"Lepasin aku, Ga, aku harus ngasih pelajaran sama gembel gak tahu diri ini." Pinta wanita yang tangannya terus ditahan Arga, lelaki yang tinggal di gedung apartemen sama bahkan pintu rumah kami berhadapan. "That's just a fucking damn card, Nabila! Kamu bisa meminta ayahmu menonaktifkan akses agar siapapun tak bisa menggunakannya.""Kamu tahu ini bukan hanya masalah aktif atau tidak aktifnya kartuku, kan, Ga? Ini masalah kepercayaan seorang customer untuk hotel tempat ia tinggal. Bagaimana aku bisa merasa tenang jika pegawai yang seharusnya memberi pelayanan justru mencuri dariku!"Muray dan asistennya hanya bisa saling pandang, mereka tentu tidak paham bahasa yang dilontarkan dua orang di hadapanku. Meski rasanya mereka bisa menyimpulkan garis besarnya. "And you, a fucking thief!" tunjuk wanita bernama Nabila padaku yang masih diam tak percaya siapa lelaki yang ada di hadapanku ini, "stop staring at my man and give me back my card!"'Kartu? Kartu apa yang ia maksud?' "Don't pretend
"Nyonya?"Meski tidak ingin, mataku tergenang air. Air yang akan beku jika aku tak menghapusnya."Apa saya salah berucap?" Tidak, ia tidak salah berucap. Aku hanya disadarkan dari kehidupan menyedihkan yang kupilih untuk kujalani. Dan kini, aku kembali berusaha membohongi diri.Berusaha sekeras apapun, aku tahu, aku sadar, aku paham! Aku tak akan bisa menjauhkan pikiran juga kenangan dari kehidupan yang kutinggalkan lima tahun lalu.Aku pergi tanpa menyelesaikan apapun, aku juga tak kembali untuk menyelesaikan apapun.Saat itu, lima tahun lalu. Jika aku memaksa tinggal, aku tahu aku tak akan bisa menjalani kehidupan yang kupikir bisa kujalani setelah tahu suamiku ternyata berselingkuh dengan wanita yang benar-benar ia cintai.Kehidupan pernikahan yang kupikir akan baik-baik saja, meski ada penghianatan di dalamnya bahkan di dasari dengan rasa kasihan ... adalah kalimat yang tidak pernah kubayangkan akan kudengar saat itu.Tidak sekalipun. Aku tidak pernah ingin dikasihani siapapun s
"Anda sendiri ... apa anda tinggal di kota ini, Nyonya?"Pertanyaan yang rasanya dikatakan begitu hati-hati itu membuatku menyentuh cangkir teh dengan tangan yang sudah melepas sarung tangan saat berjabat tangan dengan Arga tadi."Maaf," ucap Arga saat aku tak juga menjawab.Wajahnya yang selalu tersenyum setiap kali kami bertemu terlihat menyesal. Meski aku tak mengerti apa yang membuatnya menunjukan ekspresi seperti itu, aku memilih tak bertanya. "Saya ... saya sudah tinggal di sini sejak lima tahun lalu, Tuan. Tinggal sendiri." Mata Arga terlihat membesar, "o--oh," ia jadi diam sebelum menyentuh cangkir tehnya, "kota ini pasti tak buruk jika anda betah tinggal di sini, Nyonya."Aku tak menyangka ia akan berkata seperti itu dengan senyum yang kembali. Meski tawanya terlihat berbeda, manik Arga yang gelap seolah berkabut walau hanya sesaat.'Bukan tempat yang buruk?' Aku menoleh keluar. Hamparan salju sejauh mataku memandang menutupi lebatnya hutan Cemara yang jadi memutih, suara
