Hubunganku dengan Ressa agak sedikit dipaksakan. Aku tidak tahu apa karena aku merasa terlanjur sayang dia atau hanya sekedar ingin melupakan Bima dan bisa saja karena terlanjur ingin merasakan pacaran yang sebenarnya. Saat itu tidak ada alasan yang paling menonjol.
Aku semakin sering berhubungan dengan Ressa melalui sms dan membuat rasaku semakin kuat. Pernah suatu waktu Ressa tidak menghubungiku selama seminggu. Rasa kangenku memuncak saat itu dan aku sadar kalau aku mulai menyayangi Ressa.
Aku menipu Ressa untuk tahu perasaannya terhadapku seperti apa. Aku mengirim sms ke nomor Ressa dengan nomor baru yang sengaja aku beli, sama seperti ketika aku menghubungi Bima dulu.Sepertinya sudah menjadi kebiasaan buruk saat aku berpura-pura sebagai orang lain disitu, itu hal yang paling memalukan yang pernah aku lakukan untuk mendapatkan seseorang. Aku sms dia dan mengaku sebagai mantanku. Jam istirahat sekolah waktu yang tepat untuk mengirim sms karena aku tahu pada waku itu Ressa kuliah sore.
Aku 09.11 :" Kamu Ressa ya? Cowok yang lagi dekat sama Tria?" Tanpa berpikir panjang aku mulai mengetik dengan kata-kata licik yang bersumber dari otakku sendiri.
Ressa 09.20 : " Iya, ini siapa?" Hatiku sedikit merasa senang karena ada respon dari Ressa. Dan pesan-pesan selanjutnya tidak terlalu sulit aku karang.
Aku 09.23 :" Kamu jangan coba-coba deketin dia kalau hanya untuk nyakitin, hubungan kamu sama dia belum pasti, jadi aku harap jangan macem-macem."
Ressa 09.26 :" Heh, kamu juga bukan siapa-siapanya, gak berhak ngatur hidup dia ataupun ngatur apa yang harus aku lakukan. Lagian kalau kamu mau dia aman kenapa gak kamu aja yang jagain dia"
Untuk pertama kalinya Ressa pakai Kamu-Aku di sms, seketika aku mulai sadar apa yang sedang kulakukan itu memalukan dan harus aku akhiri. Aku kirim sms terakhir ke Ressa.
Aku 09.56 :" Aku nunggu waktu yang tepat." Entah apa yang terpikir di otakku saat mengirim sms ini, mungkin ingin sekedar memancing Ressa
Ressa 10.00 : " Sama" BalasnyaSetelah mendapat sms balasan dari Ressa, aku membuang kartuku, aku sudah tidak peduli mau bagaimana perasaan Ressa terhadapku. Sudah melakukan hal seperti tadi cukup membuatku terlihat licik. Untuk mendapatkan seseorang dan mengatur semuanya berjalan baik membuatku melakukan segala hal. Mungkin ini efek terlalu banyak menonton drama yang selalu berjalan mulus. Aku pasrah apa yang akan terjadi berikutnya dengan hubunganku bersama Ressa.
Selanjutnya aku smsan seperti biasa. Ressa tidak pernah membahas sekalipun tentang sms tadi pagi. Kita mengganggap itu tidak pernah ada sampai seminggu kemudian ada sms masuk saat aku bersiap-siap untuk tidur.
Ressa 21.01 : " De, sebenarnya mas gak mau terus kayak gini."
Aku 21.05 : " Maksudnya?" Sebetulnya aku paham apa yang dia maksud, sebagai orang yang sering berkhayal dan mengatur skenario jalan hidupku sendiri itu membuatku sedikit banyak bisa membaca jalan pikiran orang lain.
Ressa 21.08 : " Mas senang bisa merasakan punya ade kayak kamu, karena sebagai anak tunggal mas gak tahu rasanya punya ade." Kakak-adean itu hubungan yang klise terjadi sebelum pacaran, sering terjadi pada anak seumuranku.
