Matthias mengemudi dengan satu tangan di kemudi, sementara tangan lainnya dengan santai bersandar di sandaran tangan. Wajahnya tampak tenang, tapi Selena tahu lebih baik—dia masih kesal soal Steven.
Selena bersandar di kursi dengan mendesah. Dia harus memperbaiki mood pria itu sebelum dia menggila dan menembak Stevan
“Matthias, kau masih kesal?”
Matthias meliriknya sekilas sebelum menyeringai tipis. “Kenapa aku harus kesal?”
Selena mendengus. “Entahlah. Aku hanya merasa kau akan melakukan sesuatu pada Stevan” Gumamnya pelan
Matthias mengetukkan jarinya ke kemudi, matanya tetap fokus ke jalan. “Apa saat ini kau melindunginya, Princess?”
Selena menghela napas panjang. Tentu saja dia masih kesal.
"Aku tidak melindunginya" jawabnya cepat, melirik Matthias yang tetap fokus pada jalan dengan ekspresi datar. "Aku hanya tak ingin ada drama yang tidak perlu."
Matthias tertaw
Matthias mengemudi dengan kecepatan tinggi, melewati beberapa tikungan tajam dengan mulus, seolah sudah hafal jalan ini di luar kepala.“K-kau yakin ini kali pertama kau mengemudi di Milan?” Tanya Selena heran tanpa melonggarkan cengkeramannya pada sabuk pengaman. Jantungnya masih berpacu, tapi ia mulai menyadari sesuatu— Matthias seolah sudah sangat hapal dengan jalan yang mereka laluiMatthias melirik Selena sekilas dengan seringai kecil di wajahnya. “Kau meragukanku, Princess?”Selena mendecak, matanya masih tertuju pada jalanan yang mereka lewati dengan kecepatan gila. “Kau mengemudi seperti ini bukan karena terburu-buru, kan?”Matthias terkekeh pelan. “Tentu saja tidak. Aku hanya ingin tahu sejauh mana batas keberanianmu.”Selena memutar mata, tapi ia tak bisa mengabaikan kecurigaannya. Matthias tidak terlihat seperti seseorang yang baru pertama kali berkendara di Milan. Gerakannya terlalu
“Senjata yang kau pegang itu namanya Desert Eagle. Dia cukup mematikan, jadi jangan asal menarik pelatuk” kata Matthias dengan nada serius.Selena menelan ludah, merasakan dinginnya logam di tangannya. Senjata itu lebih berat dari yang ia kira. “Dan kau pikir aku bisa menggunakan ini begitu saja?”Matthias tersenyum tipis, lalu berdiri di belakangnya. “Bukan berpikir, aku tahu kau bisa.”Tangan Matthias melingkari tubuhnya, jemarinya membimbing tangan Selena agar memegang pistol dengan benar. “Jangan tegang. Pegang dengan mantap, tapi jangan kaku.”Selena menghela napas dalam, mencoba mengikuti arahan Matthias meski jantungnya masih berdebar tak karuan. Rasanya aneh—memegang sesuatu yang begitu mematikan, dengan pria itu berdiri begitu dekat di belakangnya.Matthias menurunkan suaranya, nadanya lebih lembut namun tetap tajam. “Tarik napas, stabilkan tanganmu. Kau harus mengendalikan senjat
"Pulang"Pulang yang Matthias maksud rupanya kembali ke apartemennya. Matthias memarkirkan mobil di basement khusus dan malam itu, apartemen terasa lebih hening dari biasanya. Selena duduk di tepi tempat tidur, mengamati Matthias yang dengan santai mengusap rambutnya yang basah“Kau tidur disini lagi?” tanya Selena, meskipun jauh di lubuk hatinya, ia sudah tahu jawaban Matthias.Matthias mengangkat alis, lalu dengan santai meletakkan handuknya di kursi belajar Selena dan menjatuhkan dirinya ke tempat tidur di sebelah Selena “Berhentilah khawatir. Aku tidak akan melakukan apa pun… kecuali kau yang menginginkannya.” Matthias hanya terkekeh, lalu tanpa aba-aba menarik Selena ke dalam dekapannyaSelena mendelik, mencoba mendorongnya, tapi Matthias malah semakin nyaman.Hening sejenak. Hanya suara detak jam yang terdengar di ruangan.Selena menatap langit-langit, pikirannya kembali pada kejadian siang
