Sesampainya di ibukota, aku langsung ke kosan baru. Nayla, temanku yang baik hati itu sudah memindahkan barang-barang milikku yang tidak seberapa ke tempat yang baru."Kenapa pindah sih, kamu sudah bosan tinggal dekat denganku?" Tanya Nayla begitu kami selesai berkemas. Saat ini kami sedang duduk bersantai sambil menikmati makan siang di lantai kosan. "Tidak Nay, aku menghindari Pak Bagas, aku sudah memutuskan hubungan dengannya dan tidak juga bekerja di cafe nya." "Kenapa?""Kamu lihat ini?" tanyaku sambil menunjukkan bekas luka di bibirku yang sudah mulai sembuh. "Ah iya, aku baru mau bertanya. Pulang liburan kok kayak habis dianiya, pria itu yang melakukannya?" "Bukan, tapi istrinya," jawabku singkat.Nayla menutup mulutnya dengan telapak tangan, sepertinya dia shock dengan apa yang aku katakan. "Kok bisa, bagaimana kejadiannya?" "Sebenarnya wanita itu sudah menyadap ponsel suaminya, tapi sepertinya kami berdua sama-sama bod0h, atau mungkin lagi apes. Jadi gitu deh, aku keta
"Yaa ampun Ri, kenapa baru datang? aku pikir tidak jadi kesini. Mana aku telpon juga tidak diangkat-angkat," cerocos Nayla begitu aku sampai di kamar kosannya. "Aku diculik," jawabku asal. "Hah?! diculik bagaimana?""Tadi saat aku sampai didekat sini, tiba-tiba ada mobil Pak Bagaskara. Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya disini. Lalu dia memaksaku untuk pergi bersamanya, bahkan dia hampir memaksaku melayaninya," tuturku panjang lebar. "Kok bisa sih, bukannya kalian sudah putus hubungan. Kenapa dia masih memaksamu." "Aku meninggalkannya begitu saja saat di Jogja dulu, Nay. Dia sendiri yang mengatakan jika setelah berlibur disana kami akan berpisah, makanya aku pergi dan meninggalkan dirinya di hotel begitu saja saat itu. Aku tidak ingin lagi dia mencegahku dan menggangguku. Makanya itu juga aku pindah kos-kosan." "Terus tadi ngapain dia membawamu?""Dia bilang merindukan diriku, dia tidak bisa kehilangan aku. Lelaki itu ingin aku bersamanya, Nay." Terdengar helaan nafas da
"Hai Mentari, mau bareng?" Sapa sebuah suara saat aku melangkahkan di trotoar menuju halte busway."Eh mas Rayyan, saya biasa naik busway, mas. Terimakasih," sahutku sambil tersenyum. Pria yang menyapaku adalah Staff HRD yang waktu itu menghubungiku untuk kembali bekerja di kantor ini. Sehari-hari dia mengendarai motor untuk pulang dan pergi ke kantor. Pria itu terus mengikuti diriku yang berjalan kaki dengan menjalankan motornya secara perlahan."Ayolah, Mentari. Kita searah kok," ucapnya lagi."Darimana mas Ray tahu jika kita searah?" tanyaku sambil menghentikan langkah."Aku beberapa kali melihatmu di dalam bus yang tujuannya ke arah kosanku. Jadi aku pikir kita searah, untuk memastikan lebih baik kita jalan bersama." "Berarti belum pasti searah. Lebih baik mas Ray jalan duluan daripada harus mengantarkanku terlebih dahulu," ucapku sambil tersenyum. Aku kembali melangkah menuju ke halte, tidak ingin merepotkan orang lain. Namun lelaki yang usianya tidak jauh beda denganku itu te
