"Apa maksudmu, Khanza? Kamu mau bilang kalau Najwa ingin menyingkirkan kamu?" Aku menebak jika Khanza mulai terpengaruh oleh mamanya. Istri pertamaku tidak pernah berprasangka buruk kepada orang lain, tetapi kini ia dengan tega menuduh Najwa melakukan hal sekeji itu. Aku paham, Khanza pasti merasa cemburu dan tidak suka kepada adik madunya. Namun, jangan sampai istriku memfitnah orang lain demi memuaskan rasa sakit hatinya karena tentu saja aku tidak akan membenarkan sikapnya."Jangan menuduh tanpa bukti, Sayang. Jatuhnya kamu memfitnah Najwa dan Bang Aidan.""Aku tidak sedang menuduh. Aku hanya berbicara kenyataan." Mata Khanza menatap nyalang ke arahku. Sepertinya ia tersinggung karena aku tidak mempercayai ucapannya. "Jangan seperti itu, Khanza. Mas tidak suka kamu memfitnah orang lain!""Aku tidak memfitnah!" Ia memekik."Apa yang dikatakan Khanza benar, Emir."Kami semua serempak menoleh ke arah Bang Aidan. Pria yang beberapa menit lalu hanya menjadi pendengar itu kini angkat b
"Khanza akan saya bawa pulang. Tolong beri ia waktu untuk berpikir dan menenangkan diri. Kamu fokus saja menenangkan Najwa yang saat ini lebih membutuhkanmu."Ingin sekali aku membantah perkataan Mama Alice. Berpisah dengan Khanza di saat hati ini dilanda gundah, sepertinya bukan pilihan yang tepat. Aku ingin mendengar ceritanya ketika ia disekap oleh Aidan. Apa saja yang mereka lalui di sana hingga keduanya bisa sedekat itu. Aku tidak bodoh untuk bisa mengartikan sikap mereka. Aidan dan Khanza. Mereka seakan terikat satu sama lain. Apalagi setelah mendengar ucapan Khanza yang ingin membantu meringankan hukuman pria itu. Bukankah terkesan aneh?Seharusnya, Khanza menuntut Aidan agar dihukum lebih berat karena dua kali telah mencoba mencelakainya. Seharusnya, Khanza tidak menaruh rasa iba pada penjahat yang telah membuatnya hampir kehilangan nyawa. Namun, sikap istriku sangat bertolak belakang dengan keinginanku yang ingin Aidan lebih lama mendekam di penjara. "Baiklah, Ma. Emir meng
"Terima kasih, Sayang. Kali ini kamu tidak menolak Mas lagi."Aku mengeratkan dekapan. Kurasakan Khanza mengangguk lemah dalam pelukanku. "Aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri. Berdosa kalau aku terus menerus menolak Mas."Ya, aku paham meski sedikit kecewa. Khanza melakukannya bukan karena menginginkannnya, tetapi hanya sebatas kewajiban. Namun meski begitu, aku tetap merasa puas karena telah menuntaskan rasa rindu yang selama ini hanya bisa kutahan sendirian. "Mas akan menginap di sini," ucapku kemudian. "Menginap? Lalu bagaimana dengan Najwa?""Ada Mama. Mas sudah menitipkan dia padanya. Najwa juga mengizinkan bahkan ia meminta Mas menyampaikan permintaan maafnya padamu."Khanza tidak menjawab. Kami dilanda keheningan beberapa saat hingga ketukan di pintu kamar terdengar. Khanza bergegas memakai kembali handuk yang tadi sempat kulempar. "Tolong buka pintunya, Mas. Tapi jangan lupa pakai pakaianmu dulu," ujarnya tergesa seraya bergegas menuju kamar mandi. Aku m
