kalian tempat m
*** "Bagaimana, Nit? Apa kamu berhasil membujuk Helena agar aku bisa kembali pulang ke rumah? Ck, rumahmu panas sekali ... Mama dan Kamila nggak bisa tidur nyenyak disini." Anita mencebik saat Andra mencecarnya dengan banyak keluhan. Sungguh, kini hatinya benar-benar menyesal karena sudah merebut Andra dari tangan Helena. Dia pikir Andra pasti bisa menguasai semua harta peninggalan Bagas-- Ayah Helena. Tapi nyatanya ... laki-laki itu menjelma benalu di rumahnya. "Kenapa diam saja, jangan-jangan kamu gagal?" tanya Desinta sengit. "Enggak berguna! Bagaimana bisa kamu kalah dari wanita yatim piatu itu, Anita?" "Diam!" teriak Anita sengit. "Jangan banyak bicara kalau kalian masih ingin tinggal disini!" Wajah Desinta memerah. Untuk pertama kalinya ia mendengar suara Anita yang meninggi. Sementara Andra terlihat mengusap wajahnya kasar sembari mengumpat lantang. "Brengsek, Helena! Berani-beraninya dia ... aku yakin ini pasti gara-gara laki-laki sialan! Hazel brengsek!" Anita membuang
*** "Bermain-main? Sepertinya itu lumayan seru, Zel. Tapi ...." "Kamu tidak ingin mencari tahu siapa dalang di balik kecelakaan yang menimpa Papamu?" Helena nampak berpikir. Bermain-main dengan Andra dan Anita bukan hal yang mudah. Sedikit saja dia lemah, maka dua orang laknat itu pasti berhasil menguasai semua yang Helena miliki. "Jangan khawatir! Pasang CCTV paling kecil di setiap sudut rumah." "Apa rencana kamu, Hazel?" Helena menatap penuh selidik pada sosok pria yang belakangan ini selalu berada di sisinya. "Jangan bilang kalau kamu menyarankan aku membawa Mas Andra kembali ...." "Betul!" sahut Hazel cepat. "Hanya itu satu-satunya cara agar kamu bisa mendapatkan banyak bukti, Helena." Helena menggeleng cepat. Dia tidak akan setuju dengan apa yang Hazel sarankan. Satu-satunya pilihan yang ingin dia realisasikan saat ini adalah menendang Andra dari rumahnya dan memenjarakan suaminya karena sudah memanipulasi data-data perusahaan. "Terlalu beresiko, Hazel. Lagipula aku sudah
***"Pasang semua CCTV di sudut yang tidak terlihat, bahkan di dalam kamar tamu sekalipun!" pinta Hazel pada dua orang suruhannya sore ini. "Aku tidak ingin melewatkan sedikitpun informasi nantinya."Dua orang suruhan Hazel mengangguk patuh sementara aku hanya diam melihat mereka bergerak dengan cepat mencari eagle yang pas agar kegiatan orang-orang di rumah ini bisa terpantau dengan jelas. "Kamu yakin ini cara paling benar?""Kita bisa batalkan jika kamu ragu, tapi jangan harap bisa menemukan bukti atas kecelakaan yang menimpa Om Bagas. Kamu siap?"Aku dilanda kegamangan yang luar biasa. Menerima Mas Andra dan semua keluarganya di rumah ini, itu artinya aku harus siap mengorbankan hatiku hingga berdarah-darah. Tapi melepaskan mereka begitu saja rasanya ... aku tidak rela! Semua penghianat itu harus mendapat balasannya."Aku ... takut ....""Ada aku. Tenanglah!""Tapi kamu tidak tinggal disini, Hazel. Bagaimana kalau mereka punya rencana buruk padaku?""Dan aku bisa melihat rencana-r
***"Keterlaluan kamu, Helena!" Mama Fiona bergerak maju. "Rumah ini murni pemberian Mas Bagas untukku, punya hak apa kamu dengan rumah yang sudah menjadi hak milikku ini, hah?"Aku bersedekap