"Aku hanya jatuh, bukan mati.""Kumohon jangan bercanda, Ibu."Anna terkekeh mendengar protes yang diucapkan Arga. Wanita paruh baya ini lalu menarik nafasnya dalam, menatap anak yang dahulu penuh luka sayatan di sekujur tubuhnya, sudah tumbuh begitu besar bahkan lebih tinggi darinya. "Ibu mau ke kamar mandi, bisa kau membantuku?""Aku bahkan akan mengantarkan ibu kemana pun," jawab Arga berdiri lalu membantu wanita tua yang ternyata bisa membuat Arga merasa terkejut. 'Apa ibu sudah seringkih ini?' batin lelaki yang memapah ibunya masuk ke dalam kamar mandi."Aku tak percaya Iyah memanggilmu hanya karena hal sepele.""Jatuh di kamar mandi bukan hal sepele, Bu. Apa ibu yakin tak perlu periksa?""Aku seorang dokter, Arga, kalaupun bukan dokter, aku lebih tahu apa yang tubuhku rasakan.""Tapi ibu hanya doketer spesialis kandungan bukan dokter tulang."Anna melirik putranya, "jaga ucapanmu anak muda," dan kalimat itu membuat Arga tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang begitu rapi
Lelaki yang sama sekali tak bisa tidur itu membuka matanya yang sengaja ia pejamkan. Matahari sudah nampak pun, suara kehidupan dimulai. Ditatapnya potret Arini yang sudah ia satukan dengan selotip. Sementara benaknya melihat wanita mungil yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. "Sebaiknya aku mandi." Ucap Arga bangkit dari ranjang dingin kamar luas yang sudah menjadi kamarnya sejak pertama kali ia datang. Zreess! Suara air shower yang mengalir, terdengar sampai akhirnya Arga keluar hanya dengan handuk melingkar di pinggang. Meski wajah Arga mulus, begitu banyak bekas luka yang tidak samar di tubuhnya yang hanya berbalut selembar handuk.Seolah tubuh Arga yang berdarah-darah saat usianya yang masih begitu kecil, memilih untuk tak menunjukan luka pada rupa Arga yang bisa menunjukan tawa semau hati, sekalipun ia tidak merasa senang. Tapi, menyisakan bekas pada permukaan lain selain wajah.Tangan Arga meraih pakaian dari lemari. Ia melepas handuk yang melilit di pinggang dan tak
Bangsal VIP itu sepi sekalipun ada tiga manusia di dalamnya. Seorang bocah lelaki yang masih lelap tertidur, seorang wanita yang masih belum membuka matanya, juga seorang lelaki yang tidak bisa menyambut bunga tidur kecuali mimpi yang membuatnya bangun dengan nafas tersengal dan rasa kaget yang membuatnya langsung melihat wajah sang istri yang tangan hangatnya, membuat wajahnya menunjukkan kelegaan."Yang," ucap Ken menyentuh pipi Arini yang wajahnya sudah kembali merona, sekalipun bibir wanita mungil itu masih kering dan Ken meneteskan sedikit air setiap beberapa saat.Lelaki yang sorot matanya terlihat lelah itu menatapi wajah Arini, istrinya, wanita yang pergi tanpa pesan atau pamit. Tidak lima tahun lalu, tidak juga seminggu yang lalu. Wanita mungil yang kembali tapi tidak ingin pulang ke rumah mereka. Rumah yang tampak malu karena potret-potret penuh tawa seakan mengejek isinya, dirinya juga kebodohan yang tidak ia sadari karena lima tahun lalu, Arini yang pergi dengan menunduk