"Aku bersedia mundur, Mas."Perkataan Najwa terus terngiang di telinga ini. Ia rela melepaskan diriku demi Aidan, kakak yang telah menculik istri pertamaku. Jujur saja aku merasa terhina. Aku dikalahkan oleh seorang Aidan yang bahkan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan denganku. Kedua istriku sama-sama menginginkan Aidan dibebaskan, dan permintaan tersebut sangat sulit kukabulkan. Kini, aku memilih pergi menjauh dari mereka untuk sementara waktu sampai amarah dan kecewa dalam diriku sedikit berkurang. Aku tidak ingin menyakiti kedua istriku dengan perkataan atau tindakan kasar, dan di sinilah aku sekarang. Di salah satu villa milik keluarga di daerah Puncak. Aku sengaja mematikan ponsel agar tidak ada satu orang pun yang mengganggu ketenanganku, termasuk istri-istriku. Melepas Najwa memang sempat terlintas dalam pikiranku. Pernikahan poligami ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Selain dituntut untuk adil dalam pemberian nafkah dan waktu, aku pun harus bisa menjaga perasaan
Suasana di ruang rawat Najwa diliputi keheningan. Aku yang masih shock dengan kabar yang aku dengar, serta kedua istriku yang sama-sama terdiam, menungguku berbicara. Hanya isak tangis mereka yang sesekali terdengar di telinga ini. "Mas ke mana saja?" Pertanyaan Khanza belum sempat kujawab. Aku belum mampu mengucapkan satu patah kata pun untuk menjelaskan ke mana aku selama dua hari ini. "Mas, katakan sesuatu. Bayi kita sudah tidak ada. Apa Mas tidak merasa kehilangan?" Najwa angkat bicara. Aku menghela napas berat sembari meremas rambut dengan sedikit kasar. Mana mungkin aku tidak merasa kehilangan padahal kehadirannya sudah sangat lama kunantikan. Mereka tidak tahu bagaimana terpukulnya aku hingga sekedar berkata-kata saja tidak bisa. "Mas sangat kehilangan dia, Najwa. Untuk itu, Mas minta maaf karena menjadi suami yang egois untuk kalian. Mas memang tidak berguna. Menjaga istri satu saja sering terabaikan, tetapi Mas malah ngotot ingin mempertahankan kalian berdua," ucapku lir
Dua tahun kemudian."Biar saya yang bawa kopernya, Den." Pak Cecep mengambil alih koper dari tanganku. Pria berusia sekitar empat puluh tahunan itu menyambutku begitu aku tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Ia membukakan pintu setelah menyimpan koper terlebih dahulu ke bagasi mobil. Kendaraan roda empat yang kutumpangi ini mulai melaju, membelah jalanan kota Jakarta yang diserang macet seperti biasanya. Dua tahun sudah semenjak perceraianku dengan kedua istriku, aku makin disibukkan dengan bisnis kuliner yang sengaja aku buka bersama salah satu teman yang tinggal di Tokyo. Awalnya hanya sebagai pengalihan agar aku tidak terlalu terpuruk setelah melepas dua wanita yang berharga dalam hidupku. Namun ternyata, cara ini berhasil dan aku bisa sedikit melupakan bayang-bayang mereka yang dulu hampir menghantuiku setiap malam, terutama Khanza. Ah, wanita itu ... entah bagaimana keadaannya sekarang. Aku hanya bisa berharap semoga ia berbahagia setelah lepas dari pria egois sepertiku. Ingatan i
Pov Khanza"Sudah, kamu jangan tangisi pria seperti dia. Mama yakin kamu bisa mendapatkan pria lain yang jauh lebih baik dari Emir," ucap Mama ketika menghampiriku yang tengah menangis di kamar. Terhitung dua bulan sudah aku bercerai dengan Mas Emir. Aku belum bisa melupakan kejadian hari itu, di mana ia mengucapkan dua kali kata talak untuk wanita yang berbeda. Aku kira, Mas Emir mengumpulkan kami di ruang tamu untuk membicarakan perihal pembebasan Aidan yang sudah ia janjikan. Namun, ternyata ia telah lebih dulu menjemput Kakak dari Najwa tersebut dari kantor polisi dan membawanya ke rumah orang tuanya. Mas Emir mengembalikan aku dan Najwa kepada keluarga kami. Ia melepas aku dan Najwa tanpa terlebih dahulu membicarakannya dengan kami. Aku shock. Di saat aku telah ikhlas menjalani pernikahan poligami ini, justru ia memilih jalan yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Aku pikir, Mas Emir akan melepas salah satu dari kami, bukan keduanya. Namun, aku tidak bisa menolak keputusan pri
