Sebelum mulai, terimakasih sudah mau baca WITHERED 😁 komen+ngasih vote lagi. Ini mood booster banget and it's mean a lot to me. Thank you sooo much. (Gak apa ya, bahasanya campur sari xixixi) maturnuwon, love banyak-banyak buat kakak-adek semua. Selamat membaca❤️'Meski hatiku sudah menetapkan niat, diriku pun memaksa kehendak, apa yang bisa kulakukan jika semesta seolah tidak merestui?' *****************************Mataku yang mengenali ruangan dengan warna putih penuh dengan mainan, menatap pangkuanku. Manik mataku membesar saat berat tubuh kecil yang selalu terasa nyata, tidak lagi ada dalam pangkuan.Aku bisa merasakan seluruh nadiku berdesir keras dengan detak jantung yang tak beraturan.Takut.Itu adalah rasa yang sedang kurasakan saat tak mendapati bayi yang selalu tumbuh, tak lagi menunjukan tawa meski wajahnya tak pernah bisa kulihat. Ia tak lagi ada dalam dekapanku. Di tempat ini, aku tak bisa bicara, tidak pernah bisa bicara.Hal yang selalu
"Bolehkan saya ikut mencari?" Ucapku berharap suara yang keluar dari bibir tidak bergetar, meski mulutku yang bersuara mengeluarkan kepulan putih begitupun hidungku."Sure, tentu saja, Mira. Satu tenaga tambahan akan sangat membantu."Aku mengangguk, "thank you, Robin.""Kami sudah mencarinya di seluruh area hotel, bahkan gudang juga rooftop," aku Melirik pemuda yang berjalan di sampingku, tangannya menyorotkan senter ke segala penjuru. "Tapi, kami belum menemukannya."Mulutku yang sudah kering terasa begitu pahit, "apa- ... apa tak ada yang melihat kapan ia keluar?""Oh, ada," Robin menoleh padaku, "Beryl, mungkin kau mengenalnya."Aku mengingat-ingat siapa saja karyawan hotel yang kukenal. Setidaknya, aku tahu nama dan wajah mereka meski tak bertegur sapa. "Ya," jawabku mengingat wajah wanita tua dengan lesung pipi, yang mengganti jam kerjanya sejak sendinya bermasalah."Well, Beryl ingat dia membantu Bay-yu memencet tombol lift, mengira anak itu akan bertemu orang tua yang menung
"BANYU!"Seruku yang terus melangkah, menghampiri hamparan hutan Pinus dan Cemara beku. Aku yang ingin berlari cepat memanggil-manggil bocah berpipi tembem yang wajahnya terus muncul di benak dan mataku. Tapi, salju yang bertumpuk tinggi membuat langkahku tak secepat niat.Aku tidak akan bertanya siapa gadis kecil yang menghampiriku. 'Tidak sekarang.' Karena aku yang sudah masuk dalam pinggiran hutan mengedarkan mataku."BANYU!!" teriakku lagi lalu berhenti melangkah saat hati kecilku meminta.'Di sini!'Aku yang berdiri, mengedarkan pandangan. Berharap apa yang akan kulihat adalah bocah lelaki yang sedang membuat boneka salju atau bola-bola salju yang akan ia lemparkan padaku, meski aku tahu bocah kecil yang terlalu menjaga ucapannya itu tak akan berlaku tak sopan tanpa permisi."BANYU!" lagi kuteriakkan namanya dengan mata menatap kegelapan hamparan salju putih, berharap ia ada dalam salah satu sudutnya."BAN-!" Mataku membesar, sementara kakiku melangkah bahkan tak melihat kayu
