“Persiapkan apa yang perlu dipersiapkan. Kita butuh melakukan Penjemputan Jiwa secepatnya.”
“Baik, sir.”
Linda menatap kepergian sang witch yang menjauh dan masuk ke dalam lift itu. Pandangannya beralih pada Rokan Allegro. Sebuah pemikiran mendadak terlintas di benaknya.
“Sir, kau bilang cuma para witch yang bisa menggunakan Pemindah Raga,” Linda menyatakan.
Rokan Allegro mengerutkan kening. “Lalu?”
“Bagaimana mungkin witch itu dan Barbara bisa sampai ke mari secepat ini? Kalau mereka berhasil menyelamatkan Barbara sebelum tengah malam dan tiba di sini pukul lima, bukankah itu waktu yang dibutuhkan untuk para witch saat mereka menggunakan Pemindah Raga?”
Rokan Allegro mengambil langkah ke depan, berhenti di pintu Ruang Penyembuhan dan memandang Barbara yang terbaring lemah dari balik kaca. “Barbara adalah jenis immortal lain selain witch yang bisa menggunakan Pemindah Raga.&rd
Linda dan Aryadi berdiri dengan tegang, tak terkecuali Rokan Allegro dan yang lain. Ketiga belas witch hanya berdiri kaku mengelilingi peti mati terbuka yang di dalamnya terbaring tubuh Barbara. Namun, bibir mereka tampak berkomat-kamit tanpa mengeluarkan suara. Kedua tangan para witch itu saling terkait di depan, seakan sedang berdiri santai dan hanya menikmati dinginnya gua yang mereka masuki.Linda mulai tak sabar. Keinginannya untuk menginterupsi begitu besar, tapi ia berusaha untuk menahannya. Seseorang menyentuh bahunya, Linda menoleh dan mendapati Rokan Allegro yang mengangguk pelan, membantunya menguatkan hati untuk bersabar.Para witch itu tampak bergerak setelah kira-kira tiga puluh menit atau lebih. Mereka mulai berjalan perlahan mengitari peti mati seraya mengulurkan tangan ke arah Barbara. Mereka mulai bergumam seirama dengan suara rendah, gema yang d
Seseorang mengejarku.Aku berlari tanpa berhenti hingga seperti orang yang kehabisan napas. Aku tak tahu siapa yang tengah mengejarku, tapi aku jelas merasa ketakutan. Ada perasaan bahwa jika aku sampai tertangkap, maka hidupku akan berakhir dalam cara yang menyedihkan.
Aku tersentak membuka mata dengan keringat dingin membasahi kening. Napasku masih terengah-engah, namun tak ada wajah hancur itu lagi di hadapanku. Langit juga tidak gelap, melainkan terang… putih seperti atap… aku menoleh pelan, baru menyadari bahwa aku tidak lagi berada di hutan gelap itu.Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diri, mencoba meyakinkan diri bahwa tempat terang ini adalah baik untukku, tempat yang aman bagiku. Perlahan-la
Seandainya kisah hidupku dijadikan sebagai novel picisan, kurasa para pembaca akan menjadi cepat bosan. Terlalu banyak narasi yang memenuhi naskah, terlalu sedikit informasi yang diutarakan dalam dialog. Hidupku di bangsal ini tampak seperti hidup seorang pesakitan, namun dalam versi yang sedikit lebih menyenangkan.Aku mencoba keluar dari bangsal keparat ini, tetapi entah bagaimana selalu bertemu dengan orang lain, entah itu perawat, dokter atau orang-
Ya, aku harus pergi menjauh dari mereka. Namun, masalahnya aku berada tepat di antara mereka semua. Bagaimana aku akan melarikan diri? Menggunakan alasan ingin pergi ke toilet pun pasti mereka akan segera curiga padaku, apalagi aku lari begitu saja. Bukannya aku tak mau berlari, tapi keyakinanku bahwa mereka bisa mengejarku dengan mudah begitu kuat di pikiran. Aku yakin mereka bisa menangkapku sebelum aku mampu berlari cukup jauh. Apalagi aku juga asing dengan tempat yang disebut dengan INDICENT ini. Apakah aku seharusnya memang sudah tahu tentang tempat ini?
