Selama kelas 3 SMA aku tidak sepenuhnya jomblo atau menghayal tentang Ressa dan Bima saja. Beberapa kali aku sempat mempunyai pacar. Angga, salah satu mahasiswa jurusan Teknik Komputer di salah satu universitas negeri di Bandung. Andi, seorang staff salah satu perusahaan property dan Rimba teman seangkatanku yang berbeda sekolah. Semuanya tidak ada yang berjalan lancar, selalu berakhir sebelum 2 bulan.
Sampai setelah kelulusan aku ketemu Indra, salah satu personel band di Bandung. Dia sedikit berlebihan dalam berpacaran, sebenarnya agak risih saat dia memanggilku dengan sebutan bunda. Dan mau tidak mau aku harus terbiasa walaupun aku tidak mau memanggil dia dengan sebutan ayah.
Indra 19.15 :"Bun, Indra udah di depan café." Menerima sms itu aku dan Nesha langsung keluar dari acara kompetisi band yang kebetulan adik Nesha ikut didalamnya.
Ketika melihat sosok Indra, Nesha langsung menyenggol pinggangku. Indra memang tidak terhitung ganteng, tapi tertolong o
Rio lebih manis, tidak hanya nafsu yang dia perlihatkan ketika aku berada didekatnya. Itulah kenapa aku rela mengorbankan hubunganku dengan Indra. Sebagai permulaanku menjalin hubungan yang lebih sehat."Dra, maafin aku. Aku tidak bisa terus sama kamu, aku merasa hubunganku gak tepat aja kalau sama kamu. Makasih untuk semuanya." Itu kalimat terakhir yang kukatakan pada Indra. Aku tidak merasa bersalah, karena memang aku tidak berselingkuh. Ini pertama kalinya aku merasa ringan ketika berpisah dengan pasanganku. Tidak ada rasa sedih ataupun penyesalan, aku malah merasa lega.Setelah itu aku dan Rio mendaftar ke dua universitas negeri yang sama, aku masuk ke salah satunya dan Rio sebaliknya. Setelah pengumuman Rio menghilang tanpa kabar dan aku tidak bisa menuntut mengenai hal itu karena belum ada kepastian ataupun peresmian tentang hubungan kita.Adjie 16.23 : "Ndut, kekosan dong. Mau maen!!"Adjie, mahasiswa jurusan teknik salah satu universitas &nb
" Ay, maafin Io ya, kemarin benar-benar diluar rencana." Aku hanya mengangguk dan memainkan rambut Rio yang sedang terbaring di atas kakiku." Kemarin jadi pulangnya gimana?" Tanyanya memandang ke wajahku." Di jemput sama abang." Jawabku tanpa memandang balik ke wajahnya yang polos"Abang kamu baik ya." Pandangan Rio semakin lekat dan tersenyum, entah senyum percaya atau senyum mengerti tentang kebohongan yang aku lakukan. Rio sudah kukenalkan pada Adjie, kujelaskan mengenai hubungan kami yang hanya sekedar teman. Rio sangat menerima baik keberadaan Adjie diantara kami, atau mungkin terpaksa menerima karena Adjie sudah terlebih dahulu mengenalku."Kenapa kok lihatnya gitu? Cemburu?" Kataku menggoda"Io gak cemburu, Hanya terlalu takut kehilangan kamu. Kan sama abang kamu? Iya kan? Masa cemburu" Jawabnya singkat menarik tanganku dan meletakan di pipinya yang sedikit chubby tidak setegas pipi Adjie. Ah, Adjie lagi Adjie lagi..Rio adala
Hari ini aku berjanji untuk bertemu Eris, alumni SMA yang sama denganku namun usianya lima tahun lebih tua dariku. Aku berjanji untuk datang ke reuni akbar bersamanya. Tidak ada alasan khusus untukku kenapa harus datang ke reuni akbar itu, aku hanya berharap bisa sedikit mengetahui mengenai keadaan Bima sekarang seperti apa." Kerumah akang dulu ya, ada yang mau di ambil."" Ok"Tanpa menolak aku ikut kerumahnya dan dia mengijinkanku mengikutinya ke dalam kamar. Di siang hari rumahnya tampak sepi, hanya ada dua asisten rumah tangga yang sedang asyik bergosip di dapur. Aku masuk kedalam kamarnya yang sunyi dan terasa dingin. Ruangan yang cukup besar dilapisi wallpaper motif abstrak berwarna biru muda serta ranjang nomor satu yang diselimuti beberapa selimut tebal akan membuat semua pengunjungnya terlelap sangat cepat."Kang. Kok malah tiduran sih, cepat ih, nanti malu kalau telat!" Protesku ketika melihat Eris yang
