“Hmm!! Jangan ... jangan!” seru Jasmine, sambil memegang leher, karena seperti ada yang mencekiknya hingga Jasmine meronta-ronta kesakitan.
“Aaargk!” teriak perempuan yang panik dan ketakutan sontak terbangun. Dia menoleh ke kiri dan kanan, Jasmine melihat adiknya yang berada di kasur depan.
”Huh! Untung aku tidak membangunkannya,” Jasmine menarik napas dalam-dalam sambil melihat muka dan sekujur tubuhnya yang bermandi keringat, melalui cermin.
Dia pergi ke kamar mandi untuk mengganti baju. Ketika melihat jam menunjukan pukul 02.00 AM dini hari, selalu tepat dia akan terbangun dan memimpikan hal sama. Kejadian tadi membuat Jasmine kehausan. Dia mengendap-endap keluar kamar untuk mengambil minuman di dapur yang berada di lantai satu.
”Sepertinya. Kak Leo sudah tidur,” gumam Jasmine sambil mengambil segelas air dan minum secara cepat.
"Kamu! Harus Mati!" Terdengar suara berat sangat seram.
Dia tersentak hampir menjatuhkan gelas yang ada di tangan. Perempuan berambut ikal panjang sepinggang itu, menoleh ke satu lorong menuju pintu halaman belakang. Tubuhnya gemetar dan menelan ludah sendiri. Lorong itu remang-remang, dari gorden yang terbuka masuk pantulan cahaya bulan. Dia perlahan maju, tangannya mencengkeram kuat ke baju. Mengintip di jendela, iris mata berwarna hijau zamrud pun mulai melihat jauh dan tajam. Dia mendekap mulut tak percaya atas penglihatannya. Ada sosok hitam besar dengan mata merah sedang mengintainya. Terdiam dalam beberapa saat, napasnya mulai tersengal-sengal serta suara jantung terdengar jelas. Sosok hitam itu mendekat. Dia jatuh terduduk, dua kakinya lemas. Banyak suara-suara seram yang semakin kencang. Dia menutup dua telinganya. Tiba-tiba ....
”Tidak. Lepaskan aku!! Lepaskan aku ...!” teriaknya dan memukul juga meronta-ronta sebisa mungkin melepaskan gengaman tangan itu.
”Hei! Jasmine ini aku! Kakakmu, Leo!” seru Leo sambil memegang muka adiknya dan mencoba menyadarkannya.
”Ka-Kak Leo benar ini, Kakak?” tanya Jasmine sambil memeluk erat Leo karena ketakutan.
”Ada apa Jasmine? Kenapa Kamu ada di sini, jam segini pula?” Leo bertanya memberikan pandangan bingung sambil membawa Jasmine ke ruang makan dan memberikannya segelas air putih.
”Entah Kak Leo, Aku juga bingung. Kenapa dengan diriku, pasti di jam segini terbangun dengan mimpi yang sama menakutkan, Kak!” lirih Jasmine menutup muka dengan kedua tangan.
Hanya kebingungan yang selalu hadir di kehidupan Jasmine, berujung menangis tersedu-sedu sangat teramat sakit sekilas mengingat ayahnya. Sang Ayah menjadi tumpuan selama dia menjalani takdir yang kejam ini. Sekarang, Leo menganti peran itu selalu melindungi, menyanyangi, dan mendengarkan semua kisah adiknya.
”Apa hal ini selalu terjadi? Sejak kapan kamu mulai merasakan ini?” tanya Leo dengan suara pelan, sambil memegang tangan Jasmine dengan lembut.
”Kak, maaf aku baru menceritakan hal ini. Karena bagaimana pun aku mencoba untuk melupakannya. Dan mencoba untuk tidak aku pedulikan,” tegas Jasmine sambil menghela napas dalam-dalam.
”Sudahlah, Jasmine mungkin kamu memerlukan sedikit waktu. Untuk menceritakan hal ini. Sekarang, kamu kembali tidur, karena besok masuk sekolah!" perintahnya, sembari mengelus rambut silver itu dengan lembut. Dia hanya tersenyum dan memeluk Leo. Hanya ada kata ‘terima kasih’ telah hadir dikisah kehidupannya ini.
