[Tidak penting saya tahu kamu atau tidak. Yang paling penting keberadaanmu menyakiti putri saya]Aku yang sedang mentapi sofa di lobi apartemen seolah bisa mendengar lagi ucapan lelaki paruh baya yang datang untuk putrinya."Putrinya," ucapku merasakan lidahku kelu tapi hatiku tak sesakit yang kukira bahkan bibirku mampu mengulas sebaris senyum yang begitu alami tercipta saat batinku berucap, 'untuk putrinya, bukan diriku.' Debaran jantungku tidak bertalu-talu, tidak ada airmata yang kembali keluar, ataupun rasa sakit yang diteriakkan jiwaku. Sementara tanganku yang tidak terkepal bisa merasakan gagang koper berisi penuh dengan uang. Koper yang tak kutanyakan akan seperti apa kisahnya. Aku menarik nafasku dalam, kakiku belum ingin melangkah sebagaimana mataku yang terus menatap sofa kosong yang terasa begitu dingin meski baju yang kukenakanlah yang basah. "Dingin sekali."Ding!Aku yang rasanya bisa melihat om Reno duduk di sofa lobi apartemen, menatap lift yang terbuka.Apa aku t
'Tapi, bisa sebodoh apa diriku? Dan sampai sejauh mana aku mau membodohi diri?'Aku yang sedang ditatapi Ken tetap berdiri di tempat yang sama, kakiku seperti terpaku dengan lantai yang sepatuku pijaki. Tatapan Ken yang menunduk untuk melihatku membuatku meremas kaos Rexy. Kaos dari pria yang meninggalkan beberapa tanda di tubuhku meski samar tapi terasa nyata.Sementara Ken masih tak mengeluarkan suaranya sama sekali. "Ken, aku- ... aku adalah orang yang sudah membohongi diriku ... membohongi diri bahwa apa yang kutahu bukan apa-apa, tidak berarti apa-apa, tidak akan berpengaruh apa-apa."Aku bisa merasakan suaraku sedikit bergetar bahkan bagi telingaku sendiri."Saat aku tahu kamu dan Anggita berselingkuh, aku hanya terus bersikap seolah aku tidak mengatahui apa pun, tidak melihat apa pun, juga tidak mengatakan apa pun.""Tanpa menyadari apa yang kupilih untuk kuyakini, menggerogotiku perlahan tapi pasti."Aku menarik nafasku dalam, berusaha menghilangkan perasaan sesak yang kuhaf
Bip! Cklek! Bunyi pintu yang terbuka itu membuat lelaki narsis yang sarkas menatap Rexy. "Он пошел?" (Dia sudah pergi?) Ucap Zander yang biasa saja Rexy tak menjawab, "tidak ingin menemaniku minum, Bro?"Rexy yang sudah berjalan di depan adiknya menoleh tanpa kata. "Man's night," ucap Zander mengangkat gelas berisi wiski sementara di meja, botol minuman berarkohol direndam dalam balok-balok es di dalam basket.Saat Rexy duduk, Zander menuang wiski dalam gelas yang sudah ia siapkan, "for you, Bro." Tring! Rexy hanya diam saat Zander menyentuhkan gelasnya pada gelas yang sudah ia pegang."Sejak kapan kau kembali?""Uhuk!" Zander yang sedang meneguk wiski terbatuk. Bukan karena tanya sang kakak, tapi karena Rexy tak menyadari kehadirannya yang sengaja terus tinggal di dalam kamar."Well," ucap Zander menunjukan senyum terbaiknya, "kurasa aku tak perlu menyapamu yang sedang sibuk di dalam kamar, no?"Manik Zander membesar saat melihat tatapan mengintimidasi yang ditunjukan Rexy, ia l
