Selena membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat, seolah ia baru saja terlelap setelah pertarungan panjang melawan pikirannya sendiri. Cahaya redup dari lampu di sudut ruangan memberikan kesan hangat yang anehnya menenangkan.
Detik berikutnya, ia menyadari sesuatu—sesuatu yang membuat napasnya tertahan.
Ada lengan kokoh yang melingkar di pinggangnya, menariknya erat dalam kehangatan yang asing tapi familiar.
Matthias.
Selena menoleh perlahan, jantungnya mulai berdebar tak karuan saat melihat wajah Matthias begitu dekat dengannya. Pria itu tertidur, napasnya teratur, dadanya naik turun dengan ritme yang stabil. Ekspresinya jauh lebih tenang dibandingkan biasanya, tidak ada seringai tajam atau tatapan penuh intensitas yang selalu membuatnya gugup.
Pikiran Selena berusaha mengingat bagaimana ia bisa berakhir di sini, di ranjang Matthias, dalam pelukan pria itu. Yang terakhir ia ingat, mereka berbicara tentang perlindungan, tentang a
Selena melirik ke bawah, baru menyadari betapa besar kemeja itu di tubuhnya. Ia mendengus. "Aku tidak mau menemui orang tuaku dengan pakaian kusut. Lagi pula, ini lebih nyaman."Matthias terkekeh, lalu mematikan rokoknya di asbak. "Kalau kau mendekat, aku jamin aromamu akan bercampur dengan asap ini. Daddy-mu bisa langsung menuduhku memperlakukanmu dengan tidak baik."Selena mendengus. "Tumben sekali, seolah kau peduli dengan apa yang Daddy pikirkan."Matthias berjalan mendekatinya dengan langkah santai, sorot matanya mengunci milik Selena."Jadi?" tanya Matthias, menyilangkan tangan di dada. "Kau ingin menemui mereka sekarang dengan rambut basah dan wajah masih merah seperti ini? Kau yakin Daddy-mu tidak akan menebak sesuatu yang aneh?"Selena membuka mulut untuk membalas, tetapi Matthias sudah lebih dulu mencondongkan tubuhnya, berbisik di telinganya dengan suara rendah yang menggoda. "Atau… kau ingin membuatnya semakin yakin bahwa aku mem
“Mommy! Daddy!"Dengan cepat, Selena berlari dan langsung memeluk mereka erat. Ia bisa merasakan kehangatan serta kelegaan dari keluarganya."Oh sayangku," suara ibunya terdengar penuh haru. "Kau baik-baik saja?""Aku baik-baik saja, Mom" gumam Selena, matanya sedikit berkaca-kaca.Ayahnya, Dylan, menepuk kepala Selena dengan lembut. "Tak terluka sedikipun?” tanya Dylan protektif“Tidak Dad”Selena tersenyum kecil, mengeratkan pelukannya. Ia sangat merindukan keluarganya, dan akhirnya bisa kembali ke dalam dekapan mereka membuat hatinya terasa lebih tenang.Lumia yang berdiri di sampingnya ikut menghela napas lega sebelum akhirnya ikut memeluk Selena. "Kau benar-benar membuat kami cemas, tahu?" gumamnya, suaranya terdengar sedikit gemetar.“Em Selena sayang..” Dylan mulai berbicara “malam ini kembalilah ke Milan dengan Matthias” ucapnyaSelena terkejut mendengar kata-kata a
Perjalanan ke Milan terasa seperti mimpi yang aneh bagi Selena. Ia tak menyangka akan kembali secepat ini, dan terlebih lagi—bersama Matthias. Saat mereka akhirnya tiba di apartemennya, perasaan asing menyelimutinya. Tempat itu masih sama, tapi semuanya terasa berbeda.Selena membuka pintu dan melangkah masuk, meletakkan tasnya di sofa. Ia menoleh ke Matthias yang berdiri di ambang pintu, tampak santai seolah tempat ini juga miliknya.“Kau tidak pergi?” tanya Selena, sedikit ragu. Ia pikir Matthias hanya akan mengantarnya, bukan… tinggal.Matthias bersandar di kusen pintu dengan ekspresi santai yang khas. “Kenapa aku harus pergi?”Selena mengerutkan kening. “Karena ini apartemenku?”Matthias terkekeh, berjalan masuk tanpa diundang. “Dan sekarang juga tempatku.”Selena menatapnya dengan mata membesar. “Apa?”Matthias melemparkan jaketnya ke sofa sebelum menoleh de