Pagi datang dengan cahaya matahari yang menerobos melalui celah tirai. Selena menggeliat pelan, merasakan tubuhnya masih sedikit berat karena kantuk. Saat kesadarannya perlahan kembali, ia baru menyadari sesuatu—sesuatu yang hangat dan berat melingkari pinggangnya.Matthias.Selena membuka matanya seketika, dan benar saja, pria itu masih di sana dan sampai saat ini Matthias masih belum terbiasa dengan kehadiran pria itu diranjangnyaWajahnya berada begitu dekat, napasnya teratur, namun matanya yang abu-abu sudah terbuka dan menatapnya dengan sorot menggoda.“Selamat pagi, Princess” suaranya terdengar dalam dan serak khas orang baru bangun tidur.Selena mengerjap, langsung mencoba bangkit, tetapi sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, tangan Matthias menahannya.“Tidak secepat itu” gumam Matthias santai.Selena menatapnya curiga. “Apa lagi?”Matthias menyeringai, jari-jarinya dengan muda
Harusnya Selena pergi. Harusnya ia berbalik dan meninggalkan apartemen ini sebelum pikirannya melayang lebih jauh. Namun, entah mengapa, kakinya justru melangkah mendekati pintu kamar mandi yang sengaja dibiarkan Matthias sedikit terbuka.Dari celah sempit itu, terdengar suara air mengalir, berpadu dengan napas berat Matthias yang terdengar tak beraturan. Selena menggigit bibir bawahnya, otaknya berteriak untuk mundur, tetapi tubuhnya justru tetap terpaku di tempat. Ada sesuatu yang menahannya—entah itu rasa penasaran, atau sesuatu yang lebih dalam dari itu.Jantungnya berdebar semakin kencang ketika bayangan samar Matthias terlihat di balik kaca buram kamar mandi. Otot-otot punggung pria itu tampak tegang, dan meskipun Selena tidak bisa melihat dengan jelas, ia bisa merasakan aura panas yang memancar dari tubuhnya.“Princess…”Suara Matthias yang berat dan serak membuat Selena menahan napas. Ia tidak yakin apakah Matthias menyada
“Aghh-“Selena mendesah tertahan saat jemari Matthias yang kokoh meremas bukit kembarnya dengan penuh gairah, namun tetap lembut, seolah ia tengah membelai sesuatu yang berharga. Napasnya memburu, tubuhnya bergetar dalam dekapan pria itu.Matthias menatapnya dengan mata abu yang semakin gelap, dipenuhi keinginan yang ia kendalikan dengan susah payah. "Apa terasa enak, Princess?..." suaranya dalam dan serak di telinga gadis itu, membuat tubuhnya semakin panas.Namun di balik hasrat yang berkobar, Matthias tetap menjaga Selena. Ia membiarkan tangannya menjelajahi kulit lembut kekasihnya dengan penuh pengendalian, memastikan setiap sentuhan adalah tentang memberikan kenikmatan tanpa melewati batas yang bisa membuat Selena merasa tidak nyaman.Saat bibirnya menelusuri leher gadis itu, ia berhenti sesaat. "Jika ini terlalu cepat, aku bisa berhenti" bisiknya, menunjukkan betapa ia menghormati dan melindungi Selena, meski keinginannya sendiri mendesa
