Julie sedang makan di lantai bawah, Serenity kembali ke kamar untuk memberikan makan lagi ke Jasmine. Serenity dengan telaten memasukan makanan yang sudah dihancurkan. Bubur itu dimasukan ke dalam suntikan dan didorong menuju selang di mulut. Seorang Ibu sangat resah melihat keadaan itu. Kapan mereka akan sadar? Apa mereka baik-baik saja? Semua pemikiran bercampur-campur di otak. Dia menghela napas, mengalihkan pemikiran negatif dan melihat jendela di arah kanan. Wanita berambut blonde itu, perlahan menoleh ke arah Angellia. Serenity terkejut luar biasa, Angellia berdiri di atas kasur. Perempuan berambut merah itu, terdiam sesaat dan melepaskan selang infus. Darah menetes deras dari tangan sang anak. Dia menarik selang pada mulutnya. Angellia memuntahkan cairan asam dan makanan tadi. Serenity mendengar suara sendi leher yang kaku. Angellia menoleh pelan ke arah sang ibu. Tubuh Serenity gemetar hebat, terdiam tidak bisa berteriak sedikit pun hanya berkeringat dingin.
Leo mulai panik, mencoba men-speaker panggilan itu agar yang lain mendengar. Arthur dan Aroon yang mendengar jelas jeritan Serenity. Leo mencoba memanggil Julie berkali-kali, di jawab Jasmine tapi suaranya berbeda. Serak dan menyeramkan."Kamu terlambat! Kamu terlambat!" Jasmine membanting dan menginjak ponsel ke lantai hingga hancur berkeping-keping.”Halo! Halo, sialan! Siapa itu? Dia bukan Jasmine. Ada yang mengendalikannya. Pasti!” jelas Leo memasukan benda pipih itu dan meyakinkan pada semua itu bukan Jasmine.”Iya, aku tau. Itu bukan Jasmine. Istriku cepat bersiap-siap bawa semua keperluan untuk di sana. Aloria bantu Ibumu cepat!” perintah Barlder lalu pergi mempersiapkan mobil di garasi.”Baiklah, Ayo! Nak, bantu Ibu!” ajak Eleanor bergegas berlari ke lantai dua untuk mengambil ramuan, buku, dan apa pun.”Ayah, persiapkan semua barang-barang kita agar tidak ada yang tertinggal.” Arthur menghampiri.“Benar, Nak. Ayo, Leo ju
”A-ayah ...! Mereka si-siapa?” tanya Jasmine membekap mulutnya dengan tangan yang gemetar.”Dewa! Ini tempat apa? Semuanya menyeramkan,” lirih Angellia seluruh tubuh bergetar.”Mereka adalah para roh yang penasaran. Ketika mereka sudah mati, Dewa tidak menempatkannya di neraka atau surga. Mereka terjebak di sini dan menginginkan raga kalian!” terang Edward begitu terasa emosi yang mengebu-gebu. Dengan cahaya yang samar-samar dari pantulan kekuatan Edward. Semua sosok-sosok itu, menghampiri pelindung. Mereka terlihat jelas begitu marah terus mencoba meraih tiga orang yang diam di situ. Terdengar dentuman keras dari tangan yang memukul kubah. Pantas saja ayahnya membuat perlindungan, jika Jasmine sekali tersentuh pasti sudah mati.”Lalu kami harus bagaimana Ayah Edward? Bebaskan kami?” pinta Angellia mulai panik.”Aku tidak bisa berbuat apa pun hanya sebatas ini saja. Pelindung ini akan terus melindungi kalian sampai Leo membawa teman lam