12.40 Adjie calling…"Hoi apaan?!!" Jawabku sambil bersiap-siap menuju ke kelas."Aku jemput sekarang ya!" Kata Adjie tanpa kompromi"Woi.. woi!! Aku masih ada kuliah bro, lagian aku udah ada janji sama Rio" Teriakku"Bodo amat, setengah jam lagi aku sampai." Adjie langsung menutup telepon dan tidak peduli dengan penolakanku."Kebiasaan banget sih," Aku sedikit kesal dan melempar handphone ke atas meja."Pasti Adjie deh." Jawab teman- temanku secara bersamaan dan hanya aku jawab dengan anggukan."Harus punya keputusan Ya, kamu harus memutuskan perasaan kamu sendiri." Kata salah satu sahabatku Anin sambil menyeruput teh tariknya.Aku 13.00 : "Ay, sorry kayaknya gak jadi ikut main. ada acara mendadak, sorry," Itulah keputusanku sementara ini....…"Bang kamu gila ya, masa bikin aku bolos kuliah cuma gara-gara nemenin kamu maen basket kayak gini." Kataku setengah tersengal saat mendrible bola menghi
Setahun hidupku tak lepas dari mencari tahu mengenai Bima, Rio, Ressa dan terutama tentang Adjie yang sama sekali aku tidak ketahui keadaannya seperti apa. Jika setiap temanku menganggapku gila, biarkan saja!! Karena mereka tidak pernah tahu hal apa yang berbekas dan harus diselesaikan sebelum aku benar-benar tak waras." Bo, kita begadang lagi yuk!! Terdengar suara Riki di seberang telepon. Dia teman untuk insomniaku, menghabiskan setiap malam untuk telepon ngalor-ngidul. Membahas hal kecil sampai hal yang sama sekali tidak penting.Jika diibaratkan penyakit, mungkin cinta itu selayaknya insomnia. Seperti penyakit sederhana namun tak sedikit yang menjadi gila. Ini tidak berlebihan, ini nyata terasa. Terutama ketika khayal menarik pikiran, meski mata sudah berat untuk terbuka. Menyenangkan memang jika kesulitan untuk bermimpi itu ditemani orang yang disayangi, tapi benar merana saat sadar kalau pagi hanya tinggal dua jam lagi dan harus lanjut bekerja tanpa
Tiga tahun hidupku terus terpaku pada masa lalu. Tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun karena masih berharap pada Ressa, Riki, Rio ataupun Adjie yang akan mengisi hari-hariku dan juga karena aku masih meyakini komitmenku. Sebuah kebodohan yang aku pelihara selama beberapa tahun. Ini terjadi bukan aku tidak laku, ya setidaknya dengan bertambahnya umur aku sudah bisa merawat diri agar tidak terlalu menyedihkan.Aku hanya malas dengan orang baru, terlalu sulit memulai dari awal dan harus beradaptasi lagi dengan pasangan baru. Itu saja.Aku hampir gila karena pekerjaanku setiap hari hanya berkhayal, berimajinasi dan berharap untuk memperbaiki masa lalu. Aku tidak pernah terlalu merasakan apa yang terjadi saat ini, aku menjalani hari-hariku hanya sebatas tubuh kosong yang pikirannya tidak ada disitu.Aku sulit menerima setiap laki-laki yang menawarkan diri menjadi pasanganku dan tidak siap merasa sakit lagi oleh orang baru. Aku masih berpikir mereka hanya oran