"Tidak bisakah saya melakukan ini di rumah?""Apa kau tak melihat seburuk apa warna kakimu?"Aku menatap dokter yang membantuku membuka sepatu, "see, yang sebelah kiri bahkan lebih biru dari kaki kananmu."Aku hanya menatap kedua kakiku yang warnanya membiru, sementara asistennya yang datang dengan baskom langsung menyuruhku merendam kaki dalam air hangat yang ia bawa."Thank you, Miss." ucapku pada sang asisten yang menatap dokter mengangkat ujung gaun tidurku."Are you not feel any pain?" Tanyanya mencubit betisku sampai manik mataku membesar, kaget.Sementara ia tertawa, "oh sorry, kupikir aku harus melakukan tes lanjutan padamu."Ia menatap sang asisten yang mengangguk."Well, aku tahu rasa dingin bisa membuat seseorang mati rasa, tapi ini?" Ia menarik nafasnya dalam, tangannya memegang betisku yang masih merendam kakiku dalam baskom."Ini akan sakit, jadi kau bisa berteriak kalau mau ataupun mengeraskan gigimu kuat-kuat."Aku menatap dokter yang menunjuk serpihan kayu Cemara yang
"Istirahatlah kalian berdua, dan jangan telat besok.""Yes, Ma'am," jawab Sidney menutup pintu mobil nyonya Li."Terimakasih banyak, Nyonya," ucapku pada wanita tua yang menoleh."It's not a big deal, Mira, dan beristirahatlah.""Saya harus bekerja, Nyonya.""Apa kakimu tak apa?""Tidak apa, Nyonya.""Well, lakukan yang kau mau, tapi jangan memaksakan diri, ok?"Aku mengangguk lalu turun dan membalas lambaian wanita tua yang membuka jendela, "sampaikan salam ku untuk Rose.""Tentu, Bi, dan hati-hatilah membawa mobilmu dan jadilah supir yang beradab," canda Sidney merangkul pundakku dan melambai pada sang bibi yang melajukan mobil."Ayo, kita masuk, aku sudah kedinginan."Kami masuk ke dalam rumah setelah mobil nyonya Li tak terlihat. Rasa hangat langsung terasa berkat perapian yang menyala, Rose yang sedang merajut menatapi kami berdua dengan kening berkerut."Kami habis jalan-jalan," ucap Sidney membuat Rose menatapku."Dengan baju tipis?""Yeah, udara segar nan dingin kadang baik un
"Ah, aku belum menjawab sapaanmu tadi siang, bukan? Mi-ra."Aku hanya terus berdiri, mataku pun hanya menatapi batang rokok yang sudah habis separo lalu dihisap Anggita tanpa batuk ataupun kaku."Apa kau tak pernah melihat wanita merokok? Begitu anehkah?" Anggita menjentikkan batang rokok yang terlempar ke arahku. Ujungnya masih menyala."Ini pekerjaanmu, bukan? Memastikan tak ada kotoran ataupun debu yang tertinggal?"Ia berdiri, Menginjak batang rokok dengan kakinya yang sama sekali tidak beralas.Wajah Anggita sama sekali tak menunjukan kesakitan ataupun perih.Sementara aku masih tak bersuara."Kau tahu, kau benar-benar membuatku terkejut. Makan dengan Ken dan Banyu? Apa kau tak merasa malu?"Mendengar nama bocah kecil yang rona pipinya kembali, membuatku menatap manik Anggita lurus, ia sama sekali tak menunjukan rasa sedih ataupun bahagia saat mengucapkan nama putranya. "Jika kau berpikir aku akan berterimakasih dengan apa yang kau ucapkan tadi siang, kau salah besar, seharusny
"Little whore!"Aku menarik dalam nafasku, ucapan Liyde membuatku bertanya, 'sejak kapan aku tak lagi membela diriku sendiri? Sejak kapan aku lebih memilih diam dengan rapat-rapat menutup mulut dan hanya menyimpan apa yang kurasakan dalam hati semenyesakkan apapun itu terasa.'"Kurasa istri GM bahkan tak mau menyentuhmu yang pantas dihajar."Aku masih diam, menyerahkan list yang akan dijadikannya sebagai laporan. Kurasa aku harus bersyukur ia tak membuang list-ku ke tempat sampah meski tatapan matanya jadi semakin tajam."Pergilah, atau aku yang akan menggantikan nyonya Hutama untuk menghajarmu."Aku menatapi Liyde beberapa lama, memperhatikan wajah keriputnya yang tak lagi memberiku senyum meski dulu gerutuannya sering kudengar karena aku tidak memiliki ponsel.Sikap ramah dan sambutan hangatnya yang tak jarang menceritakan kenakalan cucunya yang masih berusia 4 tahun pun tak lagi kudengar. Kurasa, ia akan tetap jadi wanita tua penggerutu namun ramah jika tak ada rumor tentang dirik