Aku 21.10 : " Ya makasih, kenapa tiba-tiba bilang gitu?" Dengan cuek aku masih berlatidak bodoh membalas sms Ressa, berlagak seperti itu biar gak ketahuan tentang apa yang sudah aku lakukan sebelumnya.
Ressa 21.18 : " Awal kuliah mas pernah pacaran, namanya Hani. Tapi mas kayak patung di depan dia, hanya dimanfaatin untuk nganterin belanja, bayarin nongkrong dan suka dicuekin kalau dia lagi bareng-bareng sama temannya." Ressa menghela nafas.
Aku 21.20 : " Oya? Kok tega banget sih?" Tidak aneh sebenarnya kalau Ressa yang serius diperlakukan seperti itu. Kalau tidak betul-betul orang yang cocok, bersama Ressa sangat membosankan karena yang dibahasnya selalu tentang belajar dan masa depan.
Ressa 21.28 : " Itu kejadiannya sudah hampir setahun, waktu mas awal kuliah. Makanya mas agak males pacaran. Mas hanya merasa kalau semua perempuan itu hanya manfaatin doang, lebih nyaman sama teman-teman dan teman juga tidak semuanya baik. Kadang mereka datang saat ada butuhnya doang." Agak sedikit tersinggung aku membaca sms yang ini tapi aku sengaja tidak membalas karena aku merasa Ressa sedang butuh share, bukan dinasihati atau diskusi.
Ressa 21.30 : "Mas komitmen sama diri sendiri tidak akan pacaran dulu sampai lulus kuliah, tapi namanya juga manusia kadang ingkar sama komitmennya sendiri." Aku tidak merespon, sedikit was-was mendengar pernyataannya itu. Kemungkinan Ressa akan menjadi pacarku semakin mengecil.
Ressa 21.35 : "Kamu mau jadi cewek mas? Sorry kalau pertanyaan mas ini akan merusak hubungan yang sudah ada, apapun jawaban kamu, mas berharap kita akan seperti biasanya."
Binggo, bener kan apa yang aku maksud? Meskipun bisa ditebak, tetap aja sedikit kaget.Aku 22.00 : " Yes, I want. Love you, good night." Tidak berpikir panjang lagi langsung aku menerima, lah emang ini kok yang aku mau.
….
Minggu pagi aku dibangunkan oleh dua sms masuk yang salah satunya berasal dari nomor tanpa nama tapi aku hafal betul nomor siapa itu.
Ressa 06.21 : " Morning and Happy Sunday darling, im sorry I can't hangout with you in this weekend. Have a nice day :*"
0857234----- : " Rasa dan obsesi berbeda tipis, obsesi hanya sebuah keinginan yang akan hilang ketika tercapai. Rasa akan datang karena kenyamanan. Kenali saja rasa saat ini berasal darimana."
Tak ada satupun yang aku balas, berkali-kali Ressa mengirim sms sepanjang hari tapi yang ada di benakku hanya pengirim sms terakhir, Bima. Sms Ressa lebih dari romantis tapi hambar. Mungkin ini yang dibilang obsesi yang dimaksud sms Bima tadi, atau mungkin secara tidak langsung dia menginginkanku sadar kalau perasaanku untuk dia hanya obsesi. Aku hanya berusaha meyakini kemungkinan yang kedua.
Ressa dan Bima sejenis namun tak sama. Bagaimana bisa aku menginginkan keduanya sedangkan aku tak mengenal tentang apapun mengenai mereka? Aku selalu menganggap mereka indah karena belum menyelam lebih dalam. Keinginanku untuk menyelami mereka lebih kuat dibanding ketakutanku untuk tenggelam. Biarlah tenggelam ketika aku sudah puas merasakan kerasnya karang dan dalamnya lautan dalam. Matiku pun tak akan penasaran karena aku telah puas merasakan dahsyatnya buatan Tuhan. Begitulah kira-kira rasaku. Puitis
Aku berusaha menekan dalam-dalam rasaku untuk Bima, meskipun sering muncul saat ada hal yang mengingatkanku akan kekonyolannya. Hubunganku dengan Ressa berjalan masih sebatas sms dan telepon, aku anggap itu wajar, sewajar usahaku yang masih berusaha menguatkan rasa untuknya. Dan akhirnya bisa.
