Satu bulan berlalu ...Maula Azka Hamam tampak gagah dengan setelan kemeja dan celana warna hitamnya. Lengan baju yang sedikit digulung, membawa kesan santai namun tak sedikitpun mengurangi kewibawaannya.Seorang gadis cantik tersenyum memerhatikan dari luar restoran. Rupanya,p pilihan asal-asalannya tempo hari tidak salah. Azka berhasil menjadi manager yang bisa diandalkan di restoran yang dipegang gadis itu. Benar, dia adalah Allisya sang pemilik baru restoran yang berpuluh tahun dibangun oleh kakeknya.Azka melirik ke luar bangunan restoran, melihat Allisya duduk di kursi pengunjung paling dekat dengan jalan. Ia pun bergegas menghampiri dengan gaya dingin seperti biasa."Ibu di sini? Sejak kapan?" tanya Maula Azka Hamam, membuat Allisya seketika membuang pandang ke jalanan."Plis, Pak Azka, jangan panggil saya Ibu." Sambil mengembalikan pandangan ke arah Azka, Allisya memprotes.Sejak menerima tawaran Allisya sebulan lalu, Azka memang melunak dan tak pernah lagi melarang Allisya m
"Jadi, Papa yang bebasin Khia?" ulang Nadia, usai mendengar penjelasan Emir, suaminya.Sejak beberapa waktu lalu, Emir masih terus menelusuri kasus-kasus yang berkaitan dengan keluarganya, terumata Khiara. Khiara terbukti tidak bersalah sebab tidak memiliki bukti kepemilikan atas usaha gelap yang diturunkan oleh Diniarti dan Irwan. Usaha tersebut masih jelas atas nama Diniarti, sehingga Khiara bisa mendapatkan remisi karena memang tak cukup bukti untuk menahannya."Papa akan bantu bebaskan kamu, Khia. Tapi papa mohon, berhenti berbuat jahat, apalagi pada mama dan Allisya. Mama sangat menyayangimu, Khia. Meski kamu tidak lahir dari rahimnya, tapi mama begitu tulus menyayangimu." Emir memohon dengan sangat kala itu, sebab semua demi kebahagiaan sang istri di sisa masa tuanya."Khiara sudah sadar, Pa. Khiara tau, bahkan Khiara sudah bertekad akan menjadi Khiara versi terbaik setelah bebas nanti. Dan asal Papa tahu, Khiara bahkan rela mendekam selamanya di dalam sini asalkan mama bahagia,
Sepanjang perjalanan pulang, Allisya dan Azka hanya saling diam. Sesekali saling melirik canggung, hingga deheman kecil seolah pertanda kegugupan begitu menyiksa. Tiba di halaman rumah Nadia, orang tua Allisya yang baru pertama kali Azka datangi. Pria jangkung itu pun berlari memutari mobil Allisya, lantas membukakan pintu untuk pemiliknya."Silakan, Bu," ucapnya pelan."Terima kasih. Emm ... Pak Azka, silakan masuk," tawar Allisya. Sebetulnya ia sadar, Azka tidak akan mungkin mau menerima tawarannya untuk singgah meski sebentar saja. Selain hari sudah malam, Azka juga bukan tipe orang yang suka basa-basi."Terima kasih," balas Azka, tanpa diduga. Lelaki berperawakan sedang itu seolah mengisyaratkan agar Allisya berjalan lebih dulu.Karena tak percaya bercampur canggung, Allisya diam terpaku menatap lelaki yang kini berstatus karyawannya. "Maksudnya ... Pak Azka mau mampir?" tanya Allisya meyakinkan.Tanpa kata, Azka Hamam mengangguk pasti.Entah apa yang Allisya rasakan, yang jelas,
