"Mama tanya sekali lagi, siapa laki-laki tadi?" Mama menatapku dengan sorot yang tajam, saat ini aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Apalagi, aku belum pernah berbohong kepada mama selain hubunganku dengan Devina. "Kau mau terus diam seperti ini?" Mama semakin emosi, tetapi aku tidak punya pilihan lain. Aku harus bisa menemukan jawaban yang tepat untuk bisa menjawabnya. "Belum kau jawab tentang keberadaan putri mama dan kenapa dia selalu tidak ada ketika mama datang ke sini, sekarang malah muncul laki-laki yang usianya sekitar setengah abad. Apa sebenarnya yang kau sedang sembunyikan?" tanyanya detail. Saat ini, aku merasa seperti sedang berada di ruang interogasi yang rasanya pengap, sehingga membuat nafasku menjadi sesak, dan tidak bisa berpikir jernih. Namun, ide bagus tiba-tiba muncul di kepala. "Devina sedang mengunjungi orang tuanya, Ma." jawabku dengan wajah meyakinkan. Mama menatapku penuh emosi. "Beraninya kau berbohong? Jelas-jelas Mama Diana memberitahu kalau p
Daripada berdebat di kamar, Mama menyarankan kita untuk pergi ke ruang tamu, dan membicarakan semuanya dengan kepala dingin. Dari tadi, tanganku terus saja menggenggam tangan Devina. Dengan harapan, dia tidak akan kabur atau menghilang lagi dari hidupku. Aku sangat berharap dia mau membuka hatinya untuk memaafkan aku yang ternyata sudah menganggapnya seperti orang yang penting. "Lepas!" Devina terus saja mencoba menjauh dariku. Namun, akhirnya ia harus mengalah. Karena tenagaku sangat besar untuk dua kalahkan. "Aku tidak ingin kita rujuk!" tegasnya membuat hatiku terluka. "Dinginkan dulu kepalamu, Vin." ucapku lembut, semoga saja dia mau mempertimbangkan hubungan kita kembali. "Dinginkan? Apa kamu juga begitu ketika selalu mengatakan cerai setiap hari?" Matanya menatapku tajam dengan sorot kebencian. Dulu, aku memang tidak punya hati. Aku merasa pikiran dan jiwaku terasa terganggu dengan kehadirannya. Keinginanku hanya satu, bercerai darinya. Akan tetapi, ketika dia benar-benar
Azril sangat kaget ketika mendapati istri yang dikenalnya taat sedang bersama seorang lelaki. Dia sendiri tidak mengenali siapa laki-laki itu, tetapi dari cara istrinya memperhatikan, seperti bukan orang lain. Wajah Nafisah dan juga laki-laki yang berada di sampingnya langsung memerah. Mereka panik dan berusaha merancang kebohongan dengan tatapan mata. Namun, laki-laki tersebut seolah menolak untuk berbohong. "Maaf, Mas. Ini demi kebaikanmu." bisiknya di telinga laki-laki itu. Melihat sifat istrinya, tentu saja Azril semakin emosi, dan dia menggebrak meja riasnya Risa di kamar. "Aku baru pergi sebentar, kau sudah bermesraan dengan laki-laki lain, Risa. Kau sangat keterlaluan!" Suara Azril menggema di ruangan kecil ini. Bahkan, suaranya sampai terdengar keluar kamar dikarenakan pintu yang sudah dia bukan ketika masuk tadi. Bude yang mendengar suara teriakan langsung berjalan cepat ke arah kamar. "Ada apa ini?" tanyanya penasaran, tetapi tidak lama ia pun mundur ketika melihat laki
Mata Bu Ami membulat sempurna ketika melihat apa yang dilakukan Nafisah, ribuan pertanyaan muncul di benaknya, dan telah lahar panas yang ada di tubuhnya telah siap untuk menghancurkan orang yang menganggap putrinya sebagai pembantu. Sementara Devina menatap Azril dengan tatapan merendahkan. Jika bukan karena pamannya, ia sangat enggan untuk berada di satu ruangan yang sama dengan laki-laki pengkhianat ini. Apalagi harus kembali mencoba untuk memperbaiki pernikahan yang sudah terpecah menjadi beberapa keping. Azril hanya bisa menundukkan kepalanya ketika melihat apa yang dilakukan Nafisah, ia sedang berada di dalam dilema yang besar. Jika ia memberitahu Nafisah kalau Devina adalah istrinya, dia takut Nafis akan meminta cerai. Akan tetapi jika ia tidak mengenalkannya, tentu saja orang tuanya akan langsung memutuskan hubungan di antara mereka. Di pikirannya sedang terjadi perang yang membuat perasannya semakin gelisah dan gundah gulana. Devina pun menjelaskan singkat sambil berbisik
