Istri yang pernah dikhianati akan selalu dilanda kekhawatiran suami goyah kembali. Meskipun Mas Danu sudah berjanji sedemikian rupa, tak mengubah fakta bahwa dia pernah mendua. Pun keberadaan Sekar di belahan dunia lain, masih memungkinkan datang untuk kembali merebut perhatian. Terlebih ada dua anak jiwa yang mengikat darahnya dan darah pria yang kucinta.“Mas, mau ke mana?” Melihat dia rapi sekali pagi ini, hatiku mencelus curiga. Debar yang tak menyenangkan kembali terasa. Jangan sampai kembali seperti dulu kala.“Aku mau ke rumah sakit. Kamu temeni aku, ya.”Pyar. Mendung yang semula menggelapkan hatiku berganti sinar terang. Cepat aku mengangguk dan tersenyum lebar.“Wah, kamu, senang sekali mau diajak ke rumah sakit,” herannya.“Bukan senang diajak ke rumah sakit, Mas. Tapi senang karena Mas yang ngajak. Mungkin Mas tak sadar, ini pertama kalinya Mas mengajakku bepergian.”Mas Danu tersedak. Klepon yang ia santap nyaris melompat.Kuangsurkan air putih untuk menetralisirnya. “Pel
Sambil menggenggam jemariku erat, ia melangkah di koridor rumah sakit. Setelah menemui dokter dan konsultasi, aku mengajaknya ke ruang NICU. Melihat dua bayi malang yang masih harus di-inkubator itu.“Kamu tahu kenapa aku mengajakmu?” tanyanya sambil meletakkan tangan di kaca inkubator.“Tidak tahu. Kenapa, Mas?” Bagiku itu hal langka. Aku pun penasaran dengan jawabannya.“Karena aku butuh kamu untuk mentransfer kekuatan. Diriku tidak seberani ini untuk mendekati mereka, jika tidak ditemani kamu.”“Mas akan mencintai mereka. Awalnya mungkin sulit. Sama seperti saat Mas mencoba mencintaiku. Awalnya sulit. Sangat sulit, bahkan Mas bilang mustahil. Sebab hati Mas telanjur Mas berikan untuk orang lain. Namun, sekarang lihatlah kita. Baru beberapa jam lalu kita dimarahi bapak karena mesra-mesraan di sembarang tempat,” tuturku sambil tersenyum mengenang kejadian pagi tadi. Aku tahu, bapak tidak sungguh-sungguh marah. Ia hanya mendidik kami untuk bersopan-santun layaknya orang tua yang menga
Duduk di kursi goyang yang diletakkan dalam kamar si kembar siam, aku menyusui keduanya bersamaan. Beruntung Tuhan menganugerahkan diriku air susu yang berlimpah, sehingga mampu memenuhi kebutuhan tiga bayi sekaligus.Ismail dan Ishaq. Awalnya, aku juga takut sekali memegang mereka. Laksana memegang bola panas yang membuatku senantiasa berkeringat kala menggendongnya.“Kamu bisa?” tanya Mas Danu ragu.Dengan menguatkan hati, kuanggukkan kepala.Rasa takut menghampiri. Bayi yang tubuhnya saling menempel itu, terlihat seperti gurita kecil dengan empat tangan yang menggapai-gapai tubuhku. Tahu mereka pun butuh dielus sayang, seperti semua bayi-bayi lainnya. Maka sambil memejamkan mata, kususui mereka. Tangis mereka yang hingar, langsung sirna.Pelan, membuka mata. Dua bayi mungil itu tengah menatapku, seolah mengucapkan ‘terima kasih’ tidak meninggalkan mereka begitu saja. Melihat empat bola mata itu, hatiku luluh seketika. Kuciumi kening mereka, meminta maaf karena sempat takut berinter