Julie perlahan melepaskan satu persatu ikatan tali yang terus bercahaya jingga. Charless menenangkan diri, tarik napas dalam-dalam dan fokus. Sedikit demi sedikit tubuhnya menyusut kembali normal. Julie membalikan badan dan menutup matanya. Dia menjerit karena Charless tidak menggunakan baju sehelai pun. Celana jeans compang-camping yang hampir memperlihatkan sesuatu yang berharga. Charless sadar akan hal itu dengan rasa malu secepat kilat melilitkan kain selimut pada tubuhnya. Serenity yang awalnya tegang karena ketakutan menjadi tertawa terbahak-bahak melihat kejadian itu. Tepat pukul 7.30 PM malam hari, akhirnya mereka sampai juga. Mobil itu diparkirkan dekat dengan rumah keluarga O’neil. Leo keluar berlari secepat mungkin menuju kamar Jasmine. Disusul oleh Arthur dan yang lainnya. Kamar masih terkunci, langsung diketuk berkali-kali dengan keras. Arthur ingin rasanya menghancurkan pintu itu. Mereka sangat cemas dan semakin panik. ”Julie-Julie ...! Buka pintuny
”Ayah Aroon, mendengar sesuatu?” Leo memastikan bahwa itu benar suara atau halusinasinya. ”Hmm ... tidak mendengar apa pun. Hanya suara angin saja, ada apa?” sahut Aroon dan menoleh ke Leo. ”Aku mendengar seseorang memanggilku. Siapa, ya? Entah, asalnya dari mana,” jelas Leo mulai kebingungan. ”Coba kamu fokuskan pendengarannmu. Tutup matamu. Pasti akan menunjukan sumbernya di mana.” Charless menjelaskan yang langsung Leo lakukan. "Baiklah. Tunggu sebentar,” jawab Leo.Butuh waktu beberapa detik, tanpa disadarinya mendapat penerawangan. Leo melihat Jasmine dan Angellia yang terpojok oleh roh penasaran. Suara itu semakin jelas, ternyata mereka yang memanggilnya. Dia tersentak membuatnya mundur beberapa langkah. ”Tetap jaga posisi itu. Jangan berubah sedikit pun, ada apa Leo?” tanya Barlder melihat Leo terkejut dan berkeringat deras. ”Aa-aku melihat mereka. Yah, mereka, Paman!” sahut Leo menatap Barlder. ”M
Serigala Cerberus berlari dan menyerangnya dengan mengayunkan tangan berkuku tajam itu begitu keras. Sosok itu berhasil menangkis dengan tangan tajamnya. Mereka saling dorong-mendorong untuk saling menjatuhkan. Dalam pertarungan itu, Singa berbulu emas sudah mendekati posisi. Dia melompat dan menghantam keras tubuh musuhnya. Makhluk itu terpental jauh ke pepohonan yang sudah menguning. Singa Nemea menoleh ke arah tuannya, dia mengaung menandakan kedatangannya. Membuat Leo terkejut, ternyata dia berhasil memanggilnya. Walau resiko besar menghantuinya karena efek peningkatan level kekuatan secara cepat. Dapat membuat terkuras habis, semua tenaga dan energi dalam 10 detik setelahnya. Alhasil, Leo langsung sempoyongan membuat pelindung itu goyah. Sangat berbahaya apabila pelindung itu hancur dan Julie melihat hal itu, melakukan hal yang sama. Dia menstransfer energinya pada Leo. Aura jingga perlahan masuk ke tubuh kakaknya. Langsung menyerap semua energi, Leo mulai menga
”Cih! Makhluk licik!” gerutu Charless marah dan memerintahkan peliharaannya untuk memakannya. ”Sialan! Dia mulai berani!” murka Leo dan memerintahkan Sang singa untuk cepat membunuhnya. ”Sst ...! Jangan bersuara. Aku juga mendengar sesuatu di atas!” pinta Aroon mulai melihat sekeliling.Julie memperhatikan dengan teliti, melihat satu celah retakan. Dia fokus, terlihat ada bentuk kecil tajam keluar. Seperti kaki kecil yang bergerak-gerak sedang menggali atap itu. Sang peliharaan mendengar perintah tuannya. Serigala menekan gigi-giginya, makhluk itu pun meronta-ronta kesakitan. Dia melemparkannya ke atas dan menghantam tanah. Dia menghampiri makhluk yang tergeletak tidak berdaya. Tadinya ingin di cincang diurungkan niatnya. Karena jika dipotong-potong pasti hidup kembali. Charless memutuskan untuk membakarnya dengan api neraka yang bisa keluar dari peliharaannya. Charless tarik napas dalam-dalam, Serigala Cerberus mengumpulkan api di mulutnya. Dia mengarah