Aku yang menutup mata bisa merasakan hembusan hangat nafas Ken pada permukaan kulitku.Sentuhan tangannya yang dingin terasa menenangkan meski saat aku membuka mata ia mengucapkan maaf."Kamu pasti lelah," ucap Ken menjauhkan tangannya dari pipiku."Pulanglah, aku akan menjaga Banyu di sini."Mata Ken membesar saat aku menunjukan senyumku. Aku bisa melihat sorot kesedihan dalam pupil matanya yang sehitam pualam tergelap, saat mata kami bertemu.Namun, apa yang bisa kulakukan saat aku sendiri sadar 'tidak akan lagi ada kami'.Tidak hari ini, tidak esok hari ataupun lusa, tidak pula di masa yang akan datang."Sebaiknya kamu pulang sekarang, sebelum temanku bangun dan membuat keributan."Ken hanya menatapku berdiri, ia tidak mengangguk atau mengatakan iya sampai ia pun berdiri. Membuatku mendongak saat menatapnya.Aku ingin bertanya apa yang terjadi pada Banyu? Namun, mulutku mengeluarkan kalimat lain, "hati-hati di jalan, Ken."Kali ini ia mengangguk, menatapiku yang tak mengalihkan pan
***********************Selembar surat.Hai, onty Mira.Well, emm... Aku sudah lulus sekolah per-surat ini sampai padamu. Sementara Ben masih sedang mempersiapkan diri untuk ujian penerimaan siswa baru hmmm... kuharap ia diterima. Well, aku dan Muray mommy tahu ia akan berusaha yang terbaik.Oh, apa rajutan baju dan syal yang Rose kirim sudah sampai padamu? Ia menanyakan satu hal itu setiap hari. Sampai aku bosan rasanya (just kidding lol).Apa kau tahu onty? Sidney hamil anak ke 3 dan uncle Carter begitu senang sampai tak perduli pada gosip yang beredar tentang seproduktif apa dirinya. Huh! Sungguh para penggosip tua yang suka sekali membicarakan orang lain!Jika kota kecil ini bukan tempat yang indah, kurasa aku dan Ben tidak akan betah tinggal di sini (this is a BIG lie, ok?) Karena aku suka sekali dengan sandwich tuna buatan nyonya Li. Ia titip salam untukmu by the way.Oh, apa kau tahu onty? Banyak turis yang datang untuk bermain ski berkat resort baru milik kakakmu. Hmm... Ia
Hujan masih saja turun dengan deras. Rintiknya begitu ruah bahkan tak mau berhenti saat tubuh tanpa nyawa ditimbun tanah merah yang juga basah.Apa dunia sedang ikut berduka untuk terlepasnya sebuah nyawa dari raga? Siapa yang tahu. Yang jelas, empat orang penggali makam akhirnya bisa pulang ke rumah mereka dengan mengantongi lembaran rupiah.Senyum syukur yang mereka pancarkan tidak ada hubungannya dengan punggung sepi yang menatapi makam dengan nisan baru. Obrolan mereka yang meninggalkan area makam, tak memiliki korelasi apapun dengan sorot mata yang sedang lelaki pemilik barisan gigi paling rapi tunjukan. Mungkin satu-satunya penghubung mereka dengan lelaki itu hanya cipratan air yang membawa tanah pada sepatu pun ujung celana.Entah kalimat apa yang ia ucapkan pada makam yang diguyur hujan itu. Rintik dan tetesan air dari langit seolah tak membiarkan telinga manusia mendengar apa yang lelaki pemilik barisan rapi itu sampaikan.Pun, gerakan tubuhnya yang akhirnya berbalik lal
