Beranda / Fiksi Remaja / Walk On Memories / (74) Tidak Punya Rumah untuk Pulang

Share

(74) Tidak Punya Rumah untuk Pulang

Penulis: Bella
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

 Saat mata Bella terbuka, ia hanya menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong. Seberapa kuat ia berusaha untuk mencerna yang terjadi dengannya, ia tidak bisa. Otaknya seolah mengingat kejadian di alam bawah sadarnya, tetapi ia tidak bisa mengatakan apapun.

“Apa yang terjadi denganku? Sekarang aku bangun?”

Bella melepaskan peralatan medis di tubuhnya, dengan leluasa Bella menghirup udara di sekitarnya.

Tangannya memegang dada, “Rasanya dadaku sakit, tapi sekarang kenapa baik-baik aja?”

Bella menatap kedua tangannya, “Rasanya tanganku baru aja menyentuh hal yang hangat, tetapi apa …?”

Matanya terfokus pada sayatan di pergelangan tangannya, sudut matanya mengalir setetes cairan bening. Bella memejamkan matanya, mengingat setiap kata dan kalimat yang dikatakan Mark membuatnya merasa tidak berarti hidup di dunia.

“Kenapa orang maksa aku hidup saat aku sendiri nggak ada gairah buat

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Walk On Memories   (75) Hadiah

    Elard datang ke kamar Bella, “Nona Bella, bagaimana kondisi Anda sekarang?”Bella menatap Elard dengan wajah datar, “Kenapa kamu bertanya kondisiku, kalau kamu ingin pergi pergilah sekarang, tidak usah menunggu kondisiku membaik, Elard!”Elard menggaruk kepalanya, “Nona, saya tidak ingin mengatakan itu saya hanya ingin bertanya saja.”Bella tertawa, air matanya mengalir di wajahnya, “Apakah kamu yang membuatku hidup kembali, Elard?”Elard hanya menjawab, “Saya tidak akan bertanya apa alasan Anda melakukan percobaan bunuh diri, tetapi Nona menyelamatkan hidup seseorang adalah tugas saya sebagai dokter.”Bella memandang ke depan dengan pandangan kosong, “Kamu memaksaku untuk hidup, padahal aku tidak memiliki keinginan untuk hidup. Bukankah itu termasuk kejahatan, Elard?”Elard tidak tahu harus mengatakan apa, jadi ia diam sambil menatap Bella yang menghapus air mata.

  • Walk On Memories   (76) Mulai Menikmati Hidup

    Bella menatap ke depan, bibir tipisnya tersenyum. Melihat itu, Elard tidak kuat untuk ikut tersenyum juga. Elard berkata lembut, “Nona, bukankah ini sangat menyenangkan?”Bella mengangguk tipis, “Iya, ini sangat menyenangkan.”Sambil memainkan pasir, Elard kembali berucap pelan, “Setiap kali pikiran saya kalut, saya akan mendatangi pantai. Saya tidak melakukan apapun, saya hanya ingin bermain pasir saja seperti ini. Apakah Anda ingin mencobanya?”Bella mengangguk, “Aku ingin mencobanya, apapun yang kamu lakukan di sini aku juga akan melakukannya.”Elard terbahak, “Kenapa Anda mengikuti saya?”Bella hanya menjawab pelan, “Aku ingin sepertimu, melihat dunia dengan cara yang menyenangkan.”Elard diam, Bella kembali berucap, “Kamu menyadarinya atau tidak, kamu berhasil mengubah pandanganku pada dunia, Elard. Tadinya aku pikir hidup sendiri itu tidak menyenangkan, seper

  • Walk On Memories   (77) Pengawal Baru

    Saat Bella pulang ke kediaman Wilson, wanita tua yang Bella panggil ‘nenek’ sedang duduk di kursi ditemani oleh Stefene.“Bella, aku dengar dari kepala sekolah kalau kamu membuat keributan. Apa yang terjadi?”Bella tersenyum tipis, kepalanya ia gelengkan, “Tidak ada, nenek. Aku hanya membawa beberapa pengawal saja ke sekolah.”Nenek menatap Bella bingung, “Kenapa? Kamu tidak pernah melakkan ini sebelumnya. Apa yang terjadi di sekolahmu?”“Tidak ada, nenek aku hanya merasa ada seseorang yang mengawasiku diam-diam.”Nenek menatap bella khawatir, “Stefene!” nenek memanggil stefene dengan suara tegasnya.“Iya, nyonya?”“Kamu harus menemani Bella, termasuk ke sekolahnya. Dan kamu Bella, tinggal di sini saja, tidak perlu tinggal sendiri lagi.”Bella tersenyum tipis, ia mengangguk, “Baik, nenek.”Selama di sini, Bella tid

