"Ken."Entah sudah berapa lama ia menunggu di sana. Menenteng tas yang kuyakini pasti berisi baju Banyu. Bocah menggemaskan yang menyentuh tanganku lalu berlari menyusul Ken yang menatapku dalam diam."PAPA!" Banyu berlari setelah menuruni satu per satu anak-anak tangga rumah Rose dengan memegangi railing. "Papa! Aku mau makan nasi hari ini!" Adu bocah berusia dua tahun yang akhirnya berhenti berlari.Tapi, bocah yang semangat dan sudah berdiri di depan Ken itu tidak melemparkan tubuh kecilnya dalam pelukan Ken. Ia hanya berhenti tepat di hadapan Ken yang memperhatikannya.Rasanya, kini mataku bisa melihat jarak di antara keduanya. 'Tipis, tapi tak tertembus.' [Tante, apa mama dan papa tidak suka pada Banyu?][Seharusnya aku tak membawa Banyu bersamaku][Banyu? Ha ha ha... Apa hubungannya ucapanku dengan anak itu?]Aku tidak tahu apa saja yang Banyu ucapkan pada lelaki yang menatapiku dari tempatnya berdiri, seolah tak perduli pundaknya tebal dengan salju.Rasanya, aku bisa melihat
Mataku menatap nanar wajah ken. 'A-apa … ia pasti salah berucap!'Namun, bibirku bergetar seketika. Begitupun airmataku yang jatuh begitu saja.Kejujuran Ken menyakitkan.Kejujuran Ken yang ia katakan dengan penuh keraguan, sangat menyakitkan sampai aku tidak bisa mengatakan apapun kecuali diam memandang pria yang wajahnya jadi berbayang, karena pelupuk mataku basah dan tergenang."Kalau begitu berikan Banyu padaku. Berikan Banyu padaku!"Meski aku tak bergerak sedikitpun, nafasku tersengal begitupun dadaku yang naik turun."Berikan Banyu padaku jika kamu dan Anggita tidak menginginkannya,” suaraku memelan dengan rasa sakit yang pasti Ken lihat.Tapi, Ken hanya menatapiku dalam diam."Jika kamu tak menginginkan Banyu begitupun Anggita yang tampak tak perduli padanya, maka berikan saja Banyu padaku.”Aku menghapus mata basahku, meremas erat jaket Rose, merasakan hatiku begitu perih seakan ditusuki ribuan jarum dan pisau saat mengingat dalam pernikahan kami, hadir bakal manusia yang tid
"Tante?" Panggil Banyu saat aku hanya diam menatapi bocah yang kaki kanannya berhenti di udara, sementara tangan kecilnya makin meremas bajuku agar ia tak jatuh."Kalau begitu ..., bagaimana jika mulai hari ini kalau Banyu mau pipis Banyu pakai toilet saja?"Bocah yang pipinya menyembul ini menatapi toilet, kepalanya miring lalu menatapku dengan wajah bingung, sangat bingung. "Apa toiletnya berat, Tante?"Mendengarnya bertanya seperti ini mataku membulat, menatap toilet duduk warna putih yang tentu saja be- ... rat, 'rasanya aku salah menggunakan kata 'pakai', bukan?'Lihatlahlah, betapa menggemaskannya bocah polos di hadapanku ini.Pipinya yang tembem menyembul begitu enak di pegang. Gigi-gigi kecilnya yang terlihat saat tersenyum begitu menggemaskan. Tangan-tangan kecilnya yang memegang erat bajuku agar tidak jatuh sangat lucu, belum lagi tatapan polosnya, cara jalannya yang belum sepenuhnya mantap, caranya memahami hal baru lalu bertanya untuk sesuatu yang belum ia mengerti. Rasa