Untuk pertemuan pertamaku dengan Ressa sebagai pacar, aku membuat sedikit cokelat untuk diberikan kepada Ressa. Hari janjian bertemu, aku berusaha tampak semenarik mungkin, memakai baju ketat agar tidak terlalu kelihatan gendut dan melatih ekspresi terbaik aku semalaman di depan cermin. Aku janjian ketemu di perempatan, tempat yang sama ketika aku janjian dengan Ivan. Ressa belum mengetahui alamat rumahku, jadi kita memilih tempat janjian yang mudah dicari."Hai dek?" Katanya di atas motor matic berwarna hitam tanpa membuka helm dan masih menyalakan mesin motornya. Dibalik helmnya terlihat kedua matanya yang berbulu lentik"Hai mas, apa kabar?" Aku masih agak kaku dan bingung harus bersikap bagaimana."Baik, yuk naik!!" Aku memakai helm dan langsung naik ke jok belakang motor Ressa dengan posisi tangan "masih" di pegangan belakang." Kita ke Dago Pakar yuk, mas sudah lama gak kesana."" Oke, aku belum pernah malah kesana." Aku menyetujui saja keing
"Ya, ayo kantin!!" Tiba-tiba sahabatku Ita nongol di pintu kelas. Kelas kita berdua berbeda namun kita tidak bisa dipisahkan seperti mempunyai kontrak yang tak tertulis, secara bergiliran kita saling mengunjungi kelas masing- masing. Dia tahu tentang semuanya, dari hal terkecil, terintim sampai aib sekalipun mengenaiku. Aku keluar kelas dan langsung ke kantin bersama Ita. Kita bukan termasuk anak yang diberi uang jajan banyak, strategi makan kami adalah membeli makanan yang murah dan banyak, rasa nomor dua yang penting kenyang." Mau makan apa Ya?" Katanya sedikit mendongakkan lehernya ke atas untuk melihatku. Ita yang tinggi tubuhnya cukup jauh di bawahku memang selalu mengeluh saat berbicara denganku dalam posisi berdiri karena membuat lehernya selalu pegal. Tak jarang aku menyebutnya kurcaci, dibandingkan keponakanku yang baru kelas 2 SMP, Ita jauh lebih kecil." Aku mau bubur," Jawabku tanpa melihatnya balik." Oke." Ita langsung menggandeng dan menarikku.
Hari terakhir pertandingan selesai jam 9 malam, pacar Ita dan Gea sudah standby menjemput di depan gymnasium, dan aku harus pulang sendiri. Sedikit menyedihkan karena pengalaman pertamaku mempunyai pacar harus LDR (Long Distance Relationship), padahal aku mau pacarku selalu ada kayak pacar orang lain.Aku 23.15 : " Mas, tahun baru mas ke Bandung kan?" Sesampainya di rumah rasa iri terhadap teman-temanku mulai mendominasi, rasanya ingin menuntut Ressa untuk selalu didekatku seperti yang lainRessa 23.17 : " Iya sayang, mas usahain ya."Aku 23.20 : " Harus dong mas, kan sebelumnya aku mau diambilin raportnya sama mas." Bukan hanya sekedar ingin Ressa datang, aku juga ingin sedikit pamer kepada teman-temanku mengenai Ressa.Ressa 23.22 : " Iya pasti, doain semoga gak ada kendala ya." Ressa memang selalu begitu, tidak pernah memberikan kepastian. Terkadang menolak secara halus dengan bahasa yang bijaksana.
