“Sial, Princess!! kau takkan bisa keluar setelah ini!
Selena tertawa kecil, suara lembutnya bergetar di antara mereka. “Siapa bilang aku ingin keluar?” bisiknya, jemarinya kini meluncur ke tengkuk Matthias, menariknya lebih dekat hingga napas mereka bertaut.
Matthias menutup matanya sejenak, mencoba mengendalikan debaran dadanya yang semakin liar. Gadis ini… ia benar-benar bermain dengan batasnya. “Jangan main-main denganku, Princess.” Suaranya rendah, hampir seperti geraman.
“Aku tidak main-main.” Selena menatap lurus ke dalam mata Matthias, pinggangnya bergerak, sengaja menggoda milik Matthias yang menegang dibalik handuk itu. “Kau ingin aku berhenti?”
“Oh fuck!”
Matthias mencengkeram pinggang Selena lebih erat, napasnya memburu. “Stop it, Princess.”
Selena hanya tersenyum nakal, matanya berbinar penuh tantangan. “Aku sudah bilang, aku tidak main-mai
Selena mengerang, entah sudah berapa banyak cairannya keluar hanya karena permainan mulut Matthias. Padahal posisi Selena masih berada di meja makan dengan Matthias yang menunduk dibawahnya“Matthias... Engh-..”Selena menggigit bibirnya, jari-jarinya mencengkeram tepian meja makan sementara napasnya tersengal. Tubuhnya gemetar dalam gelombang kenikmatan yang belum juga mereda, tetapi Matthias masih enggan melepaskannya."Matthias, cukup..." suara Selena terdengar lirih, hampir seperti bisikan, namun Matthias hanya menanggapi dengan sebuah senyum tipis sebelum akhirnya ia berdiri perlahan.Tatapannya penuh dengan kehangatan bercampur intensitas yang membuat tubuh Selena semakin panas. Jarinya yang masih sedikit lembap menyusuri paha Selena sebelum akhirnya ia menangkup dagunya, mengangkat wajahnya agar mata mereka bertemu.Matthias menatap Selena yang kini terengah-engah di hadapannya. Bibirnya mengkilat basah. Mata abu-abu gelapnya dip
Selena mengerang pelan, tubuhnya terasa lemas dan pegal di setiap inci. Matanya yang bengkak nyaris sulit dibuka, dan tenggorokannya terasa kering. Ia ingin bangun, ingin bersiap untuk kuliah, tetapi tubuhnya seolah menolak untuk bergerak.Selimut yang membungkus tubuhnya terasa lebih berat dari biasanya. Napasnya masih belum stabil sepenuhnya, dan kenangan semalam memenuhi benaknya seperti potongan-potongan adegan yang sulit diabaikan.Selena tak menyangka jika efek dari apa yang terjadi semalam akan begitu terasa di tubuhnya. Andai ia tahu bahwa tubuhnya akan selelah ini, mungkin ia akan berpikir dua kali sebelum terus-terusan memancing gairah Matthias.Tapi siapa yang bisa menyalahkannya?Matthias mungkin menganggapnya nafi tapi Selena yang paling tahu jika dia bukanlah gadis polos. Selena tahu tentang hubungan fisik antara pria dan wanita. Lagipula, dia sudah berpacaran lebih dari lima kali dan bahkan hampir melangkah lebih jauh dalam beberapa hubunga
Selena kembali terlena.Jantungnya berdebar tak karuan. Ia masih belum bisa mencerna pengakuan Matthias sepenuhnya—pria itu, seseorang dengan pesona yang begitu menggoda, ternyata belum pernah melakukan hal ini sebelumnya? Bagaimana mungkin?Tapi tatapan Matthias tidak berbohong.Selena mencoba mempertahankan akal sehatnya meskipun tubuhnya terasa terlalu panas untuk berpikir jernih. Tatapan Matthias yang kelam dan penuh intensitas seolah menghipnotisnya, membuatnya tenggelam lebih dalam dalam permainan yang ia sendiri tak yakin bisa menangkan.“Kau masih ingin istirahat, Princess?” tanyanya dengan suara rendah yang berbahaya.Selena tahu ia dalam masalah. Terlebih Matthias tak mengelurkan benda itu dari dalam dirinya.“Sekali lagi ya?” Matthias meminta dengan ekspresi yang sulit Selena tolakSetelah pengakuan Matthias jika dia baru pertama kali bercinta dan hanya akan melakukannya dengan SelenaMa