Pernahkan kamu merasa ingin mati sampai tak bisa melihat dirimu membayangkan hari esok? Pernahkan kamu dikhianati duniamu sampai bernafas saja terasa sesak?Pernahkan kamu merasa dirimu jadi manusia paling bodoh hanya karena mengikuti kata hatimu? Pernahkah kamu merasa sendirian diantara tawa menggema yang bahkan matamu lihat dan menyentuh kulit telingamu yang tipis?Jika tidak pernah, jangan berani-beraninya menyalahkan pilihan yang ku ambil. Aku adalah anak yang tumbuh dengan tuntutan orang tua yang lupa jika sentuhan hangat itu hal yang penting. Aku adalah anak yang tidak diajari untuk mengasihi orang lain jika orang itu tidak mampu memberiku sesuatu.Aku adalah anak yang diajari semua yang kumiliki ada harganya termasuk kehidupan nyaman yang merenggut senyum polosku. Apa aku melawan? Tidak! Karena menjalani hidup seperti itu adalah apa yang dunia kenalkan padaku! Sampai datang hari dimana seseorang bertanya, 'apa aku bahagia?'Ah, andai saja aku tidak diam seolah kalimatnya
PRANGG! Bunyi cangkir yang jatuh bersama isinya itu membiat suster Yuli menoleh pada wanita yang berdiri langsung menatapi pintu.Suster yang dengan senang hati menerima tawaran Arga untuk merawat Anna ini, menatap Anna yang tangannya terkepal saat Arga masuk membawa tubuh wanita yang tangannya lunglai di udara. Tanpa kata, Arga langsung meletakkan tubuh Arini di atas lantai dingin di hadapan Anna. Wanita paruh baya yang dulu mengambil dirinya sebagain anak dengan syarat, Arga harus melupakan masa lalu. Hal yang tidak akan pernah bisa Arga lakukan meski ia begitu pandai bermain lakon."Aku ingin ibu mengenalnya, Bu," ucap Arga mengusap pipi Arini. Begitu lembut dan penuh rasa.Tatapan yang tidak pernah Anna lihat dari anak yang ia rawat dan besarkan dengan segala tuntutan kesempurnaan tanpa cela."Namanya Arini, Bu, usianya 28 tahun," ucap Arga masih menatap Arini dengan pandangan yang begitu lembut.Pandangan yang masih tersisa saat ia mendongak menatap sang ibu yang menahan nafany
Aku tidak lagi bisa melihat Banyu karena mobil yang kunaiki tenggelam semakin dalam, sementara air yang masuk dari celah-celah mobil sudah menenggelamkan separuh lututku.Bohong jika aku tidak merasa takut saat air dingin danau semakin menenggelamkan kakiku. Dan akan terus naik sampai tak ada lagi ruang tersisa untuk udara.Menenggelamkan apa pun yang ada di dalamnya termasuk diriku.Aku bisa merasakan punggungku berkeringat meski seluruh tubuhku merasa dingin. Rambut-rambut halusku berdiri sementara tanganku yang gemetar kutahan untuk menurunkan jendela karena itu satu-satunya jalan keluarku.'Apa aku menyerah pada hidupku?'Kurasa iya, aku menyerah untuk hidup. Tapi, bukan karena aku ingin mati. "Ingin mati?" Ucapku menatapi tanganku yang gemetaran. Bahkan tremor yang kulihat tidak berhenti ketika kedua tanganku, kusatukan. Rasanya ... rasanya aku bisa melihat akan berakhir seperti apa diriku. Sendirian di dalam mobil yang akan jatuh ke dasar danau. "Apa akan ada orang yang menem
****************"Kenapa kau begitu keras kepala bertahan untuk hidup?"Suara yang terdengar begitu putus asa itu terdengar di dalam kamar penuh barang pecah yang sengaja di banting, dilempar, dihempaskan semau tangan yang memegangnya.Tangan gadis muda dengan wajah kuyu yang terlihat begitu lelah apalagi saat memandang perutnya yang membuncit."Kenapa kau begitu keras kepala untuk hidup?" Ulang gadis muda itu dengan mata menatap perutnya sendiri. Ia seolah sedang mengajak bicara bakal manusia yang tumbuh dengan sangat baik meskipun sudah banyak cara dan usaha ia upayakan agar janin yang