Siapa yang bisa di salahkan untuk tangisnya? Tangis lelaki penuh nilai plus yang selalu di banggakan ibunya. Wanita yang bahkan terang-terangan meninggalkan bekas tangan di pipi menantunya. Menantu yang hanya bisa diam saat tangan Sari panas dan berkedut. "Sial!" Rutuk wanita paruh baya yang menatapi telapak tangannya sendiri. "Seharusnya aku tidak hanya menamparnya saja."Ucapan sepernuh hati yang Sari katakan membuat lelaki yang sedang tidur memunggunginya, membuka mata. Tapi, hanya sesaat karena Damsik malas bertengkar dengan sang istri."Seharusnya kamu melakukan sesuatu pada anak sial itu, Pa. Bukanya malah tidur!"Damsik tahu, Istrinya ini tahu ia hanya pura-pura tidur. Tapi, lelaki yang sudah menyamankan tubuhnya di bawah selimut itu, tidak ingin menanggapi."Apa gunanya dirimu kalau membuat Ken berpikir jernih saja tidak mampu, seharusnya kamu pakai kebayaku saja daripada celana."Damsik tetap tidak bergeming. Meski telinganya memanas untuk ucapan Sari yang rasanya tidak ak
"Tunggulah sebentar lagi," ucap Wulan menatapi tubuh Anggita yang terbaring di atas brankar.Putri kesayangannya yang terlelap berkat infus yang mengandung obat penenang. Ia lalu berdiri, merapikan anak-anak rambut Anggita yang rapat memejamkan mata, bahkan tidak tahu apa yang Wulan lakukan. Tapi, wanita paruh baya yang menarik nafasnya dalam saat melihat tampilan sang putri, meremas pinggiran kasur. Bibir kering, mata bengkak, hidung merah, wajah tirus milik Anggita membuat Wulan begitu sepenuh hati meremas pinggiran kasur.Hatinya sakit setiap kali melihat Anggita seperti ini. Meskipun sudah berkali-kali, ia tetap tidak bisa membiasakan diri melihat putri yang lahir dari rahimnya terluka, lalu harus kembali ke rumah sakit dengan mental lemah dan jatuh butuh pertolongan ahli kejiwaan."Cepatlah membaik, Sayang," ucap Wulan terus menatapi tampilan Anggita yang matanya terpejam. Sementara di ambang pintu, Reno hanya bisa melihat punggung Wulan yang terlihat begitu kesepian. Tapi, l
Wanita paruh baya yang sedang menguping pembicaraan majikan dan tamu majikannya itu, berusaha untuk tidak terlihat. Meski mata dingin dalam potret, seolah menatapinya yang menyembunyikan keberadaan.Tapi, suara hujan yang menderas membuat telinga tuanya sulit menangkap pembicaraan dua manusia yang duduk begitu menjaga jarak. Dua manusia yang pandanganya bisa membuat mbok Imah menahan nafas, meski telinganya tak bisa mendengar semua pembicaraan yang diredam hujan.Mbok Imah tahu, bisa sedingin apa majikannya dalam bersikap. Mata tuanya bahkan sudah hafal punggung dingin yang bisa ditunjukan Anna.Tapi malam ini, ia yang hafal punggung Anna, bisa melihat tidak hanya kebekuan yang Anna tunjukan pada tamunya itu. Ada rasa lain yang tak ingin mbok Imah ucapkan, apalagi ia sedang melakukan hal yang tidak seharusnya ia lakukan, menguping!Namun, wanita tua itu tidak bisa menahan dirinya. Ia tidak bisa menahan diri untuk mencuri dengar apa yang Anna dan Reno bicarakan, sekalipun suara mereka
Zraaasss!!Suara hujan yang turun dengan deras menyapa telingaku yang masih memejamkan mata. Selimut yang hangat terasa menyentuh kulitku berusaha merasakan tiap jengkal tubuh.Tubuh lemas karena obat, yang terasa berbeda.Mataku yang kubuka langsung menatapi jam di dinding. "Kurang dari 3 jam."4 jam, 3 jam, dan kini 2 jam lebih. Mungkin aku harus menuruti kata Muray untuk memeriksakan diri.Perlahan aku bergerak. Merasakan tiap jengkal tubuhku mengingat sentuhan Rexy yang meninggalkan tanda.Tanda memerah yang membuatku sadar pembicaraanku dengan Ken bukan hanya bayanganku.Penyangkalannya untuk hal yang sudah kulakukan, membuatku menarik nafas dalam di atas ranjang luas yang terasa dingin.Aku yang tahu tidak akan bisa tidur lagi memilih bangun, lalu berdiri menjauh dari kasur dan keluar saat benakku mengingat bocah dengan pipi gembil yang pasti masih lelap dengan memeluk guling. Tapi, langkahku terhenti saat melihat Ken terlelap di atas sofa hanya dengan memeluk bantal tanpa seli