Pagi-pagi sekali, Selena terbangun dengan perasaan aneh.Matanya masih berat, tapi tubuhnya terasa lebih ringan dari semalam. Ada sesuatu yang berbeda. Lalu, dia sadar.Sebelahnya kosong.Ia menoleh, melihat tempat tidur di sampingnya sudah dingin. Matthias tidak ada.Selena mengerutkan kening sebelum perlahan bangkit dari ranjang. Kakinya melangkah keluar kamar dengan pelan, sampai suara samar-samar terdengar dari ruang tamu.Ia berjalan mendekat dan melihat Matthias berdiri di dekat jendela, berbicara di telepon. Tubuhnya tegap, satu tangan di saku celana, ekspresinya serius.“Aku mengerti” kata Matthias dengan suara rendah. “Dia aman denganku.”Selena diam di ambang pintu, menatap pria itu dengan rasa penasaran yang tumbuh.“Ya, aku akan cari cara lain” lanjut Matthias. “Papa pastikan saja mereka tetap di tempat, jangan bergerak sampai aku memberi sinyal.”Sesaat hening.
Selena keluar dari kamar beberapa menit kemudian dengan kemeja oversized berwarna putih dan celana pendek dari brand LV dengan warna yang senada. Rambutnya hanya dikuncir ala messy-bun, tapi tetap terlihat manis dan eleganMatthias meliriknya dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu bersiul pelan. “Kau berdandan hanya untukku, Princess?”Selena mendengus, meraih tasnya di sofa. “Kau pikir ini berdandan?” tanyanya heran. Padahal Selena hanya memoles skincare dan lipstik dibibirnyaMatthias menyeringai, berjalan mendekat dengan langkah santai. “Kalau ini bukan berdandan, lalu apa? Kau bahkan memakai lipstik.”Selena mendesah, menatapnya dengan tatapan malas. “Aku hanya tidak ingin terlihat seperti mayat hidup.”Matthias terkekeh, lalu mengulurkan tangan untuk menyentuh dagunya, mengamati bibir Selena yang sedikit berkilau karena lipstik tipisnya. “Cukup menggoda” gumamnya, sebelum akhirnya
Selena tak tahu jika menemani seorang pria belanja akan selama ini. Padahal mereka baru belanja kurang dari 20 menit namun Selena merasa hidupnya berkurang 20 tahun.Rasanya sungguh berbeda saat ia berbelanja dengan Hiriety—dengan sahabatnya itu, belanja terasa menyenangkan, penuh tawa, dan tentu saja, bebas dari pria menyebalkan yang suka menggoda setiap saat.Namun, bersama Matthias?Dia harus menghadapi seringai nakalnya, komentar-komentar yang membuat wajahnya memanas, dan yang lebih parah… ekspresi aku tahu kau diam-diam menikmatinya yang membuat Selena ingin melempar sesuatu ke arahnya.“Apakah Anda lebih suka yang polos atau bermotif, Signore?”Matthias melirik ke arah Selena dengan seringai iseng. “Tanya dia.”Selena menatap Matthias dengan pandangan membunuh sebelum meraih satu kotak secara acak. “Ini.”Matthias mengambil kotak itu, melihat isinya—boxer hitam dengan bahan
