Setahun hidupku tak lepas dari mencari tahu mengenai Bima, Rio, Ressa dan terutama tentang Adjie yang sama sekali aku tidak ketahui keadaannya seperti apa. Jika setiap temanku menganggapku gila, biarkan saja!! Karena mereka tidak pernah tahu hal apa yang berbekas dan harus diselesaikan sebelum aku benar-benar tak waras.
" Bo, kita begadang lagi yuk!! Terdengar suara Riki di seberang telepon. Dia teman untuk insomniaku, menghabiskan setiap malam untuk telepon ngalor-ngidul. Membahas hal kecil sampai hal yang sama sekali tidak penting.
Jika diibaratkan penyakit, mungkin cinta itu selayaknya insomnia. Seperti penyakit sederhana namun tak sedikit yang menjadi gila. Ini tidak berlebihan, ini nyata terasa. Terutama ketika khayal menarik pikiran, meski mata sudah berat untuk terbuka. Menyenangkan memang jika kesulitan untuk bermimpi itu ditemani orang yang disayangi, tapi benar merana saat sadar kalau pagi hanya tinggal dua jam lagi dan harus lanjut bekerja tanpa
Tiga tahun hidupku terus terpaku pada masa lalu. Tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun karena masih berharap pada Ressa, Riki, Rio ataupun Adjie yang akan mengisi hari-hariku dan juga karena aku masih meyakini komitmenku. Sebuah kebodohan yang aku pelihara selama beberapa tahun. Ini terjadi bukan aku tidak laku, ya setidaknya dengan bertambahnya umur aku sudah bisa merawat diri agar tidak terlalu menyedihkan.Aku hanya malas dengan orang baru, terlalu sulit memulai dari awal dan harus beradaptasi lagi dengan pasangan baru. Itu saja.Aku hampir gila karena pekerjaanku setiap hari hanya berkhayal, berimajinasi dan berharap untuk memperbaiki masa lalu. Aku tidak pernah terlalu merasakan apa yang terjadi saat ini, aku menjalani hari-hariku hanya sebatas tubuh kosong yang pikirannya tidak ada disitu.Aku sulit menerima setiap laki-laki yang menawarkan diri menjadi pasanganku dan tidak siap merasa sakit lagi oleh orang baru. Aku masih berpikir mereka hanya oran
8 Januari, tepatnya 35 hari sebelum usiaku tepat 24 tahun. Pagi ini rasanya hari termalas untuk pergi ke kantor. Aku bangun setelah 20 menit alarm yang aku setting berhenti berbunyi." Pak, saya pergi dulu ya, titip rumah sama ibu. Kalau ada yang cari saya, nanti kasih nomor telepon atau alamat kantor aja ya. " Itulah pesan rutin setiap pagi untuk supirku Pak Toto saat beliau membukakan gerbang agar mobil yang kukendarai dapat keluar.Sudah cukup lama Pak Toto menjadi supir keluargaku. Dari semenjak ayahku masih sehat bugar dan sampai menghembuskan nafas terakhir beliau tetap setia melayani kami. Kedekatannya dengan ayah sudah melebihi hubungan atasan dan bawahan, maka tidak heran ketika ayah meninggal, Pak Toto menangis meraung-raung dan terus berkata "Paaak, kenapa ndak saya dulu tooh." sampai semua tamu menyangka bahwa Pak Toto adalah kakak ayahku." Siap neng." Jawabnya singkat.Komplek perumahanku cukup ramai oleh orang-orang yang berjalan santai set
Besok tepat usiaku 24 tahun, umur dimana batas waktu mengenai komitmenku bersama Riki. Keyakinanku atas hal itu masih ada, tetapi tidak melebihi keyakinanku pada Tuhan.Jam 11 malam aku baru selesai berkutat dengan kertas dan laporan di kantor karena nasibku menjadi karyawan yang tidak bisa menolak untuk lembur membuatku aku harus rela merayakan ulang tahunku di dalam mobil, di tengah kemacetan dan ditambah aku harus menunggu Pak Toto menjemput selama mobilku masih di bengkel." Teet..Teet." Sebuah mobil Land Rover berhenti tepat di depanku yang sedang berdiri di parkiran. Kaca mobil yang berwarna lumpur itu terbuka dan terlihat lagi sosok itu." Hai nona, ayo masuk!" Katanya dari balik jendela yang terbuka." Nunggu jemputan." Jawabku santai dan lebih sedikit ramah" Nggak akan datang, udah aku suruh jangan datang." Aku mengernyitkan kening dan masuk ke mobilnya ketika dia spontan membukakan pintu mobil." Sengaja jemput? Ada apa nih?" Aku