tumbuh sehat di dalam rahimnya mati. "Apa yang kau harapkan dariku? Aku tidak akan pernah menerima kehadiranmu, aku tidak akan mau menerima keberadaanmu dan aku tidak ingin kau hadir dalam kehidupanku.""Apa yang kau harapkan dengan bertahan, hah? Kenapa kau tidak mati saja?"Anna, gadis dengan wajah begitu kuyu itu menatap wanita lain yang masuk ke dalam kamarnya setelah men
"Kamu harus menghilang, Arini."Aku yang matanya membesar hanya bisa menatap Anggita dengan waspada. Sementara Anggita berjalan mendekati dapur, mengambil pisau yang membuat ku berteriak seperti orang kesetanan saat ia menghampiri kamar."JANGAN, ANGGITA! JANGAN LAKUKAN! AKU AKAN PERGI! AKU AKAN PERGI! ANGITA!"Brug! Aku yang berteriak bahkan jatuh tersungkur bersama kursi yang membuatku makin tak bisa bergerak saat Anggita mengangkat tubuh bulat Banyu yang tangannya jatuh lunglai."KEN! KEN!"Sampai aku tidak tahu kalimat apa saja yang kuteriakkan dalam ketakutan saat Anggita mengangkat tubuh kecil Banyu lalu menggendongnya dan menghampiriku yang terus memohon."Kenapa kamu menangis, Arini? Aku tidak akan menyakiti Banyu."Aku berusaha menghentikan isakku. Sementara mataku menatapi Anggita dengan permohonan yang terpancar dari seluruh diri. "Aku hanya membawa Banyu agar kamu tidak macam-macam."Aku benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang Anggita katakan, saat tangannya yang m
Nyut!!Kepalaku begitu sakit. Mungkin karena aku belum tidur sama sekali.Nyut!!Tidur? Ah, iya. Aku baru tidur tiga jam kurang sejak kemarin malam. Pantas saja kepalaku berdenyut-denyut.Nyut!"Kemarin?" Rasanya aku mengucapkan kalimat itu dengan otak yang berpikir, sementara mataku masih terpejam rapat.Bukan hal biasa, karena setelah aku menelan obat agar bisa tidur, tubuhku akan terbangun lebih dahulu dibandingkan mata. tapi, aku yang masih belum mampu membuka mata merasakan rasa tak biasa. Rasa yang membuat seluruh diriku merasa waspada.'Waspada? Waspada pada apa?' Aku yang rasanya tidak bisa menggerakkan tubuh ingin membuka mata. Tapi, mataku yang rapat terpejam terasa begitu berat sekedar untuk kuangkat.'Apa yang terjadi?' Aku yang kesadarannya belum sepenuhnya bangkit, bisa merasakan dahiku berkeringat. Sementara dadaku berdetak begitu cepat. Otakku menggali memori. Aku yang keluar dari rumah Arga bertemu dengan Nabila juga wanita tua yang kembali terkejut menatapiku, 's
Aku yang memutuskan memejamkan mata, bisa merasakan langit gelap semakin cerah. Dan benar saja saat aku membuka mata, langit pagi yang mendung sudah lebih terang. "Ga," panggilku pada lelaki yang kepalanya sudah bersender pada kepala sofa. Sementara tangannya yang memeluk pundakku sudah meregang.Aku menarik nafasku dalam, menatapi lelaki dengan barisan gigi rapi yang masih lelap tertidur. "Aku pulang dulu, terimakasih sudah mau mendengarkan ceritaku," ucapku menyentuh pipi Arga lalu bangun dari sofa yang membuatku sadar bokongku kebas. Aku menghampiri pintu yang semalam kubuka dengan password yang Arga berikan padaku, lalu membuka pintu yang otomatis tertutup begitu aku sudah keluar. Lorong tidak begitu sepi, aku bisa melihat dua anak berseragam SD berdiri di depan lift sementara empat orang dewasa di samping mereka bercengkrama. Dari lorong lain aku bisa mendengar suara langkah terburu-buru yang lalu bergabung dengan kumpulan manusia yang sudah berkumpul menunggu lift terbuka.