31 JanuariAku 16.40 : "Mas hari ini jadi kan? Aku udah siap-siap mau pulang naik kereta nih.?" Smsku memastikan mengenai janji Ressa yang akan mengajakku merayakan tahun baru bersama.Ressa 16.50 : " De, gimana kalau kita tahun baruan barengnya lain kali aja?"Aku 16.54 : "Loh, kenapa? Aku minta ijinnya susah loh ini untuk pulang duluan, kok gitu sih mas?" Sedikit kecewa dan berharap itu bohong. Karena aku betul-betul sudah membayangkan bagaimana indahnya merayakan tahun baru bersama pacar.Ressa 16.58 : " Pertama, kartu ATM mas rusak. Kedua, yang ikut semuanya laki-laki." Balasnya singkat tanpa ada kata-kata maaf.Aku 17.17 :" Untuk ATM gak masalah, aku pegang duit kok. Kalau untuk masalah laki-laki semua, kenapa? Mas malu bawa aku? Tapi ya terserah mas deh baiknya gimana. " Balas ku pasrah, tapi aku juga tidak bisa memaksakan karena mungkin Ressa tidak mau aku merasa tidak nyaman diantara laki-laki atau dia dan teman- temannya
Pukul 03.15 aku terbangun. Aku melihat Ressa tertidur di sofa yang terletak di seberang sofa merah yang kududuki. Aku berdiri dan menghampirinya yang sedang tertidur lelap setelah semalaman basah kuyup. Aku memandangi wajah Ressa dalam-dalam, berusaha mengenali siapa dia, apa yang dia pikirkan tentang aku dan kenapa aku bisa merelakan hari-hariku dibimbing olehnya. Tanpa sadar orang yang aku pandang sedang berbalik memandangiku dengan mata yang jelas terlihat masih mengantuk."Kenapa de?" Tanyanya lemah dengan posisi masih berbaring."Pulang yuk!" Jawabku kaget menarik tangannya perlahan untuk bangun.Jalanan yang terlihat masih basah dan dingin sisa hujan semalam. Hanya ada 1 sampai 2 mobil yang lewat dalam setengah jam. Di jalan raya yang cukup lebar dan masih sepi Ressa menepi turun dan aku pun mengikutinya turun dari motor tanpa menanyakan alasan mengapa dia tidak langsung mengantarkanku pulang. Kami berdiri di balik sebuah pagar beton setinggi pinggang dan me
Untuk mengurangi rasa jenuh, aku pergi ke rumah Ita dan akhirnya seharian penuh berhasil melupakan rasa tentang Ressa maupun Bima. Di sana aku mempunyai teman baru, namanya Taro teman sekelas Ita di sekolah. Keadaan Taro tidak seberuntung aku, dia harus menjadi tulang punggung keluarga dengan cara mengumpulkan barang bekas selepas ayahnya meninggal. Aku merasa diingatkan, aku malu karena kurang bersyukur atas apa yang aku punya. Mungkin aku tidak berlebih, tapi setidaknya aku masih bisa menikmati apa yang seharusnya aku nikmati di usiaku. Aku merasa bersalah karena masih ada orang disekitarku yang masih susah sedangkan aku tidak tahu sama sekali. Aku benar-benar terlalu asyik membantu Taro mencari barang bekas dan aku bertekad akan membantunya terus.14 Misscalled3 Message ReceivedSemua miscalled dan sms berasal dari Ressa, aku langsung mandi dan tidur. Tidak ada keinginan untuk membalas atau menghubunginya. Aku mau Ressa tahu rasanya bagaimana kalau tidak dik