Setelah selesai mandi, Matthias hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Ia berjalan santai ke dapur, menyiapkan sarapan dengan tangan terampil. Sementara Selena nampak mengeringkan rambut panjangnya dan mengenakan skincare rutinnya.Didapur, aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan roti panggang yang mulai kecokelatan di atas wajan, memenuhi ruangan dengan kehangatan yang menenangkan.Namun, pikiran Matthias sama sekali tidak tenang.Bayangan wajah Selena masih terpatri jelas di benaknya—cara gadis itu memandangnya tadi, dengan mata yang setengah terbuka, napasnya yang masih terengah, dan kulitnya yang memerah karena air hangat.“Fuck”Matthias mengepalkan rahangnya. Sial. Ia pikir mandi air dingin akan membantunya meredakan gejolak di tubuhnya, tapi nyatanya, justru sebaliknya.Tangannya mencengkeram spatula lebih erat. Ia bisa merasakan sensasi sisa dari sentuhan kulit mereka, suara manja Selena yang mas
“Sial, Princess!! kau takkan bisa keluar setelah ini!Selena tertawa kecil, suara lembutnya bergetar di antara mereka. “Siapa bilang aku ingin keluar?” bisiknya, jemarinya kini meluncur ke tengkuk Matthias, menariknya lebih dekat hingga napas mereka bertaut.Matthias menutup matanya sejenak, mencoba mengendalikan debaran dadanya yang semakin liar. Gadis ini… ia benar-benar bermain dengan batasnya. “Jangan main-main denganku, Princess.” Suaranya rendah, hampir seperti geraman.“Aku tidak main-main.” Selena menatap lurus ke dalam mata Matthias, pinggangnya bergerak, sengaja menggoda milik Matthias yang menegang dibalik handuk itu. “Kau ingin aku berhenti?”“Oh fuck!”Matthias mencengkeram pinggang Selena lebih erat, napasnya memburu. “Stop it, Princess.”Selena hanya tersenyum nakal, matanya berbinar penuh tantangan. “Aku sudah bilang, aku tidak main-mai
Selena berdiri di depan ruang ganti, tangannya masih terlipat di dada. Ia bisa mendengar Matthias bergerak di dalam, mungkin sedang mengganti pakaiannya.“Matthias?” suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.Dari dalam terdengar suara Matthias. “Hm?”Selena menekan senyumannya. “Aku masuk.”Ia tidak menunggu jawaban sebelum membuka pintu dan menyelinap masuk.Matthias, yang hanya mengenakan kemeja putih yang belum dikancingkan sepenuhnya, menatapnya dengan satu alis terangkat. “Tidak sabar melihatku, huh?”Selena tidak menggubris godaannya. Ia melangkah mendekat dan dengan santai melingkarkan dasi di leher Matthias, menariknya sedikit hingga wajah mereka lebih dekat.Matthias tampak sedikit terkejut, tapi kemudian seringai itu kembali muncul. “Oh? Sekarang kau ingin membantuku berpakaian?”Selena tersenyum manis, tapi matanya penuh niat jahat. “Tentu saja&rd
Pernikahan itu berjalan begitu cepat—tanpa pidato panjang, tanpa perayaan meriah, hanya sumpah yang diucapkan di bawah tekanan waktu dan emosi yang masih menggantung.Matthias tidak memberi kesempatan pada siapa pun untuk menunda lebih lama. Begitu mereka berdiri di altar, suaranya tegas saat mengucapkan janji pernikahan, matanya tak sekalipun beralih dari Selena.“Dengan ini, kalian resmi menjadi suami istri”Matthias tidak menunggu aba-aba untuk mencium Selena. Bibirnya langsung menekan bibir Selena, mendominasi, menegaskan kepemilikannya di depan semua orang yang hadir.Sorakan kecil terdengar dari beberapa tamu, tetapi Matthias tidak peduli. Dia hanya menarik Selena lebih dekat, menyalurkan emosi yang tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata.Begitu mereka masuk ke dalam mobil, keheningan menyelimuti mereka. Matthias duduk di sampingnya, tangannya tidak pernah lepas dari tubuh Selena—entah menggenggam jemarinya atau sek