  • Walk On Memories   (78) Aku Tidak Ingin Membantunya

    Tidak ada yang masuk, Bella mengepalkan tangannya. Ia sudah berrniat ingin mempermalukan Sennie, tapi mengapa ia sendiri yang mempermalukan diri di depan teman-teman kelasnya.“Lo kenapa? Lo manggil siapa?” Dika membantu Bella berdiri.Bella masih bingung, ke mana Edi berada saat ini. Bella sudah memberikan perintah dengan jelas untuk berdiri di depan kelas.Tangan Bella terkepal, Dika berucap pelan, “Udah, ayo pergi.”Dika membawa jemari Bella di tangannya, “Duduk di samping gue!”Bella menatap Dika tidak mengerti, “Aku nggak mau.”Dika memejamkan matanya, “Kenapa? Lo mau diganggu Sennie lagi? Ikut sama gue.”“Aku nggak takut sama Sennie, kenapa harus aku yang menjauh dari dia.”“Mau lo apa? Lo mau lawan dia?”Bella mengangguk tegas, “Iya, sampai kapan aku harus diam terus? Lagipula, ini tahun terakhir aku di sini.”Di

  • Walk On Memories   (79) Sendiri

    Bella sudah berada di dalam kelasnya, ia duduk sambil membaca buku kesayangannya.Getaran ponsel membuat konsentraisnya hancur, Bella meraih ponselnya yang berwarna putih lalu membaca pesan singkat tersebut di dalam hati.Wajahnya nampak cerah, ia segera mengetikkan balasan. “Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu? Ah iya, aku merasa bahagia setelah melakukan saranmu, aku mulai menikmati hidupku dengan sangat baik. Elard … terima kasih! Ayo kita bertemu saat liburan!”Bella menutup ponselnya, wajahnya masih nampak cerah membuat Dika yang duduk di pojok nampak penasaran.“Hei!” revan menganggetkan Dika.“Napa lo?” tanya Dika sedikit ketus.Revan terbahak, ia berujar, “Nanti malam ke bar, kuy! Gue bosen di rumah terus.”Dika menggeleng, “Gue nggak mau, mama nggak suka gue nakal.”Revan menatap Dika sinis, ia berdecih dengan sangat jelas, “Cih, anak mama bang

  • Walk On Memories   (80) Satu Nama Terlintas

    Dika tak pernah menyangka jika hidupnya akan jadi seperti ini. Rasanya … dulu ia memiliki segalanya. Kasih sayang, uang, kebahagiaan, ia memiliki itu bahkan menguasainya. Tetapi … mengapa dalam sekejap hal itu hilang dalam genggamannya?Siapa yang mencurinya?Setiap saat, Dika memikirkan itu. Siapa yang mencurinya? Tidak, tetapi sebenarnya … siapakah yang membuatnya kehilangan segalanya?Dika terkadang begitu frustasi memikirkan itu. Tetapi ia tak bisa menemukan jawabannya.Sekarang, seorang teman yang bisa menjadi tempatnya berkeluh kesah pun Dika tak punya. Ia menyadari satu hal, ia memang memiliki cukup banyak teman, tetapi tak seorang pun yang bisa membuatnya bisa bercerita tentang masalah hidupnya.Jika bisa memutar waktu saat Dika memiliki kebahagiaan, Dika ingin memiliki satu teman. Yang tanpa mengatakan apapun, teman itu bisa memahaminya. Teman yang memahami diri Dika melebihi Dika memahami dirinya sendiri.Suara ponsel membuat Dika terbangun dari lamunannya, ia meraih ponsel

  • Walk On Memories   (81) Apa Alasanmu Meminta maaf?

    Ketika langkah kakinya tiba di kelas, Bella melepas kacamata hitamnya. Semua pasang mata yang ada di kelas memandangnya tanpa kedip, Bella yang menyadari itu bersikap tak peduli.Ia melangkahkan kaki menuju mejanya, tempatnya sejak lama. Bella mengibaskan rambutnya, berpose bagai model di majalah-majalah terkenal. Ia tidak peduli pada tatapan-tatapan liar, ia hanya ingin menikmati kekuasaannya di tahun terakhir SMA-nya.Bella mendongak ketika kulitnya menyentuh kain lembut. Itu Dika. Pemuda itu datang membawa jaket lalu memaksanya untuk segera mengenakannya.“Pakai ini!”Bella mengernyit tak mengerti, “Buat apa? Aku nggak sakit dan nggak kedinginan.”“Pokoknya pakai aja!”Bella tetap saja menolak karena sikap Dika sekarang tidak bisa ia mengerti. “Nggak mau, aku aja nggak tahu alasan kamu paksa aku pakai jaket ini.”“Lo nggak sadar jadi perhatian orang gara-gara seragam lo kecil banget?”Bella mengangguk-anggukkan kepala seolah paham apa yang dika maksud, kemudian ia menjawab enteng,