"Tante...?" Ucap wajah kantuk yang matanya memperhatikanku lalu menguap lebar sampai berair.Tanganku terjulur, menutup mulut merah yang pemiliknya mengucek mata, melihat sandwich yang masih tersisa banyak meski susu coklat di samping piring hanya tinggal bagian dasarnya.Tadi, aku yang sedang bersih-bersih melewati lobi, melihat Banyu tertidur di sofa cafetaria, sendirian. Ini sudah lewat tengah malam, hampir jam 2 dan anak kecil yang duduk terkantuk-kantuk di pojok ruangan, keberadaanya tak disadari pegawai hotel. "Ayo, Tante carikan orang untuk mengantarmu," ucapku membopong tubuh kecil yang langsung melingkarkan tangannya pada leherku dengan mata terpejam. "Ng!" jawab Banyu kembali menguap dan menyenderkan kepalanya pada ceruk leherku.Namun, tangan kecil Banyu yang memeluk leherku menolak saat pegawai hotel yang mau mengantarnya ke kamar ingin menggendongnya.Banyu yang membuka mata malah makin menyembunyikan wajahnya di ceruk leherku."I think, it's better that you take him
"Menunggu kamu, Ri."Rasanya pandanganku jadi nanar dan kakiku bergetar, aku mundur, tangan Ken terlepas dari bahu dan aku terduduk di atas kasur Banyu yang lelap tertidur.Seluruh kesadaranku seolah tersedot untuk bocah kecil yang terlelap memeluk guling. Tetapi pikiranku berpikir tentang hal lain.'Menunggu? Menungguku? Menunggu apa? Apa yang mau Ken tunggu dariku?'"Ri.""!"Ken duduk di hadapanku, ia menyentuh tanganku yang bertalian erat di atas pangkuan, bergelut dengan pikiranku sendiri.Kami hanya diam sampai ia mengambil sesuatu dari dalam saku. Benda berkilau yang membuat mataku membesar.Cincin pernikahan kami ... cincin yang kutinggalkan saat aku pergi, dan aku menarik tanganku cepat saat Ken hendak memakaikan cincin itu di jari manisku yang sudah lama polos. "Ri?""Tidak, Ken."Aku harus berkata kali ini. HARUS!"Ken, apa yang terjadi kemarin adalah kesalahan. Aku yang membiarkan kita saling menyentuh adalah kesalahan."Ken tidak menjawab meski ia terlihat kaget."Aku ti
"Maaf."Aku terus membisu, tak ingin menjawab ataupun memberi respon.Pikiranku yang jadi kosong karena satu kalimat yang tak hanya merasuk pada telinga, namun juga bagian terdalam rasaku, tidak ingin kujawab dengan apapun. Tidak dengan suaraku tidak pula dengan gerak tubuhku yang hanya diam membisu.Sampai kurasakan tangan bergetar yang memegang pergelangan tanganku terlepas lalu menjauh dengan meninggalkan rasa panas yang dingin.Tanpa suara, aku berjalan keluar dalam diam meski langkahku menggema dalam ruangan yang jadi sepi dan sunyi. [Maaf.]Sementara ucapan Ken yang terdengar pelan dan penuh kesungguhan, menggema dalam otakku yang tak menjawab apapun.Klekk! Bip! Piip!Pintu kamar VVIP yang akhirnya tertutup, membuatku diam dengan tangan gemetaran, mataku yang tergenang air makin panas dan bibirku bergetar. Aku tidak tahu wajah seperti apa yang sedang kutunjukan pada tembok dan pintu yang hanya bisa memandangiku dalam bisu. Tapi, isakku kutahan meski airmata mengalir membasah
'Ken!'Tak hanya nama, bahkan wajah Ken tercipta di benak. Sampai aku menutup mata, tidak mampu menahan rasa geli berkat lidah yang sedang menyusuri tiap inci mulutku tanpa permisi. "Ng!" Tanganku terus mendorong dada bidang yang terasa lembab dan kokoh tak bergeming, sampai tanganku ditariknya ke atas dan dikunci hanya dengan satu tangan besar yang rasanya menuntut juga memaksa.Hal ini membuatku tak lagi bisa melawan kecuali kakiku yang bergerak gelisah, bahkan makin berontak dan menolak saat kakiku dipisahkan.Dalam ciuman paksaan, aku terus memberontak sampai pria yang menjauhkan bibirnya mengernyit dengan darah keluar dari bibirnya yang ku gigit atau mungkin lidahnya.Entahlah!Siapa yang perduli saat tubuhku yang tangannya masih terkunci di bawah tubuhnya, ketakutan, gemetaran, tapi tak ingin menyerah.Pria yang wajahnya masih begitu dekat dengan wajahku hanya mengusap darahnya dengan ibu jari. Pandangannya terus terarah padaku yang menatapnya nyalang meski ketakutan. Aku ing