Selena menatap dirinya di cermin, jantungnya berdebar tidak karuan.Gaun putih itu terasa begitu indah di tubuhnya, tetapi berat di hatinya. Bukan karena dia tidak ingin pernikahan ini terjadi, tetapi karena semuanya masih terasa seperti mimpi yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.Pintu ruang rias terbuka, dan Lumia masuk dengan senyum lembut."Sayang..." suara ibunya penuh kasih, tetapi ada sedikit kegelisahan di dalamnya. "Sudah waktunya."Selena menelan ludah, mencoba mengatur emosinya."Kau baik-baik saja?" tanya Lumia, mengulurkan tangan untuk menggenggam jemari putrinya.Selena menatap tangan mereka yang bertaut, lalu mengangguk pelan. "Aku... aku tidak tahu, Mom."Lumia tersenyum kecil. "Pernikahan tidak pernah mudah, Selena. Tapi yang perlu kau tanyakan pada dirimu sendiri hanyalah satu hal—apakah kau ingin hidup tanpanya?"Selena mengangkat wajahnya, menatap bayangannya sendiri di cermin.Apakah dia bisa h
Kesalahan Dylan adalah tak mengenalkan dunia mereka pada putrinyaKesalahan Lumia adalah tak memberitahu identitasnya pada SelenaDan kesalahan Matthias adalah melecehkannya bahkan mengenalkan Selena pada dunia dengan cara yang keliru.Selena seharusnya tahu sejak awal.Seharusnya dia mengerti bahwa dunia tempatnya hidup bukanlah dunia normal.Dunia mereka gelap. Kotor. Berdarah.Tidak ada keadilan di sini, hanya kekuasaan dan kelangsungan hidup.Tapi Dylan ingin melindunginya.Lumia ingin menjaganya.Dan Matthias... Matthias ingin memilikinya.Selama ini, semua orang mengambil keputusan untuknya. Mereka membungkusnya dalam kebohongan manis, berpikir itu akan membuatnya aman. Tapi justru itu yang membuatnya semakin rapuh.Selena menatap Matthias yang masih memeluknya erat di dapur.Pria itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya.Dan pada saat yang sama, satu-satunya tempat dia bisa berpulang."Matthias" gumamnya pelan."Hm?""Aku ingin mati saja..."Matthias membeku.Tubuhnya yang
Brak“Putramu itu gila, Caid!”Itu adalah kalimat pertama yang diucapkan Dylan begitu dia tiba di markas Oletros, tepat diruang berkumpul yang mana Caid sedang duduk di kursinyaCaid terkekeh “Jika tak gila tentu saja bukan putraku” Jawab CaidDylan mengusap wajahnya dengan frustrasi, sementara Caid hanya menatapnya dengan senyum kecil penuh hiburan.“Ini pertama kalinya aku melihatmu kacau, Dylan” Enid mengucapkan dengan santainya sementara Dayn, kembaran Dylan hanya terkekeh“Kau tak tahu saja karena hanya memiliki anak lelaki” Seru DaynEnid mendengus kesal, melirik Dayn dengan tajam. “Kau pikir punya anak lelaki lebih mudah? Tunggu sampai salah satu dari mereka membawa pulang masalah sebesar Matthias.”Dayn terkekeh, menyilangkan tangan di dadanya. “Masalahnya, Matthias tidak sekadar membawa masalah. Dia adalah masalah itu sendiri.”Caid mengangg