Ceklek!Allisya terperanjat, segera menoleh ke belakang di mana pintu kamarnya berada. Ia menatap siapa yang masuk ke dalam kamarnya."Baru pulang kamu, Al?" tanya seseorang itu."I--iiyaa ... " dengan perasaan campur aduk, Allisya menjawab."Mama boleh masuk?" tanya perempuan berparas cantik di usia senjanya.Allisya tahu apa yang akan ditanyakan mamanya. Perasaan tegang mulai menyelimuti, namun dengan cepat ia menepisnya. Menjawab singkat sambil tersenyum, mengajak sang mama duduk di sisinya.Cukup lama Nadia menatap sendu wajah gadis kecil yang kini telah dewasa. Seketika rasa iba menyeruak, membuatnya tak kuasa menahan tangis."Ma ... Al minta maaf atas semua yang terjadi malam ini," ucap Allisya mendahului. Ia khawatir mamanya tidak terima dengan semua yang Ziya ucapkan, apalagi jika mamanya tahu ia pulang diantar Azka Hamam.Nadia menggeleng lemah, mengusir lelehan air mata dengan punggung tangannya."Kamu udah dewasa ya, Nak. Dan sampai di usiamu sekarang, belum juga menemukan
Semilir angin pagi yang segar, ditambah semburat sang arunika yang mulai naik menghangatkan semua orang yang berada di luar rumah. Termasuk Allisya bersama kedua orang tua dengan kakak angkatnya--Khiara. Mereka mulai memasuki mobil yang akan Emir kendarai."Let's go!" ajak Emir, sebelum menginjak pedal gas. Pria berusia setengah baya itu menoleh manis ke arah belakang, di mana istri tercinta dan anak sambungnya berada."Maju, Pak Sopir," ejek Nadia, tentu saja hanya guyonan semata agar suasana tidak kaku. Sejak kepulangan Khiara beberapa hari lalu, kondisi kebersamaan mereka menjadi sedikit kaku."Siap, Nyonya Emir," balas Emir, sama sekali tak menempatkan dirinya sebagai sopir, meski diledeki seperti itu."Uhuy! Kok, ada yang manis tapi bukan gulali. Iya nggak, sih, Kak?" Allisya menimpali, gemas dengan tingkah dua sejoli yang selalu bersikap seperti pasangan muda. Tentu saja Allisya pun ingin bisa memiliki pasangan yang cocok seperti mamanya, yang selalu diratukan."Iya bangeeet ...
"Menurutmu?" tanya balik Irwan.Allisya menggeleng, tanda tak tahu."Dia menikmati semua wanita yang akan dijual daddy-nya!" tekan Irwan, tampak kebencian yang teramat di wajahnya.Seketika Allisya ternganga, bergegas menutup mulutnya seraya menggeleng tak percaya. Siapa sangka, pria muda baik hati itu ternyata memiliki borok yang sangat besar. Selama Allisya mengenalnya, Dareen adalah laki-laki baik nyaris tanpa cacat. Bahkan Dareen lulus dengan nilai terbaik satu tahun di atas Allisya."Ini nggak mungkin, Pa ... dia nggak seburuk yang papa pikirkan. Ya, meski aku tidak mungkin kembali sama dia. Tapi bukan berarti aku setuju dengan apa yang Papa bilang," sergah Allisya setelah menyadari banyak point plus atas Dareen."Sayang ... papa minta maaf kalau kebenaran ini harus segera terungkap." Mata sendu Irwan menatap wajah pias sang anak yang terus menggeleng. "Dan Allisya harus tahu, apa yang papa lakukan terhadapmu dan juga Khiara, itu semua untuk melindungi kalian dari incaran daddy-
Gadis bergamis warna peach dengan pashmina warna senada itu berlari di koridor rumah sakit, ditemani sang kakak angkat menuju satu ruang rawat. Hatinya gundah gulana, sebelum melihat dengan mata kepalanya sendiri kondisi Nu Aniyah dan Ziya."Assalamu'alaikum," ucapnya bersama sang kakak, Khiara."Wa'alaikumussalam. Bu Allisya, saya minta maaf sudah merepotkan," ucap Azka Hamam, merasa canggung karena atasannya sampai datang ke rumah sakit malam-malam begini.Usai membaca chat dari Azka, Allisya langsung menelepon pria berstatus ayah Ziya itu. Menanyakan kondisi Bu Aniyah, alamat rumah sakit, serta kamar rawatnya. Namun Azka sempat menolak memberitahu, sebab tak ingin merepotkan. Bukan Allisya namanya, jika tidak bisa memaksa Azka memberitahukannya."Baik, Bu. Tapi saya mohon, jangan ke sini sendirian," ucap Azka di telepon tadi, saat tak sanggup lagi menyembunyikan alamat rumah sakit tempat ibunya dirawat.Allisya mengulum senyuman. Hanya dengan perhatian sekecil itu saja, hatinya sud