"Siap?" Dia mematikan mesin mobil dan memandang ke arahku dengan pandangan mencurigakan yang belum pasti aku tahu artinya. Sepertinya dia akan menjerumuskanku ke dasar kolam atau mempertemukanku dengan makhluk menyeramkan. Begitulah makna pandangannya saat itu. "Untuk?" Tanyaku sedikit heran dan memandangnya kembali, aku sedikit waspada jika seandainya dia akan memberikanku ke penjual manusia. "Turun dan ketemu temanku." Dia membuka pintu mobil dan turun "Kenapa harus nggak siap, kan kamu yang mau ketemu. Aku cuma sandera yang kamu paksa buat nemenin, yuk.!" Aku pun mengikutinya meskipun setengah ragu. Kita berjalan cukup jauh dari tempat mobil berhenti, melewati jalan setapak yang basah karena embun atau mungkin hujan semalam dan beberapa lahan kosong. Cukup sunyi seperti kebanyakan suasana desa di pagi hari. " Rumahnya yang mana? Jauh banget?" Setelah banyak rumah yang kami lewati, bau tanah serta daun yang semakin menusuk dan suasana sunyi cukup me
Indra, terima kasih sudah mengajarkanku mengenai suatu hal yang bukan namanya cinta atau sayang. Mungkin bisa disebut ketagihan atau nafsu. Kamu mengajarkan aku tentang kenikmatan sesaat meskipun pada akhirnya aku sadar hubungan yang didasari nafsu itu tidak benar. Terima kasih atas pengorbanan kamu, kamu membelikan makanan dengan uang terakhir kamu karena kamu tahu aku kelaparan, kamu meminjam motor teman kamu meski kena marah hanya untuk mengantar aku. Semua itu manis, namun aku tidak membutuhkan hal yang manis tapi membuat aku terlena. Terima kasih dan sorry karena selama bersama kamu. aku tidak pernah mengenal yang namanya sayangRio, you're my best friend now. Aku tidak tahu apa ini cinta, sayang atau sekedar rasa penebusan dosa. Tapi terima kasih, bersama kamu membuat aku tahu bagaimana rasanya mempertahankan sebuah hubungan, kamu membentuk aku menjadi dewasa untuk mengimbangi sifat kamu yang kekanak-kanakan, kamu mengajarkan aku kesabaran saat kamu memilih bermai
Media sosial dan dunia maya itu surganya orang-orang pengkhayal sepertiku. Dan untuk saat ini benda itulah yang paling berjasa atas pertemuanku dengan Ressa atau biasa aku panggil Mas Essa. Mahasiswa jurusan Teknik Manufaktur di salah satu kampus di Yogyakarta. Usia yang lebih tua tiga tahun tidak aku permasalahkan.Tujuanku tidak aneh-aneh, aku hanya mencari teman bercerita dan tidak terlalu memakai rasa. Tapi sebuah pencapaian yang luar biasa untukku saat itu. Aku yang masih duduk di kelas 3 SMP merasa bangga mempunyai teman seorang mahasiswa. Ressa tidak terlalu istimewa, parasnya biasa saja. Wajah masa peralihan dari remaja menuju dewasa masih terlihat jelas, campuran antara muda menuju tua. Gaya berpakaiannya juga sedikit norak, kurang mengikuti mode terkini. Dia tipe mahasiswa yang tidak mengikuti arus, cuek dengan segala hal yang kurang ‘berfaedah’, terlalu serius belajar, terlalu kaku, terlalu kolot dan sangat pintar. Aku belajar menerima semuanya da