“Ewww... apartemen ini jadi penuh dengan bau sperma” Hiriety menutup hidungnya begitu memasuki apartemen"Jaga suaramu" Matthias menatap tajam pada adiknya, suaranya rendah dan mengancam. "Kalau Selena terbangun, aku akan membunuhmu."Hiriety terkikik, meletakkan tasnya di atas meja dapur. "Kasihan Selena. Aku tidak perlu bertanya bagaimana kau memperlakukannya, karena sudah jelas dari caranya terlelap. Kau benar-benar gila, Matthias."Matthias hanya mendengus, mengambil segelas air dari meja dan meneguknya. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya, memutar badannya menghadap adiknya.Hiriety menarik kursi dan duduk dengan santai, menyilangkan kaki. "Papa meminta aku ke Forlanini. Ada transaksi senjata api yang terjadi di sana malam ini."Matthias menyipitkan mata. "Papa?""Ya. Papa ingin kita memastikan semuanya berjalan lancar. Aku tahu ini bukan urusanmu, tapi..." Hiriety menatap Matthias dengan ekspresi serius. "Papa sepertin
Selena menggeliat pelan, tubuhnya masih terasa lemas saat akhirnya ia berhasil membuka matanya sepenuhnya. Cahaya pagi yang menembus tirai apartemennya membuatnya sedikit menyipit, dan sebelum ia sempat mengumpulkan kesadarannya sepenuhnya, suara familiar terdengar dari ambang pintu.“Akhirnya kau bangun juga.”Selena mengerang pelan sebelum kepalanya menoleh. Matanya membulat seketika saat melihat sosok yang bersandar santai di ambang pintu dengan tangan terlipat di dada.“HIRIE!” serunya refleks.Selena langsung memerah seketika. Ia hampir tersedak udara sendiri saat buru-buru menarik selimutnya lebih erat.Wanita yang kini mengganti warna rambutnya yang semula pirang menjadi redwine itu hanya tertawa kecil, lalu dengan langkah ringan ia berjalan masuk, tanpa malu-malu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan sebelum akhirnya mengendus pelan.“Astaga, kamar ini benar-benar bau sperma” ujarnya santai s
Forlanini, Milan, ItaliaPusat Perdagangan GelapUdara malam di Forlanini terasa dingin, tetapi suasana di dalam gudang tua yang tersembunyi di tepi pelabuhan terasa panas dan tegang. Beberapa pria berbadan besar berdiri berjaga di pintu masuk, senjata tersampir di bahu mereka.Matthias melangkah masuk dengan mantap, diikuti oleh beberapa anak buahnya yang sudah bersiaga. Di tengah ruangan, beberapa peti kayu terbuka, memperlihatkan senjata otomatis, amunisi, dan granat yang masih terbungkus rapi dalam lapisan plastik.Di ujung ruangan, seorang pria berjas hitam dengan wajah penuh bekas luka sedang berbincang dengan seorang lelaki tua bertubuh kecil—penjual senjata dari Rusia yang sudah lama berbisnis dengan keluarga Matthias.“Kau mau masuk dengan cara diplomatis, atau lebih suka menghancurkan kepala mereka satu per satu?” Tobias, teman Matthias menatap Matthias dengan sudut bibir terangkat