Kesedihanku mungkin begitu besar. Tapi tak kalah besar dibanding kesedihan Mas Danu yang menggunung. Ia terpukul. Merasa bersalah karena di lubuk hatinya yang terdalam menginginkan hal itu terjadi.“Aku jahat, Laras. Aku malu dengan kehadiran mereka. Padahal mereka hadir karena diriku juga,” ratapnya sambil membelai wajah si kembar yang terbingkai dalam frame hitam.“Aku selalu berharap mereka tak ada,” imbuhnya. “Dan kini, ketika mereka benar-benar sudah tiada, hatiku...” dia memukul-mukul dadanya. “Sakit sekali!” Ia menangis lagi. Kesedihan yang bercampur rasa bersalah memang berat untuk diatasi.“Bukankah kita sudah berusaha maksimal, Mas? Bukan kuasa kita untuk mengubah ketetapan-Nya.”“Kamu tahu yang lebih jahat dari semua itu? Aku lega mereka tak perlu menderita di dunia. Hanya saja, aku menderita. Tak kukira, akan sesakit ini rasanya. Dan tahukah kamu? Mereka selalu datang di mimpiku. Mereka membenciku, Laras.”Kurengkuh dirinya dalam pelukan.Mungkin, inilah saatnya kekokohan
Dia menggeleng. “Tidak, jangan sebut nama itu lagi.” Aku lega dia sudah bisa diajak bicara.“Jadi, apakah Mas akan terus begini? Katakan, berapa lama waktu yang Mas butuhkan untuk berduka?”“Apakah ada obatnya, Laras? Obat yang manjur untuk hati yang terluka karena sedih dan rasa bersalah?”Kugenggam tangannya erat. Membelai wajahnya yang bersih karena rajin kurawat. “Ada, Mas. Salat. Mengaji. Pasrahkan pada Illahi Rabbi. Jika Mas masih merasa bersalah, salat taubatlah. Mohonlah ampun pada Sang Maha Pengampun. Jika hati Mas masih sakit, mohonlah obat pada Sang Maha Penyembuh. Jika Mas merasa tak berdaya, mohonlah kekuatan pada Sang Maha Perkasa. Kita punya Allah, yang kuasa-Nya jauh lebih besar daripada semua masalah yang kita punya.”Mas Danu bergeming.“Setelah itu, kembalilah pada kami. Seperti dulu, saat kamu tersesat di alam bawah sadar, lalu kembali mencari kami. Bisakah Mas lakukan itu? Bukan untuk kami, tapi untuk diri Mas sendiri.”Dia memandangku dengan tatapan kosong. Hingg
“Si kembar, mereka bayi tak berdosa. Tentu di surga tempat mereka. Ibumu, isteri solehah yang banyak berbuat amal kebaikan, bapak yakin di surga pula dia berada. Jika kamu merindukan mereka, maka kejarlah amalmu di dunia. Perbaiki akhlakmu. Perkuat akidahmu. Hal-hal itu yang belakangan ini bapak pikirkan. Hal-hal yang juga telah bapak abaikan. Bapak menyesal tak membekalimu dengan ilmu agama yang cukup. Hingga dirimu rapuh dan mudah menurutkan hawa nafsu. Belajarlah dari Laras, cara mengolah rasa. Sehingga bisa tetap tegar, sekeras apa pun goncangan yang menerpanya.”Mas Danu menoleh padaku. Rasa bersalah berlumuran di matanya.***Bergandengan tangan melewati rumput yang tertata rapi. Menuju gundukan yang di sana tertera nama ibu mertua. Bunga-bunga segar menyelimuti gundukan dari tanah itu. Mengingat kematian, mampu melembutkan hati yang keras. Juga menyadarkan hakikat kehidupan, yakni beribadah untuk bekal di hari nanti. Dengan berziarah, kesombongan luruh. Sejatinya, semua kemegah
“Kamu suka tinggal di sini?” Kami baru saja menjejak kaki di rumah baru hadiah dari bapak mertua untukku. Rumah yang indah dengan taman bunga dan kolam pancuran di halaman. Furniture modern melengkapi di setiap sudut ruang. Tembok didominasi cat warna putih yang melambangkan kesucian. Lampu-lampu gantung dengan kristal mahal menambah aura kemewahan. Bapak mertua juga sudah menyiapkan dua asisten rumah tangga untuk membantu di rumah ini. Dua nany yang sudah lekat dengan Adam dan Hawa pun ikut pindah bersama kami. Sementara Maryam dalam gendonganku selalu. Dia masih terlalu mungil untuk dilepas atau dititipkan kepada orang lain. Aku selalu bermimpi, memiliki rumah sendiri yang penuh dengan cerita cinta. Cinta ibu pada anaknya. Cinta suami pada istrinya. Cinta anak-anak untuk kedua orangtuanya. Terpenting, cinta hamba untuk pencipta-Nya. Bagaimana aku bisa bilang tak suka, jika semua yang terhampar di depan mata hanya keindahan?Tak henti-henti bibirku berucap syukur untuk semua nikm