"Apa Banyu boleh ikut Tante terus?"Aku menatap Banyu beberapa lama, mengingat aku sama sekali tak memiliki rencana apapun hari ini kecuali bermain di taman bersamanya. "Tidakkah kita mau main pasir dan ayunan hari ini?"Banyu menoleh padaku yang mengangkat tangan kanannya tinggi. Bocah kecil yang menatapiku dengan wajah serius itu lalu tertawa geli merasakan ketiak kecilnya kubersihkan."Geli, Tante," adu Banyu di antara tawanya yang menggema memenuhi kamar mandi."Tentu saja geli, tapi ayo angkat tanganmu yang satu lagi.""Haruuuus?"Aku tak bisa menahan senyumku saat melihat wajah Banyu yang tetap mengangkat tangan kirinya lalu kembali tertawa. Bocah lucu yang terlihat lega saat aku selesai menggosok dua ketiaknya ini memunggungi ku, membiarkan ku menggosok punggungnya."Tante," ucap Banyu membuatku memasang telinga, "apa punggung Banyu masih jelek?""Apa punggungmu sakit?"Banyu menggeleng, "tidak sakit, tapi Banyu tidak suka lihat rokok."Tanganku yang perlahan menggosok punggun
***********************Selembar surat.Hai, onty Mira.Well, emm... Aku sudah lulus sekolah per-surat ini sampai padamu. Sementara Ben masih sedang mempersiapkan diri untuk ujian penerimaan siswa baru hmmm... kuharap ia diterima. Well, aku dan Muray mommy tahu ia akan berusaha yang terbaik.Oh, apa rajutan baju dan syal yang Rose kirim sudah sampai padamu? Ia menanyakan satu hal itu setiap hari. Sampai aku bosan rasanya (just kidding lol).Apa kau tahu onty? Sidney hamil anak ke 3 dan uncle Carter begitu senang sampai tak perduli pada gosip yang beredar tentang seproduktif apa dirinya. Huh! Sungguh para penggosip tua yang suka sekali membicarakan orang lain!Jika kota kecil ini bukan tempat yang indah, kurasa aku dan Ben tidak akan betah tinggal di sini (this is a BIG lie, ok?) Karena aku suka sekali dengan sandwich tuna buatan nyonya Li. Ia titip salam untukmu by the way.Oh, apa kau tahu onty? Banyak turis yang datang untuk bermain ski berkat resort baru milik kakakmu. Hmm... Ia
Hujan masih saja turun dengan deras. Rintiknya begitu ruah bahkan tak mau berhenti saat tubuh tanpa nyawa ditimbun tanah merah yang juga basah.Apa dunia sedang ikut berduka untuk terlepasnya sebuah nyawa dari raga? Siapa yang tahu. Yang jelas, empat orang penggali makam akhirnya bisa pulang ke rumah mereka dengan mengantongi lembaran rupiah.Senyum syukur yang mereka pancarkan tidak ada hubungannya dengan punggung sepi yang menatapi makam dengan nisan baru. Obrolan mereka yang meninggalkan area makam, tak memiliki korelasi apapun dengan sorot mata yang sedang lelaki pemilik barisan gigi paling rapi tunjukan. Mungkin satu-satunya penghubung mereka dengan lelaki itu hanya cipratan air yang membawa tanah pada sepatu pun ujung celana.Entah kalimat apa yang ia ucapkan pada makam yang diguyur hujan itu. Rintik dan tetesan air dari langit seolah tak membiarkan telinga manusia mendengar apa yang lelaki pemilik barisan rapi itu sampaikan.Pun, gerakan tubuhnya yang akhirnya berbalik lal