8 Januari, tepatnya 35 hari sebelum usiaku tepat 24 tahun. Pagi ini rasanya hari termalas untuk pergi ke kantor. Aku bangun setelah 20 menit alarm yang aku setting berhenti berbunyi." Pak, saya pergi dulu ya, titip rumah sama ibu. Kalau ada yang cari saya, nanti kasih nomor telepon atau alamat kantor aja ya. " Itulah pesan rutin setiap pagi untuk supirku Pak Toto saat beliau membukakan gerbang agar mobil yang kukendarai dapat keluar.Sudah cukup lama Pak Toto menjadi supir keluargaku. Dari semenjak ayahku masih sehat bugar dan sampai menghembuskan nafas terakhir beliau tetap setia melayani kami. Kedekatannya dengan ayah sudah melebihi hubungan atasan dan bawahan, maka tidak heran ketika ayah meninggal, Pak Toto menangis meraung-raung dan terus berkata "Paaak, kenapa ndak saya dulu tooh." sampai semua tamu menyangka bahwa Pak Toto adalah kakak ayahku." Siap neng." Jawabnya singkat.Komplek perumahanku cukup ramai oleh orang-orang yang berjalan santai set
Besok tepat usiaku 24 tahun, umur dimana batas waktu mengenai komitmenku bersama Riki. Keyakinanku atas hal itu masih ada, tetapi tidak melebihi keyakinanku pada Tuhan.Jam 11 malam aku baru selesai berkutat dengan kertas dan laporan di kantor karena nasibku menjadi karyawan yang tidak bisa menolak untuk lembur membuatku aku harus rela merayakan ulang tahunku di dalam mobil, di tengah kemacetan dan ditambah aku harus menunggu Pak Toto menjemput selama mobilku masih di bengkel." Teet..Teet." Sebuah mobil Land Rover berhenti tepat di depanku yang sedang berdiri di parkiran. Kaca mobil yang berwarna lumpur itu terbuka dan terlihat lagi sosok itu." Hai nona, ayo masuk!" Katanya dari balik jendela yang terbuka." Nunggu jemputan." Jawabku santai dan lebih sedikit ramah" Nggak akan datang, udah aku suruh jangan datang." Aku mengernyitkan kening dan masuk ke mobilnya ketika dia spontan membukakan pintu mobil." Sengaja jemput? Ada apa nih?" Aku
Indra, terima kasih sudah mengajarkanku mengenai suatu hal yang bukan namanya cinta atau sayang. Mungkin bisa disebut ketagihan atau nafsu. Kamu mengajarkan aku tentang kenikmatan sesaat meskipun pada akhirnya aku sadar hubungan yang didasari nafsu itu tidak benar. Terima kasih atas pengorbanan kamu, kamu membelikan makanan dengan uang terakhir kamu karena kamu tahu aku kelaparan, kamu meminjam motor teman kamu meski kena marah hanya untuk mengantar aku. Semua itu manis, namun aku tidak membutuhkan hal yang manis tapi membuat aku terlena. Terima kasih dan sorry karena selama bersama kamu. aku tidak pernah mengenal yang namanya sayangRio, you're my best friend now. Aku tidak tahu apa ini cinta, sayang atau sekedar rasa penebusan dosa. Tapi terima kasih, bersama kamu membuat aku tahu bagaimana rasanya mempertahankan sebuah hubungan, kamu membentuk aku menjadi dewasa untuk mengimbangi sifat kamu yang kekanak-kanakan, kamu mengajarkan aku kesabaran saat kamu memilih bermai
"Siap?" Dia mematikan mesin mobil dan memandang ke arahku dengan pandangan mencurigakan yang belum pasti aku tahu artinya. Sepertinya dia akan menjerumuskanku ke dasar kolam atau mempertemukanku dengan makhluk menyeramkan. Begitulah makna pandangannya saat itu. "Untuk?" Tanyaku sedikit heran dan memandangnya kembali, aku sedikit waspada jika seandainya dia akan memberikanku ke penjual manusia. "Turun dan ketemu temanku." Dia membuka pintu mobil dan turun "Kenapa harus nggak siap, kan kamu yang mau ketemu. Aku cuma sandera yang kamu paksa buat nemenin, yuk.!" Aku pun mengikutinya meskipun setengah ragu. Kita berjalan cukup jauh dari tempat mobil berhenti, melewati jalan setapak yang basah karena embun atau mungkin hujan semalam dan beberapa lahan kosong. Cukup sunyi seperti kebanyakan suasana desa di pagi hari. " Rumahnya yang mana? Jauh banget?" Setelah banyak rumah yang kami lewati, bau tanah serta daun yang semakin menusuk dan suasana sunyi cukup me