Siang ini seperti biasanya aku dan Mbak Aira akan menghabiskan waktu bersama dengan salat dan makan. Mas Rayyan masih suka mengajakku pulang pergi bersama meskipun aku berusaha menghindarinya sebisa mungkin. Jujur saja aku tidak percaya diri jika harus dekat dengan laki-laki itu. "Boleh duduk disini," sapa seseorang laki-laki. Aku dan Mbak Aira yang sedang asyik menyantap makanan siang, refleks mendongak dan menatap kearah sumber suara. "Boleh dong Ray, duduklah," ucap Mbak Aira mempersilahkan pria itu duduk diantara kami. Setelah mengucapkan terima kasih, mas Rayyan duduk diantara kami berdua. Dia juga sudah membawa sepiring nasi berserta lauknya dengan lengkap. "Kalian sering pulang pergi bersama?" tanya mbak Aira memecah keheningan diantara kami. "Kalau ada kesempatan saja sih mbak? Mentari sepertinya selalu berusaha menghindari saya," jawab Mas Rayyan sambil menatapku. "Tidak mas, kadang saya memang harus pulang terlambat dan berangkat lebih pagi," sahutku beralasan. "Mema
"Mentari ...." Panggilan itu membuatku tersadar dari lamunan. "I-iya mas," jawabku tergagap. "Bagaimana, bolehkah aku mengenalmu lebih dekat?" tanyanya lagi. "Aku, aku tidak tahu mas. Aku tidak mengerti maksudmu, kita kan sudah saling mengenal selama ini," jawabku asal. Pria di sampingku itu menghela nafas panjang, mungkin dia gemas dengan kepura-puraanku."Selama ini kita hanya saling mengenal sebagai rekan kerja, aku ingin mengenal lebih dari itu. Baiklah jika begitu, maukah kamu menjadi kekasihku aku ingin mengenalmu lebih dekat dan akan menikahimu jika kita saling cocok. Apa kamu mengerti jika aku mengatakan yang seperti ini?" Kali ini perkataan Mas Rayan terdengar lugas dan sangat jelas menjadi kekasih lalu menikah sekarang aku tidak bisa berpura-pura tidak mengetahui maksudnya."Aku aku tidak pantas untukmu Mas," lirihku.Terdengar decakan dari mulut Mas Rayan. "Alasan itu terdengar klise, Mentari. Aku tidak dak pantas untukmu, kamu terlalu baik dan lain sebagainya Itu hany
"Kenapa orang tuamu memberi nama Mentari?" tanya mas Rayyan sore itu. Seperti biasa, kami akan menghabisi waktu bersama di taman kota setelah pulang kerja dihari Sabtu. Hubungan kami sudah berjalan selama satu bulan, selama itu kami pulang pergi bersama. Kadang kala pria itu mampir ke kosanku saat kami pulang kerja bersama untuk mencoba masakanku. Di kosan itu tidak ada larangan teman pria datang, dengan syarat tidak lewat jam malam dan tidak menutup pintu kamar jika ada tamu datang. Hanya jika hari Sabtu saja kami pergi keluar agar tidak kemalaman saat pulang. Kami lebih banyak menghabiskan waktu bersama di taman, dan tempat terbuka lainnya. Menghindari hal-hal yang mungkin terjadi seperti waktu lalu saat hujan turun dengan deras. Mungkin aku memang bukan wanita yang baik dan sudah pernah melakukan hubungan badan berkali-kali, tapi aku tidak ingin membuat mas Rayyan terjerumus melakukannya denganku."Ibu bilang agar aku menjadi wanita yang bersinar seperti Mentari. Tapi sepertinya
Aku masih terus berusaha mencari waktu yang tepat untuk berbicara dengan Mas Rayyan tentang masa laluku menjadi wanita simpanan, sebelum Pak Bagas yang akan mengatakannya entah dengan cara bagaimana. Namun sepertinya waktu tidak berpihak padaku, baik Mas Rayyan maupun aku sangat sibuk menjelang akhir tahun seperti ini. Bahkan mas Rayyan sering kali lembur dan kami tidak bisa pulang bersama, tidak juga punya waktu untuk pergi berdua di hari Sabtu seperti biasanya. "Maaf ya, kita gak bisa pulang bareng beberapa hari ini. Mas masih sibuk," ucapnya siang itu saat makan bersama. Kami hanya makan berdua saja, mbak Aira sedang keluar kantor bersama atasan kami. "Tidak apa-apa mas, kamu fokuslah bekerja. Aku tahu semua orang sibuk saat ini termasuk aku," jawabku sambil tersenyum. "Setelah ini kita bisa libur bersama," ucapnya sambil tersenyum padaku. "Aku tidak sabar ingin bertemu dengan ibumu," lanjutnya lagi. Aku tersenyum getir mendengar perkataannya, membayangkan sebuah kekecewaan y