Pernahkan kamu merasa ingin mati sampai tak bisa melihat dirimu membayangkan hari esok? Pernahkan kamu dikhianati duniamu sampai bernafas saja terasa sesak?Pernahkan kamu merasa dirimu jadi manusia paling bodoh hanya karena mengikuti kata hatimu? Pernahkah kamu merasa sendirian diantara tawa menggema yang bahkan matamu lihat dan menyentuh kulit telingamu yang tipis?Jika tidak pernah, jangan berani-beraninya menyalahkan pilihan yang ku ambil. Aku adalah anak yang tumbuh dengan tuntutan orang tua yang lupa jika sentuhan hangat itu hal yang penting. Aku adalah anak yang tidak diajari untuk mengasihi orang lain jika orang itu tidak mampu memberiku sesuatu.Aku adalah anak yang diajari semua yang kumiliki ada harganya termasuk kehidupan nyaman yang merenggut senyum polosku. Apa aku melawan? Tidak! Karena menjalani hidup seperti itu adalah apa yang dunia kenalkan padaku! Sampai datang hari dimana seseorang bertanya, 'apa aku bahagia?'Ah, andai saja aku tidak diam seolah kalimatnya
PRANGG! Bunyi cangkir yang jatuh bersama isinya itu membiat suster Yuli menoleh pada wanita yang berdiri langsung menatapi pintu.Suster yang dengan senang hati menerima tawaran Arga untuk merawat Anna ini, menatap Anna yang tangannya terkepal saat Arga masuk membawa tubuh wanita yang tangannya lunglai di udara. Tanpa kata, Arga langsung meletakkan tubuh Arini di atas lantai dingin di hadapan Anna. Wanita paruh baya yang dulu mengambil dirinya sebagain anak dengan syarat, Arga harus melupakan masa lalu. Hal yang tidak akan pernah bisa Arga lakukan meski ia begitu pandai bermain lakon."Aku ingin ibu mengenalnya, Bu," ucap Arga mengusap pipi Arini. Begitu lembut dan penuh rasa.Tatapan yang tidak pernah Anna lihat dari anak yang ia rawat dan besarkan dengan segala tuntutan kesempurnaan tanpa cela."Namanya Arini, Bu, usianya 28 tahun," ucap Arga masih menatap Arini dengan pandangan yang begitu lembut.Pandangan yang masih tersisa saat ia mendongak menatap sang ibu yang menahan nafany
Aku tidak lagi bisa melihat Banyu karena mobil yang kunaiki tenggelam semakin dalam, sementara air yang masuk dari celah-celah mobil sudah menenggelamkan separuh lututku.Bohong jika aku tidak merasa takut saat air dingin danau semakin menenggelamkan kakiku. Dan akan terus naik sampai tak ada lagi ruang tersisa untuk udara.Menenggelamkan apa pun yang ada di dalamnya termasuk diriku.Aku bisa merasakan punggungku berkeringat meski seluruh tubuhku merasa dingin. Rambut-rambut halusku berdiri sementara tanganku yang gemetar kutahan untuk menurunkan jendela karena itu satu-satunya jalan keluarku.'Apa aku menyerah pada hidupku?'Kurasa iya, aku menyerah untuk hidup. Tapi, bukan karena aku ingin mati. "Ingin mati?" Ucapku menatapi tanganku yang gemetaran. Bahkan tremor yang kulihat tidak berhenti ketika kedua tanganku, kusatukan. Rasanya ... rasanya aku bisa melihat akan berakhir seperti apa diriku. Sendirian di dalam mobil yang akan jatuh ke dasar danau. "Apa akan ada orang yang menem
****************"Kenapa kau begitu keras kepala bertahan untuk hidup?"Suara yang terdengar begitu putus asa itu terdengar di dalam kamar penuh barang pecah yang sengaja di banting, dilempar, dihempaskan semau tangan yang memegangnya.Tangan gadis muda dengan wajah kuyu yang terlihat begitu lelah apalagi saat memandang perutnya yang membuncit."Kenapa kau begitu keras kepala untuk hidup?" Ulang gadis muda itu dengan mata menatap perutnya sendiri. Ia seolah sedang mengajak bicara bakal manusia yang tumbuh dengan sangat baik meskipun sudah banyak cara dan usaha ia upayakan agar janin