Bagaimana caranya aku lari?Saat segalanya membuatku tinggal?Seolah dunia tidak mendukungku. ---------------------------------------------Salju kembali turun begitu lebat, sementara aku masih diam menatapi bocah kecil yang matanya sembab, bibir dan hidungnya merah, pipinya menyembul seakan minta dicubit.Namun, tanganku yang menjulur memilih mengusap pipi lembut yang begitu pas dalam tanganku, "bakpao," rasanya bibirku tersenyum setelah mengatakan satu makanan yang gerobaknya selalu tersedia di depan rumah yang kutinggalkan.Rumah yang jadi asing dan terasa dingin pun, tidak lagi menyambutku.Jika Arga sudah menemukan seorang pengacara, aku tahu cepat atau lambat aku harus kembali. Kembali ke negara yang kutinggalkan setelah meninggalkan segalanya. Segala yang kukenal dan kupercayai, meskipun segalanya serasa menghianatiku. Apa yang harus kulakukan saat aku yang imigran gelap ini tak memiliki identitas apapun yang bisa membuatku kembali dengan jalur resmi?Dalam kutarik
'Ibu yang buruk?'Aku sungguh tidak mengerti sejauh mana definisi dari kata 'ibu yang buruk' itu.Yang ku tahu, tidak semua wanita yang sudah melahirkan otomatis menjadi ibu. Tidak sekedar sebutannya saja yang berubah karena ia sudah pernah melahirkan. Namun, ibu yang benar-benar ibu.Aku adalah anak yang dilahirkan oleh seorang wanita, wanita yang memilih untuk membuangku entah dengan alasan apa.Aku adalah seorang wanita yang tak mampu melahirkan bayi karena anakku mati di dalam rahimku karena keteledoran luar biasa.Anggita juga seorang wanita. Wanita yang mampu melahirkan, mampu merawat putranya, ia jelas mampu untuk membesarkan Banyu. Orang yang menemukanku di tempat sampah juga seorang wanita. Wanita yang memilih untuk tidak menikah, namun ia mau menampungku dan sepuluh saudaraku dalam rumahnya. Kami bahkan memanggilnya ibu.Sementara di rumah ke duaku. Aku punya banyak ibu. Ibu yang mengurusku dan anak-anak yang silih berganti saat ada yang mau mengadopsi.Mereka Ibu yang meng
"Apa- ... apa mama sudah tidak marah pada Banyu, Tante?"Melihat sorot mata Banyu hatiku serasa diremas.Ucapan polos Banyu seakan menggoreskan belati pada diriku yang tahu kenapa Anggita marah padanya. Melampiaskan rasa tak senangnya dengan melukai punggung Banyu.'Apa aku akan disebut tega jika membawa Banyu pada Anggita, saat aku tahu ia pasti tak akan senang melihatku?''Jika ku katakan padanya aku akan melepaskan diri dari Ken dan tidak akan lagi mengganggu kehidupan mereka, apa itu akan menjamin Anggita tidak akan lagi menyakiti Banyu di masa depan?'Ataukah, sebenarnya aku sedang mencari alasan agar bisa lebih lama bersama adik dari anakku ini?Saat aku tahu, semakin lama Banyu bersamaku, bukan hanya diriku saja yang akan semakin tidak disukai Anggita. Namun, juga bocah kecil yang menungguku menjawab.'Ken, bisakah kamu memastikan Anggita tidak akan lagi menyakiti anak kalian?'"Tante?" Ucap Banyu saat aku memeluk tubuh kecil nan bulatnya yang terasa begitu hangat.Mataku seaka