Karena hari ini pengalaman pertamaku harus duduk berdampingan dengan senior, maka aku memutuskan untuk datang ke sekolah lebih awal. Selain agar aku bisa mengulang sedikit pelajaran, aku juga tidak mau menjadi pusat perhatian para senior saat aku masuk kelas kalau datang terlalu siang,. Sampai kelas tempatku ujian, baru ada sekitar 7 siswa, 3 orang senior perempuan yang sedang berkumpul di bangku yang ada di sudut kelas dan sisanya adalah teman-teman sekelasku.Aku langsung memeriksa satu-persatu meja untuk mencari nomor pesertaku. Meja ketiga di baris kedua dekat pintu masuk, cukup strategis dan "Abimanyu Nayawaki Mohammed" nama senior yang akan menjadi teman ujianku selama seminggu ini. Nama yang cukup unik, baiklah mungkin aku panggil Bima saja agar lebih singkatBel ujian belum berbunyi, satu kelas masih ribut mengobrol kesana kemari, termasuk aku yang sedang membahas sedikit materi bahan ujian hari ini bersama teman yang duduk dibelakangku. Pukul 06.43 yang artinya
Ujian hari kedua diawali dengan semua siswa berdoa. Kali ini aku berdoa dengan khusyuk dan sangat berharap soal Matematikanya mudah dan dapat berkonsentrasi penuh tanpa ada ulah dari seniorku. Amin.Ujian Matematika hampir berlangsung setengah jam, suasana kelas serius mengerjakan soal Matematika yang memang cukup membuat otak protes. Hampir tidak ada suara kecuali suara kertas dan gesekan penghapus. Jika diamati mungkin ruangan kelas sudah dipenuhi oleh asap yang berasal dari otak siswa yang berpikir sangat keras mencari jawaban, baik itu dengan cara menghitung atau mencari inspirasi dengan melamun. Tak sedikit juga siswa yang wajahnya memerah seperti duduk di atas kompor. Logaritma, trigonometri dan saudara-saudaranya berlomba-lomba bersuara untuk diselesaikan terlebih dahulu, tapi apa daya jika otak saja tidak mampu mengingat apapun mengenai mereka."sst..sst." Aku menoleh ke arah suara yang ternyata berasal dari mulut Coki. Aku langsung sedikit mengangkat daguku un
Indra, terima kasih sudah mengajarkanku mengenai suatu hal yang bukan namanya cinta atau sayang. Mungkin bisa disebut ketagihan atau nafsu. Kamu mengajarkan aku tentang kenikmatan sesaat meskipun pada akhirnya aku sadar hubungan yang didasari nafsu itu tidak benar. Terima kasih atas pengorbanan kamu, kamu membelikan makanan dengan uang terakhir kamu karena kamu tahu aku kelaparan, kamu meminjam motor teman kamu meski kena marah hanya untuk mengantar aku. Semua itu manis, namun aku tidak membutuhkan hal yang manis tapi membuat aku terlena. Terima kasih dan sorry karena selama bersama kamu. aku tidak pernah mengenal yang namanya sayangRio, you're my best friend now. Aku tidak tahu apa ini cinta, sayang atau sekedar rasa penebusan dosa. Tapi terima kasih, bersama kamu membuat aku tahu bagaimana rasanya mempertahankan sebuah hubungan, kamu membentuk aku menjadi dewasa untuk mengimbangi sifat kamu yang kekanak-kanakan, kamu mengajarkan aku kesabaran saat kamu memilih bermai
"Siap?" Dia mematikan mesin mobil dan memandang ke arahku dengan pandangan mencurigakan yang belum pasti aku tahu artinya. Sepertinya dia akan menjerumuskanku ke dasar kolam atau mempertemukanku dengan makhluk menyeramkan. Begitulah makna pandangannya saat itu. "Untuk?" Tanyaku sedikit heran dan memandangnya kembali, aku sedikit waspada jika seandainya dia akan memberikanku ke penjual manusia. "Turun dan ketemu temanku." Dia membuka pintu mobil dan turun "Kenapa harus nggak siap, kan kamu yang mau ketemu. Aku cuma sandera yang kamu paksa buat nemenin, yuk.!" Aku pun mengikutinya meskipun setengah ragu. Kita berjalan cukup jauh dari tempat mobil berhenti, melewati jalan setapak yang basah karena embun atau mungkin hujan semalam dan beberapa lahan kosong. Cukup sunyi seperti kebanyakan suasana desa di pagi hari. " Rumahnya yang mana? Jauh banget?" Setelah banyak rumah yang kami lewati, bau tanah serta daun yang semakin menusuk dan suasana sunyi cukup me