Selena masih berdiri di tempatnya, jantungnya berdebar kencang. Suhu tubuhnya terasa meningkat setelah semua yang Matthias lakukan barusan.Sementara itu, Matthias dengan santai menjawab teleponnya, seolah tidak ada hal panas yang baru saja terjadi.Sialan.Ia mengusap lehernya yang masih terasa hangat akibat bisikan Matthias tadi. Ini tidak bisa dibiarkan. Ia harus menjaga jarak sebelum pria itu semakin melampaui batas.“Selena?”Selena berhenti di tempat.Suara itu…Ia berbalik perlahan, dan di sana, berdiri seseorang yang tidak ia sangka akan bertemu di sini.“Steven?”Selena menatap pria di depannya dengan mata membesar. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia melihatnya, tetapi wajah itu tidak banyak berubah—masih setampan dulu, dengan senyum ramah yang selalu terlihat tulus.“Sudah lama sekali.” kata Steven sambil tertawa kecilSelena tersadar dari keterkejutannya dan tersenyum kecil. “Ah-- ya. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini.”Steven tampak sama santainya sep
Matthias mengemudi dengan satu tangan di kemudi, sementara tangan lainnya dengan santai bersandar di sandaran tangan. Wajahnya tampak tenang, tapi Selena tahu lebih baik—dia masih kesal soal Steven.Selena bersandar di kursi dengan mendesah. Dia harus memperbaiki mood pria itu sebelum dia menggila dan menembak Stevan“Matthias, kau masih kesal?”Matthias meliriknya sekilas sebelum menyeringai tipis. “Kenapa aku harus kesal?”Selena mendengus. “Entahlah. Aku hanya merasa kau akan melakukan sesuatu pada Stevan” Gumamnya pelanMatthias mengetukkan jarinya ke kemudi, matanya tetap fokus ke jalan. “Apa saat ini kau melindunginya, Princess?”Selena menghela napas panjang. Tentu saja dia masih kesal."Aku tidak melindunginya" jawabnya cepat, melirik Matthias yang tetap fokus pada jalan dengan ekspresi datar. "Aku hanya tak ingin ada drama yang tidak perlu."Matthias tertaw
Selena berdiri di depan ruang ganti, tangannya masih terlipat di dada. Ia bisa mendengar Matthias bergerak di dalam, mungkin sedang mengganti pakaiannya.“Matthias?” suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.Dari dalam terdengar suara Matthias. “Hm?”Selena menekan senyumannya. “Aku masuk.”Ia tidak menunggu jawaban sebelum membuka pintu dan menyelinap masuk.Matthias, yang hanya mengenakan kemeja putih yang belum dikancingkan sepenuhnya, menatapnya dengan satu alis terangkat. “Tidak sabar melihatku, huh?”Selena tidak menggubris godaannya. Ia melangkah mendekat dan dengan santai melingkarkan dasi di leher Matthias, menariknya sedikit hingga wajah mereka lebih dekat.Matthias tampak sedikit terkejut, tapi kemudian seringai itu kembali muncul. “Oh? Sekarang kau ingin membantuku berpakaian?”Selena tersenyum manis, tapi matanya penuh niat jahat. “Tentu saja&rd
Pernikahan itu berjalan begitu cepat—tanpa pidato panjang, tanpa perayaan meriah, hanya sumpah yang diucapkan di bawah tekanan waktu dan emosi yang masih menggantung.Matthias tidak memberi kesempatan pada siapa pun untuk menunda lebih lama. Begitu mereka berdiri di altar, suaranya tegas saat mengucapkan janji pernikahan, matanya tak sekalipun beralih dari Selena.“Dengan ini, kalian resmi menjadi suami istri”Matthias tidak menunggu aba-aba untuk mencium Selena. Bibirnya langsung menekan bibir Selena, mendominasi, menegaskan kepemilikannya di depan semua orang yang hadir.Sorakan kecil terdengar dari beberapa tamu, tetapi Matthias tidak peduli. Dia hanya menarik Selena lebih dekat, menyalurkan emosi yang tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata.Begitu mereka masuk ke dalam mobil, keheningan menyelimuti mereka. Matthias duduk di sampingnya, tangannya tidak pernah lepas dari tubuh Selena—entah menggenggam jemarinya atau sek