"Tante, apa semua akan marah kalau punggung Banyu jelek?"Aku ... 'apa yang harus kukatakan pada bocah pemilik pipi tembem yang menyembul ini?'Bagiku Banyu begitu menggemaskan sekalipun ia anak dari suamiku dengan wanita yang ia cintai."Memangnya siapa yang akan marah jika punggung Banyu jelek?""Ng ...," Dahi Banyu berkerut dengan alis kecil hampir menyatu, ia terlihat berpikir sangat keras, sampai ia menjawab, "tidak tahu."Rasanya aku ingin tersenyum dengan airmata meleleh di saat bersamaan. Mendekap tubuh kecil nan bulat Banyu dengan erat dan mengatakan dengan lantang tidak ada yang jelek darinya.'Hanya orang yang tidak memiliki hatilah yang akan berkata punggungnya jelek, lalu marah.'Namun, tanganku yang masih menyentuh tangan Banyu yang tidak lagi terkepal, memilih menggenggam jemari kecil Banyu yang jadi tak nampak. "Apa Tante terlihat marah setelah lihat punggungmu?"Banyu menatapiku, ia langsung menggeleng. "Lihat, kan? Tante yang sudah lihat punggung Banyu saja tidak m
"Kamu tunggu sebentar ya, Tante mau buka pintu."Aku berdiri setelah Banyu mengangguk. Ia kembali menatapi boneka salju kami yang rasanya akan bertahan meski esok hari adalah hari baru.Tok! Tok! To-Cklek! Bunyi pintu yang ku buka membuat dua orang yang berdiri di depan pintu menatapiku. Sementara di halaman rumah Rose seorang lagi nampak berjaga."Good morning, Ma'am," sapa petugas berseragam padaku yang langsung mengenali Liyde."Good-"It's her, Sir. Dia orang yang membawa pergi anak bosku."Aku langsung menatap Liyde yang telunjuknya menunjuk begitu lurus padaku."Apa itu benar, Ma'am?"Aku yang masih mencoba untuk mengartikan ucapan Liyde, terdorong mundur karena wanita tua penggerutu yang tatapannya masih begitu tajam ini masuk tanpa permisi."Sir! Masuklah cepat! Anak bosku ada di sini."Lelaki berseragam itu langsung mentapaku, tatapan yang membuatku meremas gagang pintu yang masih kupegangi. "Excuse me, Ma'am," ucapnya langsung masuk dan mendapati Banyu. Bocah kecil yang
"Saya adalah imigran gelap."Apa yang kurasakan setelah mengatakan kalimat ini? Entahlah. Aku sedang tidak ingin berpikir. Apalagi ada dua petugas berseragam yang saling menatap.Telinga mereka seolah baru mendengar kalimat yang sangat sulit dipercaya. Meskipun, saat mereka menatapku, keduanya saling menatap lagi lalu mengangguk.Tanpa kata, aku di suruh masuk ke dalam mobil yang pintunya memang terbuka untukku. Sementara di belakangku, Rose berdiri dengan manik birunya yang bergerak gelisah. Sedangkan Banyu yang matanya basah, terus menatapku ingin ikut.Liyde? Aku tidak ingin membaca wajah macam apa yang sedang ia tunjukan. Yang kutahu, ia hanya diam membisu.Mungkin, wanita penggerutu itu ingin aku membela diri, bukannya menyerah begitu mudah tanpa perlawanan.Ia terus diam sampai mobil yang kunaiki melaju meninggalkan pekarangan rumah Rose dengan satu boneka salju yang begitu jelek di tengahnya.'Apa harus berakhir begini? Apa memang harus berakhir seperti ini?'Namun, aku tak bis
'Suaka?'Aku menelan ludahku yang terasa pahit. Aku sadar, suaka bukanlah hal yang pantas untukku. Saat ada begitu banyak orang yang membutuhkan perlindungan di negara lain karena negara tempat mereka lahir dan tumbuh tidak lagi ramah. Tidak lagi aman. Tidak lagi membuat mereka tidur tanpa merasa khawatir.Padahal rumah, seharusnya menjadi tempat untuk pulang paling aman.Perang, kelaparan, kekerasan, rasisme.Tidak satu hal pun dari empat hal itu terjadi padaku, karena aku hanyalah seorang wanita yang tak bisa lagi bernafas tanpa merasa sesak jika tetap tinggal. Kehidupan yang kupercayai hanya menghianatiku. Tidak lebih dan tidak kurang dari itu. Dan jika memaksa tinggal, aku tahu aku tidak hanya akan menyalahkan diriku sendiri atas kematian anakku. Aku akan menyalahkan banya orang ketika aku sadar, yang membunuh anakku adalah AKU SENDIRI! Bahkan di negara asing ini, aku masih terus merasakan kesesakan yang rasanya tak ingin kuhilangkan.Puluhan kilometer seolah tak berarti.Lima