Tok! Tok! Tian menatap pintu yang tidak terbuka sementara suara Banyu masih terdengar berceloteh dari dalam kamar mandi. Nampaknya, siapapun yang sedang berkunjung tak akan mau masuk sendiri kecuali dipersilahkan. Tian berdiri, mengahampiri tamu yang pasti berkunjung untuk bertemu dengan Arini. "Saya harap siapapun yang berdiri di depan pintu bukan nona Anggita ataupun mertua Anda, nyonya."Namun, mata Tian tetap menatap kaget saat menyadari siapa yang datang berkunjung."Selamat pagi," sapa Arga menunjukkan senyum ramah yang keramahannya diakui Tian meski ada sebagian dari dirinya mengatakan lelaki di hadapannya ini mirip sekali dengan lelaki yang seakan ingin menyobek jendela mobilnya yang waktu itu mengekori Arini dengan jarak."Selamat pagi," jawab Tian yang juga pandai menyembunyikan apa yang ia rasakan, meski jantungnya berdetak keras."Mencari siapa?" "Saya kenalannya nyonya Arini."'Kenalan?' batin Tian yang kesadarannya fokus pada kamar mandi berisi Banyu dan Ken."Boleh
Lelaki dengan pandangan mengintimidasi itu hanya diam menatapi kamar kecil yang penyewanya sudah pergi. Sedangkan wanita bertubuh tambun yang rambutnya dipenuhi roll rambut warna merah muda, tersenyum lebar menahan rasa groginya."Penghuni kamar ini sudah keluar dan hanya pamit pada satpam, benar-benar gadis yang tidak tahu tatakrama."Manik hijau keemasan Rexy hanya melirik wanita gemuk yang dasternya bahkan tak mampu menutupi paha."Apa saya bisa bertemu dengan satpam itu, Bu?" Begitu fasih Rexy berucap dalam bahasa, sampai membuat wanita bertubuh tambun di sampingnya tak lagi merasa kecil karena tidak bisa berbahasa asing kecuali bahasa ibu dan bahasa Indonesia."Ten- tentu saja bisa, Mas- Mister," ucap bu Bambang ragu dengan panggilan yang ingin ia ucapkan untuk bule di sampingnya ini."Mari saya antarkan ke rumah pak Dayat," ucap Bu Bambang mengajak Rexy keluar dari gedung dua lantai. Rumah kost yang salah satu kamarnya tak jadi terisi karena wanita mungil yang membayar uang sew
Ada yang salah dengan diriku. Aku tahu itu. Hanya saja, mungkin aku tidak ingin mengakui. "Selamat pagi, Nyonya," sapaan ramah dari dokter Rum yang datang dengan asistennya itu membuatku mengangguk."Bagaimana kabar anda hari ini?" Tambahnya yang datang untuk melakukan hal sama. Mengecek keadaanku yang tangannya tak lagi ditusuki jarum infus.Aku hanya mengangguk dan wanita berkerudung itu tersenyum tanpa memberikan komentar pada reaksiku. Sementara asistennya melakukan hal sama. Memastikan tekanan darah dan suhu badanku normal. "Apa nafsu makan Anda sudah kembali, Nyonya?"Aku hanya memberi anggukan kecil, meski aku tak bisa menikmati rasa apapun yang masuk ke dalam mulut. "Apa ada yang ingin anda keluhkan hari ini?"Aku yang tangannya saling menyatu menatap wanita berkerudung yang senyumnya begitu murah. Bahkan, seakan-akan diobral pada siapa saja termasuk diriku. Wanita yang masih di rawat, meski tanganku tak lagi ditusuki jarum infus.Hari ini tepat satu minggu sejak aku sadar,
Deg deg! Deg deg! Deg deg!Aku yang masih berdiri di dalam lift yang pintunya terbuka lebar, bisa mendengar suara jantungku sendiri yang bertalu-talu.Punggungku terasa begitu dingin bahkan rasa dinginnya lebih menusuk di bandingkan kota kecil yang hamparan Pinus dan Cemaranya membeku berkat salju.'Apa kakiku gemetaran? Apa telapak tanganku berkeringat? Apa dahiku dipenuhi keringat sebiji-biji jagung atau hanya basah?'Aku bahkan tak bisa memilih yang mana, kecuali mataku terus menatapi pintu yang bisa kulihat jelas di antara pintu-pintu lain yang berjajar sesuai unit."Tante?" Aku bisa merasakan manik mataku membesar saat panggilan Banyu membuatku sadar, aku tidak mungkin berdiri selamanya di dalam lift, sekali pun telapak kakiku sudah tak merasa sakit lagi begitupun betisku. Tinggal di dalam kamar rawat inap VIP tanpa melakukan banyak pergerakan pasti membuat luka di kaki kananku lebih cepat sembuh. Banyu mendongak, pipi gembilnya yang menyembul bahkan terlihat penasaran saat ak