Pov Emir"Apa kabar, Mas?"Najwa bertanya sembari mengulas senyum manis. Mantan istriku terlihat jauh lebih dewasa dari terakhir kami bertemu. Selain penampilannya yang bertambah anggun, begitu juga dengan gesture tubuh yang lebih tenang dan luwes. Najwa menjelma menjadi wanita berkelas setelah ia lepas dariku. Jika ada yang bertanya apakah aku menyesal telah menceraikannya? Maka jawabannya adalah tidak. Melihat Najwa yang jauh lebih baik ketimbang masih bersamaku, tentu membuatku sadar bahwa melepasnya adalah keputusan terbaik yang aku ambil. "Alhamdulillah Mas baik. Bagaimana denganmu? Mas lihat, kamu jauh lebih baik dari terakhir kita bertemu," jawabku membalas senyumnya. "Mas Emir benar. Aku sudah jauh lebih baik sekarang."Aku mengangguk dan tersenyum. Tentu saja merasa senang meski di sisi hatiku yang lain merasa tersentil oleh ucapan Najwa. Ya, dia jauh lebih baik jika dibandingkan saat hidup bersamaku.Hening. Kami sama-sama membisu karena tidak tahu harus membicarakan apa.
"Mas, jangan deket-deket! Aku mual nyium bau badan kamu!"Aku menghela napas pasrah sembari menuruti keinginannya. Memberi jarak agak jauh karena dia yang katanya mual jika berdekatan denganku. Kehamilan Khanza kali ini lebih parah dari yang pertama. Itu yang ia katakan ketika aku bertanya tentang perbedaan dengan kehamilannya yang dulu. Jika dulu ia masih bisa makan nasi, maka sekarang mencium baunya saja ia langsung muntah. Dan yang paling parah, ia selalu mengusirku jika suaminya ini sedang ingin bermanja dengannya. Akan tetapi, aku tetap bersabar demi dia dan calon bayi kami. Apa pun keinginannya akan aku turuti termasuk ketika ia memintaku mengambilkan mangga muda di pohon yang letaknya di depan rumah Ustadz Hakim. Bayangkan. Malam-malam kami berangkat ke Ciamis demi memenuhi permintaan ngidamnya yang aneh.Namun meski begitu, aku bahagia. Akhirnya aku bisa menjadi seorang ayah dari anak yang lahir dari rahim wanita yang sangat kucintai. Rumah tanggaku dengan Khanza di pernik
"Lebih baik Mas Emir mencari wanita lain untuk dijadikan pendamping. Jangan wanita cacat sepertiku yang bahkan untuk berjalan saja susah."Itulah jawaban Khanza atas pertanyaanku hari itu. Dia menolak ketika aku melamarnya secara langsung. Akan tetapi, bukan Emir namanya jika menyerah begitu saja. Akan kulakukan berbagai cara untuk membujuknya agar ia mau menerima. "Mas tidak menginginkan wanita lain. Jika mau, Mas bisa saja menerima Kiyomi yang tergila-gila sama Mas. Tapi Mas menolaknya karena memang tidak mencintainya. Hanya kamu dan cuma kamu. Andai kita tidak bisa bersama lagi, lebih baik Mas menduda seumur hidup," tuturku selembut mungkin. Berharap ia merasa tersanjung atas penuturanku barusan. "Manis sekali. Andai saja dulu Mas bisa bersikap seperti itu. Tegas menolak hadirnya wanita lain di tengah pernikahan kita. Mungkin jalan ceritanya akan berbeda," pungkasnya yang selalu berhasil membuatku tak berkutik. "Mas rela meminta maaf sampai beribu-ribu kali untuk hal yang satu i