  • Walk On Memories   (82) Siksaan Selamanya

    Cepat-cepat Alfa memegang lengan Bella berusaha untuk menghentikan langkah gadis itu, “Bella, maafin gue!”Bella menatap Alfa tajam, “Kalau itu mau kamu, jangan muncul di depan aku lagi.”Alfa mengangguk setuju, “Okay, gue setuju. Gue janji ini terakhir kalinya lo lihat wajah gue, Bella!”Alfa masih menatap Bella risau, khawatir apa yang akan gadis itu katakan setelahnya. Akan tetapi, Bella membalikkan badannya dan menjauh dari Alfa. Pemuda itu mengelus dadanya, namun tak bisa dipungkiri bahwa ia juga merasa sedih karena setelah ini ia tidak akan bisa melihat gadis yang ia sukai.“Nggak papa, ini balasan apa yang gue perbuat dulu.” Alfa berujar dengan perasaan kosong.*****Bella baru saja pulang ke unit apartemennya. Wajahnya nampak jelas bahwa gadis Wilson itu sedang kelelahan.Bella mengambil segelas air dingin lalu meneguknya. Setelah dirasa cukup, Bella berjalan menuju kamarnya untuk membersihkan diri.Selepas keluar dari kamar mandi, Bella mengambil ponselnya. Pesan singkat terl

Bab terbaru

  • Walk On Memories   (107) Hancur Sudah

    Kesenangan yang dilakukan oleh pria itu membuat kehidupan Bella menderita. Setiap malam, mimpi itu menghantuinya, terkadang ketika ia tengah tertidur secara tiba-tiba ia menangis.Ini sudah satu tahun berlalu sejak kejadian itu, tetapi Bella tetap tak bisa melupakan saat ia diculik, dipukul, dan dikurung. Ia trauma pada setiap orang, ia trauma ditinggal sendiri.Jadi, kehidupan Bella semakin tertutup. Ia tidak bisa berinteraksi dengan banyak orang. itu cukup mengganggunya.Ketika ia memberanikan diri untuk keluar berdiri di tengah keramaian, tubuhnya akan bergetar hebat. Tiba-tiba saja ia akan mual lalu memuntahkan isi perutnya.Bella sudah melakukan banyak cara, tapi rasanya tak ada yang bisa membuatnya sembuh melupakah kejadian itu.Bella menatap jendela kamarnya tanpa menampakkan ekspresi apapun di wajahnya, di tangannya ia tengah memegang sebuah benda tajam.Ia tidak bisa hidup dengan perasaan ketakutan yang menghantuinya setiap saat. Bella tidak bisa hidup sendiri, perasaan sepi

  • Walk On Memories   (106) Dunianya yang Gelap

    Ingatan hari itu begitu membuat perasaannya terpukul. Saat matanya terpejam, bayangan itu selalu hadir menemani tidurnya. Bukankah itu adalah mimpi yang menakutkan?Saat tengah malam tiba, Bella kerap sekali bangun dari tidurnya. Ia berteriak kencang, bayang-bayangan itu bagaikan monster yang akan menerkamnya kapan saja. Ia tidak akan pernah bisa melupakan itu.Suara pekikkannya membuat pria muda datang mendekapnya, bukannya hatinya merasakan ketenangan, ia justru merasakan perasaan takut yang tidak ia mengerti datang dari mana.Ia berteriak kencang, “Pergi! Jangan pukul aku. Lepasi aku, aku mohon. Aku nggak mau dikurung di sini!”Mark yang tengah bersamanya tak melepaskan pelukannya walau Bella memukul tubuh pemuda itu sebagai bentuk pemberontakkan. Mark tidak akan melepaskan ataupun menjauh, ia akan bersama Bella setiap saat menemani gadis itu hingga pulih.“Sst, tenang. Aku nggak akan mukul kamu, aku nggak akan culik kamu, dan aku nggak akan ngurung kamu. Jangan takut ….”Bella mem