Handphone kakakku rusak, dan dengan arogannya dia mensabotase handphoneku. Alhasil aku tidak bisa menghubungi siapa-siapa termasuk Ressa. Bukan tidak mau membeli lagi handphone baru, aku hanya merasa rugi saja jika harus merelakan handphone lamaku untuk kakakku. Aku berusaha menghibur diri dengan membantu Taro dan memperbanyak kegiatan bersama teman-teman sampai aku lupa kewajibanku sebagai pacar LDR yaitu komunikasi.Seminggu penuh aku tidak mengetahui kabar Ressa, rasa kangen memang sudah memuncak tapi aku kurang berani bernegosiasi dengan kakakku. Terlalu banyak alasan untuk memberikan handphoneku kembali. Padahal mudah saja dia membeli yang baru. Memang pada dasarnya dia suka melihatku tersiksa.Aku mencoba mencari jalan lain untuk menghubungi Ressa, membuka media sosial dan mengirimkannya pesan pribadi. Belum sempat aku mengetik kata-kata di pesannya, aku membaca "Sendiri lebih baik. " Itulah status yang aku baca di akun Ressa, selain itu status sosial Ressa berub
Selama kelas 3 SMA aku tidak sepenuhnya jomblo atau menghayal tentang Ressa dan Bima saja. Beberapa kali aku sempat mempunyai pacar. Angga, salah satu mahasiswa jurusan Teknik Komputer di salah satu universitas negeri di Bandung. Andi, seorang staff salah satu perusahaan property dan Rimba teman seangkatanku yang berbeda sekolah. Semuanya tidak ada yang berjalan lancar, selalu berakhir sebelum 2 bulan.Sampai setelah kelulusan aku ketemu Indra, salah satu personel band di Bandung. Dia sedikit berlebihan dalam berpacaran, sebenarnya agak risih saat dia memanggilku dengan sebutan bunda. Dan mau tidak mau aku harus terbiasa walaupun aku tidak mau memanggil dia dengan sebutan ayah.Indra 19.15 :"Bun, Indra udah di depan café." Menerima sms itu aku dan Nesha langsung keluar dari acara kompetisi band yang kebetulan adik Nesha ikut didalamnya.Ketika melihat sosok Indra, Nesha langsung menyenggol pinggangku. Indra memang tidak terhitung ganteng, tapi tertolong o
Indra, terima kasih sudah mengajarkanku mengenai suatu hal yang bukan namanya cinta atau sayang. Mungkin bisa disebut ketagihan atau nafsu. Kamu mengajarkan aku tentang kenikmatan sesaat meskipun pada akhirnya aku sadar hubungan yang didasari nafsu itu tidak benar. Terima kasih atas pengorbanan kamu, kamu membelikan makanan dengan uang terakhir kamu karena kamu tahu aku kelaparan, kamu meminjam motor teman kamu meski kena marah hanya untuk mengantar aku. Semua itu manis, namun aku tidak membutuhkan hal yang manis tapi membuat aku terlena. Terima kasih dan sorry karena selama bersama kamu. aku tidak pernah mengenal yang namanya sayangRio, you're my best friend now. Aku tidak tahu apa ini cinta, sayang atau sekedar rasa penebusan dosa. Tapi terima kasih, bersama kamu membuat aku tahu bagaimana rasanya mempertahankan sebuah hubungan, kamu membentuk aku menjadi dewasa untuk mengimbangi sifat kamu yang kekanak-kanakan, kamu mengajarkan aku kesabaran saat kamu memilih bermai
"Siap?" Dia mematikan mesin mobil dan memandang ke arahku dengan pandangan mencurigakan yang belum pasti aku tahu artinya. Sepertinya dia akan menjerumuskanku ke dasar kolam atau mempertemukanku dengan makhluk menyeramkan. Begitulah makna pandangannya saat itu. "Untuk?" Tanyaku sedikit heran dan memandangnya kembali, aku sedikit waspada jika seandainya dia akan memberikanku ke penjual manusia. "Turun dan ketemu temanku." Dia membuka pintu mobil dan turun "Kenapa harus nggak siap, kan kamu yang mau ketemu. Aku cuma sandera yang kamu paksa buat nemenin, yuk.!" Aku pun mengikutinya meskipun setengah ragu. Kita berjalan cukup jauh dari tempat mobil berhenti, melewati jalan setapak yang basah karena embun atau mungkin hujan semalam dan beberapa lahan kosong. Cukup sunyi seperti kebanyakan suasana desa di pagi hari. " Rumahnya yang mana? Jauh banget?" Setelah banyak rumah yang kami lewati, bau tanah serta daun yang semakin menusuk dan suasana sunyi cukup me