Selena menatap dirinya di cermin, jantungnya berdebar tidak karuan.Gaun putih itu terasa begitu indah di tubuhnya, tetapi berat di hatinya. Bukan karena dia tidak ingin pernikahan ini terjadi, tetapi karena semuanya masih terasa seperti mimpi yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.Pintu ruang rias terbuka, dan Lumia masuk dengan senyum lembut."Sayang..." suara ibunya penuh kasih, tetapi ada sedikit kegelisahan di dalamnya. "Sudah waktunya."Selena menelan ludah, mencoba mengatur emosinya."Kau baik-baik saja?" tanya Lumia, mengulurkan tangan untuk menggenggam jemari putrinya.Selena menatap tangan mereka yang bertaut, lalu mengangguk pelan. "Aku... aku tidak tahu, Mom."Lumia tersenyum kecil. "Pernikahan tidak pernah mudah, Selena. Tapi yang perlu kau tanyakan pada dirimu sendiri hanyalah satu hal—apakah kau ingin hidup tanpanya?"Selena mengangkat wajahnya, menatap bayangannya sendiri di cermin.Apakah dia bisa h
Kesalahan Dylan adalah tak mengenalkan dunia mereka pada putrinyaKesalahan Lumia adalah tak memberitahu identitasnya pada SelenaDan kesalahan Matthias adalah melecehkannya bahkan mengenalkan Selena pada dunia dengan cara yang keliru.Selena seharusnya tahu sejak awal.Seharusnya dia mengerti bahwa dunia tempatnya hidup bukanlah dunia normal.Dunia mereka gelap. Kotor. Berdarah.Tidak ada keadilan di sini, hanya kekuasaan dan kelangsungan hidup.Tapi Dylan ingin melindunginya.Lumia ingin menjaganya.Dan Matthias... Matthias ingin memilikinya.Selama ini, semua orang mengambil keputusan untuknya. Mereka membungkusnya dalam kebohongan manis, berpikir itu akan membuatnya aman. Tapi justru itu yang membuatnya semakin rapuh.Selena menatap Matthias yang masih memeluknya erat di dapur.Pria itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya.Dan pada saat yang sama, satu-satunya tempat dia bisa berpulang."Matthias" gumamnya pelan."Hm?""Aku ingin mati saja..."Matthias membeku.Tubuhnya yang
Brak“Putramu itu gila, Caid!”Itu adalah kalimat pertama yang diucapkan Dylan begitu dia tiba di markas Oletros, tepat diruang berkumpul yang mana Caid sedang duduk di kursinyaCaid terkekeh “Jika tak gila tentu saja bukan putraku” Jawab CaidDylan mengusap wajahnya dengan frustrasi, sementara Caid hanya menatapnya dengan senyum kecil penuh hiburan.“Ini pertama kalinya aku melihatmu kacau, Dylan” Enid mengucapkan dengan santainya sementara Dayn, kembaran Dylan hanya terkekeh“Kau tak tahu saja karena hanya memiliki anak lelaki” Seru DaynEnid mendengus kesal, melirik Dayn dengan tajam. “Kau pikir punya anak lelaki lebih mudah? Tunggu sampai salah satu dari mereka membawa pulang masalah sebesar Matthias.”Dayn terkekeh, menyilangkan tangan di dadanya. “Masalahnya, Matthias tidak sekadar membawa masalah. Dia adalah masalah itu sendiri.”Caid mengangg