"Tante," ucap Banyu begitu pelan saat tangan Liyde menjulur ingin menyentuhnya yang makin menyembunyikan diri. Aku bisa merasakan kulitku ikut dicengkram jemari-jemari kecil Banyu yang makin kurapatkan, "please, Liyde, tidakkah kamu melihat Banyu tidak nyaman?" Liyde yang mendengar ucapanku mendongak, ia masih menatap Banyu yang tak mau memandangnya sama sekali. Diliriknya sebelah tanganku yang tetap di udara agar tangan tuanya yang terjulur tidak menyentuh Banyu."Seharusnya aku tahu, tidak mungkin wanita tanpa moral sepertimu akan menyerah hanya karena istri dari ayah anak ini datang."Apa sikap tak ramah Liyde akan berakhir jika kukatakan aku adalah istri GM kami? Sementara wanita mempesona yang tampaknya sudah bertukar satu dua kata dengan, bukan.Namun, itu tidak akan pernah kulakukan.Karena Banyu adalah anak Anggita dan Ken. Dan, hanya itu yang perlu diketahui penduduk kota kecil yang begitu suka membicarakan orang lain. Liyde kembali berdiri tegak, memberiku tatapan jijik
"Apa Banyu mau tinggal bersama Tante?"Banyu menatapiku, kepala kecilnya mengangguk cepat, "Banyu mau, Tante. Banyu mau tinggal sama Tante."Aku jadi diam memperhatikan bocah berpipi gembil yang wajah cerianya begitu nyata. Bahkan, orang buta akan bisa merasakan selebar apa senyumnya Banyu saat ini.Senyum lebar yang sedikit menusukkan rasa sakit di dalam hatiku, saat mengingat ucapan Ken pagi tadi.Kurasa, bocah kecil ini bisa tersenyum begitu polos karena ia belum paham apa arti ajakanku barusan. Tetapi, aku memilih tersenyum dan mengusap kepala kecilnya yang dilindungi hoody dan penutup telinga.'Ken, putramu benar-benar menggemaskan. putramu dan Anggita sungguh-sungguh menggemaskan.'Kuharap suatu saat, kamu akan mengubah ucapanmu. Kuharap suatu hari kamu akan berkata bahwa kamu 'PERNAH" tidak menginginkan kehadiran Banyu.------------------------"Wow, aku tak tahu kau bisa masak, Mira." Ucapan Rose terdengar saat aku sedang membereskan dapurnya yang kupinjam. Sementara di ata
AKU ADALAH TOKOH UTAMA DALAM CERITAKU. SEHARUSNYA BEGITU. BEGITUPUN KAMU. JIKA KITA, BUKAN TOKOH UTAMA DALAM CERITA YANG SEDANG KITA JALANI, MUNGKIN KISAH YANG SEDANG KITA PERANKAN HANYA PERAN PEMBANTU SAMPAI KITA MENEMUKAN 'PERAN UTAMA DALAM KISAH-KISAH KITA YANG BERIKUTNYA.' ***********************************"Tuan, apa yang akan anda lakukan setelah ini?" Suara yang keluar dari ponsel, membuat lelaki yang sudah duduk dengan menyandarkan kepalanya sambil memejamkan mata, menarik nafasnya dalam."Saya tahu anda masih bernafas, Tuan, tapi jika anda tak ingin bicara saya tidak akan memaksa."Kali ini, giliran pria di seberang yang menarik nafasnya saat Ken terus diam, padahal bosnya itu yang menghubungi, "Tuan, tidakkah sebaiknya anda mengabulkan permintaan nyonya Arini? Ini kali kesekian nyonya meminta anda untuk menceraikannya, bukan? Dan anda jelas-jelas tak bisa melepaskan diri dari selingkuhan anda, ups. Maaf, Tuan. Maksud saya nona Anggita.""Jika kau ingin menghinaku
"Eh~ Banyu cuman makan sama papa?" Mata bulat yang menatapiku tampak kaget, gagang telpon yang ia pegang erat bahkan turun ke pundak. "Banyu- Banyu gak makan sama Tante dan nenek juga?"Aku yang berdiri di samping Banyu, duduk dan menjajarkan kepalaku, "Banyu mau makan sama papa, kan?"Bocah yang pipi gembilnya menyembul ini diam beberapa lama, "sama Tante dan nenek juga."Begitu kecil suara Banyu yang tatapannya jatuh pada ubin, sampai aku memegang dagu kecil yang rasanya begitu kenyal, "baiklah, nanti kita makan berempat. Banyu, papa, nenek sama Tante."Mata Banyu yang menunduk langsung menatapku, begitu lekat sampai akhirnya ia mengangguk dan langsung menyerahkan gagang telepon padaku kemudian berlari menghampiri Rose."Nenek, Nenek! Kita mau makan sama papa, Nek," adu Banyu pada wanita tua yang meski tidak tahu apa yang Banyu ucapkan tetap tersenyum dan mengusap pipi gembil bocah yang senyumnya begitu lebar itu.Rose meliriku yang memegangi gagang telepon, senyumnya tercipta lalu