Aloria pun sadar, mulai bangkit menyeret badannya. Barlder pun langsung menggendongnya. Tiba-tiba dari arah belakang kerumunan itu berkumpul. Membentuk ombak besar yang ingin menyapu bersih orang yang ada dihadapannya. Charless melihat hal itu dengan sigap memanggil dua serigala agar membakar mereka dengan api neraka. Charless tanpa berpikir panjang penuh kemarahan. Serigala sudah mengumpulkan api di mulut menunggu perintah tuannya. Barlder berlari cepat menghindari ombak itu. Aloria menggapainya perlahan semua tubuh masuk ke dalam pelindung. Mereka terselamatkan, tepat selisih beberapa detik saja mungkin benar-benar akan mati. ”Sekarang bakar mereka! Sampai tidak tersisa cepat!” murka Charless tanpa memikirkan dampak dari pemusnahan ini. ”Tu-tunggu du-dulu. Charless jangan!” teriak Leo. Sudah terlambat api membumbung tinggi, membakar seluruh ruangan ini. ”Tidak! Pasti kita mati!” serentak Serenity dan Julie berteriak melihat api di mana-mana. Merasakan
"Sudah siap, Leo? Ingat, jangan ragu! Salah sedikit kita bisa adu tembak," pinta Sean yang sedang merapikan kemeja berdasi hitam itu, lalu memakai jaket coat panjang berwarna hitam. "Huh! Siap! Baiklah, aku paham. Tapi, jujur saja. Aku gugup, Kak Sean." Leo mengambil batu sihir dan menyerahkan satunya lagi ke Mayor. "Pasti, tapi tenang ada aku di sampingmu. Lakukanlah sesuai latihan kita tadi. Jangan lupa, aku jadi Steven dan kamu Lavier!" Sean mengambilnya sambil menjinjing tas kotak silver berisi uang banyak. "Hmm, oke-oke. Pengalaman pertama yang mendebarkan." Leo merapikan rambut blonde-nya dan memakai jaket coat pendek berwarna abu-abu. Lalu, menggunakan kacamata bertangkai emas. Mereka pun menggunakan mobil mewah yang sudah Sean sewa kemarin. Sean menggunakan cincin bermata biru dan Leo bercincin berlian dengan inisial L. Pakaian yang bermerek dari ujung leher sampai kaki menghiasi dua pria itu. Leo yang terus mengendalikan emosi dan ket
"Di mana ini? Perasaan aku tidur di sofa!" batin Leo yang syok melihat sekitarnya ada pohon pinus. "Di hutan? Tidak ada cahaya matahari! Kabutnya tebal juga," keluh Leo yang terus mengucek mata dan bangun. "Leo ... kemari ... Leo, sini kita main!" ajak suara gadis kecil dari arah samping Leo, tapi wujudnya tidak ada. Leo semakin tidak percaya melihat tangan yang mengecil. "Siapa kamu? Keluar! Hah, tubuhku mengecil?" teriak Leo yang meraba-raba tubuh tidak berotot itu. Dia seperti anak berumur 14 tahun. "Ayo, kita bermain petak umpet di sini. Leo ... lihat aku!" teriak gadis yang perlahan muncul di sampingnya dan merangkul tangan Leo. "Zena? Zena!" panggil Leo yang langsung menoleh dan menggenggam erat kedua bahu gadis itu. "Iya, lalu siapa lagi? Di sini hanya kita saja. Ayo, main." Zena yang masih muda dan cantik dengan rambut panjang berwarna putih. Dia tersenyum manis dan berjalan ke pohon pinus yang tinggi. "Ka