”Iya, Kak Leo! Tapi masih takut untuk kembali tidur. Seperti ada yang menginginkanku, mengejarku, dan membunuhku,” murka Jasmine secara refleks memegang kepala dan mengacak-acak rambutnya.
”Hei ... Hei! Hentikan jangan seperti ini! Tolonglah. Ingat Ayah, kalau melihatmu dengan keadaan ini. Pasti akan merasa sedih juga,” jelas Leo memegang tangan dan merapikan rambut Jasmine.
Mengingat pesan ayahnya 'Ketika merasa terancam, gelisah, ketakutan ingatlah Ayah selalu ada di sampingmu. Dan bawalah selalu benda ini, benda yang akan memancarkan cahaya abadi yang akan mengalahkan kegelapan.' Dengan perlahan menarik napas menguatkan dirinya untuk melawan ini semua.
”Hmm ... benar. Kata Kakak, maafkan aku mungkin masih terguncang. Kak Leo apa masih ingat dengan ceritaku. Setelah Ayah meninggal, Beliau memberikan benda seperti kalung?” tanya Jasmine dan menatap dengan serius.
”Iya, Kakak pasti mengingatnya. Sekarang cobalah, untuk tenang gunakan kalung itu agar kamu merasa nyaman. Dan secara perlahan akan tertidur,” pinta Leo meyakinkan Jasmine.
”Baik, Kak.” sahut Jasmine sambil masih memegang gelas di tangan dan secepat mungkin menghabiskannya. Leo mengantarkannya ke kamar.
”Selamat malam adikku, besok kita bicarakan semuanya, oke?” pinta Leo dan memeluknya dengan erat.
”Iya Kak Leo, selamat malam juga. Pasti akan aku ceritakan semua.”
Jasmine menuju ke kasur yang terlihat nyaman. Terdiam sejenak mengingat benda peninggalan ayahnya. Dia mulai mencari kunci, sudah lama tidak membukanya semenjak kepergian sosok penting di keluarga. Jasmine dapat kunci itu langsung membuka laci di lemari. Dia melihat sebuah kotak penuh ukiran unik terbuat dari kayu tua. Terbukalah kotak itu, perempuan cantik itu melihat benda yang tidak asing lagi sebuah kalung indah berwarna metalik berbatu zamrud hijau yang hampir sama dengan warna kedua matanya. Dia tersenyum sambil memakai kalung, melihat jendela di depan kasur perlahan mulai menutup mata.
“Hah! Tolong, pergilah,“ batin Jasmine saat melihat sosok itu yang terus mengikutinya, tetapi mata ini sudah tidak mampu lagi menahan rasa kantuk akhirnya tertidur pulas.
Ketika pagi menjelang.
”Kak Jasmine! Bangun, Kak! Bangun, sudah pagi ayo ... ke sekolah!” seru Julie sambil mengoyang-goyangkan tubuh Jasmine yang sulit untuk bangun.
”Hmm ... iya-iya! Aku bangun ini, bangun ko!” jawab Jasmine meregangkan seluruh badan. Julie pun geram dan mendorongnya untuk ke kamar mandi, secara cepat untuk berangkat sekolah.
”Kak Jasmine, lama sekali! Aku sudah lapar, Kak!” teriak anak bungsu yang mulai merengek sambil mengetuk pintu.
”Iya, ini sudah selesai. Cerewet.” Jasmine mencubit hidungnya perlahan.
Mereka berlari menuju ruang makan, tiba-tiba Jasmine menghentikan langkah saat melihat wanita paruh baya itu menatapnya penuh amarah dan benci. Jasmine memalingkan muka sambil berjalan, melihat Leo sudah ada di ruang makan cepat-cepat duduk dan makan bersama.
”Jasmine, ini sudah jam berapa, ayo! Cepat sarapan! Julie kamu juga,” perintah Leo.
”Siap, Laksanakan! Kak Leo.” Menjawab bersamaan dan akhirnya sarapan habis juga.
Jessica, wanita yang kulitnya mulai keriput dan wajah sangat terlihat letih itu terus menggerutu. Leo hanya bisa menatap hampa, wanita yang telah melahirkan mereka sudah tak sama lagi. Semuanya berubah total. Jasmine menepuk bahu Leo.
"Anak tak tahu diuntung! Udah diurus masih saja menyusahkan!" gertak Jessica sambil melempar kain lap ke lantai.