"What kind of parents, she had?"Nasi yang seharusnya terasa manis di mulutku jadi pahit. Meski otakku tak bisa membayangkan apapun, atau seperti apa tampilan orang tuaku. Dalam benak, rasanya samar tercipta bayangan lelaki dan perempuan yang wajahnya tak nampak.'Mereka begitu buram dan samar.'Orang tua, ayah dan ibu. Aku tidak pernah bisa membayangkan seperti apa rupa atau tampilan mereka. Kecuali bentuk mereka hanya lelaki dan perempuan, itupun tanpa wajah. Bahkan dalam bayanganku, lelaki dan perempuan tanpa wajah itu tidak memberiku kesan hangat sama sekali. Justru sebaliknya. Meski aku tak tahu, kesan seperti apa yang keduanya berikan. 'Padahal, itu hanya bayangan lelaki dan perempuan dalam benakku sendiri.'"!" Aku terkejut saat jemari Ken menggenggam tanganku dengan senyum di wajahnya. Sementara ia membalas tatapan wanita tua yang juga bisa melihat apa yang tangan kami lakukan di atas meja makannya ini."Kurasa kami juga ingin tahu seperti apa mereka, Rose."Mataku membesa
***********************Selembar surat.Hai, onty Mira.Well, emm... Aku sudah lulus sekolah per-surat ini sampai padamu. Sementara Ben masih sedang mempersiapkan diri untuk ujian penerimaan siswa baru hmmm... kuharap ia diterima. Well, aku dan Muray mommy tahu ia akan berusaha yang terbaik.Oh, apa rajutan baju dan syal yang Rose kirim sudah sampai padamu? Ia menanyakan satu hal itu setiap hari. Sampai aku bosan rasanya (just kidding lol).Apa kau tahu onty? Sidney hamil anak ke 3 dan uncle Carter begitu senang sampai tak perduli pada gosip yang beredar tentang seproduktif apa dirinya. Huh! Sungguh para penggosip tua yang suka sekali membicarakan orang lain!Jika kota kecil ini bukan tempat yang indah, kurasa aku dan Ben tidak akan betah tinggal di sini (this is a BIG lie, ok?) Karena aku suka sekali dengan sandwich tuna buatan nyonya Li. Ia titip salam untukmu by the way.Oh, apa kau tahu onty? Banyak turis yang datang untuk bermain ski berkat resort baru milik kakakmu. Hmm... Ia
Hujan masih saja turun dengan deras. Rintiknya begitu ruah bahkan tak mau berhenti saat tubuh tanpa nyawa ditimbun tanah merah yang juga basah.Apa dunia sedang ikut berduka untuk terlepasnya sebuah nyawa dari raga? Siapa yang tahu. Yang jelas, empat orang penggali makam akhirnya bisa pulang ke rumah mereka dengan mengantongi lembaran rupiah.Senyum syukur yang mereka pancarkan tidak ada hubungannya dengan punggung sepi yang menatapi makam dengan nisan baru. Obrolan mereka yang meninggalkan area makam, tak memiliki korelasi apapun dengan sorot mata yang sedang lelaki pemilik barisan gigi paling rapi tunjukan. Mungkin satu-satunya penghubung mereka dengan lelaki itu hanya cipratan air yang membawa tanah pada sepatu pun ujung celana.Entah kalimat apa yang ia ucapkan pada makam yang diguyur hujan itu. Rintik dan tetesan air dari langit seolah tak membiarkan telinga manusia mendengar apa yang lelaki pemilik barisan rapi itu sampaikan.Pun, gerakan tubuhnya yang akhirnya berbalik lal