Selama hampir 10 tahun mengenal Matthias, baru kali ini Tobias merasa jika pria itu sungguh tak punya akal"Kau serius ingin menutupi ini? Kau baru saja tertembak, Matthias."Matthias meneguk napas dalam, rahangnya mengatup erat menahan rasa sakit. "Aku tidak ingin Selena melihatnya. Buatlah ini terlihat seolah-olah tidak terjadi apa-apa."Tobias memutar matanya. Jika Matthias waras, tak mungkin pria itu memintanya untuk menjahit luka tembak itu dan menutupnya dengan kulit sintetisTobias menghela napas panjang, menekan kemudi dengan jemarinya. "Sial, Matthias. Kau benar-benar gila," gumamnya, tetapi ia tetap mengambil ponselnya, menghubungi seseorang.“Bersiaplah. Aku butuh alat-alat medis dan kulit sintetis dalam waktu kurang dari sepuluh menit,” perintahnya kepada seseorang di ujung telepon.Matthias menutup matanya sebentar, merasakan detak jantungnya yang sedikit melambat akibat kehilangan darah.“Aku akan menye
Selena menatap Hiriety, mata coklatnya membola sempurna “Kau juga ikut-ikutan menutupi kebodohannya?”Hiriety hanya mengangkat bahu santai. “Aku hanya memberinya solusi terbaik agar dia tidak mendapatkan amukanmu lebih awal. Tapi melihat reaksimu sekarang, sepertinya aku harusnya membiarkan kakakku menderita.” Dia terkekeh diakhir kalimatSelena mendecak kesal, lalu meraih mantel tebalnya. “Bawa aku padanya”“As your wish, Selena”Tanpa banyak protes, Hiriety berdiri, mengambil kunci apartemen sebelum berjalan santai menuju lift. Selena mengikuti di belakang dengan wajah penuh kekesalan.Mereka tak bergerak turun melainkan naik hingga sampai di lantai tujuhSelena heran tapi dia tetap berjalan mengikuti Hiriety menuju salah satu unit yang berada di lantai 7 itu.Hiriety menekan bel pintu tanpa ragu, tiga bel cepat yang seolah sudah menjadi kode rahasia.Beberapa detik kemudian, pintu terbuka, memperlihatkan Tobias yang berdiri dengan ekspresi datar. Begitu melihat siapa yang datang, ia
Selena berdiri di depan ruang ganti, tangannya masih terlipat di dada. Ia bisa mendengar Matthias bergerak di dalam, mungkin sedang mengganti pakaiannya.“Matthias?” suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.Dari dalam terdengar suara Matthias. “Hm?”Selena menekan senyumannya. “Aku masuk.”Ia tidak menunggu jawaban sebelum membuka pintu dan menyelinap masuk.Matthias, yang hanya mengenakan kemeja putih yang belum dikancingkan sepenuhnya, menatapnya dengan satu alis terangkat. “Tidak sabar melihatku, huh?”Selena tidak menggubris godaannya. Ia melangkah mendekat dan dengan santai melingkarkan dasi di leher Matthias, menariknya sedikit hingga wajah mereka lebih dekat.Matthias tampak sedikit terkejut, tapi kemudian seringai itu kembali muncul. “Oh? Sekarang kau ingin membantuku berpakaian?”Selena tersenyum manis, tapi matanya penuh niat jahat. “Tentu saja&rd
Pernikahan itu berjalan begitu cepat—tanpa pidato panjang, tanpa perayaan meriah, hanya sumpah yang diucapkan di bawah tekanan waktu dan emosi yang masih menggantung.Matthias tidak memberi kesempatan pada siapa pun untuk menunda lebih lama. Begitu mereka berdiri di altar, suaranya tegas saat mengucapkan janji pernikahan, matanya tak sekalipun beralih dari Selena.“Dengan ini, kalian resmi menjadi suami istri”Matthias tidak menunggu aba-aba untuk mencium Selena. Bibirnya langsung menekan bibir Selena, mendominasi, menegaskan kepemilikannya di depan semua orang yang hadir.Sorakan kecil terdengar dari beberapa tamu, tetapi Matthias tidak peduli. Dia hanya menarik Selena lebih dekat, menyalurkan emosi yang tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata.Begitu mereka masuk ke dalam mobil, keheningan menyelimuti mereka. Matthias duduk di sampingnya, tangannya tidak pernah lepas dari tubuh Selena—entah menggenggam jemarinya atau sek