"Ibu, cukup! Aku cape!" teriak Jasmine hingga memukul meja makan.
"Tuh, liat kelakuannya itu Leo. Tidak pernah menghormatiku! Pernahkah dia menurut?" Lanjutnya sambil menunjuk-nunjuk ke arah Jasmine.
"Sudah, cukup! Ibu!" murka Leo yang menatap tajam wanita itu membuatnya tersentak dan membalikan badannya.
”Jasmine! Kenapa hampir setiap hari bangun kesiangan? Malam kamu ke mana?” bentak Jessica sembari mencuci piring. ”Tidak, Ke mana-mana, Bu!” ”Itu lihat kelakuan, anakmu! Edward O’neil yang selalu kamu banggakan. Sekarang hanya bisa membuatku pusing saja!” Jessica marah dan berteriak kencang lagi. Leo menahan amarah lagi dan lagi, dia memijit kening yang mulai sakit. ”Apa sih, Bu? Jangan memanggil Ayah dengan suara keras seperti itu!” seru Jasmine lalu berdiri sambil menghentakan kaki. ”Sudah, Ibu! Jasmine ini masih pagi! Tolong redam emosinya. Jangan ada yang memulai pertengkaran lagi!” seru Leo geram sambil memegang tangan, dia mencegah Jasmine yang ingin pergi dari rumah. ”Percuma, Kak. Lepas! Aku mau pergi ke sekolah, tidak perlu mengantarku antar saja Julie, Kak!” serunya sambil mengambil tas di sebelah Julie. Julie hanya menutup telinga dan menangis menyaksikan pertengkaran ini. ”Jasmine, tunggu!” Leo mengejar tapi sayang Jasmine sudah berlari dengan kencang tidak bisa terke
”Oh ... Jasmine, jangan menangis seperti ini. Apa mau bercerita, soal kejadian tadi?” Angellia bertanya dengan lembut mendekat dan mengelus rambut sahabatnya. Jasmine menarik napas begitu berat, menjelaskan semua hal yang selama ini terjadi. Cerita itu sampai membuat Angellia tersentak. Angellia berhenti sejenak dan lebih fokus mendengar cerita sahabatnya yang terus menyeka air mata. Jasmine menggenggam erat tangannya, Angellia pun mengelus lembut tangan itu. Ruangan sepi ini, hanya menggema suara tangis pilu Jasmine. Dua sahabat ini saling berpelukan erat. ”Kenapa kamu baru menceritakan semuanya? Soal mimpimu itu? Kejadian kamu diikuti sesosok aneh?” Angellia terkejut sampai beranjak dari kasur yang mereka duduki. ”Maaf, aku mencoba untuk melupakannya Angel. Aku takut kalau semua tahu soal ini. Sosok-sosok itu melukai kalian." Jasmine menunduk sambil meremas rok abu-abunya. ”Sebentar, apa jangan-jangan! Dia yang menyebabkan, kamu kecelakan tadi?” ”Entahlah. Angel.” Jasmine teris
”Akhirnya! Istirahat juga, siapa yang mau menitip makanan?” tanya Arthur berdiri sambil mengujungi Jasmine. ”Aku. Sekalian ikut, ya?“ sahut Angellia sembari merangkul lalu mengedipkan mata. ”Jasmine, ditinggal sendiri? Oke, kita harus cepat-cepat kembali,” ujar Arthur sambil menarik tangan Angellia. ”Tunggu! Belikan aku. Susu cokelat dan roti, oke,” pinta Jasmine dengan teriak keras. ”Angel, kamu merasakan hal yang sama dengan Kakak?” tanyanya sembari menghela napas. ”Soal Jasmine, Kak?” tanya Angellia sambil menghitung uang. ”Iya, bagaimana ini? Kekuatannya sudah tidak bisa dikendalikan. Sebelum waktunya, terlalu awal lebih kuat. Apa tadi di UKS Jasmine menceritakan sesuatu?” ”Iya, dan itu membuatku tercengang, Kak! Dia sudah semakin licik memasuki dunia Jasmine, sampai menakutinya secara mental. Bayangkan saja, anak buahnya sudah menguntit Jasmine, dan menampakannya di hadapan Jasmine." "Lebih parahnya lagi! sudah berani menyentuh Jasmine, di alam bawah sadarnya untung Aya