dada. Ternyata semua belum juga jelas untuk Mama Fiona dan putrinya. Pengacara, notaris dan dua anggota kepolisian ternyata tidak jua membuatnya jera."Pak ... bisa bacakan surat wasiat Papa pada wanita di depan saya ini?"Pengacara Papa mengangguk. Dia membuka berkas yang berada dalam genggaman dan membacakan isi surat wasiat Papa di depan banyak orang."Saya ... Bagas Herlambang, dengan penuh kesadaran memberikan semua harta yang saya miliki hanya kepada Helena selaku putri satu-satunya yang saya punya. Semua aset beratas namakan nama saya akan menjadi milik Helena, tanpa terkecuali."Mama Fiona terlihat menggeleng tidak percaya. Kedua matanya melebar sempurna dengan mulut menganga. "I-- ini tidak mungkin! Rumah ini murni pemberian Mas Bagas untuk memperingati hari jadi kami berdua, mana bisa
***"Len, ehm ... Mas rasa kamu ... ehm, agak keterlaluan sama Anita dan Mamanya," celetuk Mas Andra. Aku menoleh dengan cepat, kutatap kedua matanya yang tidak lagi menyimpan teduh itu dengan tajam. "Oh ya?" tanyaku datar. "Padahal itu belum seberapa sih menurutku, aku bisa buat kedua wanita lacur itu menderita sampai tidak kuat lagi merasakan pahitnya hidup." Mas Andra menoleh ke arahku. Wajahnya pucat, bahkan keringat sebesar biji jagung membanjiri pelipisnya. "Aku pun bisa melakukan itu padamu dan keluargamu, Mas! Jadi ... jaga sikap dan lakukan dengan baik isi dari surat perjanjian yang sudah kamu tanda tangani. Jangan sampai kebaikan hatiku kamu sia-siakan saat ini. Mengerti?!"Mama Desinta dan Kamila yang tengah duduk di kursi belakang terdengar menghembuskan napas kasar. Aku mencoba tak acuh, mereka akan mendapatkan balasan ketika sudah masuk ke dalam rumah nanti. Tenang saja!"Tapi ... Anita sedang ....""Aku tidak peduli bahkan dengan dia hamil sekalipun!" bentakku. "Kamu m
***"Hah?"Mama terlihat cengo, terpaksa aku berkata dua kali agar dia mengerti posisinya di rumah ini."Kakiku capek, Ma. Pijitin aku ya?""Mama? Kamu enggak salah, Len?""Eh, emang ada yang salah ya? Aku cuma minta tolong buat pijit kaki kok. Salah emang?"Kulihat Mas Andra mengangguk samar ketika Mama melirik ke arahnya. Lihat ... bahkan demi kekayaan dia rela melihat Ibunya kuperbudak. "Ta-- tapi, Len ... aku ini Mama mertua kamu loh, setidaknya hargai aku sebagai ....""Mama lupa kalau numpang di rumahku? Aku kan sudah berbaik hati memberikan tumpangan pada kalian, setidaknya berikan balas budi lah, Ma!"Wajah Mama Desinta memerah. Aku berselonjor dan meletakkan kedua kaki di atas meja di ruang tamu. Kusandarkan punggung pada sofa dengan sedikit memejamkan mata. Sayup-sayup aku melihat Mas Andra menarik tangan Mamanya dan keduanya duduk di sebelahku."Cepat, Ma!" desak Mas Andra."Keterlaluan!" desis Mama lirih. Aku tersenyum sinis dan membetulkan posisi kakiku."Sudah mengumpat
***|Betul apa kata Mama, Mas. Kamu harus habisi sekalian Mbak Helena, setelah itu kita bisa kaya dengan bebas.|Aku menutup mata dengan erat. "Ternyata kalian dalangnya?"|Tidak semudah itu, Ma. Semua orang bisa curiga kalau Helena tiba-tiba meninggal. Kita harus buat rencana yang matang. Kita butuh Mama Fiona dan Anita.