Besok tepat usiaku 24 tahun, umur dimana batas waktu mengenai komitmenku bersama Riki. Keyakinanku atas hal itu masih ada, tetapi tidak melebihi keyakinanku pada Tuhan.Jam 11 malam aku baru selesai berkutat dengan kertas dan laporan di kantor karena nasibku menjadi karyawan yang tidak bisa menolak untuk lembur membuatku aku harus rela merayakan ulang tahunku di dalam mobil, di tengah kemacetan dan ditambah aku harus menunggu Pak Toto menjemput selama mobilku masih di bengkel." Teet..Teet." Sebuah mobil Land Rover berhenti tepat di depanku yang sedang berdiri di parkiran. Kaca mobil yang berwarna lumpur itu terbuka dan terlihat lagi sosok itu." Hai nona, ayo masuk!" Katanya dari balik jendela yang terbuka." Nunggu jemputan." Jawabku santai dan lebih sedikit ramah" Nggak akan datang, udah aku suruh jangan datang." Aku mengernyitkan kening dan masuk ke mobilnya ketika dia spontan membukakan pintu mobil." Sengaja jemput? Ada apa nih?" Aku
8 Januari, tepatnya 35 hari sebelum usiaku tepat 24 tahun. Pagi ini rasanya hari termalas untuk pergi ke kantor. Aku bangun setelah 20 menit alarm yang aku setting berhenti berbunyi." Pak, saya pergi dulu ya, titip rumah sama ibu. Kalau ada yang cari saya, nanti kasih nomor telepon atau alamat kantor aja ya. " Itulah pesan rutin setiap pagi untuk supirku Pak Toto saat beliau membukakan gerbang agar mobil yang kukendarai dapat keluar.Sudah cukup lama Pak Toto menjadi supir keluargaku. Dari semenjak ayahku masih sehat bugar dan sampai menghembuskan nafas terakhir beliau tetap setia melayani kami. Kedekatannya dengan ayah sudah melebihi hubungan atasan dan bawahan, maka tidak heran ketika ayah meninggal, Pak Toto menangis meraung-raung dan terus berkata "Paaak, kenapa ndak saya dulu tooh." sampai semua tamu menyangka bahwa Pak Toto adalah kakak ayahku." Siap neng." Jawabnya singkat.Komplek perumahanku cukup ramai oleh orang-orang yang berjalan santai set
Tiga tahun hidupku terus terpaku pada masa lalu. Tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun karena masih berharap pada Ressa, Riki, Rio ataupun Adjie yang akan mengisi hari-hariku dan juga karena aku masih meyakini komitmenku. Sebuah kebodohan yang aku pelihara selama beberapa tahun. Ini terjadi bukan aku tidak laku, ya setidaknya dengan bertambahnya umur aku sudah bisa merawat diri agar tidak terlalu menyedihkan.Aku hanya malas dengan orang baru, terlalu sulit memulai dari awal dan harus beradaptasi lagi dengan pasangan baru. Itu saja.Aku hampir gila karena pekerjaanku setiap hari hanya berkhayal, berimajinasi dan berharap untuk memperbaiki masa lalu. Aku tidak pernah terlalu merasakan apa yang terjadi saat ini, aku menjalani hari-hariku hanya sebatas tubuh kosong yang pikirannya tidak ada disitu.Aku sulit menerima setiap laki-laki yang menawarkan diri menjadi pasanganku dan tidak siap merasa sakit lagi oleh orang baru. Aku masih berpikir mereka hanya oran