Selena tak benar-benar dibiarkan pergi. Nyatanya, saat dia dan Daddynya tiba di bandara, tidak ada satu pun maskapai yang menerima kepergiannya.“Apa maksudnya tidak ada penerbangan?” Dylan menekan telepon di tangannya, berbicara dengan seseorang dari pihak bandara. Wajahnya mengeras. “Kami sudah memesan tiket sejak tadi malam.”“Maaf, Tuan, tetapi semua penerbangan Anda telah dibatalkan.”Dylan meremas gagang ponselnya erat. “Oleh Walton?” Tanya DylanPetugas di ujung telepon terdengar ragu sebelum menjawab. “Kami tidak bisa memberikan informasi itu, Tuan.”Dylan menoleh ke Selena, yang berdiri di sampingnya dengan ekspresi yang tak kalah frustrasi.Matanya langsung menyipit. “Matthias.”Selena menghela napas panjang, menatap papan informasi keberangkatan yang kosong untuk mereka.Tentu saja.Tentu saja Matthias tidak akan membiarkannya pergi semuda
Sebulan kemudian....Monarki kembali berada di bawah kepemimpinan Leonardo, dan kartel Oletros kembali ke puncak kejayaannya. Seolah semuanya telah kembali seperti semula—stabil, terkendali. Namun, ada satu hal yang masih menggantung di udara: pria yang mengincar Selena masih belum ditemukan.Matthias duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop dengan ekspresi yang sulit ditebak. Informasi tentang pria itu terpampang jelas di depannya, tetapi tetap saja, seakan orang itu adalah bayangan yang terus menghilang setiap kali mereka mencoba menangkapnya“Belum ditemukan?” tanya DylanMatthias menggeleng “Jika aku menikahi Selena, apa kau pikir dia akan muncul?”Dylan mengangkat alisnya, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan ekspresi penuh pertimbangan. “Aku tak pernah mengizinkan kau menikahi putriku”Matthias terkekeh pelan, tetapi tatapannya tetap tajam. “Dan sejak kapan aku membutuhkan izinmu, P
Delusional Perceptive Syndrome.Mata Selena terpaku pada tulisan itu. Diagnosis yang mengubah segalanya."Aku sudah gila?" pikirnya.Matthias duduk di sofa, mengamatinya dalam diam. Ia tidak memaksanya bicara, tidak menuntut jawaban. Ia hanya menunggu Selena melakukan sesuatu.Hening menyelimuti ruangan.Selena akhirnya menarik napas panjang dan menatap padanya “Sejak kapan kau tahu tentang ini?”Matthias menatapnya sebentar sebelum menjawab, “Sejak lama.”Jantung Selena mencelos. “Sejak lama?” ulangnya, suaranya bergetar. “Berapa lama, Matthias?”Pria itu tetap tenang, tetapi ada sedikit keraguan di matanya. “Sejak kita masih kecil.”Selena terkesiap.“Apa?”Matthias mendekat, dia berlutut dibawah Selena, tangannya menyentuh tangan Selena "Ada dua faktor yang membuatmu seperti ini," ujar Matthias pelan, menatap langsung ke dalam mata S
“Dunia ini jauh lebih gelap dari yang kau kira, dan kau berada tepat di tengah-tengahnya, Princess...” Matthias mengusap pipi Selena dengan lembut “Mamaku adalah petinggi CIA dan Mommymu salah satu bagian penting dari FBI”Ucapan Matthias membuat Selena berpikir keras.Selena tahu jika kekeknya adalah perdana mentri terdahulu, tapi fakta jika ibunya adalah bagian dari FBI?Hal itu jauh lebih mengejutkan baginya. Bagaimana mungkin selama ini Selena tak tahu fakta itu?Ia merasa seolah hidupnya yang selama ini ia yakini sebagai sesuatu yang normal, ternyata penuh dengan kebohongan dan rahasia besar. Selena menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, semakin ia berpikir, semakin banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya.“Apa lagi yang belum aku ketahui?” gumamnya pelan. Diabaikannya tangan Matthias yang mulai meremas pinggangnya cukup keras“Kau ingin tahu lebih banyak?” tanya