Pernahkan kamu merasa ingin mati sampai tak bisa melihat dirimu membayangkan hari esok? Pernahkan kamu dikhianati duniamu sampai bernafas saja terasa sesak?Pernahkan kamu merasa dirimu jadi manusia paling bodoh hanya karena mengikuti kata hatimu? Pernahkah kamu merasa sendirian diantara tawa menggema yang bahkan matamu lihat dan menyentuh kulit telingamu yang tipis?Jika tidak pernah, jangan berani-beraninya menyalahkan pilihan yang ku ambil. Aku adalah anak yang tumbuh dengan tuntutan orang tua yang lupa jika sentuhan hangat itu hal yang penting. Aku adalah anak yang tidak diajari untuk mengasihi orang lain jika orang itu tidak mampu memberiku sesuatu.Aku adalah anak yang diajari semua yang kumiliki ada harganya termasuk kehidupan nyaman yang merenggut senyum polosku. Apa aku melawan? Tidak! Karena menjalani hidup seperti itu adalah apa yang dunia kenalkan padaku! Sampai datang hari dimana seseorang bertanya, 'apa aku bahagia?'Ah, andai saja aku tidak diam seolah kalimatnya
PRANGG! Bunyi cangkir yang jatuh bersama isinya itu membiat suster Yuli menoleh pada wanita yang berdiri langsung menatapi pintu.Suster yang dengan senang hati menerima tawaran Arga untuk merawat Anna ini, menatap Anna yang tangannya terkepal saat Arga masuk membawa tubuh wanita yang tangannya lunglai di udara. Tanpa kata, Arga langsung meletakkan tubuh Arini di atas lantai dingin di hadapan Anna. Wanita paruh baya yang dulu mengambil dirinya sebagain anak dengan syarat, Arga harus melupakan masa lalu. Hal yang tidak akan pernah bisa Arga lakukan meski ia begitu pandai bermain lakon."Aku ingin ibu mengenalnya, Bu," ucap Arga mengusap pipi Arini. Begitu lembut dan penuh rasa.Tatapan yang tidak pernah Anna lihat dari anak yang ia rawat dan besarkan dengan segala tuntutan kesempurnaan tanpa cela."Namanya Arini, Bu, usianya 28 tahun," ucap Arga masih menatap Arini dengan pandangan yang begitu lembut.Pandangan yang masih tersisa saat ia mendongak menatap sang ibu yang menahan nafany
Aku tidak lagi bisa melihat Banyu karena mobil yang kunaiki tenggelam semakin dalam, sementara air yang masuk dari celah-celah mobil sudah menenggelamkan separuh lututku.Bohong jika aku tidak merasa takut saat air dingin danau semakin menenggelamkan kakiku. Dan akan terus naik sampai tak ada lagi ruang tersisa untuk udara.Menenggelamkan apa pun yang ada di dalamnya termasuk diriku.Aku bisa merasakan punggungku berkeringat meski seluruh tubuhku merasa dingin. Rambut-rambut halusku berdiri sementara tanganku yang gemetar kutahan untuk menurunkan jendela karena itu satu-satunya jalan keluarku.'Apa aku menyerah pada hidupku?'Kurasa iya, aku menyerah untuk hidup. Tapi, bukan karena aku ingin mati. "Ingin mati?" Ucapku menatapi tanganku yang gemetaran. Bahkan tremor yang kulihat tidak berhenti ketika kedua tanganku, kusatukan. Rasanya ... rasanya aku bisa melihat akan berakhir seperti apa diriku. Sendirian di dalam mobil yang akan jatuh ke dasar danau. "Apa akan ada orang yang menem
****************"Kenapa kau begitu keras kepala bertahan untuk hidup?"Suara yang terdengar begitu putus asa itu terdengar di dalam kamar penuh barang pecah yang sengaja di banting, dilempar, dihempaskan semau tangan yang memegangnya.Tangan gadis muda dengan wajah kuyu yang terlihat begitu lelah apalagi saat memandang perutnya yang membuncit."Kenapa kau begitu keras kepala untuk hidup?" Ulang gadis muda itu dengan mata menatap perutnya sendiri. Ia seolah sedang mengajak bicara bakal manusia yang tumbuh dengan sangat baik meskipun sudah banyak cara dan usaha ia upayakan agar janin