”Astaga! Apa yang terjadi? Cepat bawa kemari!” seru Leo sambil menunjukan sofa besar. ”Maaf, Kak Leo atas kelalaian kami,” ujar Angellia menundukan kepala merasa bersalah. ”Maafkan kami, Kak Leo ini sebuah kesalahan besar. Ketika Jasmine mengajak kami pergi ke pusat kota, aku tidak bisa menolaknya!” timpal Arthur sambil menaruh Jasmine secara perlahan ke sofa. ”Kalian! Bisakah, berhati-hati lagi? Ini bukan waktu untuk bermain-main, kalian tau?” bentak Leo. ”Kami tau Kak, maaf tapi tidak dengan cara membentak seperti ini. Kami juga sudah berusaha keras melindungi Jasmine, walau kekuatan kami masih lemah.“ Arthur membalas bentakan Leo. ”Tolonglah! Kalian jangan jadi seperti ini. Lihat adikku!” Menarik tangan Arthur, dua orang itu bisa saja baku hantam terjadi. Leo dan Arthur saling bertatapan dengan mengepalkan tangan menahan amarah. Leo langsung meghajar Arthur mengunakan perisai tangan menghantam perut secara keras dan bertubi-tubi. Arthur tersungkur ke belakang, keluar darah dar
Dalam pembicaraan serius itu, Jasmine pun sadarkan diri. Dia merintih kesakitan, tubuhnya terasa remuk sekali.“Tanganku! Kenapa ini tidak bisa digerakan dan sakit? Bukannya tadi aku masih ada di Pusat Kota?” gumam Jasmine kebingungan mulai menatap Angellia, Angellia hanya membalas dengan senyuman sambil mengobati tangannya yang dililit dengan perban. Jasmine melihat Leo dan Arthur yang masih berbincang-bincang, hanya terdengar samar-samar perbincangan itu. Leo mulai menoleh ke arah Jasmine dan mengisyaratkan Arthur untuk menghentikan pembicaraan tadi.”Jasmine sudah sadar. Sebaiknya kita lanjutkan nanti ketika Jasmine istirahat di kamar,” bisik Leo dan menghampiri Jasmine.”Aku mengerti.” Lelaki bermata cokelat itu menjawab dengan mengangguk.”Hmm ... adikku, Sayang. Bagaimana keadaanmu?” tanya Leo sambil duduk di sebelahnya.”Badanku lemas, Kak. Seluruh tubuhku sakit sekali,” lirih Jasmine sembari menunjukan tangan yang sudah diperban.”Jasmine, apa kamu mengingat sesuatu?”"Terakh
Ayah dan ibu angkat Si Kembar sebenarnya sahabat Edward juga. Pasangan suami istri ini tidak bisa memiliki anak, akhirnya mengadopsi dari panti asuhan kenalan Ayah Jasmine. Sekarang mereka menjadi keluarga harmonis, lengkap, dan bahagia. Orang tua Angellia dan Arthur bernama Aroon Pierce dan Serenity Riley. Mereka hanya manusia biasa, tidak memiliki kekuatan ajaib. Hanya saja sudah mengerti tentang hal itu, tidak ada rahasia apa pun. Arthur memegang benda pipih itu sambil menunggu jawaban dari Aroon. Kkringg ...! Kkringg ...! Kriingg ...!Dia menunggu cukup lama, akhirnya dijawab dengan nada lembut khas seorang ayah kepada anaknya.”Halo, Ayah. Maaf, apa aku menganggu?” tanya Arthur ada rasa takut mengganggu Aroon.”Halo juga, Nak! Tidak baru saja kembali dari ruangan rapat. Ada apa, ya? Sepertinya genting sekali?” balas Aroon dengan nada cemas dan kebingungan.”Hmm ... tenang. Tidak usah cemas, hanya saja apa aku boleh meminta tolong,
Disaat bersamaan dengan keluarnya Julie dari kamar, Angellia mendapatkan pesan dari Arthur. Ketika melihat isi pesan di ponselnya itu membuat Angellia kebingungan juga senang. Sejenak dia berpikir hingga kerutan di dahi yang menyatukan alis. Angellia tidak sadar, Jasmine terus mengamatinya. Kamar yang bernuansa lantai kayu dan dinding bercat hijau tosca. Membuat suasana menjadi sunyi nan damai karena mereka sibuk dengan pemikiran masing-masing."Ada apa ini? Kenapa aku bisa melupakan kejadian yang lalu?" batin Jasmine pun melamun. Dia tersadar saat mendengar suara ketikan ponsel dan menoleh. ”Ada apa? Semua baik-baik saja?” tanya Jasmine sembari mengenakan pakaian yang sudah diberikan oleh Angellia.”Ah! Tidak ada apa-apa. Kalau sudah memakainya cepat ke bawah, ya? Aku mau berbicara dengan Arthur. Oh, ada kabar baik aku akan menginap di sini, loh!” ujar Angellia lalu memeluk pelan Jasmine.“Asik ...! Aku tidak sendirian lagi. Uhuy!””Baiklah!