Selena tak benar-benar dibiarkan pergi. Nyatanya, saat dia dan Daddynya tiba di bandara, tidak ada satu pun maskapai yang menerima kepergiannya.“Apa maksudnya tidak ada penerbangan?” Dylan menekan telepon di tangannya, berbicara dengan seseorang dari pihak bandara. Wajahnya mengeras. “Kami sudah memesan tiket sejak tadi malam.”“Maaf, Tuan, tetapi semua penerbangan Anda telah dibatalkan.”Dylan meremas gagang ponselnya erat. “Oleh Walton?” Tanya DylanPetugas di ujung telepon terdengar ragu sebelum menjawab. “Kami tidak bisa memberikan informasi itu, Tuan.”Dylan menoleh ke Selena, yang berdiri di sampingnya dengan ekspresi yang tak kalah frustrasi.Matanya langsung menyipit. “Matthias.”Selena menghela napas panjang, menatap papan informasi keberangkatan yang kosong untuk mereka.Tentu saja.Tentu saja Matthias tidak akan membiarkannya pergi semuda
Sebulan kemudian....Monarki kembali berada di bawah kepemimpinan Leonardo, dan kartel Oletros kembali ke puncak kejayaannya. Seolah semuanya telah kembali seperti semula—stabil, terkendali. Namun, ada satu hal yang masih menggantung di udara: pria yang mengincar Selena masih belum ditemukan.Matthias duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop dengan ekspresi yang sulit ditebak. Informasi tentang pria itu terpampang jelas di depannya, tetapi tetap saja, seakan orang itu adalah bayangan yang terus menghilang setiap kali mereka mencoba menangkapnya“Belum ditemukan?” tanya DylanMatthias menggeleng “Jika aku menikahi Selena, apa kau pikir dia akan muncul?”Dylan mengangkat alisnya, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan ekspresi penuh pertimbangan. “Aku tak pernah mengizinkan kau menikahi putriku”Matthias terkekeh pelan, tetapi tatapannya tetap tajam. “Dan sejak kapan aku membutuhkan izinmu, P
Delusional Perceptive Syndrome.Mata Selena terpaku pada tulisan itu. Diagnosis yang mengubah segalanya."Aku sudah gila?" pikirnya.Matthias duduk di sofa, mengamatinya dalam diam. Ia tidak memaksanya bicara, tidak menuntut jawaban. Ia hanya menunggu Selena melakukan sesuatu.Hening menyelimuti ruangan.Selena akhirnya menarik napas panjang dan menatap padanya “Sejak kapan kau tahu tentang ini?”Matthias menatapnya sebentar sebelum menjawab, “Sejak lama.”Jantung Selena mencelos. “Sejak lama?” ulangnya, suaranya bergetar. “Berapa lama, Matthias?”Pria itu tetap tenang, tetapi ada sedikit keraguan di matanya. “Sejak kita masih kecil.”Selena terkesiap.“Apa?”Matthias mendekat, dia berlutut dibawah Selena, tangannya menyentuh tangan Selena "Ada dua faktor yang membuatmu seperti ini," ujar Matthias pelan, menatap langsung ke dalam mata S
“Dunia ini jauh lebih gelap dari yang kau kira, dan kau berada tepat di tengah-tengahnya, Princess...” Matthias mengusap pipi Selena dengan lembut “Mamaku adalah petinggi CIA dan Mommymu salah satu bagian penting dari FBI”Ucapan Matthias membuat Selena berpikir keras.Selena tahu jika kekeknya adalah perdana mentri terdahulu, tapi fakta jika ibunya adalah bagian dari FBI?Hal itu jauh lebih mengejutkan baginya. Bagaimana mungkin selama ini Selena tak tahu fakta itu?Ia merasa seolah hidupnya yang selama ini ia yakini sebagai sesuatu yang normal, ternyata penuh dengan kebohongan dan rahasia besar. Selena menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, semakin ia berpikir, semakin banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya.“Apa lagi yang belum aku ketahui?” gumamnya pelan. Diabaikannya tangan Matthias yang mulai meremas pinggangnya cukup keras“Kau ingin tahu lebih banyak?” tanya