yang tumbuh sehat di dalam rahimnya mati. "Apa yang kau harapkan dariku? Aku tidak akan pernah menerima kehadiranmu, aku tidak akan mau menerima keberadaanmu dan aku tidak ingin kau hadir dalam kehidupanku.""Apa yang kau harapkan dengan bertahan, hah? Kenapa kau tidak mati saja?"Anna, gadis dengan wajah begitu kuyu itu menatap wanita lain yang masuk ke dalam kamarnya setelah men
"Kamu harus menghilang, Arini."Aku yang matanya membesar hanya bisa menatap Anggita dengan waspada. Sementara Anggita berjalan mendekati dapur, mengambil pisau yang membuat ku berteriak seperti orang kesetanan saat ia menghampiri kamar."JANGAN, ANGGITA! JANGAN LAKUKAN! AKU AKAN PERGI! AKU AKAN PERGI! ANGITA!"Brug! Aku yang berteriak bahkan jatuh tersungkur bersama kursi yang membuatku makin tak bisa bergerak saat Anggita mengangkat tubuh bulat Banyu yang tangannya jatuh lunglai."KEN! KEN!"Sampai aku tidak tahu kalimat apa saja yang kuteriakkan dalam ketakutan saat Anggita mengangkat tubuh kecil Banyu lalu menggendongnya dan menghampiriku yang terus memohon."Kenapa kamu menangis, Arini? Aku tidak akan menyakiti Banyu."Aku berusaha menghentikan isakku. Sementara mataku menatapi Anggita dengan permohonan yang terpancar dari seluruh diri. "Aku hanya membawa Banyu agar kamu tidak macam-macam."Aku benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang Anggita katakan, saat tangannya yang m
Nyut!!Kepalaku begitu sakit. Mungkin karena aku belum tidur sama sekali.Nyut!!Tidur? Ah, iya. Aku baru tidur tiga jam kurang sejak kemarin malam. Pantas saja kepalaku berdenyut-denyut.Nyut!"Kemarin?" Rasanya aku mengucapkan kalimat itu dengan otak yang berpikir, sementara mataku masih terpejam rapat.Bukan hal biasa, karena setelah aku menelan obat agar bisa tidur, tubuhku akan terbangun lebih dahulu dibandingkan mata. tapi, aku yang masih belum mampu membuka mata merasakan rasa tak biasa. Rasa yang membuat seluruh diriku merasa waspada.'Waspada? Waspada pada apa?' Aku yang rasanya tidak bisa menggerakkan tubuh ingin membuka mata. Tapi, mataku yang rapat terpejam terasa begitu berat sekedar untuk kuangkat.'Apa yang terjadi?' Aku yang kesadarannya belum sepenuhnya bangkit, bisa merasakan dahiku berkeringat. Sementara dadaku berdetak begitu cepat. Otakku menggali memori. Aku yang keluar dari rumah Arga bertemu dengan Nabila juga wanita tua yang kembali terkejut menatapiku, 's
Aku yang memutuskan memejamkan mata, bisa merasakan langit gelap semakin cerah. Dan benar saja saat aku membuka mata, langit pagi yang mendung sudah lebih terang. "Ga," panggilku pada lelaki yang kepalanya sudah bersender pada kepala sofa. Sementara tangannya yang memeluk pundakku sudah meregang.Aku menarik nafasku dalam, menatapi lelaki dengan barisan gigi rapi yang masih lelap tertidur. "Aku pulang dulu, terimakasih sudah mau mendengarkan ceritaku," ucapku menyentuh pipi Arga lalu bangun dari sofa yang membuatku sadar bokongku kebas. Aku menghampiri pintu yang semalam kubuka dengan password yang Arga berikan padaku, lalu membuka pintu yang otomatis tertutup begitu aku sudah keluar. Lorong tidak begitu sepi, aku bisa melihat dua anak berseragam SD berdiri di depan lift sementara empat orang dewasa di samping mereka bercengkrama. Dari lorong lain aku bisa mendengar suara langkah terburu-buru yang lalu bergabung dengan kumpulan manusia yang sudah berkumpul menunggu lift terbuka.