"It's her?""Apa aku membawa orang lain selain dia?"Aku bisa melihat wanita berseragam yang menatapiku, memberi lirikan pada Zander. "And this is her file," ucap Zander menyerahkan berkas pada wanita yang mengangguk. Sesekali ia melihatku, tanpa senyum. Sementara lelaki narsis yang sarkas di sampingku mengetuki meja."Tidak ada pelanggaran sama sekali ... dan menolak perlindungan?" ucap wanita itu lalu melirikku, "pasti negaramu damai, e'."Aku merasakan sindiran dari ucapannya. Namun, tetap memilih diam, duduk di kursi yang keras."So, why you bring her to me?"Zander menarik nafasnya dalam, ia melirikku sementara wanita yang duduk di hadapan kami menarik nafasnya dalam."Get in," ucapnya memencet tombol telepon dan tak lama setelahnya pintu terbuka."Ikutlah dengan Kerry, Nyonya. Ia akan menjadi guide anda untuk beberapa saat."'Guide?'Mungkin, aku benar-benar pelancong yang memilih untuk menetap bagi wanita tak ramah di hadapanku ini. "Pergilah, aku akan menyusulmu nanti."Aku
***********************Selembar surat.Hai, onty Mira.Well, emm... Aku sudah lulus sekolah per-surat ini sampai padamu. Sementara Ben masih sedang mempersiapkan diri untuk ujian penerimaan siswa baru hmmm... kuharap ia diterima. Well, aku dan Muray mommy tahu ia akan berusaha yang terbaik.Oh, apa rajutan baju dan syal yang Rose kirim sudah sampai padamu? Ia menanyakan satu hal itu setiap hari. Sampai aku bosan rasanya (just kidding lol).Apa kau tahu onty? Sidney hamil anak ke 3 dan uncle Carter begitu senang sampai tak perduli pada gosip yang beredar tentang seproduktif apa dirinya. Huh! Sungguh para penggosip tua yang suka sekali membicarakan orang lain!Jika kota kecil ini bukan tempat yang indah, kurasa aku dan Ben tidak akan betah tinggal di sini (this is a BIG lie, ok?) Karena aku suka sekali dengan sandwich tuna buatan nyonya Li. Ia titip salam untukmu by the way.Oh, apa kau tahu onty? Banyak turis yang datang untuk bermain ski berkat resort baru milik kakakmu. Hmm... Ia
Hujan masih saja turun dengan deras. Rintiknya begitu ruah bahkan tak mau berhenti saat tubuh tanpa nyawa ditimbun tanah merah yang juga basah.Apa dunia sedang ikut berduka untuk terlepasnya sebuah nyawa dari raga? Siapa yang tahu. Yang jelas, empat orang penggali makam akhirnya bisa pulang ke rumah mereka dengan mengantongi lembaran rupiah.Senyum syukur yang mereka pancarkan tidak ada hubungannya dengan punggung sepi yang menatapi makam dengan nisan baru. Obrolan mereka yang meninggalkan area makam, tak memiliki korelasi apapun dengan sorot mata yang sedang lelaki pemilik barisan gigi paling rapi tunjukan. Mungkin satu-satunya penghubung mereka dengan lelaki itu hanya cipratan air yang membawa tanah pada sepatu pun ujung celana.Entah kalimat apa yang ia ucapkan pada makam yang diguyur hujan itu. Rintik dan tetesan air dari langit seolah tak membiarkan telinga manusia mendengar apa yang lelaki pemilik barisan rapi itu sampaikan.Pun, gerakan tubuhnya yang akhirnya berbalik lal