Besok tepat usiaku 24 tahun, umur dimana batas waktu mengenai komitmenku bersama Riki. Keyakinanku atas hal itu masih ada, tetapi tidak melebihi keyakinanku pada Tuhan.Jam 11 malam aku baru selesai berkutat dengan kertas dan laporan di kantor karena nasibku menjadi karyawan yang tidak bisa menolak untuk lembur membuatku aku harus rela merayakan ulang tahunku di dalam mobil, di tengah kemacetan dan ditambah aku harus menunggu Pak Toto menjemput selama mobilku masih di bengkel." Teet..Teet." Sebuah mobil Land Rover berhenti tepat di depanku yang sedang berdiri di parkiran. Kaca mobil yang berwarna lumpur itu terbuka dan terlihat lagi sosok itu." Hai nona, ayo masuk!" Katanya dari balik jendela yang terbuka." Nunggu jemputan." Jawabku santai dan lebih sedikit ramah" Nggak akan datang, udah aku suruh jangan datang." Aku mengernyitkan kening dan masuk ke mobilnya ketika dia spontan membukakan pintu mobil." Sengaja jemput? Ada apa nih?" Aku
8 Januari, tepatnya 35 hari sebelum usiaku tepat 24 tahun. Pagi ini rasanya hari termalas untuk pergi ke kantor. Aku bangun setelah 20 menit alarm yang aku setting berhenti berbunyi." Pak, saya pergi dulu ya, titip rumah sama ibu. Kalau ada yang cari saya, nanti kasih nomor telepon atau alamat kantor aja ya. " Itulah pesan rutin setiap pagi untuk supirku Pak Toto saat beliau membukakan gerbang agar mobil yang kukendarai dapat keluar.Sudah cukup lama Pak Toto menjadi supir keluargaku. Dari semenjak ayahku masih sehat bugar dan sampai menghembuskan nafas terakhir beliau tetap setia melayani kami. Kedekatannya dengan ayah sudah melebihi hubungan atasan dan bawahan, maka tidak heran ketika ayah meninggal, Pak Toto menangis meraung-raung dan terus berkata "Paaak, kenapa ndak saya dulu tooh." sampai semua tamu menyangka bahwa Pak Toto adalah kakak ayahku." Siap neng." Jawabnya singkat.Komplek perumahanku cukup ramai oleh orang-orang yang berjalan santai set
Tiga tahun hidupku terus terpaku pada masa lalu. Tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun karena masih berharap pada Ressa, Riki, Rio ataupun Adjie yang akan mengisi hari-hariku dan juga karena aku masih meyakini komitmenku. Sebuah kebodohan yang aku pelihara selama beberapa tahun. Ini terjadi bukan aku tidak laku, ya setidaknya dengan bertambahnya umur aku sudah bisa merawat diri agar tidak terlalu menyedihkan.Aku hanya malas dengan orang baru, terlalu sulit memulai dari awal dan harus beradaptasi lagi dengan pasangan baru. Itu saja.Aku hampir gila karena pekerjaanku setiap hari hanya berkhayal, berimajinasi dan berharap untuk memperbaiki masa lalu. Aku tidak pernah terlalu merasakan apa yang terjadi saat ini, aku menjalani hari-hariku hanya sebatas tubuh kosong yang pikirannya tidak ada disitu.Aku sulit menerima setiap laki-laki yang menawarkan diri menjadi pasanganku dan tidak siap merasa sakit lagi oleh orang baru. Aku masih berpikir mereka hanya oran