Leo yang mendengar teriakan itu langsung menoleh ke arah kerumunan. Saat Leo baru melangkah, ponselnya berdering dan melihat layar yang terpampang nama Jasmine. Sang kakak baru ingat sudah dua hari tidak menghubungi Jasmine. Leo yang hanya melihat kerumunan tadi langsung bubar. Dia hanya melihat wanita yang sedang di seret paksa pria paruh baya. Dia mengangkat telepon dan mendengar kemarahan Sang adik yang terus mengomel. Leo hanya terdiam dan tersenyum lebar, baru saja dua Minggu ditinggalkan sudah merindukan semuanya. Dia cekikikan yang membuat lawan bicaranya merengek dan mengeluh dengan jadwal latihan yang semakin sulit. Charless yang terus menyebalkan dan jahil. Tentu, keluhan soal Leo melanggar janjinya yang harus setiap hari berkomunikasi dengan Jasmine. "Oke-oke, maaf. Maaf, Sayang. Aku sibuk sampai lupa," jelas Leo yang melirik Sean yang masih memilih daging. "Kakak! Aku juga sibuk masih bisa kirim pesan dan menelepon tuh!" gerutu Jasmine yang istirahat
"Hah, terserah kamu saja. Aku paham! Tapi ... aku tidak bisa meninggalkan tempat ini!" seru Pedro yang terlihat cemas bila ikut melakukan pencarian bersama-sama. "Takut sama musuhmu? Atau kamu tidak ingin bertemu dengan Haden?" tanya Sean yang membuat Pedro terdiam. "Bukan, iya. Aku tidak bisa menatap wajah anak itu. Aku tidak sanggup." Pedro termenung mengingat kenangan lampau. Saat Pedro melepas tangan kecil Haden. Anak kecil yang merengek dan menangis kencang karena ditinggal pergi Pedro. "Kalau kamu menghindar terus. Haden akan semakin membencimu. Mau?" Sean menatap tajam Pedro yang menahan tangis. "Ingat, mungkin pertemuanmu yang sekarang akan membuat Haden marah besar." Sean menghela napas panjang. "Tetapi, kamu harus jelaskan alasannya agar kesalahan pahaman tidak terjadi lagi. Dia sudah besar sekarang pasti akan mengerti." Lanjut Sean sambil memanggil Leo untuk kembali ke kursi. "Kalau hal ini berat untukmu. Aku tid
Sean dan Leo jalan perlahan menyusuri anak tangga yang panjang ke bawah. Anak tangga yang berputar tanpa ujung, hawa mencekam dengan hanya di sinar satu cahaya di depan saja. Leo melihat ke bawah dan sampingnya hanya gelap gulita. Sean yang tetap fokus dan menajamkan instingnya. Dari kejauhan terdengar suara riuh orang-orang yang berjalan dan berbicara. Tiba-tiba diujung tangga itu cahaya tadi semakin bersinar menyilaukan mata. Sean dan Leo menutup mata, kedua pria itu syok diam diantara kerumunan orang yang sibuk bekerja di pasar lokal. Mereka bingung ada di mana, sayup-sayup terdengar suara bisikan, "ikuti anak panah itu." Suara pria nan dingin. Sean menolah ke tuannya dan saling mengangguk paham. Leo mencari anak panah yang dimaksud bisikan itu. Dia menemukan satu di dinding penjual ikan laut. Dia menarik Sean dan berjalan ke sana. Anehnya orang-orang di pasar itu tidak terganggu atau tidak melihat beradaan Leo dan Sean. Mereka saling melirik dan mengangkat bahu, berjal
"Hah, ranselnya berat sekali. Tante, Paman. Alat sihirnya kenapa banyak sekali?" keluh Leo yang memasukan alat sihir ke kantung ajaib yang diberikan Eleanor. "Ini pasti akan berguna. Karena kita tidak bisa membantu dengan cepat. Setidaknya benda-benda ini bisa menolongmu di situasi genting," jelas Elanor yang mengelus rambut Leo. "Nak, bawa obat-obatan medis ini. Komandan Tommy, memberitahu barang tambahanmu," ucap Serenity sambil terisak-isak menahan tangisnya dan menyodorkan kotak medis lengkap lalu dimasukan ke dalam ransel. "Oh, iya. Terima kasih, Tante dan Ibu Serenity. Kalian jangan menangis dong. Aku makin sedih." Leo menghampiri dua wanita dewasa yang tidak kuasa menahan tangisan. Leo memeluk erat kedua orang yang sudah dianggapnya sebagai ibu. "Aku akan baik-baik saja. Ada Kak Sean bersamaku. Kalian jaga kesehatan dan aku titip adik-adikku, ya. Kalau nakal pukul dan hukum mereka, oke." Leo mengecup kedua kening dan pipi Eleanor dan Serenity. Leo juga menghapus air mata m