Dalam bisu aku bertanya.Dalam diam aku berkata.Tapi, telingaku tetap tidak mendengar jawaban dari satu-satunya dzat yang mengenal diriku lebih baik dari pada diriku sendiri. *Mataku terpejam meski aku tak tidur. Di dalam kamar yang pendinginnya menyala ini aku mengingat banyak hal. Hal-hal yang membuatku meremas sprei di bawah selimut yang Ken tutupkan pada tubuhku. Di rumah ini, rumah yang terasa begitu asing meski semua yang ku ingat masih pada tempatnya, aku hanya bisa menutup rapat mulutku. Sementara hidungku mencium aroma yang membuatku mengingat masa lalu. "!" Aku yang tubuhnya dipeluk Ken baru sadar tangan yang melingkar di badanku ini terasa berat. Membuatku membuka mata lalu menoleh pada lelaki yang ternyata sudah lelap entah sejak kapan.Wajah Ken tampak lelah namun damai. Tapi tangannya kaget saat aku berusaha melepaskan diri dari dekapan hangat yang membuatku menatap pintu kamar kami yang rapat tertutup.Duar!! Tanpa kilat peringatan, petir menggelegar. Aku yang te
***********************Selembar surat.Hai, onty Mira.Well, emm... Aku sudah lulus sekolah per-surat ini sampai padamu. Sementara Ben masih sedang mempersiapkan diri untuk ujian penerimaan siswa baru hmmm... kuharap ia diterima. Well, aku dan Muray mommy tahu ia akan berusaha yang terbaik.Oh, apa rajutan baju dan syal yang Rose kirim sudah sampai padamu? Ia menanyakan satu hal itu setiap hari. Sampai aku bosan rasanya (just kidding lol).Apa kau tahu onty? Sidney hamil anak ke 3 dan uncle Carter begitu senang sampai tak perduli pada gosip yang beredar tentang seproduktif apa dirinya. Huh! Sungguh para penggosip tua yang suka sekali membicarakan orang lain!Jika kota kecil ini bukan tempat yang indah, kurasa aku dan Ben tidak akan betah tinggal di sini (this is a BIG lie, ok?) Karena aku suka sekali dengan sandwich tuna buatan nyonya Li. Ia titip salam untukmu by the way.Oh, apa kau tahu onty? Banyak turis yang datang untuk bermain ski berkat resort baru milik kakakmu. Hmm... Ia
Hujan masih saja turun dengan deras. Rintiknya begitu ruah bahkan tak mau berhenti saat tubuh tanpa nyawa ditimbun tanah merah yang juga basah.Apa dunia sedang ikut berduka untuk terlepasnya sebuah nyawa dari raga? Siapa yang tahu. Yang jelas, empat orang penggali makam akhirnya bisa pulang ke rumah mereka dengan mengantongi lembaran rupiah.Senyum syukur yang mereka pancarkan tidak ada hubungannya dengan punggung sepi yang menatapi makam dengan nisan baru. Obrolan mereka yang meninggalkan area makam, tak memiliki korelasi apapun dengan sorot mata yang sedang lelaki pemilik barisan gigi paling rapi tunjukan. Mungkin satu-satunya penghubung mereka dengan lelaki itu hanya cipratan air yang membawa tanah pada sepatu pun ujung celana.Entah kalimat apa yang ia ucapkan pada makam yang diguyur hujan itu. Rintik dan tetesan air dari langit seolah tak membiarkan telinga manusia mendengar apa yang lelaki pemilik barisan rapi itu sampaikan.Pun, gerakan tubuhnya yang akhirnya berbalik lal