Semua orang yang ada di ruangan itu membeku saat melihat keadaan Barbara yang masih dalam pengaruh sihir para witch. Gadis itu mendadak membelalak kosong dan bola matanya berubah abu-abu seperti orang buta. Mulutnya setengah terbuka, lalu beberapa saat kemudian tampak tersungging ke atas seperti sedang tersenyum dengan bibir terbuka. Pemandangan itu tampak menakutkan karena Barbara seperti sedang kerasukan atau semacamnya.Adinata mengatupkan rahangnya
Linda menangis di ujung ruangan bangsal penjara itu, sementara Aryadi hanya bisa diam di ujung yang lain. Mereka saling diam, berdiri dan berjalan mondar-mandir tak berdaya selama lima jam terakhir. Linda berkali-kali mencoba mendobrak pintu baja bangsal itu, tapi ia tidak berhasil. Aryadi hanya menggumamkan sesuatu tentang ruangan ini dilapisi baja dan sihir yang kuat, tapi Linda menatapnya dengan tajam sehingga Aryadi tak lagi membuka suara.Aryadi sa
Barbara meninggalkan mereka berdua di bangsal penjara itu dalam keadaan tidak berdaya dan sekarat. Linda tergeletak lemah di lantai dengan darah hitam mengalir dari leher dan perutnya yang robek besar. Kulitnya begitu pucat dan rasa dingin terasa seperti akan membunuhnya. Wanita vampir itu bernapas dengan kewalahan, rasa sakit hampir membuatnya menjerit, tapi suaranya entah bagaimana seolah tenggelam ke dasar tenggorokan.Iblis itu telah mengendalikanny
Saat Hugo meninggalkan aku sendiri di gua, aku kembali berbaring di ranjang batu dengan matras tipis dan selimut apak itu. Mataku nyalang menatap langit-langit gua dengan pikiran kacau dan tak menentu.Pikiran dan memoriku terasa sejernih kristal, mulai dari masa kecil hingga masa kini. Kurang dari sebulan, aku telah menjadi seseorang yang sama sekali berbeda dengan aku yang sebelumnya: dingin, kejam, tak berperasaan, jahat. Dalam kurun waktu itu pula aku telah membunuh seseorang yang sepertinya sangat aku sayangi sebelumnya: ibuku.Mataku mengerjap-ngerjap. Ada tirai basah yang menutupi mataku, mengaburkan pandanganku untuk beberapa saat. Tenggorokanku tercekat, seakan aku sedang menahan tangis yang jika dikeluarkan akan mampu membuatku seperti anak kecil yang meraung-raung. Namun, ada satu perasaan lain yang menahan semua perasaanku itu.Ketidakpedulian.Aku sedih, terpukul, terkejut akan fakta bahwa dulunya aku hanyalah gadis biasa yang tidak akan mamp
Aku akhirnya terbangun.Aku megap-megap menghirup udara dan tersentak hingga tubuhku setengah bangkit dari tempatku terbaring. Aku terengah-engah, menjatuhkan diri lagi di atas bantal dan memejamkan mata untuk sesaat. Kepalaku begitu pusing, seperti berputar-putar.Aku mulai merasa sudah gila.Semua kilas balik yang kualami tadi benar-benar menguras kewarasanku. Kenapa aku harus mengalami pengalaman orang lain? Tidak hanya sekadar menyaksikan kenangan seperti sebelumnya, namun aku benar-benar mengalaminya; setiap pikiran dan perbuatan mereka, setiap detail yang seharusnya tidak aku tahu.Kenapa?Semua ini membawaku pada sebuah pemikiran yang segera saja kuenyahkan jauh-jauh. Aku tak perlu memikirkan itu lagi jika itu hanya akan membuat otakku menjadi sakit.Aku membuka mata dan mengawasi atap ruangan yang tengah kutiduri. Atap itu seperti bukan atap rumah, tapi … aku terbangun dengan mendadak dan pandanganku seketika menggelap. Aku me