Aroon menelepon Arthur memberi tahu bahwa sebentar lagi menuju rumah Leo. Leo berpikir alasan yang tepat meminta ijin kepada Jessica. Hanya ada satu ide, yaitu keluar untuk menonton pertandingan Baseballs yang tiketnya sudah dibeli oleh Aroon. Arthur dengan cepat mengirim pesan ke ayahnya agar akting mereka berhasil. Beberapa menit kemudian, suara klakson mobil yang sangat keras. Membuat Jessica terbangun dan keluar melihat siapa yang datang ke rumah malam-malam.Tok! Tok! Tok!”Hai, Jessica. Selamat malam. Bagaimana kabarmu?” tanya Aroon tersenyum dengan ramah saat melihat wanita yang sudah membuka pintu.”Hai, Aroon. Ada apa ini? Anak-anak sudah mengabarimu untuk menginap di sini? Aku baik-baik saja,” jawab Jessica sembari mempersilahkan masuk dan menunjukan bahwa Arthur bersama Leo.”Sudah ko, memang mereka sudah lama tidak menginap di rumahmu. Aku mengajak Arthur dan Leo untuk menonton pertandingan baseballs. Aku lupa memberitahu Arthur sudah
"Sudah siap, Leo? Ingat, jangan ragu! Salah sedikit kita bisa adu tembak," pinta Sean yang sedang merapikan kemeja berdasi hitam itu, lalu memakai jaket coat panjang berwarna hitam. "Huh! Siap! Baiklah, aku paham. Tapi, jujur saja. Aku gugup, Kak Sean." Leo mengambil batu sihir dan menyerahkan satunya lagi ke Mayor. "Pasti, tapi tenang ada aku di sampingmu. Lakukanlah sesuai latihan kita tadi. Jangan lupa, aku jadi Steven dan kamu Lavier!" Sean mengambilnya sambil menjinjing tas kotak silver berisi uang banyak. "Hmm, oke-oke. Pengalaman pertama yang mendebarkan." Leo merapikan rambut blonde-nya dan memakai jaket coat pendek berwarna abu-abu. Lalu, menggunakan kacamata bertangkai emas. Mereka pun menggunakan mobil mewah yang sudah Sean sewa kemarin. Sean menggunakan cincin bermata biru dan Leo bercincin berlian dengan inisial L. Pakaian yang bermerek dari ujung leher sampai kaki menghiasi dua pria itu. Leo yang terus mengendalikan emosi dan ket
"Di mana ini? Perasaan aku tidur di sofa!" batin Leo yang syok melihat sekitarnya ada pohon pinus. "Di hutan? Tidak ada cahaya matahari! Kabutnya tebal juga," keluh Leo yang terus mengucek mata dan bangun. "Leo ... kemari ... Leo, sini kita main!" ajak suara gadis kecil dari arah samping Leo, tapi wujudnya tidak ada. Leo semakin tidak percaya melihat tangan yang mengecil. "Siapa kamu? Keluar! Hah, tubuhku mengecil?" teriak Leo yang meraba-raba tubuh tidak berotot itu. Dia seperti anak berumur 14 tahun. "Ayo, kita bermain petak umpet di sini. Leo ... lihat aku!" teriak gadis yang perlahan muncul di sampingnya dan merangkul tangan Leo. "Zena? Zena!" panggil Leo yang langsung menoleh dan menggenggam erat kedua bahu gadis itu. "Iya, lalu siapa lagi? Di sini hanya kita saja. Ayo, main." Zena yang masih muda dan cantik dengan rambut panjang berwarna putih. Dia tersenyum manis dan berjalan ke pohon pinus yang tinggi. "Ka