Selena menatap dirinya di cermin, jantungnya berdebar tidak karuan.Gaun putih itu terasa begitu indah di tubuhnya, tetapi berat di hatinya. Bukan karena dia tidak ingin pernikahan ini terjadi, tetapi karena semuanya masih terasa seperti mimpi yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.Pintu ruang rias terbuka, dan Lumia masuk dengan senyum lembut."Sayang..." suara ibunya penuh kasih, tetapi ada sedikit kegelisahan di dalamnya. "Sudah waktunya."Selena menelan ludah, mencoba mengatur emosinya."Kau baik-baik saja?" tanya Lumia, mengulurkan tangan untuk menggenggam jemari putrinya.Selena menatap tangan mereka yang bertaut, lalu mengangguk pelan. "Aku... aku tidak tahu, Mom."Lumia tersenyum kecil. "Pernikahan tidak pernah mudah, Selena. Tapi yang perlu kau tanyakan pada dirimu sendiri hanyalah satu hal—apakah kau ingin hidup tanpanya?"Selena mengangkat wajahnya, menatap bayangannya sendiri di cermin.Apakah dia bisa h
Kesalahan Dylan adalah tak mengenalkan dunia mereka pada putrinyaKesalahan Lumia adalah tak memberitahu identitasnya pada SelenaDan kesalahan Matthias adalah melecehkannya bahkan mengenalkan Selena pada dunia dengan cara yang keliru.Selena seharusnya tahu sejak awal.Seharusnya dia mengerti bahwa dunia tempatnya hidup bukanlah dunia normal.Dunia mereka gelap. Kotor. Berdarah.Tidak ada keadilan di sini, hanya kekuasaan dan kelangsungan hidup.Tapi Dylan ingin melindunginya.Lumia ingin menjaganya.Dan Matthias... Matthias ingin memilikinya.Selama ini, semua orang mengambil keputusan untuknya. Mereka membungkusnya dalam kebohongan manis, berpikir itu akan membuatnya aman. Tapi justru itu yang membuatnya semakin rapuh.Selena menatap Matthias yang masih memeluknya erat di dapur.Pria itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya.Dan pada saat yang sama, satu-satunya tempat dia bisa berpulang."Matthias" gumamnya pelan."Hm?""Aku ingin mati saja..."Matthias membeku.Tubuhnya yang
Brak“Putramu itu gila, Caid!”Itu adalah kalimat pertama yang diucapkan Dylan begitu dia tiba di markas Oletros, tepat diruang berkumpul yang mana Caid sedang duduk di kursinyaCaid terkekeh “Jika tak gila tentu saja bukan putraku” Jawab CaidDylan mengusap wajahnya dengan frustrasi, sementara Caid hanya menatapnya dengan senyum kecil penuh hiburan.“Ini pertama kalinya aku melihatmu kacau, Dylan” Enid mengucapkan dengan santainya sementara Dayn, kembaran Dylan hanya terkekeh“Kau tak tahu saja karena hanya memiliki anak lelaki” Seru DaynEnid mendengus kesal, melirik Dayn dengan tajam. “Kau pikir punya anak lelaki lebih mudah? Tunggu sampai salah satu dari mereka membawa pulang masalah sebesar Matthias.”Dayn terkekeh, menyilangkan tangan di dadanya. “Masalahnya, Matthias tidak sekadar membawa masalah. Dia adalah masalah itu sendiri.”Caid mengangg