Aku yang akhirnya berdiri di luar, menatap pintu kamar Ken yang rapat tertutup lalu menggeleng dan berjalan cepat masuk ke dalam lift dengan tangan bergetar. 'Apa aku merasa lega? Tidak sepenuhnya.'Aku tidak merasa benar- benar lega, meski aku melakukan sisa pekerjaan sampai shiftku berakhir saat matahari muncul di kota dingin yang saljunya akan terus turun sampai pertengahan bulan depan. "Mira, Sidney bilang ia ingin taco dan salad."Aku menatap perempuan paruh baya yang selalu mencatat waktu hadir dan pulangku.Aku hanya mengangguk, "dan kapan kau akan memiliki ponsel? Itu akan jauh lebih evisien saat ada orang yang menghubungimu." Aku hanya tersenyum tipis mendengar ucapannya, "thanks, Liyde."'"Huh, bahkan aku yang nenek-nenek saja punya ponsel, Mira." gerutunya. "Meski saat di rumah cucuku yang pakai," ucap wanita paruh baya yang melambai dengan gerutuan yang masih terdengar. Aku yang keluar dari pintu belakang hotel langsung menyusuri jalanan yang saljunya menumpuk di bagia
***********************Selembar surat.Hai, onty Mira.Well, emm... Aku sudah lulus sekolah per-surat ini sampai padamu. Sementara Ben masih sedang mempersiapkan diri untuk ujian penerimaan siswa baru hmmm... kuharap ia diterima. Well, aku dan Muray mommy tahu ia akan berusaha yang terbaik.Oh, apa rajutan baju dan syal yang Rose kirim sudah sampai padamu? Ia menanyakan satu hal itu setiap hari. Sampai aku bosan rasanya (just kidding lol).Apa kau tahu onty? Sidney hamil anak ke 3 dan uncle Carter begitu senang sampai tak perduli pada gosip yang beredar tentang seproduktif apa dirinya. Huh! Sungguh para penggosip tua yang suka sekali membicarakan orang lain!Jika kota kecil ini bukan tempat yang indah, kurasa aku dan Ben tidak akan betah tinggal di sini (this is a BIG lie, ok?) Karena aku suka sekali dengan sandwich tuna buatan nyonya Li. Ia titip salam untukmu by the way.Oh, apa kau tahu onty? Banyak turis yang datang untuk bermain ski berkat resort baru milik kakakmu. Hmm... Ia
Hujan masih saja turun dengan deras. Rintiknya begitu ruah bahkan tak mau berhenti saat tubuh tanpa nyawa ditimbun tanah merah yang juga basah.Apa dunia sedang ikut berduka untuk terlepasnya sebuah nyawa dari raga? Siapa yang tahu. Yang jelas, empat orang penggali makam akhirnya bisa pulang ke rumah mereka dengan mengantongi lembaran rupiah.Senyum syukur yang mereka pancarkan tidak ada hubungannya dengan punggung sepi yang menatapi makam dengan nisan baru. Obrolan mereka yang meninggalkan area makam, tak memiliki korelasi apapun dengan sorot mata yang sedang lelaki pemilik barisan gigi paling rapi tunjukan. Mungkin satu-satunya penghubung mereka dengan lelaki itu hanya cipratan air yang membawa tanah pada sepatu pun ujung celana.Entah kalimat apa yang ia ucapkan pada makam yang diguyur hujan itu. Rintik dan tetesan air dari langit seolah tak membiarkan telinga manusia mendengar apa yang lelaki pemilik barisan rapi itu sampaikan.Pun, gerakan tubuhnya yang akhirnya berbalik lal