Setahun hidupku tak lepas dari mencari tahu mengenai Bima, Rio, Ressa dan terutama tentang Adjie yang sama sekali aku tidak ketahui keadaannya seperti apa. Jika setiap temanku menganggapku gila, biarkan saja!! Karena mereka tidak pernah tahu hal apa yang berbekas dan harus diselesaikan sebelum aku benar-benar tak waras." Bo, kita begadang lagi yuk!! Terdengar suara Riki di seberang telepon. Dia teman untuk insomniaku, menghabiskan setiap malam untuk telepon ngalor-ngidul. Membahas hal kecil sampai hal yang sama sekali tidak penting.Jika diibaratkan penyakit, mungkin cinta itu selayaknya insomnia. Seperti penyakit sederhana namun tak sedikit yang menjadi gila. Ini tidak berlebihan, ini nyata terasa. Terutama ketika khayal menarik pikiran, meski mata sudah berat untuk terbuka. Menyenangkan memang jika kesulitan untuk bermimpi itu ditemani orang yang disayangi, tapi benar merana saat sadar kalau pagi hanya tinggal dua jam lagi dan harus lanjut bekerja tanpa
12.40 Adjie calling…"Hoi apaan?!!" Jawabku sambil bersiap-siap menuju ke kelas."Aku jemput sekarang ya!" Kata Adjie tanpa kompromi"Woi.. woi!! Aku masih ada kuliah bro, lagian aku udah ada janji sama Rio" Teriakku"Bodo amat, setengah jam lagi aku sampai." Adjie langsung menutup telepon dan tidak peduli dengan penolakanku."Kebiasaan banget sih," Aku sedikit kesal dan melempar handphone ke atas meja."Pasti Adjie deh." Jawab teman- temanku secara bersamaan dan hanya aku jawab dengan anggukan."Harus punya keputusan Ya, kamu harus memutuskan perasaan kamu sendiri." Kata salah satu sahabatku Anin sambil menyeruput teh tariknya.Aku 13.00 : "Ay, sorry kayaknya gak jadi ikut main. ada acara mendadak, sorry," Itulah keputusanku sementara ini....…"Bang kamu gila ya, masa bikin aku bolos kuliah cuma gara-gara nemenin kamu maen basket kayak gini." Kataku setengah tersengal saat mendrible bola menghi
Hari ini aku berjanji untuk bertemu Eris, alumni SMA yang sama denganku namun usianya lima tahun lebih tua dariku. Aku berjanji untuk datang ke reuni akbar bersamanya. Tidak ada alasan khusus untukku kenapa harus datang ke reuni akbar itu, aku hanya berharap bisa sedikit mengetahui mengenai keadaan Bima sekarang seperti apa." Kerumah akang dulu ya, ada yang mau di ambil."" Ok"Tanpa menolak aku ikut kerumahnya dan dia mengijinkanku mengikutinya ke dalam kamar. Di siang hari rumahnya tampak sepi, hanya ada dua asisten rumah tangga yang sedang asyik bergosip di dapur. Aku masuk kedalam kamarnya yang sunyi dan terasa dingin. Ruangan yang cukup besar dilapisi wallpaper motif abstrak berwarna biru muda serta ranjang nomor satu yang diselimuti beberapa selimut tebal akan membuat semua pengunjungnya terlelap sangat cepat."Kang. Kok malah tiduran sih, cepat ih, nanti malu kalau telat!" Protesku ketika melihat Eris yang
" Ay, maafin Io ya, kemarin benar-benar diluar rencana." Aku hanya mengangguk dan memainkan rambut Rio yang sedang terbaring di atas kakiku." Kemarin jadi pulangnya gimana?" Tanyanya memandang ke wajahku." Di jemput sama abang." Jawabku tanpa memandang balik ke wajahnya yang polos"Abang kamu baik ya." Pandangan Rio semakin lekat dan tersenyum, entah senyum percaya atau senyum mengerti tentang kebohongan yang aku lakukan. Rio sudah kukenalkan pada Adjie, kujelaskan mengenai hubungan kami yang hanya sekedar teman. Rio sangat menerima baik keberadaan Adjie diantara kami, atau mungkin terpaksa menerima karena Adjie sudah terlebih dahulu mengenalku."Kenapa kok lihatnya gitu? Cemburu?" Kataku menggoda"Io gak cemburu, Hanya terlalu takut kehilangan kamu. Kan sama abang kamu? Iya kan? Masa cemburu" Jawabnya singkat menarik tanganku dan meletakan di pipinya yang sedikit chubby tidak setegas pipi Adjie. Ah, Adjie lagi Adjie lagi..Rio adala