Besok tepat usiaku 24 tahun, umur dimana batas waktu mengenai komitmenku bersama Riki. Keyakinanku atas hal itu masih ada, tetapi tidak melebihi keyakinanku pada Tuhan.Jam 11 malam aku baru selesai berkutat dengan kertas dan laporan di kantor karena nasibku menjadi karyawan yang tidak bisa menolak untuk lembur membuatku aku harus rela merayakan ulang tahunku di dalam mobil, di tengah kemacetan dan ditambah aku harus menunggu Pak Toto menjemput selama mobilku masih di bengkel." Teet..Teet." Sebuah mobil Land Rover berhenti tepat di depanku yang sedang berdiri di parkiran. Kaca mobil yang berwarna lumpur itu terbuka dan terlihat lagi sosok itu." Hai nona, ayo masuk!" Katanya dari balik jendela yang terbuka." Nunggu jemputan." Jawabku santai dan lebih sedikit ramah" Nggak akan datang, udah aku suruh jangan datang." Aku mengernyitkan kening dan masuk ke mobilnya ketika dia spontan membukakan pintu mobil." Sengaja jemput? Ada apa nih?" Aku
8 Januari, tepatnya 35 hari sebelum usiaku tepat 24 tahun. Pagi ini rasanya hari termalas untuk pergi ke kantor. Aku bangun setelah 20 menit alarm yang aku setting berhenti berbunyi." Pak, saya pergi dulu ya, titip rumah sama ibu. Kalau ada yang cari saya, nanti kasih nomor telepon atau alamat kantor aja ya. " Itulah pesan rutin setiap pagi untuk supirku Pak Toto saat beliau membukakan gerbang agar mobil yang kukendarai dapat keluar.Sudah cukup lama Pak Toto menjadi supir keluargaku. Dari semenjak ayahku masih sehat bugar dan sampai menghembuskan nafas terakhir beliau tetap setia melayani kami. Kedekatannya dengan ayah sudah melebihi hubungan atasan dan bawahan, maka tidak heran ketika ayah meninggal, Pak Toto menangis meraung-raung dan terus berkata "Paaak, kenapa ndak saya dulu tooh." sampai semua tamu menyangka bahwa Pak Toto adalah kakak ayahku." Siap neng." Jawabnya singkat.Komplek perumahanku cukup ramai oleh orang-orang yang berjalan santai set
Tiga tahun hidupku terus terpaku pada masa lalu. Tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun karena masih berharap pada Ressa, Riki, Rio ataupun Adjie yang akan mengisi hari-hariku dan juga karena aku masih meyakini komitmenku. Sebuah kebodohan yang aku pelihara selama beberapa tahun. Ini terjadi bukan aku tidak laku, ya setidaknya dengan bertambahnya umur aku sudah bisa merawat diri agar tidak terlalu menyedihkan.Aku hanya malas dengan orang baru, terlalu sulit memulai dari awal dan harus beradaptasi lagi dengan pasangan baru. Itu saja.Aku hampir gila karena pekerjaanku setiap hari hanya berkhayal, berimajinasi dan berharap untuk memperbaiki masa lalu. Aku tidak pernah terlalu merasakan apa yang terjadi saat ini, aku menjalani hari-hariku hanya sebatas tubuh kosong yang pikirannya tidak ada disitu.Aku sulit menerima setiap laki-laki yang menawarkan diri menjadi pasanganku dan tidak siap merasa sakit lagi oleh orang baru. Aku masih berpikir mereka hanya oran