  • Walk On Memories   (105) Luka yang Dalam

    Mark yang baru saja sadar langsung berlari dengan sekuat tenaga begitu mengetahui keberadaan Bella. Tubuhnya masih lemah, bercak darah segar masih menempel di bajunya. Akan tetapi Mark tidak memikirkan itu, tujuannya hanya untuk bertemu Bella saja.Saat tiba di depan pintu yang tertutup rapat, jantung Mark berdebar kencang. Ia langsung mendobrak pintu itu, tetapi tenaganya sudah terkuras habis.Stefene yang datang membawakan kunci segera membuka pintu, saat pintu terbuka mata Mark langsung tertuju pada Bella yang terbaring meringkuk di lantai.Mark berlari cepat mendekatinya. Ia berusaha membangunkan Bella dengan suara seraknya, “Bella, bangun ….?”Gadis itu tak kunjung membuka matanya. Tubuh Mark bergetar, ia langsung saja menggendong Bella membawanya ke rumah sakit.“Siapkan mobil!” teriak Mark dengan suara bergetar.Saat di dalam mobil pun mark Kembali memanggil Bella, air matanya menetes, dadanya kembali sesak. “Bella bangun ….”Gadis ini sama sekali tak menyaut, matanya masih ter

  • Walk On Memories   (104) Pencarian

    Mark belum juga menemukan Bella, ia sudah berjalan mengelilingi gedung penginapan bahkan sudah memeriksa seluruh kamar dengan kekuatan yang ia punya. Tetapi ia tidak juga bertemu dengan Bella.Mark begitu frustasi sekarang, bahkan ia sudah memerintahkan pengawalnya untuk membawa Dika yang terbaring di jalan.Dika tengah pingsan di jalan, tak ada yang membantunya saat itu. Pemuda itu masih tak sadarkan diri karena dipukuli oleh Mark.Saat pengawal membawa Dika dalam keadaan tidak sadarkan diri, Mark mendekati Dika. Ia memaksa Dika untuk bangun dengan pukulan sekali lagi, “Bangun, brengsek! Udah cukup waktu istirahat lo!”Dika membuka matanya perlahan, ia tersenyum setelah itu. “Lo nggak ketemu Bella?”Mark menatap Dika sisnis, ini mencengkram kerah baju pemuda itu dan berkata , “Bilang sama gue, di mana Bella, brengsek!”Bukannya menjawab, Dika kembali tertawa. Ia mendekati Mark dengan langkah lunglainya, “Gue nggak akan ngasih tahu lo di mana Bella.”Dika kembali tertawa melihat kepal

  • Walk On Memories   (103) Diculik

    Mark meminta pengawalnya untuk mencari keberadaan Bella, pasalnya hingga malam tiba gadis itu tak kunjung kembali membuat Mark khawatir padanya.Di tengah kekhawatirannya, Daniel mendatanginya. Pemuda itu bertanya, “Kenapa, lo kayaknya bingung banget?”Mark mengangguk, ia menceritakan bahwa Bella menghilang sejak ia keluar di siang hari. “Bella belum pulang ke penginapannya, dia terakhir keluar tadi siang.”Mendengar itu, Daniel langsung mengeluarkan ponselnya menelpon gadis itu. Hingga deringan ketiga, gadis itu tidak menjawab ponselnya. “Nggak diangkat.” Ucap Daniel pelan.Mark mengangguk, ia juga sudah menelpon Bella sedari tadi, tetapi gadis itu tidak mengangkatnya. Pikiran Mark semakin ke mana-mana, takut-takut terjadi sesuatu pada gadis itu.Mark mendatangi Stefene yang baru tiba, pria dewasa itu tadi keluar untuk mencari Bella, “Gimana, kamu tahu ke mana Bella, Stefene?”Stefene menggeleng lemah, “Maafkan saya, tuan muda nona Bella belum juga ditemukan.”Mark memijat keningnya,

  • Walk On Memories   (102) Milikku

    Mark yang menatapnya terus menerus membuat Bella mengalihkan pandangannya. Mark berkata pelan, “Daniel suka sama kamu, kenapa nggak coba pacaran aja sama dia?”Bella sudah menduga jika Mark akan berkata seperti ini, jadi Bella menjawabnya dengan senyuman tipis. “Daniel udah tunangan, nggak mungkin aku iyain dia.”Mata mark Membelalak, “Kalau dia nggak tunangan, berarti kamu mau sama Daniel?”Ucapan Mark membuat Bella memukul lengan pemuda itu pelan, pipinya bersemu merah ia sangat malu sekarang. Mark masih saja terbahak menertawakannya.“Jadi kamu beneran suka sama Daniel?”Pertanyaan dari Mark membuat Bella diam, ia tidak tahu apa jawabannya karena sejujurnya ia tidak mengerti perasaannya sendiri. Saat ia bersama Daniel akhir-akhir ini, ia merasa tenang. Jantungnya berdetak dengan stabil.Namun perasaan itu sama ketika ia bersama Mark, ia pun merasakan ketenangan.Tapi ada yang berbeda, ketika Bella bersama Dika hanya ada perasaan marah di dadanya. Seolah Bella muak pada pemuda itu.