"Wildan dan Khanza dinyatakan kritis."Keterangan dari Ustadz Hakim membuat tubuhku makin lemas. Tidak. Khanza tidak boleh pergi meninggalkanku selamanya. Dia harus sembuh karena ada bayinya yang sangat membutuhkannya. Papa menuntunku untuk duduk di kursi tunggu. Beliau mengusap punggung putranya ini yang masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Mengapa orang-orang baik seperti mereka harus mengalami hal tragis seperti ini? Mengapa tidak aku saja yang menggantikan posisi mereka?"Khanza tidak akan pergi kan, Pa? Dia harus tetap hidup demi anaknya. Katakan pada Dokter untuk menyelematkan mereka. Berapapun biayanya tidak masalah. Emir akan membayar semuanya," racauku seraya meremas rambut dengan kasar. "Tenanglah. Daripada meracau seperti ini lebih baik kamu berdoa. Papa paham perasaanmu. Tapi kita tidak bisa melawan apa yang sudah Tuhan gariskan untuk setiap umatnya," ucapnya bijak.Ya, aku paham dan mengerti maksud ucapan Papa. Akan tetapi, tetap saja hati ini dilanda ketakutan
"Papa senang akhirnya kamu bisa fokus pada pekerjaan. Perusahaan kita makin maju di tanganmu," ucap Papa ketika kami tengah mengobrol di ruang tengah. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Satu tahun sudah semenjak pertemuanku dengan Khanza di pesta pernikahan Aidan, kami tidak pernah bersua kembali. Hanya kabar terakhir yang kudengar dari Mama, bahwa Khanza baru saja melahirkan. Akhirnya, impian Khanza untuk memiliki momongan terkabul. Aku turut senang mendengar kabar bahagia itu meski dalam sudut hati yang lain merasa iri. Kenapa bukan aku ayah dari anak yang dikandung Khanza? Mengapa di saat ia menikah dengan pria lain, Tuhan memberi anugerah sebesar itu kepada mantan istriku?"Emir.""Ya, Pa?" Guncangan di bahu aku rasakan. Sepertinya aku terlalu larut dalam lamunan tentang mantan istriku hingga tidak mendengar panggilan dari Papa. "Melamun lagi, hmm?" tanyanya. Aku menghela napas. "Sedikit." Papa memandang sendu putranya ini. Wajahnya yang tadi ceria berubah murung ketika m
Keinginan Kiyomi untuk berpindah agama ternyata tidak main-main. Ia sangat antusias ketika aku mempertemukan dia dengan Ustadz Hakim. Semoga saja jalannya dipermudah hingga ia benar-benar diberi hidayah untuk berubah. Aku sendiri memilih berpamitan setelah menitipkan Kiyomi di sana. Awalnya wanita itu keberatan, tetapi aku meyakinkan dia bahwa aku akan sesekali mengunjunginya. Jujur aku masih tidak menduga dia bisa senekat itu demi seorang pria. Bahkan Kiyomi sampai menentang kedua orang tuanya karena melarang gadis itu berpindah agama. Cinta memang buta dan pepatah itu benar adanya. Namun, aku salut karena dengan kejadian ini, Kiyomi berniat memeluk Islam dan semoga saja ia akan Istiqomah dengan niatnya tersebut. Dua bulan sudah gadis itu tinggal di Pondok dan aku belum pernah sekalipun menemuinya. Hanya sesekali bertanya pada Ustadz Hakim tentang perkembangannya di sana. Kabar baik aku dapatkan. Kiyomi begitu tekun memperdalam ilmu agama, bahkan ia sempat menangis ketika Ustadz H
Pov Emir"Selamat menempuh hidup baru lagi. Mas akan selalu mendoakan semoga kalian berbahagia sampai maut memisahkan."Doa yang aku ucapkan untuk Khanza benar-benar tulus. Mantan istri yang masih sangat kucintai itu memang berhak mendapatkan kebahagiaan bersama pria yang tepat untuknya. Dokter Wildan. Pria itu sudah sah menjadi suami Khanza, menggantikan diriku yang kini harus mengikhlaskan mereka berdua. Benar apa yang dikatakan Papa. Tidak semua hal yang kita inginkan akan kita dapatkan, termasuk ketika aku ingin memiliki Khanza kembali. Aku yang telah menyakitinya. Aku juga yang telah membuang dengan memilih melepaskannya. Kini aku harus memetik hasil dari keputusanku tersebut. Mengikhlaskan ia bersama pria lain yang jauh lebih baik dariku. "Terima kasih, Mas."Suara lembutnya terdengar bergetar. Ia menangis. Entah karena bahagia atau justru karena mengasihani mantan suaminya ini. Tidak. Aku tidak boleh membuatnya menangis, apalagi di hari bahagianya. Karena itulah, aku bergeg