Setahun hidupku tak lepas dari mencari tahu mengenai Bima, Rio, Ressa dan terutama tentang Adjie yang sama sekali aku tidak ketahui keadaannya seperti apa. Jika setiap temanku menganggapku gila, biarkan saja!! Karena mereka tidak pernah tahu hal apa yang berbekas dan harus diselesaikan sebelum aku benar-benar tak waras." Bo, kita begadang lagi yuk!! Terdengar suara Riki di seberang telepon. Dia teman untuk insomniaku, menghabiskan setiap malam untuk telepon ngalor-ngidul. Membahas hal kecil sampai hal yang sama sekali tidak penting.Jika diibaratkan penyakit, mungkin cinta itu selayaknya insomnia. Seperti penyakit sederhana namun tak sedikit yang menjadi gila. Ini tidak berlebihan, ini nyata terasa. Terutama ketika khayal menarik pikiran, meski mata sudah berat untuk terbuka. Menyenangkan memang jika kesulitan untuk bermimpi itu ditemani orang yang disayangi, tapi benar merana saat sadar kalau pagi hanya tinggal dua jam lagi dan harus lanjut bekerja tanpa
12.40 Adjie calling…"Hoi apaan?!!" Jawabku sambil bersiap-siap menuju ke kelas."Aku jemput sekarang ya!" Kata Adjie tanpa kompromi"Woi.. woi!! Aku masih ada kuliah bro, lagian aku udah ada janji sama Rio" Teriakku"Bodo amat, setengah jam lagi aku sampai." Adjie langsung menutup telepon dan tidak peduli dengan penolakanku."Kebiasaan banget sih," Aku sedikit kesal dan melempar handphone ke atas meja."Pasti Adjie deh." Jawab teman- temanku secara bersamaan dan hanya aku jawab dengan anggukan."Harus punya keputusan Ya, kamu harus memutuskan perasaan kamu sendiri." Kata salah satu sahabatku Anin sambil menyeruput teh tariknya.Aku 13.00 : "Ay, sorry kayaknya gak jadi ikut main. ada acara mendadak, sorry," Itulah keputusanku sementara ini....…"Bang kamu gila ya, masa bikin aku bolos kuliah cuma gara-gara nemenin kamu maen basket kayak gini." Kataku setengah tersengal saat mendrible bola menghi
Hari ini aku berjanji untuk bertemu Eris, alumni SMA yang sama denganku namun usianya lima tahun lebih tua dariku. Aku berjanji untuk datang ke reuni akbar bersamanya. Tidak ada alasan khusus untukku kenapa harus datang ke reuni akbar itu, aku hanya berharap bisa sedikit mengetahui mengenai keadaan Bima sekarang seperti apa." Kerumah akang dulu ya, ada yang mau di ambil."" Ok"Tanpa menolak aku ikut kerumahnya dan dia mengijinkanku mengikutinya ke dalam kamar. Di siang hari rumahnya tampak sepi, hanya ada dua asisten rumah tangga yang sedang asyik bergosip di dapur. Aku masuk kedalam kamarnya yang sunyi dan terasa dingin. Ruangan yang cukup besar dilapisi wallpaper motif abstrak berwarna biru muda serta ranjang nomor satu yang diselimuti beberapa selimut tebal akan membuat semua pengunjungnya terlelap sangat cepat."Kang. Kok malah tiduran sih, cepat ih, nanti malu kalau telat!" Protesku ketika melihat Eris yang
" Ay, maafin Io ya, kemarin benar-benar diluar rencana." Aku hanya mengangguk dan memainkan rambut Rio yang sedang terbaring di atas kakiku." Kemarin jadi pulangnya gimana?" Tanyanya memandang ke wajahku." Di jemput sama abang." Jawabku tanpa memandang balik ke wajahnya yang polos"Abang kamu baik ya." Pandangan Rio semakin lekat dan tersenyum, entah senyum percaya atau senyum mengerti tentang kebohongan yang aku lakukan. Rio sudah kukenalkan pada Adjie, kujelaskan mengenai hubungan kami yang hanya sekedar teman. Rio sangat menerima baik keberadaan Adjie diantara kami, atau mungkin terpaksa menerima karena Adjie sudah terlebih dahulu mengenalku."Kenapa kok lihatnya gitu? Cemburu?" Kataku menggoda"Io gak cemburu, Hanya terlalu takut kehilangan kamu. Kan sama abang kamu? Iya kan? Masa cemburu" Jawabnya singkat menarik tanganku dan meletakan di pipinya yang sedikit chubby tidak setegas pipi Adjie. Ah, Adjie lagi Adjie lagi..Rio adala