Pernahkan kamu merasa ingin mati sampai tak bisa melihat dirimu membayangkan hari esok? Pernahkan kamu dikhianati duniamu sampai bernafas saja terasa sesak?Pernahkan kamu merasa dirimu jadi manusia paling bodoh hanya karena mengikuti kata hatimu? Pernahkah kamu merasa sendirian diantara tawa menggema yang bahkan matamu lihat dan menyentuh kulit telingamu yang tipis?Jika tidak pernah, jangan berani-beraninya menyalahkan pilihan yang ku ambil. Aku adalah anak yang tumbuh dengan tuntutan orang tua yang lupa jika sentuhan hangat itu hal yang penting. Aku adalah anak yang tidak diajari untuk mengasihi orang lain jika orang itu tidak mampu memberiku sesuatu.Aku adalah anak yang diajari semua yang kumiliki ada harganya termasuk kehidupan nyaman yang merenggut senyum polosku. Apa aku melawan? Tidak! Karena menjalani hidup seperti itu adalah apa yang dunia kenalkan padaku! Sampai datang hari dimana seseorang bertanya, 'apa aku bahagia?'Ah, andai saja aku tidak diam seolah kalimatnya
PRANGG! Bunyi cangkir yang jatuh bersama isinya itu membiat suster Yuli menoleh pada wanita yang berdiri langsung menatapi pintu.Suster yang dengan senang hati menerima tawaran Arga untuk merawat Anna ini, menatap Anna yang tangannya terkepal saat Arga masuk membawa tubuh wanita yang tangannya lunglai di udara. Tanpa kata, Arga langsung meletakkan tubuh Arini di atas lantai dingin di hadapan Anna. Wanita paruh baya yang dulu mengambil dirinya sebagain anak dengan syarat, Arga harus melupakan masa lalu. Hal yang tidak akan pernah bisa Arga lakukan meski ia begitu pandai bermain lakon."Aku ingin ibu mengenalnya, Bu," ucap Arga mengusap pipi Arini. Begitu lembut dan penuh rasa.Tatapan yang tidak pernah Anna lihat dari anak yang ia rawat dan besarkan dengan segala tuntutan kesempurnaan tanpa cela."Namanya Arini, Bu, usianya 28 tahun," ucap Arga masih menatap Arini dengan pandangan yang begitu lembut.Pandangan yang masih tersisa saat ia mendongak menatap sang ibu yang menahan nafany
Aku tidak lagi bisa melihat Banyu karena mobil yang kunaiki tenggelam semakin dalam, sementara air yang masuk dari celah-celah mobil sudah menenggelamkan separuh lututku.Bohong jika aku tidak merasa takut saat air dingin danau semakin menenggelamkan kakiku. Dan akan terus naik sampai tak ada lagi ruang tersisa untuk udara.Menenggelamkan apa pun yang ada di dalamnya termasuk diriku.Aku bisa merasakan punggungku berkeringat meski seluruh tubuhku merasa dingin. Rambut-rambut halusku berdiri sementara tanganku yang gemetar kutahan untuk menurunkan jendela karena itu satu-satunya jalan keluarku.'Apa aku menyerah pada hidupku?'Kurasa iya, aku menyerah untuk hidup. Tapi, bukan karena aku ingin mati. "Ingin mati?" Ucapku menatapi tanganku yang gemetaran. Bahkan tremor yang kulihat tidak berhenti ketika kedua tanganku, kusatukan. Rasanya ... rasanya aku bisa melihat akan berakhir seperti apa diriku. Sendirian di dalam mobil yang akan jatuh ke dasar danau. "Apa akan ada orang yang menem
****************"Kenapa kau begitu keras kepala bertahan untuk hidup?"Suara yang terdengar begitu putus asa itu terdengar di dalam kamar penuh barang pecah yang sengaja di banting, dilempar, dihempaskan semau tangan yang memegangnya.Tangan gadis muda dengan wajah kuyu yang terlihat begitu lelah apalagi saat memandang perutnya yang membuncit."Kenapa kau begitu keras kepala untuk hidup?" Ulang gadis muda itu dengan mata menatap perutnya sendiri. Ia seolah sedang mengajak bicara bakal manusia yang tumbuh dengan sangat baik meskipun sudah banyak cara dan usaha ia upayakan agar janin yang