Aku terbangun disebuah kamar dengan cat berwarna putih tulang. Mataku segera memindai ruangan, disampingku tampak tertidur dengan pulas pria yang tadi membawakan, Pak Bagas. Dengan panik segera kubuka selimut yang menutupi tubuhku, aku menarik nafas lega saat melihat pakaianku masih melekat dengan lengkap dibadanku. Perlahan aku membalikkan tubuhku, tertidur miring dan menghadap pada Pak Bagas yang matanya terpejam, seakan-akan tak punya beban setelah membuat hidupku dalam kekacauan.Dia pria yang tampan dan mapan, tapi sudah beristri. Lagi pula kemapanannya karena keluarga isterinya itu. Andai saja dia belum beristri, mungkin saja aku akan jatuh hati padanya. Selama ini dia memperlakukan diriku dengan baik, meksipun dia membayar tubuhku. Aku dikejar-kejar oleh pria beristri tapi dicampakkan oleh pria lajang. Apa takdirku hanya akan menjadi wanita simpanan, wanita ke-dua, atau wanita penggoda. Tidak, aku tidak akan terjebak lagi dengan situasi seperti itu. Jika tidak ada laki-laki l
"Mbak, kenapa harus aku yang jadi sekretaris pribadinya?" tanyaku pada Mbak Aira. "Lalu siapa lagi, masa aku? kalaupun mencari orang baru butuh waktu, jadi lebih baik kamu saja. Kamu ini gimana sih, orang-orang senang naik jabatan, kamu malah pakai bertanya," tutur Mbak Aira panjang lebar. Entah kenapa, aku merasa tidak nyaman saja menyandang status itu. Padahal semua orang di kantor ini juga baik-baik semua. "Orangnya baik gak, Mbak?" tanyaku pada temanku itu. "Baik, bule lagi."Memangnya kenapa kalau bule, ada-ada saja Mbak Aira ini. Aku memang belum pernah bertemu dengannya, hanya saja namanya sama seperti orang yang pernah ada dalam masa laluku. Ah mungkin nama itu termasuk nama pasaran. Saat atasan baru kami itu datang pertama kali untuk mengenalkan diri, saat itu aku sedang mengambil cuti karena kematian ayah mertuaku. Harapanku yang menginginkan agar atasanku tersebut adalah bukan orang yang aku kenal ternyata hanyalah sebuah harapan. Satu hari sebelum aku bertemu dengan
Setelah mendapat apa yang kunginkan, aku segera kembali ke cafe, tidak mau membuat Mentari menunggu terlalu lama. Dua buah alat perekam suara dengan ukuran sangat kecil telah aku dapatkan, aku akan menyimpannya di dalam tas kerja istriku. "Apa aku terlalu lama meninggalkan dirimu?" tanyaku pada Mentari yang dengan setia masih menungguku di dalam ruanganku. "Tidak, Mas. Mau pulang sekarang?" "Ayo!" Tanpa beristirahat lagi, aku dan Mentari keluar dari ruanganku dan berjalan beriringan keluar cafe. Tujuan kami adalah pulang ke rumah. Seperti biasanya, sesampainya di rumah kami akan membersihkan diri secara bergantian di kamar mandi. Namun jika sedang ingin, kami akan menghabiskan waktu cukup lama di dalam kamar mandi berdua. "Mentari, tolong ambilkan handuk. Ketinggian," teriakku dari dalam kamar mandi. Tadi aku lihat istriku itu sudah menyiapkan handuk di atas tempat tidur, namun aku sengaja tidak membawanya. Untuk apa lagi coba, tentu saja agak aku bisa memanggilnya dari dalam k