[Mau dong. Jangankan nasi jagung, asam garam pun kumakan dengan lahap.]Dia mengirim emoji tertawa.Asam garam, istilah untuk menggambarkan pengalaman hidup. Kiasan tersebut sengaja kupilih untuk mengingatkannya, bahwa aku adalah istrinya yang bermental baja. Rela menemani suami dalam setiap suasana. Tak hanya kala suka, tapi juga bertabur duka.[Baiklah. Jangan lupa beli baju bagus. Jangan lupa berdandan yang cantik. Aku mau kencan nanti malam!]Perintah untuk berdandan secara khusus saat dinner adalah syarat yang melekat. Ingatannya belum bergeser dari saat pertama aku tampil dengan make up sempurna pada gala dinner beberapa tahun lalu. Saat masih ada Mike dan Sekar dalam hidup kami.“With a good makeup brush, every woman can be an artist.” Begitu kata makeup artis yang dulu disewa Caca untuk mengubahku menjadi Cinderella.Waktu itu, sepupu Mas Danu itu berkata, “Andai kamu bisa kayak begitu tiap hari, Mbak, mungkin Mas Danu tak punya waktu untuk memperhatikan wanita lain.”Dan ...
“Usahamu ‘kan masih bisa berjalan dengan baik, Mas. Dulu, Mas tak mau bekerja di perusahaan Bapak. Memilih berdikari di atas kaki sendiri. Mengapa sekarang harus mengandalkan harta Bapak untuk sukses?”“Dulu aku punya Sekar yang membantuku memenangkan banyak tender. Dia pintar melobi orang. Sekarang aku sering tak beruntung.”Hatiku retak mendengar jawabannya. Mengapa harus mengungkit jasa wanita itu dalam hidupnya. Itu seperti menyindirku yang tak bisa melakukan apa-apa untuk membantunya, kecuali berdoa.“Maaf, Sayang. Aku tidak bermaksud membuatmu cemburu dengan ceritaku. Aku hanya ....”“Sudahlah, Mas. Tak perlu kaujelaskan. Semua terang bagiku. Dia adalah batu berlian, sementara aku batu kerikil.”“Bukan begitu ... bukan begitu maksudku. Maafkan aku salah bicara. Seharusnya tak kusebut-sebut namanya saat bersamamu.”Senyum tipis kuberikan. Sekadar menenangkan. Sekalipun aku tak tenang, merasa tak berguna sebagai pasangannya.Dia memandangku dengan tatapan yang aneh. Tatapan yang m
Ini cinta yang berat, juga rumit. Di sisi hati, aku benci. Di sisi lain begitu mencintai. Di satu waktu, aku ragu. Di lain waktu, begitu menggebu. Adakah aku akan tetap berdiri di sisinya sekuat baja?___Kugandeng tangan Mas Danu. Membawanya menjauh dari rubah betina itu. Namun, kaki suamiku seolah terpaku. Tak bergerak dari tempatnya berdiri. Mungkinkah, dia jatuh cinta lagi?Mas Danu melepas pegangan tanganku, berjalan mengejar wanita itu, lalu memegang tangan Sekar hingga wanita itu berbalik. Menatapnya dengan pandangan penuh kebahagiaan. Ia menang. Sekali lagi ... dia menang dan menempatkan diriku sebagai pecundang. Rasa sakit melihat itu, membunuhku. Aku tak mampu bertahan lagi dengan siksa batin ini.Sekar langsung bergerak hendak memeluk Mas Danu, hingga aku tak sanggup memandang dan memilih memejamkan mata. Terkatup bersama bulir kristal bening yang merembes, membasahi pipi.“Jangan! Hubungan kita sudah berakhir.” Suara Mas Danu terdengar jelas. Segera kubuka mata untuk melih