Setahun hidupku tak lepas dari mencari tahu mengenai Bima, Rio, Ressa dan terutama tentang Adjie yang sama sekali aku tidak ketahui keadaannya seperti apa. Jika setiap temanku menganggapku gila, biarkan saja!! Karena mereka tidak pernah tahu hal apa yang berbekas dan harus diselesaikan sebelum aku benar-benar tak waras." Bo, kita begadang lagi yuk!! Terdengar suara Riki di seberang telepon. Dia teman untuk insomniaku, menghabiskan setiap malam untuk telepon ngalor-ngidul. Membahas hal kecil sampai hal yang sama sekali tidak penting.Jika diibaratkan penyakit, mungkin cinta itu selayaknya insomnia. Seperti penyakit sederhana namun tak sedikit yang menjadi gila. Ini tidak berlebihan, ini nyata terasa. Terutama ketika khayal menarik pikiran, meski mata sudah berat untuk terbuka. Menyenangkan memang jika kesulitan untuk bermimpi itu ditemani orang yang disayangi, tapi benar merana saat sadar kalau pagi hanya tinggal dua jam lagi dan harus lanjut bekerja tanpa
12.40 Adjie calling…"Hoi apaan?!!" Jawabku sambil bersiap-siap menuju ke kelas."Aku jemput sekarang ya!" Kata Adjie tanpa kompromi"Woi.. woi!! Aku masih ada kuliah bro, lagian aku udah ada janji sama Rio" Teriakku"Bodo amat, setengah jam lagi aku sampai." Adjie langsung menutup telepon dan tidak peduli dengan penolakanku."Kebiasaan banget sih," Aku sedikit kesal dan melempar handphone ke atas meja."Pasti Adjie deh." Jawab teman- temanku secara bersamaan dan hanya aku jawab dengan anggukan."Harus punya keputusan Ya, kamu harus memutuskan perasaan kamu sendiri." Kata salah satu sahabatku Anin sambil menyeruput teh tariknya.Aku 13.00 : "Ay, sorry kayaknya gak jadi ikut main. ada acara mendadak, sorry," Itulah keputusanku sementara ini....…"Bang kamu gila ya, masa bikin aku bolos kuliah cuma gara-gara nemenin kamu maen basket kayak gini." Kataku setengah tersengal saat mendrible bola menghi
Hari ini aku berjanji untuk bertemu Eris, alumni SMA yang sama denganku namun usianya lima tahun lebih tua dariku. Aku berjanji untuk datang ke reuni akbar bersamanya. Tidak ada alasan khusus untukku kenapa harus datang ke reuni akbar itu, aku hanya berharap bisa sedikit mengetahui mengenai keadaan Bima sekarang seperti apa." Kerumah akang dulu ya, ada yang mau di ambil."" Ok"Tanpa menolak aku ikut kerumahnya dan dia mengijinkanku mengikutinya ke dalam kamar. Di siang hari rumahnya tampak sepi, hanya ada dua asisten rumah tangga yang sedang asyik bergosip di dapur. Aku masuk kedalam kamarnya yang sunyi dan terasa dingin. Ruangan yang cukup besar dilapisi wallpaper motif abstrak berwarna biru muda serta ranjang nomor satu yang diselimuti beberapa selimut tebal akan membuat semua pengunjungnya terlelap sangat cepat."Kang. Kok malah tiduran sih, cepat ih, nanti malu kalau telat!" Protesku ketika melihat Eris yang
" Ay, maafin Io ya, kemarin benar-benar diluar rencana." Aku hanya mengangguk dan memainkan rambut Rio yang sedang terbaring di atas kakiku." Kemarin jadi pulangnya gimana?" Tanyanya memandang ke wajahku." Di jemput sama abang." Jawabku tanpa memandang balik ke wajahnya yang polos"Abang kamu baik ya." Pandangan Rio semakin lekat dan tersenyum, entah senyum percaya atau senyum mengerti tentang kebohongan yang aku lakukan. Rio sudah kukenalkan pada Adjie, kujelaskan mengenai hubungan kami yang hanya sekedar teman. Rio sangat menerima baik keberadaan Adjie diantara kami, atau mungkin terpaksa menerima karena Adjie sudah terlebih dahulu mengenalku."Kenapa kok lihatnya gitu? Cemburu?" Kataku menggoda"Io gak cemburu, Hanya terlalu takut kehilangan kamu. Kan sama abang kamu? Iya kan? Masa cemburu" Jawabnya singkat menarik tanganku dan meletakan di pipinya yang sedikit chubby tidak setegas pipi Adjie. Ah, Adjie lagi Adjie lagi..Rio adala