Pov Khanza. "Boleh minta waktunya sebentar? Ada yang ingin saya bicarakan padamu."Suara Dokter Wildan menghentikan langkahku yang baru saja keluar dari ruang rawat Najwa. Berbalik, aku bisa melihat keseriusan di wajahnya. "Anda ingin bicara apa?""Bagaimana kalau sambil makan siang di Kantin? Supaya ngobrolnya agak enakan," tawarnya. Aku sempat ragu karena sebenarnya tidak nyaman jika harus berduaan dengannya. Akan tetapi, mengingat mungkin saja apa yang akan ia bicarakan adalah hal yang penting, maka terpaksa aku menyetujuinya. "Boleh."Dokter Wildan mempersilakan aku untuk berjalan terlebih dahulu, sedangkan dia mengikut di belakangku. Kami memasuki Kantin yang cukup ramai karena memang sudah saatnya jam makan siang. "Apa yang ingin Anda bicarakan?" tanyaku setelah pesanan kami datang. Dokter Wildan yang duduk berhadapan denganku memberi isyarat agar kami makan terlebih dahulu sebelum memulai obrolan. Menghela napas, kuturuti keinginannya meski hati sedikit jengkel. Tidak tah
"Kamu?"Ternyata informasi dari Mama memang benar. Kiyomi sudah duduk manis di ruang tamu dan ditemani Mama yang memasang wajah ditekuk. Sangat kentara kalau ia tidak menyukai kedatangan wanita ini. "Emir! Akhirnya kita bertemu lagi."Kiyomi berdiri, bergerak mendekat ke arahku yang masih mematung di ambang pintu. Hampir saja wanita ini mendaratkan kecupan di pipi, tetapi beruntung, aku dengan sigap menjauh dari jangkauannya. Kiyomi terlihat kecewa dan aku sama sekali tidak peduli. Gadis asal Tokyo ini memang cukup fasih berbahasa Indonesia karena ia pernah bercerita bahwa dulu pernah menetap cukup lama di sini bersama orang tuanya. Namun, setelah Kiyomi lulus SMA, mereka kembali ke negara asal karena kedua orang tuanya harus mengurus perusahaan keluarga yang terbengkalai. Perkenalanku dengan gadis itu ketika ia berkunjung ke salah satu Resto milikku. Kiyomi ternyata salah satu teman baik dari Daniel, sahabat sekaligus partner kerjaku di sana. Gadis itu memang cantik, pun dengan pe
Pov Emir."Emir, Najwa kecelakaan dan dia ingin bertemu denganmu."Berita tentang Najwa telah kudengar dari Aidan. Mantan kakak iparku tersebut memintaku untuk datang ke rumah sakit dan menjenguk Najwa yang katanya ... selalu memanggil namaku. Tak aku pungkiri, rasa cemas tentu hadir ketika mendengar berita itu. Apalagi Aidan berkata bahwa kondisi Najwa bisa dikatakan cukup parah. "Biar Mama yang menemani kamu ke sana."Aku bernapas lega ketika Mama bersedia mengantarku. Beliau pasti mengerti bahwa putranya ini agak canggung jika harus datang ke sana sendirian, mengingat statusku dan Najwa yang hanya sebatas mantan. Namun, ada yang sedikit mengganjal ketika mengingat kembali perkataan Aidan. Najwa selalu memanggil namaku bahkan sebelum ia sadarkan diri sepenuhnya. Sebenarnya, ada apa dengan Najwa? Mengapa setelah kami berpisah cukup lama, ia masih saja menyimpan namaku di hatinya?Setengah jam perjalanan terasa sangat cepat. Aku dan Mama langsung menuju ruang rawat Najwa atas petun