Biarlah yang lalu terbawa angin, agar yang sekarang bisa hidup dengan tenang, tanpa beban, ataupun penyesalan.___“Siapa, Mas?”Masih bergeming. Mas Danu mendadak beku. Tak dihiraukannya lagi ponsel yang terjatuh ke lantai. Apalagi menjawab pertanyaanku.Kuputuskan menghampiri dan menggoyang tubuhnya. Ia pun tersentak kaget. Kedua tangannya mencengkeram tubuhku erat.“Kamu tidak akan percaya ini, Laras. Dia ....”Aku melihatnya kebingungan. Sebenarnya apa yang terjadi?Apakah ini tentang Caca? Mas Danu tak tahu bahwa aku sudah memegang separuh rahasia Bapak.“Pemilik rumah ini adalah ....” Mas Danu sulit sekali berkata-kata. Mengusap wajahnya berulang-ulang. Lalu memegang dadanya dengan pandangan nanar. Siapa?“Dia ... Sekar.” Lirih suaranya, tapi dahsyat akibatnya.“Sekar, Mas?” Tanganku mencengkeram sisi meja agar tidak jatuh pingsan. Dia, wanita itu kembali setelah sekian lama. Tak mungkin rumah ini menarik baginya. Pasti ada hal lain yang hendak dia rebut dariku. Mas Danu.Kugele
Aku pernah menentang niat baik istriku yang hendak menjadikan kamu menantu. Keberadaanmu menyiksaku. Namun, kamu tahu apa yang dikatakan istriku? Dia bilang, “Justru aku harus berada di dekatnya, sebab jalan takdir kalian tak akan jadi serumit ini jika malam itu aku tidak menemuimu.”Di situ aku terenyak. Menyadari istriku sengaja datang. Dia membaca surat-suratku untuk ibumu. Ia bilang, “Aku jatuh cinta padamu, lewat kata yang kau untai untuk sahabatku.” Jadi dia sengaja datang ke tempat seharusnya aku bertemu ibumu. Dia ingin menghiburku. Tanpa tahu aku sudah memilih alkohol untuk menemaniku.Dia merasa, dirinya yang membuat hidup kita berantakan. Pernahkah kamu melihat cinta sebodoh itu? Cobalah bercermin. Karena cinta yang bodoh itu, juga pernah kamu rasakan untuk anakku. Juga pernah kurasakan pada ibumu. Juga pernah dirasakan Danu pada Sekar. Hampir dari kita semua, pernah menjadi bodoh karena cinta. Merasa cinta adalah segalanya. Padahal, itu hanya ilusi. Hanya sebuah perasaan y
“Sebaiknya kita kembali ke rumah kita, Mas. Di sini banyak duka yang membayang.” Setelah Mas Danu pulih sempurna, aku segera mengajukan keinginan yang lama terpendam. Rasanya tak betah terus berada di rumah ini. Penuh foto Bapak yang membuatku muak.“Duka itu ada di hati, terbawa ke mana pun kita pergi.” Ia duduk di balkon favoritnya untuk membaca koran. Secangkir wedang jahe—kesukaan Bapak—tersaji. Padahal, dulu Mas Danu tak suka minum wedang jahe. Ia lebih suka minum teh atau kopi. Semakin hari, ia semakin mirip dengan Bapak mertuaku itu. Mungkinkah ini hanya bayanganku saja?“Aku sudah menghubungi pihak bank. Rumah ini masuk daftar lelang. Jadi, bukan sehari dua hari ini terjadi. Semua sudah dijalankan diam-diam sejak lama oleh Caca. Aku akan merebut kembali semua milikku.” Dingin dalam suara itu membuatku kembali teringat almarhum Bapak. Akankah suamiku berubah menjadi pria ambisius yang mencintai bisnis dibanding keluarga?“Tak bisakah Mas relakan? Kita masih punya banyak hal ber
Kuambil tisu dan menyeka beberapa keringat di wajahnya. Padahal AC mobil menyala, tapi bisa-bisanya ia berkeringat.“Jangan pikirkan hal-hal berat dulu, Mas. Kamu baru keluar dari rumah sakit. Sebaiknya kita pulang dan istirahat. Apa gunanya banyak harta jika tubuh sakit?”Dia diam, tak bersuara. Masih memijat kepalanya dengan wajah meringis menahan sakit. Segera kupasangkan seatbelt ke tubuhnya dan menyetir pulang.Meski dipaksa beristirahat, Mas Danu tetap gelisah dalam tidurnya. Ini memang tak mudah bagi kami. Tiba-tiba saja, kemewahan yang kami nikmati selama ini direnggut paksa. Bagai penduduk pribumi yang didepak kompeni. Kami tertipu oleh serigala berbulu domba.“Tidak, Bapak ... Bapak ... kembali. Kembalilah! Jangan pergi!” Mas Danu mengigau dalam tidurnya. Kusentuh keningnya, panas. Dia kembali demam. Kepanikan melanda diriku yang bingung harus bagaimana dalam situasi semacam ini. Suamiku yang kuharapkan bisa berdiri tegak, justru berulang kali jatuh sakit. Masalah bertubi-tu