"Tapi saya tidak melapor, Pak," elak Azka, ketika benar saja polisi datang menjemputnya ke ruang rawat Bu Aniyah.Bu Aniyah yang semula sudah terlelap, tentu saja terjaga karena suara ribut-ribut. Sementara Allisya mendekat, memeluk Bu Aniyah dan juga Ziya. Tidak disangka, polisi begitu cepat menemukan keberadaan Dareen sehingga urusannya menjadi serunyam ini. Allisya sedikit menyesal karena terlalu cepat mengambil langkah ini. Pasalnya, saat ini memang tidak memungkinkan untuk Azka meninggalkan ibunya, juga Ziya."Kami hanya meminta keterangan dari pihak pelapor, tidak akan lama. Tolong kerja samanya agar kasus segera bisa diselidiki.""Bu. Bu Allisya, jelaskan sama saya. Apa yang telah anda lalukan? Saya tidak mengenali lelaki itu dan berniat akan berhenti menuntutnya," ujar Azka, meminta kejelasan."Maafkan saya, Pak. Tapi ... pria itu buronan sejak lama, bersama papanya. Sudah terlalu banyak kasus yang merugikan orang lain, termasuk keluarga saya. Itu sebabnya, saya melaporkan di
Di waktu yang bersamaan, Azka Hamam kembali ke rumah. Diam-diam masuk, lalu mengusap puncak kepala sang istri dari belakang. Pria gagah itu memberikan kejutan kecil untuk sang istri. Tadinya, ia berencana membujuk sang istri, demi kesehatan."Astaghfirullah! Mas, aku kaget," pekik Allisya yang tak menduga suami akan kembali."He he he ... maaf, maaf. Masih gak enak perutnya?" tanya Azka, duduk di lantai sementara istrinya bangun dan duduk di sofa. Tatapannya tertuju pada bagian tubuh yang tadi Allisya bicarakan. "Ini juga sakit?" tanyanya, menunjuk itu."Enggak sakit. Cuma gak nyaman aja. Terasa berat, kayak bengkak gitu, Mas. Terus, kalau kesentuh ujungnya sakit." Allisya pun tanpa malu membeberkan."Semalam juga sakit? Kenapa enggak bilang?" tanya Azka lagi, mengingat kehangatan semalam. Ia tidak habis pikir, jika sampai menyakiti istrinya."Ya ... gimana. Mas suka," kata Allisya, malu-malu."Lain kali bilang, Sayang, kalau ada yang sakit. Ya, sudah. Sekarang kita ke dokter, ya?" bu
Pagi menjelang siang, di sebuah bangunan bertingkat, kini keluarga Allisya berada. Sebuah gedung mirip dengan rumah susun elit yang ada di kota asal mereka. Dan ternyata, tempat itu adalah sebuah panti jompo.Tadi, ketika pemandu wisata menanyakan soal Afifah--teman Khiara yang tinggal di sana, mereka mendapatkan informasi bahwa Afifah sudah berangkat bekerja bersama teman barunya (kemungkinan Khiara). Sang pemilik rumah sewa itu pun memberikan alamat tempat bekerja Afifah.Dan benar saja, Khiara ada bersamanya, sama-sama mengenakan seragam suster. Usut punya usut, rupanya Afifah sudah lama bekerja sebagai pengasuh lansia di tempat itu. Kini mengajak Khiara bekerja di sana pula karena memang sedang membutuhkan tenaga kerja baru."Kenapa Mama sampai nyusulin Khia ke sini?" tanya Khiara, tak menyangka. Sebelumnya, ia memang sempat memberikan alamat rumah sewa yang temannya tinggali. Tidak pernah menduga jika mama sambungnya sampai rela menyusul."Karena mama khawatir sama kamu, Nak." Na