Aku merasa takut karena aku tampaknya mulai terbiasa dengan sensasi tarik-menarik visi ini. Sampai kapan ini akan berlanjut?_________________________Gadis itu menguap. Siapa yang tidak akan bosan jika kau duduk berjam-jam di dalam mobil tanpa kegiatan yang berarti, seperti tidur, misalnya? Ia sudah melempar buku fiksi kesukaannya ke dalam tas, setelah hampir satu jam memelototi benda itu dengan antusiasme yang makin lama makin menghilang. Ia tidak tahu kenapa kemampuannya dalam menewaskan diri di mana dan kapan pun tiba-tiba meluruh. Di saat-saat seperti inilah kejengkelan nyaris membuatnya frustasi; nyaris. Seberapa jauh sebenarnya jarak yang ditempuh untuk mencapai sekolah asrama sialan itu? Satu tahun, mungkin.Ini benar-benar menyebalkan!Aria melirik lelaki berusia empat puluhan tahun yang duduk di balik kemudi dengan sinis. Ia yakin pantat Pak Baga sudah hampir melepuh. Aria sendiri sudah berganti pose duduk setidaknya seju
Pikiranku terbang ke suatu tempat sementara kegelapan itu masih mencoba menggerayangiku. Aku ingin menghentikannya, tapi aku tidak bisa. Mendadak sebuah visi muncul di benakku.Kukira aku sedang tertidur, tapi ternyata tidak. Aku terbangun. Aku tidak tahu apakah aku kini sedang bermimpi, masih di dalam halusinasi akibat perbuatan Reksa, atau bahkan sudah sadar dan entah bagaimana menjadi gila.Aku merasakan tubuhku terbaring di atas tempat tidur. Terbaring … begitu saja. Mataku bergerak menatap dinding ruangan yang tampaknya terbuat dari papan.Aku merasakan sedikit kepanikan karena aku tak bisa menggerakkan tubuhku sama sekali. Kucoba untuk bernapas dengan hembusan teratur dan memejamkan mata; berkata pada diri sendiri bahwa ini bukanlah apa-apa, bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.Namun, mendadak detak jantungku meningkat, bagaikan palu yang bertalu-talu, memukul paku yang terlalu bebal untuk menembus sebuah papan. Perasaan ini bukan perasa
Aku tanpa sadar telah mundur beberapa langkah saat Reksa si iblis berubah menjadi dirinya yang sebenarnya. Udara panas bagaikan memenuhi kamar dan membuat napasku menjadi sesak. Namun, aku bisa menahan rasa panas itu, meski tetap saja aku kewalahan untuk menarik oksigen dari hidungku.Sosok iblis itu berwarna merah kehitaman, secara harfiah menyala-nyala bagaikan jilatan api. Kedua matanya berbeda warna; yang satu hitam dan yang lain merah. Yang membuatku cukup terkejut adalah kepala dan tinggi tubuhnya.Iblis dalam bayanganku adalah sosok serba merah atau serba berapi dengan kepala plontos dan dua tanduk kecil, serta bertubuh besar dan sangat tinggi. Namun, iblis di depanku ini tidak botak, melainkan berambut gondrong seperti rambut genderuwo pada umumnya. Meskipun ia masih sesuai bayanganku, yaitu menyala-nyala, tapi ia tidak sangat tinggi atau sangat besar. Tinggi dan besar tubuh iblis itu kurang lebih sama saja seperti para pemain basket.Reksa si iblis menc