||Ya, kamu benar. Mereka berdua memang pandai menyusun strategi. Sama seperti kematian Mama mertua kamu dulu, disusul Papa Mertua kamu juga. Fiona memang cerdik, tapi sayang ... dia sedikit bodoh karena terlambat menyisihkan harta untuk dirinya sendiri.|Jantungku berdebar. Bukti yang aku perlukan ternyata datang dengan begitu cepat tanpa menunggu beberapa hari atau minggu pun bulan lagi. Belum genap sehari aku bersikap arogan, orang-orang rakus itu sudah menunjukkan semua kebenarannya.Kamu tidak akan lolos begitu saja dari, Anita! Dan Mamamu, kupastikan dia akan merasakan apa yang Mama rasakan!Prok ... Prok ... Prok ...."Seru sekali sampai tidak mendengar suara l
***"Saudara Hazel, saya nikahkan dan saya kawinkan anda dengan Helena Bagaskara binti Bagaskara dengan mas kawin uang tunai sebesar 2023 dollar, dibayar tunai!""Saya terima nikah dan kawinnya Helena Bagaskara binti Bagaskara dengan mas kawin tersebut, tunai!""Sah?""Sah!""Alhamdulillah ...."Gedung tempat terlaksananya acara riuh dengan doa-doa para tamu. Helena mengusap sudut matanya yang berair. Di sudut ruangan, sekelebat terlihat bayangan Papa dan Mamanya tengah tersenyum ke arahnya."Selamat ya, Sayang. Semoga pernikahan kalian langgeng sampai maut memisahkan," kata Bu Nela haru. "Jangan sedih, Mama dan Papa ada buat kamu."Helena mengangguk. Hatinya membuncah bahagia karena pernikahannya berjalan dengan lancar. Di sebelah Helena, Hazel tak kalah terharu dengan momen sakral yang baru saja ia lakoni. Kini dia menjadi wanita yang memiliki keluarga. Di tempat lain, Kamila dan Mama Desinta duduk berdampingan. Di ujung yang lain terlihat Mama Fiona menangis haru sambil memangku c
***"Kamu baik-baik saja, Mil?"Kamila menangis namun kepalanya mengangguk memberi jawaban. Helena dan Hazel membawa adik Andra itu ke sebuah Rumah Sakit terdekat. Luka di wajah Kamila harus mendapatkan perawatan. "Terima kasih, Mbak ....""Jangan bicara dulu, bibirmu makin robek," kata Helena mencegah. "Diam saja, kalau sudah mendapat pengobatan di wajahmu, baru berbicara!"Kamila terus menangis. Sesekali tangannya mengusap perut yang terasa perih namun ia enggan menceritakannya itu pada Helena. Kamila tidak mau dianggap sebagai orang yang memanfaatkan kebaikan orang lain, apalagi orang itu adalah Helena. Di kursi kemudi, Hazel tidak berbicara sepatah katapun. Dia terus menatap ke depan seakan-akan Helena dan Kamila di belakang tidak mempengaruhi keadaan hatinya saat ini. Hazel cemburu. Tentu saja. Wanita yang Helena tolong adalah mantan adik iparnya. Ada perasaan nyeri di hati Hazel saat ini. Sesampainya di rumah sakit, Helena dengan sigap meminta bantuan perawat untuk mengobati
***"Maafkan Tante, Len. Sungguh, Tante minta maaf," cicit Mama Fiona. "Kamu sebaik ini pada Tante padahal Tante sudah menyakiti kamu, Helena. Maafkan Tante ...."Helena membuang muka hingga tanpa sadar dia menatap Hazel yang sedang memperhatikannya dengan tatapan lembut. Pria itu mengangguk samar di depan Helena seolah sedang berkata. "Kamu bisa, Sayang!""Aku belum bisa memaafkan semua kesalahan Tante," kata Helena datar. "Mau sebanyak apapun Tante meminta maaf, aku sepertinya tidak bisa memaafkan begitu saja," imbuhnya."Aku tidak perduli apakah nanti berdosa sudah menyimpan dendam, tapi ... sungguh, aku tidak bisa memaafkan semuanya, Tante. Aku melakukan ini karena tidak bisa membiarkan bayi yang tidak bersalah menanggung dosa Ibu dan Neneknya. Tante tau bukan jika aku tidak punya urusan apapun pada bayi itu? Seharusnya aku bisa abai, tapi berulang kali Mama hadir dalam mimpi. Dia terlihat sedang menggendong bayi di depanku ...."Mama Fiona menangis tergugu di depan Helena. Terbay
***"Tidak bisa, kami tidak mau menerima pekerja dengan membawa anak.""Maaf, Ibu. Kami menolak pekerja yang usianya sudah tidak muda lagi.""Lebih baik di rumah saja, Nek, sudah tua masih saja mikirin dunia!""Sudah sana pergi! Gak ada lowongan pekerjaan disini!" Banyak sekali kalimat-kalimat menyakitkan yang Mana Fiona terima hari ini. Rumah yang ia tempati seharusnya sudah jatuh tempo biaya bulanan namun Mama Fiona bahkan tidak memiliki sepeserpun uang. Beruntung susu yang Helena belikan masih ada jadi cucunya bisa menyusu tanpa takut kelaparan. "Permisi ...."Seorang wanita muda berpakaiannya terbuka muncul di ambang pintu. "Jangan minta-minta disini, sana!"Mama Fiona seketika menggeleng. "Mbak, bisa saya melamar bekerja disini?"Wanita dengan belahan dada rendah itu tertawa terbahak-bahak. Dia menepuk-nepuk pipi Mama Fiona dan menjawab. "Bu, disini itu salon kecantikan. Kalau kamu yang penampilannya kucel dan lusuh seperti ini bekerja di tempatku, bisa kabur semua pelangganku.
***"Ma, gak bisa gitu dong! Aku maunya bebas!" Anita menggebrak meja tanpa peduli apakah bayinya akan terkejut dan menangis atau tidak. Beruntung sebelum berangkat mengunjungi Anita, Mama Fiona sudah memberi susu yang cukup untuk cucunya. "Enak saja Mama mau lepas tangan, ingat ya ... semua ini gara-gara rencana Mama!"Mama Fiona menunduk menatap wajah cucunya yang tertidur sangat pulas. "Mama tau, Nit. Mama mengaku salah, tapi tolong mengertilah ....""Aku tidak bisa mengerti apapun saat ini! Melihat Mama bebas sementara aku terkurung di penjara rasanya hatiku seolah terbakar. Aku marah, tentu saja!""Dengarkan Mama, Anita!" bentak Mama Fiona lantang. "Dengarkan Mama sekali ini saja, setelah itu ... terserah langkah apa yang mau kamu ambil."Anita diam meskipun dadanya naik turun menahan amarah. Bagaimana tidak, otak dari rencana kejahatan ini adalah Mama Fiona namun wanita paruh baya itu justru bebas sementara Anita yang harus mendekam di penjara. "Mama sudah terlanjut mendapatkan
***Helena dan Bu Nela sama-sama menangis. Hazel yang sedang membawa nampan berisi minuman hanya bisa terpaku di balik dinding penyekat antara dapur dan ruang keluarga. "Den, mau Bibi bawakan?" Hazel menggeleng, "Tidak perlu, Bi. Aku sengaja menunggu sampai Mama dan Helena tenang," kata Hazel menolak.Bibi mengangguk pasrah dan kembali ke dapur, sementara Hazel masih terus berdiri dengan telinga yang sedang mencuri dengar perbincangan dua wanita hebat dalam hidupnya. "Aku ingin sekali membenci, Ma, tapi entah kenapa aku justru merasa bersalah sekarang," tutur Helena di tengah isak tangisnya. "Mama Fiona dan Anita sudah menghancurkan hidupku, tapi kenapa aku justru iba pada bayinya? Tidak bisakah aku membenci bayi itu juga, Ma?""Dia tidak bersalah, Sayang ...." Bu Nela menyahuti ucapan