Wanita yang Merindukan SurgaPOV Bagas"Mas, aku hari ini nggak usah dijemput, aku akan ke cafe sendirian baru kita pulang bareng," Begitulah yang di katakan Mentari saat menelponku tadi siang saat jam makan dan istirahat. Aku sebenarnya tidak mau istriku itu jalan sendirian pulang kerja, kebiasaan mengantar dan menjemputnya, bagiku seperti sebuah pekerja, seperti sebuah rutinitas. Aku melakukannya dengan senang hati, tapi sepertinya kali ini dia ingin pulang sendiri. Katanya ingin menikmati kendaraan umum lagi. Ada-ada saja, biasanya orang menikmati kemudahan, ini malah ingin mengulang masa-masa sulitnya dulu. Ketukan pintu membuyar lamunanku. "Masuk!" Seruku dari dalam.Seorang karyawan wanita masuk ke dalam ruanganku."Pak, ada tamu yang mencari Bapak. Namanya Pak Galang." Galang, untuk apa dia ke sini menemuiku. Aku sudah memutuskan hubungan dengannya saat dia melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan pada istriku. Bahkan aku memutuskan hubungan bisnis, aku mengambil alih
Seminggu sudah berlalu dari kepergian bapak mertuaku, Mas Bagas terlihat masih belum bisa menerima kenyataan itu. Aku tahu rasanya kehilangan orang yang kita sayangi, meskipun saat itu aku masih kecil, tapi rasa sakitnya masih bisa aku rasakan hingga sekarang. "Mas, kalau kamu masih mau disini bersama ibu, disinilah dulu. Aku akan kembali ke kota sendiri. Nanti aku yang akan melihat dan mengecek keadaan cafe di sana sepulang kerja." Aku berkata sambil membereskan baju-baju kami. Melihat Mas Bagas tidak bersemangat saat bekemas, membuatku mengatakan hal tersebut.Bukan tanpa alasan aku harus segera kembali ke kota. Aku sudah menambah masa cuti dengan alasan kematian mertuaku. Rasanya aku tidak bisa lagi menambah liburan di sini, apalagi hingga menunggu empat puluh hari wafatnya mertuaku. "Nggak apa-apa, mas akan pulang juga. Mana mungkin aku tega membiarkan dirimu pergi sendirian?" Tolak Mas Bagas, tidak setuju dengan ideku."Aku dulu terbiasa kemana-mana sendiri jadi tidak masalah.
Aku terbangun dari tidur seorang diri, kemana perginya suamiku. Tadi setelah makan siang, kami beristirahat dan tidur siang. Mas Bagas yang kelelahan langsung tertidur pulas begitu tubuhnya bersentuhan dengan bantal. Sedangkan aku perlu waktu lebih lama hingga akhirnya mataku bisa terpejam. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan keluar dari kamar, mencari dimana suamiku berada atau mungkin bisa membantu kesibukan mertuaku dan mengakrabkan diri dengan wanita yang sudah melahirkan suamiku. "Dia anak tunggal, kamu anak tunggal. Bagiamana jika kalian susah punya anak?" terdengar suara ibu mertuaku berbicara dengan Mas Bagas. Suara itu terdengar dari arah ruang tamu. Aku yang sudah keluar dari kamar akhirnya urung untuk mendekat pada mereka karena mendengar perkataan itu. Aku lebih memilih untuk berdiri di tempatku, entah untuk menguping atau karena kakiku enggan melangkah meninggalkan tempat ini. "Mana ada hubungannya Bu," sahut Mas Bagas. "Buktinya, sampai sekarang dia belum hamil
"Apa aku perlu ikut, mas?" tanyaku pada Mas Bagas saat dia hendak pergi ke cafe. Mungkin Mas Bagas hendak menemui Pak Galang atau menyelesaikan pekerjaan kemarin yang belum selesai. "Tidak perlu, mas gak mau kamu ketemu dengan laki-laki itu. Kamu tungguin di kamar saja ya? bosan gak? apa mau jalan-jalan?" "Nggak mas, aku di kamar saja." "Aku akan cepat kembali," ucapnya sambil mencium keningku sebelum pergi. Seharusnya aku ikut dengannya seperti rencana awal Mas Bagas memperkenalkan aku pada usahanya di kota ini, namun kejadian kemarin membuat semuanya jadi berantakan. Kenapa juga Pak Galang dan Mas Bagas harus berteman. Setelah kepergian Mas Bagas, aku memilih untuk bersantai didalam kamar. Bermain dengan smartphone milikku dan menonton film kesukaanku. Hal yang sudah lama sekali tidak pernah aku lakukan karena kesibukanku. Seharusnya saat ini akupun juga sibuk, namun nyatanya Mas Bagas memintaku untuk beristirahat saja. Aku menonton film hingga selesai beberapa judul, hingga