Pernahkan kamu merasa ingin mati sampai tak bisa melihat dirimu membayangkan hari esok? Pernahkan kamu dikhianati duniamu sampai bernafas saja terasa sesak?Pernahkan kamu merasa dirimu jadi manusia paling bodoh hanya karena mengikuti kata hatimu? Pernahkah kamu merasa sendirian diantara tawa menggema yang bahkan matamu lihat dan menyentuh kulit telingamu yang tipis?Jika tidak pernah, jangan berani-beraninya menyalahkan pilihan yang ku ambil. Aku adalah anak yang tumbuh dengan tuntutan orang tua yang lupa jika sentuhan hangat itu hal yang penting. Aku adalah anak yang tidak diajari untuk mengasihi orang lain jika orang itu tidak mampu memberiku sesuatu.Aku adalah anak yang diajari semua yang kumiliki ada harganya termasuk kehidupan nyaman yang merenggut senyum polosku. Apa aku melawan? Tidak! Karena menjalani hidup seperti itu adalah apa yang dunia kenalkan padaku! Sampai datang hari dimana seseorang bertanya, 'apa aku bahagia?'Ah, andai saja aku tidak diam seolah kalimatnya
PRANGG! Bunyi cangkir yang jatuh bersama isinya itu membiat suster Yuli menoleh pada wanita yang berdiri langsung menatapi pintu.Suster yang dengan senang hati menerima tawaran Arga untuk merawat Anna ini, menatap Anna yang tangannya terkepal saat Arga masuk membawa tubuh wanita yang tangannya lunglai di udara. Tanpa kata, Arga langsung meletakkan tubuh Arini di atas lantai dingin di hadapan Anna. Wanita paruh baya yang dulu mengambil dirinya sebagain anak dengan syarat, Arga harus melupakan masa lalu. Hal yang tidak akan pernah bisa Arga lakukan meski ia begitu pandai bermain lakon."Aku ingin ibu mengenalnya, Bu," ucap Arga mengusap pipi Arini. Begitu lembut dan penuh rasa.Tatapan yang tidak pernah Anna lihat dari anak yang ia rawat dan besarkan dengan segala tuntutan kesempurnaan tanpa cela."Namanya Arini, Bu, usianya 28 tahun," ucap Arga masih menatap Arini dengan pandangan yang begitu lembut.Pandangan yang masih tersisa saat ia mendongak menatap sang ibu yang menahan nafany
Aku tidak lagi bisa melihat Banyu karena mobil yang kunaiki tenggelam semakin dalam, sementara air yang masuk dari celah-celah mobil sudah menenggelamkan separuh lututku.Bohong jika aku tidak merasa takut saat air dingin danau semakin menenggelamkan kakiku. Dan akan terus naik sampai tak ada lagi ruang tersisa untuk udara.Menenggelamkan apa pun yang ada di dalamnya termasuk diriku.Aku bisa merasakan punggungku berkeringat meski seluruh tubuhku merasa dingin. Rambut-rambut halusku berdiri sementara tanganku yang gemetar kutahan untuk menurunkan jendela karena itu satu-satunya jalan keluarku.'Apa aku menyerah pada hidupku?'Kurasa iya, aku menyerah untuk hidup. Tapi, bukan karena aku ingin mati. "Ingin mati?" Ucapku menatapi tanganku yang gemetaran. Bahkan tremor yang kulihat tidak berhenti ketika kedua tanganku, kusatukan. Rasanya ... rasanya aku bisa melihat akan berakhir seperti apa diriku. Sendirian di dalam mobil yang akan jatuh ke dasar danau. "Apa akan ada orang yang menem
****************"Kenapa kau begitu keras kepala bertahan untuk hidup?"Suara yang terdengar begitu putus asa itu terdengar di dalam kamar penuh barang pecah yang sengaja di banting, dilempar, dihempaskan semau tangan yang memegangnya.Tangan gadis muda dengan wajah kuyu yang terlihat begitu lelah apalagi saat memandang perutnya yang membuncit."Kenapa kau begitu keras kepala untuk hidup?" Ulang gadis muda itu dengan mata menatap perutnya sendiri. Ia seolah sedang mengajak bicara bakal manusia yang tumbuh dengan sangat baik meskipun sudah banyak cara dan usaha ia upayakan agar