tumbuh sehat di dalam rahimnya mati. "Apa yang kau harapkan dariku? Aku tidak akan pernah menerima kehadiranmu, aku tidak akan mau menerima keberadaanmu dan aku tidak ingin kau hadir dalam kehidupanku.""Apa yang kau harapkan dengan bertahan, hah? Kenapa kau tidak mati saja?"Anna, gadis dengan wajah begitu kuyu itu menatap wanita lain yang masuk ke dalam kamarnya setelah men
"Kamu harus menghilang, Arini."Aku yang matanya membesar hanya bisa menatap Anggita dengan waspada. Sementara Anggita berjalan mendekati dapur, mengambil pisau yang membuat ku berteriak seperti orang kesetanan saat ia menghampiri kamar."JANGAN, ANGGITA! JANGAN LAKUKAN! AKU AKAN PERGI! AKU AKAN PERGI! ANGITA!"Brug! Aku yang berteriak bahkan jatuh tersungkur bersama kursi yang membuatku makin tak bisa bergerak saat Anggita mengangkat tubuh bulat Banyu yang tangannya jatuh lunglai."KEN! KEN!"Sampai aku tidak tahu kalimat apa saja yang kuteriakkan dalam ketakutan saat Anggita mengangkat tubuh kecil Banyu lalu menggendongnya dan menghampiriku yang terus memohon."Kenapa kamu menangis, Arini? Aku tidak akan menyakiti Banyu."Aku berusaha menghentikan isakku. Sementara mataku menatapi Anggita dengan permohonan yang terpancar dari seluruh diri. "Aku hanya membawa Banyu agar kamu tidak macam-macam."Aku benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang Anggita katakan, saat tangannya yang m
Nyut!!Kepalaku begitu sakit. Mungkin karena aku belum tidur sama sekali.Nyut!!Tidur? Ah, iya. Aku baru tidur tiga jam kurang sejak kemarin malam. Pantas saja kepalaku berdenyut-denyut.Nyut!"Kemarin?" Rasanya aku mengucapkan kalimat itu dengan otak yang berpikir, sementara mataku masih terpejam rapat.Bukan hal biasa, karena setelah aku menelan obat agar bisa tidur, tubuhku akan terbangun lebih dahulu dibandingkan mata. tapi, aku yang masih belum mampu membuka mata merasakan rasa tak biasa. Rasa yang membuat seluruh diriku merasa waspada.'Waspada? Waspada pada apa?' Aku yang rasanya tidak bisa menggerakkan tubuh ingin membuka mata. Tapi, mataku yang rapat terpejam terasa begitu berat sekedar untuk kuangkat.'Apa yang terjadi?' Aku yang kesadarannya belum sepenuhnya bangkit, bisa merasakan dahiku berkeringat. Sementara dadaku berdetak begitu cepat. Otakku menggali memori. Aku yang keluar dari rumah Arga bertemu dengan Nabila juga wanita tua yang kembali terkejut menatapiku, 's
Aku yang memutuskan memejamkan mata, bisa merasakan langit gelap semakin cerah. Dan benar saja saat aku membuka mata, langit pagi yang mendung sudah lebih terang. "Ga," panggilku pada lelaki yang kepalanya sudah bersender pada kepala sofa. Sementara tangannya yang memeluk pundakku sudah meregang.Aku menarik nafasku dalam, menatapi lelaki dengan barisan gigi rapi yang masih lelap tertidur. "Aku pulang dulu, terimakasih sudah mau mendengarkan ceritaku," ucapku menyentuh pipi Arga lalu bangun dari sofa yang membuatku sadar bokongku kebas. Aku menghampiri pintu yang semalam kubuka dengan password yang Arga berikan padaku, lalu membuka pintu yang otomatis tertutup begitu aku sudah keluar. Lorong tidak begitu sepi, aku bisa melihat dua anak berseragam SD berdiri di depan lift sementara empat orang dewasa di samping mereka bercengkrama. Dari lorong lain aku bisa mendengar suara langkah terburu-buru yang lalu bergabung dengan kumpulan manusia yang sudah berkumpul menunggu lift terbuka.