calon menantunya dengan sigap. "Mau sebanyak apapun kesalahan dan kejahatan yang Anita dan Ibunya lakukan, bayi itu tidak bersalah, Helena."Helena menatap wajah Bu Nel lamat-lamat. "Aku ingin memban
***"Ah, tidak begitu ... apakah yang aku putuskan ini benar kalau aku membantu biaya hidup bayi itu? Dia ... wajahnya yang damai membuatku selalu merasa bersalah, Hazel."Kedua mata Helena lagi-lagi berkaca-kaca. Tangannya yang semula terlihat jauh lebih tenang kini kembali bergetar. Tampak betapa pergulatan hebat di dalam hatinya dengan berlangsung saat ini."Aku tahu, dulu ... Mama Fiona tidak peduli bagaimana aku akan melanjutkan hidup. Dia tanpa hati menyingkirkan Mama dan Papa, tapi ... saat itu posisiku adalah wanita yang sudah bersuami, Hazel. Jika aku adalah seorang bayi, apakah Mama Fiona akan memberikan rasa kasihannya padaku?" Helena berbicara seorang diri. Ya, lagi-lagi Hazel memberi ruang agar Helena bisa melampiaskan apa yang ia rasa saat ini. "Aku tidak bisa abai pada bayi itu, apakah ini memang rencana Mama Fiona, Hazel? Dia tahu bahwa aku tidak akan sampai hati untuk tidak perduli itu sebabnya dia menemuiku dengan membawa bayi? Begitukah, Hazel?"Hazel masih belum be
***"Apa Tante pikir dengan membenci saya maka semua pahit yang aku rasakan musnah sudah?" Helena bertanya parau. "Aku sebenarnya muak membahas tentang masa lalu, Tante. Tapi hari ini aku mau semuanya berakhir. Tante ... Anita, Mas Andra dan keluarganya aku harap tidak lagi menggangguku!"Mama Fiona mengangguk lemah. "Ya, Tante berjanji, Helena."Hazel mengusap punggung tangan Helena seraya melontarkan tatapan lembut pada wanita yang saat ini terlihat begitu kalut itu. "Kita pulang?"Helena mengangguk. Ada perasaan iba pada bayi yang tidak bersalah, namun ada perasaan benci ketika netranya menangkap wajah Mama Fiona. Selalu saja pahit di masa lalu membuatnya tidak mau menaruh rasa kasihan saat ini. "Untuk ke depannya, aku tidak mau tahu bagaimana kabar Tante dan siapapun itu. Mau itu bayi Anita atau bayi-bayi yang lain. Aku tidak perduli!""Tante paham, Helena," sahut Mama Fiona sendu. "Tante sangat paham," imbuhnya. "Untuk yang terakhir kalinya, tolong maafkan Tante.""Aku tidak bis
***"Masih punya muka menemui Helena, Tante?" Hazel langsung memberi pertanyaan menohok setelah makanan di depannya tandas tak bersisa. "Sepertinya muka Tante Fiona tebal sekali ya, Sayang?" tanya Hazel kepada Helena seraya terkekeh mencibir. "Putrinya hampir membunuhku, kini dia datang menemui calon istriku, mau apa, Tante?"Mama Fiona terus menunduk. Tangannya sibuk menepuk-nepuk bokong bayi dalam dekapannya sementara jantungnya sejak tadi sudah berdebar hebat. Tidak cukup nyali untuk mengangkat kepala di depan Hazel karena saat ini posisinya sudah kalah telak."Om Bagas dan istrinya meninggal di tangan Tante, sekarang Tante Fiona datang membawa bayi di depan Helena, wah ... paham sekali kalau calon istriku ini wanita baik," tutur Hazel lagi. "Belum lagi, aku yakin kalau otak lain dari rencana kecelakaan yang menimpaku adalah Tante Fiona, mustahil sekali jika Anita merencanakan itu sendirian."Mama Fiona mengangkat wajahnya perlahan. Saat kedua matanya bersirobok dengan mata Hazel,