Keduanya kini telah sampai di depan sekolah Ziya. Menyambut kedatangan Ziya yang selalu ceria dengan semringah. Karena besok, mereka akan pergi berlibur ke Jepang.Masuk ke dalam mobil, bercerita sepanjang jalan dengan antusias. Mulai dari kegiatan di sekolah, sampai tingkah polah Ziya dan teman-temannya di sekolah. Allisya dan Azka bergantian menyahuti penuh ekspresi."Ziya juga bilang ke teman-teman, kalau Ziya mau liburan ke Jepang. Teman-teman semua iri, mau juga katanya, Ma. Apa boleh, Ziya ajak mereka kapan-kapan?" tanya Ziya antusias."Wah, kalau mengajak teman tidak bisa sembarangan, Sayang. Apalagi Jepang itu sangat jauh. Nanti orang tua mereka khawatir," jelas Allisya, juga ditambahi penjelasan ringan oleh Azka.***Pukul 3 sore, Allisya beserta rombongan keluarga sudah sampai di Kota Sapporo setelah menempuh perjalanan kurang lebih 9 jam. Kota yang terletak di Pulau Hokkaido, pulau terbesar kedua di Jepang.Mereka sengaja tidak mendatangi Ibukota Jepang, demi menghindari ke
"Saudara Dareen dinyatakan bersalah atas kasus tabrak lari yang terjadi pada tanggal 20 Februari 2021, yang mengakibatkan korban atas nama Ibu Fitrinariza Azizah meninggal dunia.""Berdasarkan laporan yang baru masuk dua minggu lalu, pelaku tidak dinyatakan sebagai DPO atas kasus ini, sehingga vonis hukuman bisa saja berkurang."Allisya menemani suaminya yang hari ini sangat tegang menghadapi sidang. Nadia dan Emir pun turut hadir, tak kalau tegang karena ternyata Dareen memang bukan DPO atas kasus ini sehingga tidak memberatkan hukumannya. Ini semua karena pihak Azka Hamam tidak melapor sejak awal."Dengan ini, pelaku dijatuhkan hukuman kurungan selama lebih kurang 6 tahun penjara, dan denda sebesar lebih kurang 12 juta rupiah."Mendengar itu, Azka seketika tertunduk lemah. Rasanya, hukuman itu tidak setimpal dengan apa yang terjadi dengan mendiang istrinya.Namun ternyata, vonis hukuman belum selesai dibacakan. Ada sederet kasus berat yang Dareen dan papanya lakukan sejak sang papa
Seperti yang telah direncanakan, Nadia dan Emir tiba di rumah Azka Hamam diantar oleh sopir yang Allisya tugaskan. Keduanya mengucap salam bersama, disambut hangat oleh anak menantu dan cucu sambung yang ceria."Masuk, Ma, Pa." Allisya menggandeng sang mama."Iya. Oh, iya. Pak Didit sudah mama suruh makan di resto utama, biar lebih dekat. Nanti dia akan jemput kalau kita sudah selesai." Nadia menjelaskan. Karena biasanya, Allisya suka mengajak serta sopirnya makan bersama. Namun malam ini, Nadia ingin berbicara penting dengan anak dan menantunya."Oh, begitu. Ya sudah, Ma. Terima kasih," ucap Allisya. Meski restoran telah sepenuhnya beralih ke tangannya, namun Allisya selalu menghargai apa pun keputusan mamanya. Termasuk seperti malam ini, mengizinkan sopirnya makan sepuasnya di sana.Semua berkumpul di ruang makan, menikmati suapan demi suapan masakan yang Allisya buat. Udang asam manis, cah kangkung, dan perkedel kentang ayam kesukaan mamanya."Alhamdulillah ... makanannya enak-enak
"Ziya tau, kalau Bunda sedang hamil saat itu?" tanya Allisya, yang hanya mendapatkan tatapan tak mengerti dari Ziya."Emm ..." Ziya menggeleng. Ia masih sangat terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi, sebelum bundanya meninggal karena tertabrak mobil Dareen. "Nenek suka cerita. Katanya, bunda saat itu sedang ada dedek bayinya di perut. Sebentar lagi mau lahir," jelasnya kemudian.Allisya mengangguk-angguk. Ia tidak mau memperpanjang, sebab, sejujurnya ia cemburu. "Kita masuk, ya, Sayang," ajak Allisya setelah memarkir mobilnya di garasi rumah Azka.Keduanya pun masuk bersamaan, dengan perasaan masing-masing. Di dalam, Allisya menyiapkan pakaian ganti untuk putri sambungnya, lantas menemani sang putri agar tertidur pulas.Wanita cantik itu tanpa sadar mengusap perutnya rata, berdoa agar Allah segera mengirimkan makhluk kecil di dalam sana untuk melengkapi kebahagiaan mereka. Ada sedikit kekhawatiran, takut kalau-kalau ia tidak bisa hamil seperti sang mama.'Ah, tidak, tidak! Mama