Pernahkan kamu merasa ingin mati sampai tak bisa melihat dirimu membayangkan hari esok? Pernahkan kamu dikhianati duniamu sampai bernafas saja terasa sesak?Pernahkan kamu merasa dirimu jadi manusia paling bodoh hanya karena mengikuti kata hatimu? Pernahkah kamu merasa sendirian diantara tawa menggema yang bahkan matamu lihat dan menyentuh kulit telingamu yang tipis?Jika tidak pernah, jangan berani-beraninya menyalahkan pilihan yang ku ambil. Aku adalah anak yang tumbuh dengan tuntutan orang tua yang lupa jika sentuhan hangat itu hal yang penting. Aku adalah anak yang tidak diajari untuk mengasihi orang lain jika orang itu tidak mampu memberiku sesuatu.Aku adalah anak yang diajari semua yang kumiliki ada harganya termasuk kehidupan nyaman yang merenggut senyum polosku. Apa aku melawan? Tidak! Karena menjalani hidup seperti itu adalah apa yang dunia kenalkan padaku! Sampai datang hari dimana seseorang bertanya, 'apa aku bahagia?'Ah, andai saja aku tidak diam seolah kalimatnya
PRANGG! Bunyi cangkir yang jatuh bersama isinya itu membiat suster Yuli menoleh pada wanita yang berdiri langsung menatapi pintu.Suster yang dengan senang hati menerima tawaran Arga untuk merawat Anna ini, menatap Anna yang tangannya terkepal saat Arga masuk membawa tubuh wanita yang tangannya lunglai di udara. Tanpa kata, Arga langsung meletakkan tubuh Arini di atas lantai dingin di hadapan Anna. Wanita paruh baya yang dulu mengambil dirinya sebagain anak dengan syarat, Arga harus melupakan masa lalu. Hal yang tidak akan pernah bisa Arga lakukan meski ia begitu pandai bermain lakon."Aku ingin ibu mengenalnya, Bu," ucap Arga mengusap pipi Arini. Begitu lembut dan penuh rasa.Tatapan yang tidak pernah Anna lihat dari anak yang ia rawat dan besarkan dengan segala tuntutan kesempurnaan tanpa cela."Namanya Arini, Bu, usianya 28 tahun," ucap Arga masih menatap Arini dengan pandangan yang begitu lembut.Pandangan yang masih tersisa saat ia mendongak menatap sang ibu yang menahan nafany
Aku tidak lagi bisa melihat Banyu karena mobil yang kunaiki tenggelam semakin dalam, sementara air yang masuk dari celah-celah mobil sudah menenggelamkan separuh lututku.Bohong jika aku tidak merasa takut saat air dingin danau semakin menenggelamkan kakiku. Dan akan terus naik sampai tak ada lagi ruang tersisa untuk udara.Menenggelamkan apa pun yang ada di dalamnya termasuk diriku.Aku bisa merasakan punggungku berkeringat meski seluruh tubuhku merasa dingin. Rambut-rambut halusku berdiri sementara tanganku yang gemetar kutahan untuk menurunkan jendela karena itu satu-satunya jalan keluarku.'Apa aku menyerah pada hidupku?'Kurasa iya, aku menyerah untuk hidup. Tapi, bukan karena aku ingin mati. "Ingin mati?" Ucapku menatapi tanganku yang gemetaran. Bahkan tremor yang kulihat tidak berhenti ketika kedua tanganku, kusatukan. Rasanya ... rasanya aku bisa melihat akan berakhir seperti apa diriku. Sendirian di dalam mobil yang akan jatuh ke dasar danau. "Apa akan ada orang yang menem
****************"Kenapa kau begitu keras kepala bertahan untuk hidup?"Suara yang terdengar begitu putus asa itu terdengar di dalam kamar penuh barang pecah yang sengaja di banting, dilempar, dihempaskan semau tangan yang memegangnya.Tangan gadis muda dengan wajah kuyu yang terlihat begitu lelah apalagi saat memandang perutnya yang membuncit."Kenapa kau begitu keras kepala untuk hidup?" Ulang gadis muda itu dengan mata menatap perutnya sendiri. Ia seolah sedang mengajak bicara bakal manusia yang tumbuh dengan sangat baik meskipun sudah banyak cara dan usaha ia upayakan agar janin