“Mungkin kamu tak sadar, tapi ciuman tadi adalah kemesraan pertama kita setelah Bapak tiada.” Lirih suara Mas Danu terdengar seperti pria yang lama menanti pujaan hati. Rasa bersalah menghantam, menggoyahkan nurani.Masalah ini membuat kami menyatu kembali. Setelah sebulan lebih aku membentengi diri karena dendam yang tiba-tiba menyulut hati. Surat Bapak telah menjadi tembok tinggi bagi hubungan kami. Sering tiba-tiba terlintas dalam hati, meninggalkan Mas Danu untuk lepas dari bayang masa lalu. Merasa bersalah pada kedua orang tuaku, telah hidup berbahagia dengan orang yang membuat keluarga kami sengsara. Kakek nenek, mereka mungkin juga mengutuk diriku yang mencintai keturunan pria penghancur keluarga. Namun, aku bisa apa jika hati selalu tergerak untuk mencinta?“Ini seperti petualangan di gunung yang curam. Aku harus mendaki, mencari misteri yang tersembunyi di gelapnya hutan. Saat Bapak masih hidup, semua terlihat normal. Namun, begitu pasak itu dicabut, tenda kita ikut berguncan
Aku tak sempat memikirkan masa lalu. Hanya masa depan kami yang kupikirkan. Bagaimana nasib anak-anak ke depan jika kerajaan bisnis Bapak tumbang? Aku tak ingin melihat anak-anakku hidup kekurangan seperti yang dulu kurasakan.“Aku akan cari tahu, Laras. Benar dia atau orang lain yang mengendalikannya. Tak akan kubiarkan rumah ini berpindah tangan.” Mata Mas Danu menjelajah ruang. Melihat aneka barang yang tertata seperti saat Ibu tiada. Tak banyak yang berubah. Bahkan, foto pernikahan kami yang dihelat demikian mewah, terpanjang di dinding dengan bingkai emas. Berjajar dengan foto Bapak dan Ibu yang duduk berdampingan di sofa besar. Foto itu diambil di ruang keluarga rumah ini. Sejenak, netra suamiku berdiam di sana. Menatap kedua wajah orang tuanya yang menyunggingkan senyum.“Rumah ini dipenuhi kenangan mereka ....” Suara pria berkulit bersih itu bergetar. Bola matanya berkaca-kaca, bak kristal lampu yang dari Eropa yang melengkapi desain rumah berarsitektur Mediteran.“Aku tumbuh
Di akhir hayat ini, aku tersadar bahwa hal yang banar-benar bisa dibawa pulang ke kampung akhirat hanyalah amal. Jadilah anak soleh yang menjadi amal jariyah bagi bapak dan ibu, sekalipun aku malu meminta itu darimu.Semoga kamu bisa jaya dengan kemampuanmu sendiri, hingga kamu bisa menghargai setiap proses. Semoga dengan ini, kamu juga bisa menguji sedalam apa cinta Larasati. Apakah hanya karena materi, atau sungguh cinta murni? Mampukah dia bertahan dalam kesetiaan saat ujian menerpa rumah tangga kalian dengan dahsyatnya? Sudikah dia memulai dari nol bersamamu jika tak ada sepeser pun warisan bapak yang jatuh pada kalian? Ataukah dia pergi ke pelukan pria lain yang menawarkan sesuatu yang lebih menggiurkan?Bagaimana pun arah peta hidup kamu selanjutnya, bapak berdoa semoga kamu bangga jadi diri sendiri. Semoga surat ini menjadi penjelas, jika nanti notaris datang membacakan surat wasiatku dan tak banyak yang bisa Bapak wariskan untuk kalian. Segera urus aset-aset yang memang bisa