Leo yang mendengar teriakan itu langsung menoleh ke arah kerumunan. Saat Leo baru melangkah, ponselnya berdering dan melihat layar yang terpampang nama Jasmine. Sang kakak baru ingat sudah dua hari tidak menghubungi Jasmine. Leo yang hanya melihat kerumunan tadi langsung bubar. Dia hanya melihat wanita yang sedang di seret paksa pria paruh baya. Dia mengangkat telepon dan mendengar kemarahan Sang adik yang terus mengomel. Leo hanya terdiam dan tersenyum lebar, baru saja dua Minggu ditinggalkan sudah merindukan semuanya. Dia cekikikan yang membuat lawan bicaranya merengek dan mengeluh dengan jadwal latihan yang semakin sulit. Charless yang terus menyebalkan dan jahil. Tentu, keluhan soal Leo melanggar janjinya yang harus setiap hari berkomunikasi dengan Jasmine. "Oke-oke, maaf. Maaf, Sayang. Aku sibuk sampai lupa," jelas Leo yang melirik Sean yang masih memilih daging. "Kakak! Aku juga sibuk masih bisa kirim pesan dan menelepon tuh!" gerutu Jasmine yang istirahat
"Hah, terserah kamu saja. Aku paham! Tapi ... aku tidak bisa meninggalkan tempat ini!" seru Pedro yang terlihat cemas bila ikut melakukan pencarian bersama-sama. "Takut sama musuhmu? Atau kamu tidak ingin bertemu dengan Haden?" tanya Sean yang membuat Pedro terdiam. "Bukan, iya. Aku tidak bisa menatap wajah anak itu. Aku tidak sanggup." Pedro termenung mengingat kenangan lampau. Saat Pedro melepas tangan kecil Haden. Anak kecil yang merengek dan menangis kencang karena ditinggal pergi Pedro. "Kalau kamu menghindar terus. Haden akan semakin membencimu. Mau?" Sean menatap tajam Pedro yang menahan tangis. "Ingat, mungkin pertemuanmu yang sekarang akan membuat Haden marah besar." Sean menghela napas panjang. "Tetapi, kamu harus jelaskan alasannya agar kesalahan pahaman tidak terjadi lagi. Dia sudah besar sekarang pasti akan mengerti." Lanjut Sean sambil memanggil Leo untuk kembali ke kursi. "Kalau hal ini berat untukmu. Aku tid
Sean dan Leo jalan perlahan menyusuri anak tangga yang panjang ke bawah. Anak tangga yang berputar tanpa ujung, hawa mencekam dengan hanya di sinar satu cahaya di depan saja. Leo melihat ke bawah dan sampingnya hanya gelap gulita. Sean yang tetap fokus dan menajamkan instingnya. Dari kejauhan terdengar suara riuh orang-orang yang berjalan dan berbicara. Tiba-tiba diujung tangga itu cahaya tadi semakin bersinar menyilaukan mata. Sean dan Leo menutup mata, kedua pria itu syok diam diantara kerumunan orang yang sibuk bekerja di pasar lokal. Mereka bingung ada di mana, sayup-sayup terdengar suara bisikan, "ikuti anak panah itu." Suara pria nan dingin. Sean menolah ke tuannya dan saling mengangguk paham. Leo mencari anak panah yang dimaksud bisikan itu. Dia menemukan satu di dinding penjual ikan laut. Dia menarik Sean dan berjalan ke sana. Anehnya orang-orang di pasar itu tidak terganggu atau tidak melihat beradaan Leo dan Sean. Mereka saling melirik dan mengangkat bahu, berjal
"Hah, ranselnya berat sekali. Tante, Paman. Alat sihirnya kenapa banyak sekali?" keluh Leo yang memasukan alat sihir ke kantung ajaib yang diberikan Eleanor. "Ini pasti akan berguna. Karena kita tidak bisa membantu dengan cepat. Setidaknya benda-benda ini bisa menolongmu di situasi genting," jelas Elanor yang mengelus rambut Leo. "Nak, bawa obat-obatan medis ini. Komandan Tommy, memberitahu barang tambahanmu," ucap Serenity sambil terisak-isak menahan tangisnya dan menyodorkan kotak medis lengkap lalu dimasukan ke dalam ransel. "Oh, iya. Terima kasih, Tante dan Ibu Serenity. Kalian jangan menangis dong. Aku makin sedih." Leo menghampiri dua wanita dewasa yang tidak kuasa menahan tangisan. Leo memeluk erat kedua orang yang sudah dianggapnya sebagai ibu. "Aku akan baik-baik saja. Ada Kak Sean bersamaku. Kalian jaga kesehatan dan aku titip adik-adikku, ya. Kalau nakal pukul dan hukum mereka, oke." Leo mengecup kedua kening dan pipi Eleanor dan Serenity. Leo juga menghapus air mata m