Segera kudorong pintu kamar mandi yang ternyata tidak dia kunci. "Apa yang kamu lakukan?" tanyaku sambil mematikan shower yang terus mengguyur tubuhnya. Aku perhatikan sejak tadi dia menggosok bagian tubuhnya yang sama dibawah guyuran air. Tidak ada jawaban darinya, tangannya tetap saja menggosok lehernya dengan kasar hingga kulitnya semakin terlihat memerah. "Kalau mandi kenapa bajunya tidak dibuka?" Lagi, aku bertanya sambil menahan tangannya agar tidak melakukan hal yang sama. "Lepaskan aku, mas! Aku sedang berusaha menghilangkan tanda ini dari tubuhku. Aku membencinya," sahutnya dengan berlinang air mata. Hatiku ikut nyeri melihat bulir bening itu meluncur melewati pipinya tanpa henti. "Mas yang akan membantumu menghilangkannya. Ganti bajumu dengan ini. Kamu sudah terlalu lama dikamar mandi," ucapku sambil meraih jubah mandi yang tergantung tidak jauh dari tempat kami berada. "Ini tidak akan hilang bahkan sampai satu minggu. Bagaimana kamu bisa menghilangkannya, aku benci
POV BagaskaraSiang itu setelah makan siang, aku dan Mentari langsung pergi ke cafe milikku yang di kelola oleh Galang, temanku. Sesampainya disana, Istriku itu pergi lagi ke hotel dengan alasan sakit perut dan mual. Padahal aku hendak mengenalkannya pada Galang. "Nyari siapa sih? kenapa panik begitu?" tanya Galang saat aku keluar lagi dari ruang kerjanya sambil menelpon Mentari dan mencarinya di luar cafe."Kamu lihat tadi wanita yang datang bersamaku? Dia balik lagi ke hotel karena sakit, aku ingin mengantarkannya terlebih dahulu tapi ternyata dia sudah naik taksi," tuturku panjang lebar. "Sudahlah, dia sudah naik taksi. Lagian kan bukan anak kecil, pasti sampai dengan selamat. Banyak yang harus kamu periksa di dalam sana, udah lama banget kamu gak datang kesini," sela Galang.Aku membenarkan perkataan temanku itu, lagi pula Mentari bilang, aku tidak perlu mengkhawatirkannya. Setelah kembali lagi kedalam ruang kerja Galang, temanku itu langsung memberikan setumpuk file yang katany
Pak Galang semakin dekat denganku. Dan seperti kebanyakan lelaki jika menginginkan wanita dengan paksa, dia akan menarik tangannya dan memeluknya. Saat hal itu dilakukan pria itu padaku, dengan refleks yang aku pelajari, kubanting saja tubuhnya yang lebih besar dari badanku. Sepertinya hal yang aku pelajari selama ini memang sangat berguna untuk membela diri, tidak sia-sia aku meluangkan waktu dan uang untuk mempelajarinya. Lelaki dengan kemeja berwarna merah maroon itu terlihat terkejut dengan posisi masih telentang. "Wow, aku tidak menduga kamu bisa melakukannya. Tapi sepertinya ini akan jauh lebih menyenangkan, daripada wanita yang hanya menangis dan pasrah, aku lebih suka wanita yang melawan. Apa kamu juga sekuat itu di ranjang," ucapnya sambil berdiri. "Tadi aku memang tidak siap dengan apa yang akan kamu lakukan karena kupikir kamu seperti wanita pada umumnya. Sepertinya kamu tidak tahu jika menjadi asisten dan supir pribadi tuan Alex itu harus memiliki skill bela diri juga