Allisya kemudian melirik seperangkat perhiasan emas yang dikenakannya. "Kamu memang pekerja keras dan pantang dibantu, Mas. Hanya kerjaan dariku yang kamu ambil, saking kamu nggak mau berleha-leha dengan fasilitas yang sudah aku punya," ucap Allisya pelan.Perempuan cantik yang telah melepas masa gadisnya itu pun bergegas masuk ke dalam, hendak bersiap-siap pergi ke restorannya karena ada rapat besar. Di restoran nanti, mereka akan bersikap seperti biasa, layaknya atasan dengan pekerja. Azka yang meminta. Azka bahkan sudah menolak sebagian saham yang diberikan oleh Allisya.***"Bagaimana, Pak, laporan keuangan resto cabang no 2?" tanya Allisya kepada salah seorang manager di restoran cabang di Bogor. Pria bertubuh sedang dengan perut sedikit maju itu mengeluarkan laporan, lalu meminta Allisya untuk mengeceknya kembali. Beberapa penjelasan juga sudah dia sampaikan.Allisya memeriksanya, lalu segera beralih pada manager cabang-cabang lain. Setelah semua ia cek, barulah ia mengecek res
Seluruh keluarga berkumpul di tanah pemakaman, menyaksikan sekaligus mendoakan kepergian Bu Aniyah yang terbilang mendadak. Hanya dirawat beberapa hari di rumah sakit, lalu meninggal ketika kondisinya mulai membaik.Azka dan Allisya sudah berusaha semaksimal mungkin, tentunya. Namun ternyata, inilah suratan yang harus mereka jalani. Keinginan Bu Aniyah untuk menjadikan Allisya sebagai menantu, sekaligus ibu bagi cucu satu-satunya telah terpenuhi. Beliau pergi dengan tenang, seolah bebannya telah terlepas.Perempuan berkerudung putih senada dengan gamis yang dikenakannya, terus saja berdiri menggamit tangan suaminya, juga memegangi tangan gadis kecil di sisi lainnya. Perempuan itu sesekali melepaskan tangan untuk mengusap air mata. Ia mendongak, menatap wajah sang suami yang terlihat begitu tenang seolah-olah tidak ada hal buruk yang menimpa."Mas ... kamu hebat. Kamu kuat," kata sang wanita, memandangi penuh kagum suami yang dicintainya. Dialah Allisya, sang ibu sambung bagi Ziya."Be
Ketika suaminya terpukul setelah kehilangan ibunya, Allisya duduk di sebelahnya. Dengan lembut memandangnya, dengan hati penuh kasih. Dia bisa merasakan betapa sedihnya yang dirasakan suaminya. Meski tidak ada kata-kata yang bisa menghapus rasa sakit itu, dia tahu dia harus ada di samping suaminya, memberikan kekuatan lewat keberadaannya.Dia menggenggam tangan suaminya dengan erat, memberikan ketenangan dalam diam. Wajah suami yang biasanya tegar kini dipenuhi kepedihan, dan dia merasa cemas melihat keprihatinan di depan matanya.Sambil memeluk, tangannya terus mengusap punggung sang suami. Membiarkan suaminya menangis, mengeluarkan nestapa yang membelenggu jiwanya."Nenek! Ziya mau ke nenek! Ziya mau lihat nenek, Tante ... tolong Ziya ...!" Jeritan Ziya di luar sana, terdengar begitu menyayat hati. Gadis kecil itu sangat dekat dengan neneknya, sejak ia bayi. Terutama setelah bundanya pergi untuk selama-lamanya.Mendengar itu, Azka dan Allisya menjadi gusar. Saling menatap, merasakan