"Oh, Zena Blitz, kan? Aku ingat sekarang. Dia juga bilang sudah tidak punya keluarga lagi selain ayahnya. Oh, anak yang malang." Leo membekap mulutnya dan merasakan kesedihan itu. "Kalau yang dibicarakan Pedro, aku lupa-lupa ingat namanya. Tapi, wajahnya aku ingat." Lanjut Leo yang sedang berpikir keras. "Sama aku pun. Yang aku ingat anak itu menyebalkan! Paling sombong dan arogan," seru Charless yang menepuk bahu Leo. Leo hanya tersenyum dan mengangguk. "Oh, orang itu. Aku ingat yang rambutnya cokelat muda hampir ke blonde gitu. Hmm ... Haden Lodern! Yah, itu!" teriak Arthur yang menghampiri Leo dan Charless. "Ah, itu! Aku ingat! Pria paling menyebalkan," seru Angellia yang mengingat hal itu lagi. Memori yang kelam saat dijahili dan ditinggalkan di ruangan gelap oleh Haden itu. "Yah, sudah. Leo dan Mayor Sean bersiap-siaplah. Bawa semua perlengkapan. Jika ada yang kurang hubungi Komandan Tommy. Nanti makan siang bergabung lagi," per
"Oke, baguslah. Hati-hatilah, jaga Leo dengan baik. Dia keluarga Albiano dan keluarga Pierce juga." Charless menepuk-nepuk bahu Sean. Sean pun mengangguk dan memberi hormat ke Charless dan Leo. "Angel! Dekati saja. Sana!" teriak Arthur yang mendorong Angellia yang terus menatap dalam Vincent. Vincent yang membalas tatapan itu dengan senyuman manisnya. "Ada apa, Nona?" tanya Vincent dengan lembut. Angellia terdiam dan tersipu malu. "Ja-jangan panggil nona. Panggil saja nama. Boleh? Bisa?" tanya Angellia yang memegang lengan kekar itu. Vincent melirik Aroon dan dijawab dengan mengangguk setuju. "Baik, Angellia? Atau Angel?" Vincent mengedipkan mata. Angellia langsung meleleh dan Arthur merasa kesal. "Hm, Angel saja. Asik! Punya kakak baru lagi!" teriak Angellia dengan memeluk Vincent. Vincent terkejut dan membalas pelukan itu. "Boleh? Aku anggap kakak juga?" Angellia mendongak. Membuat pria tinggi besar itu tersentuh dan meng
"Argh! Sakit!" jerit salah satu kandidat, yang berbohong dan menerima hukuman setrum kejut listrik yang dipasang seluruh tubuh. Tubuhnya berasap dan kelojotan keberbagai arah. Dia jatuh dari kursi dan semakin kejang-kejang. "Sudah kamu cek?" tanya Aroon yang menatap sinis orang dihadapannya itu. "Sudah, Pak. Betul, dia berbohong." Komandan menekan terus tombol on off setrum kejut listrik itu. "Hah! Padahal dia bisa jadi ajudan ke-3 istriku. Tambah dayanya! Jangan dibangkitkan lagi. Bunuh!" perintah Aroon yang memukul meja. Dia kesal masih saja kecolongan dapat penyusup dan pengkhianat. Tinggal dua orang lagi, dua-duanya lolos dengan nilai terbaik. Hanya beda 5 poin diantara mereka. Kandidat nama 012 alias Vincent Peach akan menjadi ajudan Si Kembar. Aroon mengurungkan niat untuk menjadikan Vincent ajudan Ke-3 istrinya. Karena kurang efektif dan keahliannya lebih cocok untuk Si Kembar. Sean Pearl menjadi ajudan Leo untuk membantu dan melindungi