yang tumbuh sehat di dalam rahimnya mati. "Apa yang kau harapkan dariku? Aku tidak akan pernah menerima kehadiranmu, aku tidak akan mau menerima keberadaanmu dan aku tidak ingin kau hadir dalam kehidupanku.""Apa yang kau harapkan dengan bertahan, hah? Kenapa kau tidak mati saja?"Anna, gadis dengan wajah begitu kuyu itu menatap wanita lain yang masuk ke dalam kamarnya setelah men
"Kamu harus menghilang, Arini."Aku yang matanya membesar hanya bisa menatap Anggita dengan waspada. Sementara Anggita berjalan mendekati dapur, mengambil pisau yang membuat ku berteriak seperti orang kesetanan saat ia menghampiri kamar."JANGAN, ANGGITA! JANGAN LAKUKAN! AKU AKAN PERGI! AKU AKAN PERGI! ANGITA!"Brug! Aku yang berteriak bahkan jatuh tersungkur bersama kursi yang membuatku makin tak bisa bergerak saat Anggita mengangkat tubuh bulat Banyu yang tangannya jatuh lunglai."KEN! KEN!"Sampai aku tidak tahu kalimat apa saja yang kuteriakkan dalam ketakutan saat Anggita mengangkat tubuh kecil Banyu lalu menggendongnya dan menghampiriku yang terus memohon."Kenapa kamu menangis, Arini? Aku tidak akan menyakiti Banyu."Aku berusaha menghentikan isakku. Sementara mataku menatapi Anggita dengan permohonan yang terpancar dari seluruh diri. "Aku hanya membawa Banyu agar kamu tidak macam-macam."Aku benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang Anggita katakan, saat tangannya yang m
Nyut!!Kepalaku begitu sakit. Mungkin karena aku belum tidur sama sekali.Nyut!!Tidur? Ah, iya. Aku baru tidur tiga jam kurang sejak kemarin malam. Pantas saja kepalaku berdenyut-denyut.Nyut!"Kemarin?" Rasanya aku mengucapkan kalimat itu dengan otak yang berpikir, sementara mataku masih terpejam rapat.Bukan hal biasa, karena setelah aku menelan obat agar bisa tidur, tubuhku akan terbangun lebih dahulu dibandingkan mata. tapi, aku yang masih belum mampu membuka mata merasakan rasa tak biasa. Rasa yang membuat seluruh diriku merasa waspada.'Waspada? Waspada pada apa?' Aku yang rasanya tidak bisa menggerakkan tubuh ingin membuka mata. Tapi, mataku yang rapat terpejam terasa begitu berat sekedar untuk kuangkat.'Apa yang terjadi?' Aku yang kesadarannya belum sepenuhnya bangkit, bisa merasakan dahiku berkeringat. Sementara dadaku berdetak begitu cepat. Otakku menggali memori. Aku yang keluar dari rumah Arga bertemu dengan Nabila juga wanita tua yang kembali terkejut menatapiku, 's
Aku yang memutuskan memejamkan mata, bisa merasakan langit gelap semakin cerah. Dan benar saja saat aku membuka mata, langit pagi yang mendung sudah lebih terang. "Ga," panggilku pada lelaki yang kepalanya sudah bersender pada kepala sofa. Sementara tangannya yang memeluk pundakku sudah meregang.Aku menarik nafasku dalam, menatapi lelaki dengan barisan gigi rapi yang masih lelap tertidur. "Aku pulang dulu, terimakasih sudah mau mendengarkan ceritaku," ucapku menyentuh pipi Arga lalu bangun dari sofa yang membuatku sadar bokongku kebas. Aku menghampiri pintu yang semalam kubuka dengan password yang Arga berikan padaku, lalu membuka pintu yang otomatis tertutup begitu aku sudah keluar. Lorong tidak begitu sepi, aku bisa melihat dua anak berseragam SD berdiri di depan lift sementara empat orang dewasa di samping mereka bercengkrama. Dari lorong lain aku bisa mendengar suara langkah terburu-buru yang lalu bergabung dengan kumpulan manusia yang sudah berkumpul menunggu lift terbuka.