Selena tak benar-benar dibiarkan pergi. Nyatanya, saat dia dan Daddynya tiba di bandara, tidak ada satu pun maskapai yang menerima kepergiannya.“Apa maksudnya tidak ada penerbangan?” Dylan menekan telepon di tangannya, berbicara dengan seseorang dari pihak bandara. Wajahnya mengeras. “Kami sudah memesan tiket sejak tadi malam.”“Maaf, Tuan, tetapi semua penerbangan Anda telah dibatalkan.”Dylan meremas gagang ponselnya erat. “Oleh Walton?” Tanya DylanPetugas di ujung telepon terdengar ragu sebelum menjawab. “Kami tidak bisa memberikan informasi itu, Tuan.”Dylan menoleh ke Selena, yang berdiri di sampingnya dengan ekspresi yang tak kalah frustrasi.Matanya langsung menyipit. “Matthias.”Selena menghela napas panjang, menatap papan informasi keberangkatan yang kosong untuk mereka.Tentu saja.Tentu saja Matthias tidak akan membiarkannya pergi semuda
Sebulan kemudian....Monarki kembali berada di bawah kepemimpinan Leonardo, dan kartel Oletros kembali ke puncak kejayaannya. Seolah semuanya telah kembali seperti semula—stabil, terkendali. Namun, ada satu hal yang masih menggantung di udara: pria yang mengincar Selena masih belum ditemukan.Matthias duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop dengan ekspresi yang sulit ditebak. Informasi tentang pria itu terpampang jelas di depannya, tetapi tetap saja, seakan orang itu adalah bayangan yang terus menghilang setiap kali mereka mencoba menangkapnya“Belum ditemukan?” tanya DylanMatthias menggeleng “Jika aku menikahi Selena, apa kau pikir dia akan muncul?”Dylan mengangkat alisnya, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan ekspresi penuh pertimbangan. “Aku tak pernah mengizinkan kau menikahi putriku”Matthias terkekeh pelan, tetapi tatapannya tetap tajam. “Dan sejak kapan aku membutuhkan izinmu, P
Delusional Perceptive Syndrome.Mata Selena terpaku pada tulisan itu. Diagnosis yang mengubah segalanya."Aku sudah gila?" pikirnya.Matthias duduk di sofa, mengamatinya dalam diam. Ia tidak memaksanya bicara, tidak menuntut jawaban. Ia hanya menunggu Selena melakukan sesuatu.Hening menyelimuti ruangan.Selena akhirnya menarik napas panjang dan menatap padanya “Sejak kapan kau tahu tentang ini?”Matthias menatapnya sebentar sebelum menjawab, “Sejak lama.”Jantung Selena mencelos. “Sejak lama?” ulangnya, suaranya bergetar. “Berapa lama, Matthias?”Pria itu tetap tenang, tetapi ada sedikit keraguan di matanya. “Sejak kita masih kecil.”Selena terkesiap.“Apa?”Matthias mendekat, dia berlutut dibawah Selena, tangannya menyentuh tangan Selena "Ada dua faktor yang membuatmu seperti ini," ujar Matthias pelan, menatap langsung ke dalam mata S
“Dunia ini jauh lebih gelap dari yang kau kira, dan kau berada tepat di tengah-tengahnya, Princess...” Matthias mengusap pipi Selena dengan lembut “Mamaku adalah petinggi CIA dan Mommymu salah satu bagian penting dari FBI”Ucapan Matthias membuat Selena berpikir keras.Selena tahu jika kekeknya adalah perdana mentri terdahulu, tapi fakta jika ibunya adalah bagian dari FBI?Hal itu jauh lebih mengejutkan baginya. Bagaimana mungkin selama ini Selena tak tahu fakta itu?Ia merasa seolah hidupnya yang selama ini ia yakini sebagai sesuatu yang normal, ternyata penuh dengan kebohongan dan rahasia besar. Selena menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, semakin ia berpikir, semakin banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya.“Apa lagi yang belum aku ketahui?” gumamnya pelan. Diabaikannya tangan Matthias yang mulai meremas pinggangnya cukup keras“Kau ingin tahu lebih banyak?” tanya