janin yang tumbuh sehat di dalam rahimnya mati. "Apa yang kau harapkan dariku? Aku tidak akan pernah menerima kehadiranmu, aku tidak akan mau menerima keberadaanmu dan aku tidak ingin kau hadir dalam kehidupanku.""Apa yang kau harapkan dengan bertahan, hah? Kenapa kau tidak mati saja?"Anna, gadis dengan wajah begitu kuyu itu menatap wanita lain yang masuk ke dalam kamarnya setelah men
"Kamu harus menghilang, Arini."Aku yang matanya membesar hanya bisa menatap Anggita dengan waspada. Sementara Anggita berjalan mendekati dapur, mengambil pisau yang membuat ku berteriak seperti orang kesetanan saat ia menghampiri kamar."JANGAN, ANGGITA! JANGAN LAKUKAN! AKU AKAN PERGI! AKU AKAN PERGI! ANGITA!"Brug! Aku yang berteriak bahkan jatuh tersungkur bersama kursi yang membuatku makin tak bisa bergerak saat Anggita mengangkat tubuh bulat Banyu yang tangannya jatuh lunglai."KEN! KEN!"Sampai aku tidak tahu kalimat apa saja yang kuteriakkan dalam ketakutan saat Anggita mengangkat tubuh kecil Banyu lalu menggendongnya dan menghampiriku yang terus memohon."Kenapa kamu menangis, Arini? Aku tidak akan menyakiti Banyu."Aku berusaha menghentikan isakku. Sementara mataku menatapi Anggita dengan permohonan yang terpancar dari seluruh diri. "Aku hanya membawa Banyu agar kamu tidak macam-macam."Aku benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang Anggita katakan, saat tangannya yang m
Nyut!!Kepalaku begitu sakit. Mungkin karena aku belum tidur sama sekali.Nyut!!Tidur? Ah, iya. Aku baru tidur tiga jam kurang sejak kemarin malam. Pantas saja kepalaku berdenyut-denyut.Nyut!"Kemarin?" Rasanya aku mengucapkan kalimat itu dengan otak yang berpikir, sementara mataku masih terpejam rapat.Bukan hal biasa, karena setelah aku menelan obat agar bisa tidur, tubuhku akan terbangun lebih dahulu dibandingkan mata. tapi, aku yang masih belum mampu membuka mata merasakan rasa tak biasa. Rasa yang membuat seluruh diriku merasa waspada.'Waspada? Waspada pada apa?' Aku yang rasanya tidak bisa menggerakkan tubuh ingin membuka mata. Tapi, mataku yang rapat terpejam terasa begitu berat sekedar untuk kuangkat.'Apa yang terjadi?' Aku yang kesadarannya belum sepenuhnya bangkit, bisa merasakan dahiku berkeringat. Sementara dadaku berdetak begitu cepat. Otakku menggali memori. Aku yang keluar dari rumah Arga bertemu dengan Nabila juga wanita tua yang kembali terkejut menatapiku, 's
Aku yang memutuskan memejamkan mata, bisa merasakan langit gelap semakin cerah. Dan benar saja saat aku membuka mata, langit pagi yang mendung sudah lebih terang. "Ga," panggilku pada lelaki yang kepalanya sudah bersender pada kepala sofa. Sementara tangannya yang memeluk pundakku sudah meregang.Aku menarik nafasku dalam, menatapi lelaki dengan barisan gigi rapi yang masih lelap tertidur. "Aku pulang dulu, terimakasih sudah mau mendengarkan ceritaku," ucapku menyentuh pipi Arga lalu bangun dari sofa yang membuatku sadar bokongku kebas. Aku menghampiri pintu yang semalam kubuka dengan password yang Arga berikan padaku, lalu membuka pintu yang otomatis tertutup begitu aku sudah keluar. Lorong tidak begitu sepi, aku bisa melihat dua anak berseragam SD berdiri di depan lift sementara empat orang dewasa di samping mereka bercengkrama. Dari lorong lain aku bisa mendengar suara langkah terburu-buru yang lalu bergabung dengan kumpulan manusia yang sudah berkumpul menunggu lift terbuka.