  • Walk On Memories   (101) Tahu Identitas Bella

    Saat sore tiba, semua murid Lit High School menuju ke pantai menikmat senja di sore hari. Bella berjalan beriringan bersama Mark, tak lupa kepada Stefene, Elard, dan pengawal ikut serta. Hal itu membuat mereka manatap Bella secara terang-terangan.Dalam hati mereka beranggapan bahwa itu semua hanya untuk penjagaan Mark, kekasih Bella. Dengan jelas Bella dapat mendengar mereka membicarakannya bahwa ia hanya memanfaatkan Mark saja.Mark yang sadar itu menatap mereka tajam, Bella langsung menggelengkan kepalanya. Ia tidak ingin ada keributan apapun.Mark berjalan mendahului Bella, ia bersikap seolah kesal pada sikap gadis itu yang hanya menerima saja, bukannya marah dan menjelaskan semuanya.Mark tidak mengerti mengapa Bella masih saja merahasiakan siapa dirinya sebenarnya. Jika mereka tahu bahwa Bella adalah putri dari Wilson, mereka tidak akan memberikan penghinaan pada gadis itu.Rasanya Mark ingin sekali berteriak mengumumkannya, tetapi ia menahannya. Ia tidak ingin membuat Bella mar

  • Walk On Memories   (100) Sudah Usai

    Bus sudah berhenti, semua murid sudah turun dari bus. Bella dengan semangat menggandeng lengan Mark, gadis itu tersenyum senang, “Mark, kita udah sampe.”Mark mengangguk, ia sendiri tidak tahu mengapa Bella begitu semangat padahal sebelumnya gadis itu muntah beberapa kali. Tak jauh berbeda dengannya, ia tidak muntah, tetapi tubuhnya begitu lemas.Mark menatap Elard, “Kepalaku pusing.” Katanya.Elard segera memapah tubuh Mark, sedang Bella yang melihat itu mengikuti pemuda itu dari belakang. “Mark, kamu nggak papa? Mau ke rumah sakit sekarng?”Mark menggeleng pelan, “Nggak perlu, aku istirahat aja.”Bella mngerucutkan bibirnya, ia pun mengangguk.Stefene sudah menyiapkan penginapan, jadi Bella dan Mark menuju ke penginapan. Sedangkan teman-teman sekolahnya, mereka juga beristirahat di penginapan yang sudah disediakan oleh sekolah.“Kamu bener-bener nggak papa? Kalau mau ke rumah sakit nggak papa, Mark.” Pemuda itu menggeleng pelan.“Nggak papa, aku cuma perlu istirahat aja. Lagi pula k

  • Walk On Memories   (99) Karya Wisata

    Karya wisata tepat dilakukan hari ini. Bella sudah bersiap pagi-pagi sekali, senyuman manis di wajahnya tak pernah sekali pun pudar. Ia begitu menawan.Saat ia keluar dari kamarnya, Mark sudah menantinya di depan pintu. Tidak hanya pemuda itu saja, melainkan Elard dan Stefene pun turut menyertainya.Senyuman Bella memudar, ia menatap mereka bergantian. Lalu mendengus kesal karena kenyataannya ia akan pergi karya wisata bersama Mark, Elard, Stefene, dan beberapa pengawal.Itu adalah pesan dari neneknya kemarin bahwa jika tetap ingin pergi, maka Bella harus ditemani oleh Stefene dan pengawal. Bella setuju, akan tetapi Mark merengek untuk tetap ikut bersamanya. Pada akhirnya, Elard diikut sertakan untuk menjaga kesehatan pemuda itu.Sebelum pergi, Bella berpamitan pada neneknya. Wanita tua itu mengangguk, ia sudah memerintahkan pengawal untuk menyiapkan mobil yang nyaman selama perjalanan. Dalam hati Bella kesal, ia ingin naik bus bersama teman-temannya. Tetapi ia hanya bisa menuruti, ia

DMCA.com Protection Status