"Oh, Zena Blitz, kan? Aku ingat sekarang. Dia juga bilang sudah tidak punya keluarga lagi selain ayahnya. Oh, anak yang malang." Leo membekap mulutnya dan merasakan kesedihan itu. "Kalau yang dibicarakan Pedro, aku lupa-lupa ingat namanya. Tapi, wajahnya aku ingat." Lanjut Leo yang sedang berpikir keras. "Sama aku pun. Yang aku ingat anak itu menyebalkan! Paling sombong dan arogan," seru Charless yang menepuk bahu Leo. Leo hanya tersenyum dan mengangguk. "Oh, orang itu. Aku ingat yang rambutnya cokelat muda hampir ke blonde gitu. Hmm ... Haden Lodern! Yah, itu!" teriak Arthur yang menghampiri Leo dan Charless. "Ah, itu! Aku ingat! Pria paling menyebalkan," seru Angellia yang mengingat hal itu lagi. Memori yang kelam saat dijahili dan ditinggalkan di ruangan gelap oleh Haden itu. "Yah, sudah. Leo dan Mayor Sean bersiap-siaplah. Bawa semua perlengkapan. Jika ada yang kurang hubungi Komandan Tommy. Nanti makan siang bergabung lagi," per
"Oke, baguslah. Hati-hatilah, jaga Leo dengan baik. Dia keluarga Albiano dan keluarga Pierce juga." Charless menepuk-nepuk bahu Sean. Sean pun mengangguk dan memberi hormat ke Charless dan Leo. "Angel! Dekati saja. Sana!" teriak Arthur yang mendorong Angellia yang terus menatap dalam Vincent. Vincent yang membalas tatapan itu dengan senyuman manisnya. "Ada apa, Nona?" tanya Vincent dengan lembut. Angellia terdiam dan tersipu malu. "Ja-jangan panggil nona. Panggil saja nama. Boleh? Bisa?" tanya Angellia yang memegang lengan kekar itu. Vincent melirik Aroon dan dijawab dengan mengangguk setuju. "Baik, Angellia? Atau Angel?" Vincent mengedipkan mata. Angellia langsung meleleh dan Arthur merasa kesal. "Hm, Angel saja. Asik! Punya kakak baru lagi!" teriak Angellia dengan memeluk Vincent. Vincent terkejut dan membalas pelukan itu. "Boleh? Aku anggap kakak juga?" Angellia mendongak. Membuat pria tinggi besar itu tersentuh dan meng
"Argh! Sakit!" jerit salah satu kandidat, yang berbohong dan menerima hukuman setrum kejut listrik yang dipasang seluruh tubuh. Tubuhnya berasap dan kelojotan keberbagai arah. Dia jatuh dari kursi dan semakin kejang-kejang. "Sudah kamu cek?" tanya Aroon yang menatap sinis orang dihadapannya itu. "Sudah, Pak. Betul, dia berbohong." Komandan menekan terus tombol on off setrum kejut listrik itu. "Hah! Padahal dia bisa jadi ajudan ke-3 istriku. Tambah dayanya! Jangan dibangkitkan lagi. Bunuh!" perintah Aroon yang memukul meja. Dia kesal masih saja kecolongan dapat penyusup dan pengkhianat. Tinggal dua orang lagi, dua-duanya lolos dengan nilai terbaik. Hanya beda 5 poin diantara mereka. Kandidat nama 012 alias Vincent Peach akan menjadi ajudan Si Kembar. Aroon mengurungkan niat untuk menjadikan Vincent ajudan Ke-3 istrinya. Karena kurang efektif dan keahliannya lebih cocok untuk Si Kembar. Sean Pearl menjadi ajudan Leo untuk membantu dan melindungi