Aku tak tahu apakah aku pernah mengharapkan akan mengalami semua kejadian yang melibatkan makhluk-makhluk mitos seperti vampire dan manusia serigala, tapi yang pasti aku merasa menyesal sudah mengenal dunia ini.Aku bahkan tidak mengenal diriku sendiri. Siapa aku, di mana aku seharusnya berada, apa aku; pertanyaan-pertanyaan itu terdengar sangat normal dan mudah, tapi hidupku yang kacau menyulitkan segalanya, bahkan yang paling sepele sekali pun.Aku mencoba tetap sadar dengan memikirkan hal-hal semacam ini di kepalaku, sementara Hugo ….Beberapa dari kalian pasti akan mengira bahwa gerakan Hugo pasti akan sangat terbatas sekali mengingat betapa parah kondisi lengannya. Namun, nyatanya justru sebaliknya.Hugo melesat begitu cepat, tepat setelah aku menggertaknya karena dia berani mengancamku.Ancamannya tidak main-main dan aku sebetulnya tidak terkejut dengan itu, tapi kecepatan gerakannya adalah hal lain. Sesaat sebelumnya ia tampak begitu
“Katakan padaku bahwa memori-memori yang kudapat saat itu tidak benar, Hugo!” aku membentak dengan suara dalam dan bergema; suara wujud serigalaku.Hugo mendengkus seraya mengangkat kedua tangannya, lalu mengangkat bahu. “Kau mau aku mengatakan apa, Barbara? Bahwa itu semua tidak benar dan kau seharusnya tidak mempercayai bocah vampire itu?” ia menyeringai. “Karena aku punya keyakinan yang kuat bahwa kau mulai mempercayai entah apa yang sudah kau alami di dalam bangsal itu.”Emosiku tiba-tiba memuncak dan aku bergerak begitu cepat, lebih cepat dari kedipan mata, menerjang lelaki dengan bekas luka di pipi itu hingga kami menabrak dinding batu kamarku. Kupikir aku berada di atas angin, namun nyatanya Hugo mampu menyerangku balik dengan melemparkan badanku hingga aku terhempas ke atas tempat tidur.Napasku tersentak keluar dengan tajam. Aku mendengar suara kayu dari tempat tidur yang memprotes karena berat tubuhku yang jatuh memb
Aku kembali ke kamar setelah kepergian Saga … siapa pun dia. Aku memeluk diriku sendiri dengan sikap seperti anak kecil yang kehilangan ibunya, atau mungkin akan lebih tepat: kehilangan kewarasan. Aku memegangi kepalaku, lalu berbaring miring, meringkuk seperti anak kecil.Aku mengingat semuanya, tepat setelah kenangan aneh menarikku dari kenyataan saat … setelah aku melukai bahu Saga. Aku mengingat bagaimana Hugo membawaku secara paksa dengan memanfaatkan seorang cowok bernama Arga. Aku ingat bagaimana lelaki dengan bekas luka itu mengancam Arga dengan pistol hingga aku terpaksa ikut dengannya.Aku juga ingat tentang … aku menutup mata, mencoba mengatakan satu kata itu, terasa sangat berat meskipun hanya dalam hati.Dad.Hanya ayah angkat, tapi aku teringat betapa aku menyayangi dia. Lalu, Mom.Aku menangis, benar-benar menangis. Aku mengepalkan kedua tanganku erat-erat hingga kuku-kukuku yang tak terlalu panjang menyakiti tel
Kesakten Vampir Segawon.Kata-kata itu bagaikan memenuhi pandangan Hugo yang tengah membuka buku tua itu, membacanya dengan ketidaksabaran yang semakin melunjak. Ketiga kata itu jika diartikan secara harfiah berarti Kekuatan Sakti Vampir Serigala, atau kekuatan sakti wolvire. Isinya tentang apa saja yang bisa dilakukan oleh seorang wolvire, dalam hal ini tentu saja wolvire biasa.Emosi Hugo semakin menjadi-jadi saat pada salah satu bagian di buku itu menjelaskan bahwa gigitan wolvire yang dalam bentuk serigala kepada vampir lebih mematikan daripada gigitan atau cakaran wolf-shifter biasanya. Begitu pula sebaliknya, jika wolvire sedang dalam bentuk vampir, maka gigitannya pada wolf-shifter juga akan lebih mematikan dari vampire biasa.Namun, itu tidak berlaku pada wolvire bernama Barbara.Hugo membanting buku tentang wolvire itu ke lantai dengan kuat, merasa sangat marah pada dirinya sendiri dan juga pada gadis istimewa itu. Reksa, sang raja iblis