yang tumbuh sehat di dalam rahimnya mati. "Apa yang kau harapkan dariku? Aku tidak akan pernah menerima kehadiranmu, aku tidak akan mau menerima keberadaanmu dan aku tidak ingin kau hadir dalam kehidupanku.""Apa yang kau harapkan dengan bertahan, hah? Kenapa kau tidak mati saja?"Anna, gadis dengan wajah begitu kuyu itu menatap wanita lain yang masuk ke dalam kamarnya setelah men
"Kamu harus menghilang, Arini."Aku yang matanya membesar hanya bisa menatap Anggita dengan waspada. Sementara Anggita berjalan mendekati dapur, mengambil pisau yang membuat ku berteriak seperti orang kesetanan saat ia menghampiri kamar."JANGAN, ANGGITA! JANGAN LAKUKAN! AKU AKAN PERGI! AKU AKAN PERGI! ANGITA!"Brug! Aku yang berteriak bahkan jatuh tersungkur bersama kursi yang membuatku makin tak bisa bergerak saat Anggita mengangkat tubuh bulat Banyu yang tangannya jatuh lunglai."KEN! KEN!"Sampai aku tidak tahu kalimat apa saja yang kuteriakkan dalam ketakutan saat Anggita mengangkat tubuh kecil Banyu lalu menggendongnya dan menghampiriku yang terus memohon."Kenapa kamu menangis, Arini? Aku tidak akan menyakiti Banyu."Aku berusaha menghentikan isakku. Sementara mataku menatapi Anggita dengan permohonan yang terpancar dari seluruh diri. "Aku hanya membawa Banyu agar kamu tidak macam-macam."Aku benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang Anggita katakan, saat tangannya yang m
Nyut!!Kepalaku begitu sakit. Mungkin karena aku belum tidur sama sekali.Nyut!!Tidur? Ah, iya. Aku baru tidur tiga jam kurang sejak kemarin malam. Pantas saja kepalaku berdenyut-denyut.Nyut!"Kemarin?" Rasanya aku mengucapkan kalimat itu dengan otak yang berpikir, sementara mataku masih terpejam rapat.Bukan hal biasa, karena setelah aku menelan obat agar bisa tidur, tubuhku akan terbangun lebih dahulu dibandingkan mata. tapi, aku yang masih belum mampu membuka mata merasakan rasa tak biasa. Rasa yang membuat seluruh diriku merasa waspada.'Waspada? Waspada pada apa?' Aku yang rasanya tidak bisa menggerakkan tubuh ingin membuka mata. Tapi, mataku yang rapat terpejam terasa begitu berat sekedar untuk kuangkat.'Apa yang terjadi?' Aku yang kesadarannya belum sepenuhnya bangkit, bisa merasakan dahiku berkeringat. Sementara dadaku berdetak begitu cepat. Otakku menggali memori. Aku yang keluar dari rumah Arga bertemu dengan Nabila juga wanita tua yang kembali terkejut menatapiku, 's
Aku yang memutuskan memejamkan mata, bisa merasakan langit gelap semakin cerah. Dan benar saja saat aku membuka mata, langit pagi yang mendung sudah lebih terang. "Ga," panggilku pada lelaki yang kepalanya sudah bersender pada kepala sofa. Sementara tangannya yang memeluk pundakku sudah meregang.Aku menarik nafasku dalam, menatapi lelaki dengan barisan gigi rapi yang masih lelap tertidur. "Aku pulang dulu, terimakasih sudah mau mendengarkan ceritaku," ucapku menyentuh pipi Arga lalu bangun dari sofa yang membuatku sadar bokongku kebas. Aku menghampiri pintu yang semalam kubuka dengan password yang Arga berikan padaku, lalu membuka pintu yang otomatis tertutup begitu aku sudah keluar. Lorong tidak begitu sepi, aku bisa melihat dua anak berseragam SD berdiri di depan lift sementara empat orang dewasa di samping mereka bercengkrama. Dari lorong lain aku bisa mendengar suara langkah terburu-buru yang lalu bergabung dengan kumpulan manusia yang sudah berkumpul menunggu lift terbuka.