Setelah perbincangan malam itu, Azril menjadi sering memerhatikan gerak-gerik Nafisah yang seringkali melanggar syariat. Seperti langsung membukakan pintu ketika ada tamu laki-laki, padahal sudah ada orang khusus yang bekerja untuk membuka pintu. "Nafis, kamu sedang sibuk tidak?" Bu Ami sengaja mendatangi kamar Azril untuk mengusik ketenangan mereka berdua. Ada amarah dalam diri Bu Ami ketika anaknya selalu saja membela wanita berkedok itu. Bahkan, beliau sampai menghubungi Randi, sahabatnya Azril yang bertugas di rumah sakit yang menyediakan kantin tempat Nafisah membantu budenya untuk bertemu dan membicarakan hal ini. "Sibuk, Bu." jawabnya tanpa menatap lawan bicara sedikit pun. Bu Ami semakin menatapnya tajam, Nafis telah berbohong. Ia hanya duduk di samping Azril yang sibuk dengan benda empat belas incinya sambil memainkan ponsel. "Sibuk apa?" Bu Ami mengambil langkah besar dan duduk di hadapan Azril juga Nafis yang tidak kunjung menjawab. "Katakan pada Mama, istri yang kau
"Apaan sih kamu, Mas. Berisik!" Devina terpaksa bicara, dia benar-benar sangat geram dengan sikap Azril yang seolah masih peduli padanya. Padahal, selama tujuh tahun ini Azril hanya menganggap dirinya sebagai pajangan. Tidak lebih. Bagi Devina perkataan Randi hanyalah candaan, dia sudah menyangka kalau percakapan ini sengaja direncanakan oleh mertuanya dan juga Randi sendiri. Sementara Devina sama sekali tidak terusik. "Kamu kok bicaranya emosi gitu, sih, Mas. Biar saja kali babu ini nikah, biar dia naik derajat." celetuk Nafisah membuat Randi menatap Azril tajam. "Kita perlu bicara!" Randi langsung berbicara to the point kalau dia perlu meluruskan apa yang baru saja dibilang istri yang selalu dibanggakan Azril. Bagi Randi, bukan hanya Azril yang penting, tapi juga Devina. Dia ingin orang-orang yang dicintainya hidup dengan bahagia. Terutama wanita yang selama ini mencintai Azril dengan tulus, tetapi tiba-tiba menginginkan perpisahan. "Tentu saja!" Azril langsung setuju. Sementar
Karena Nafisah sangat enggan untuk berpisah dengan Azril, Randi memutuskan untuk menginap selama beberapa hari, dan membuat Azril cemburu. Meski dia tahu kalau Devina tidak akan goyah dengan keputusannya, Randi tetap akan melakukan itu. Randi ingin tahu apa di hati Devina masih ada Azril, atau ingin mencoba membuka hati untuk orang baru. "Tumben kamu mau menginap? Beberapa hari, lagi." Bu Ami merapikan kamar yang akan ditempati oleh Randi. Dari dulu, Bu Ami memang suka melakukan hal ini sendiri. Menurutnya beberapa pekerja memang harus punya, tetapi tetap saja kalau masalah pribadi tidak ada yang boleh menyentuhnya. Bahkan, Nafisah saja tidak diizinkan untuk berada di dapur sendirian. Bu Ami takut, kalau Nafisah akan menaruh sesuatu yang berbahaya seperti racun. Apalagi di sini sedang ada Randi, Devina, dan juga buah hatinya. Sementara Azril, tidak termasuk daftar yang dikhawatirkan. Randi memutar badannya setelah mengambil selembar foto dari saku kemejanya untuk ditunjukkan ke
Ketika Nafkah sedang berada di bawah kendali Bu Ami, Azril masih mendatangi beberapa toko untuk menemukan Randi dan juga istrinya--Devina. Namun, setelah satu jam mencari, dia tidak menemukan kedua orang itu. Terlalu lelah, Azril duduk di salah satu kursi kafe yang berada di sebelah taman yang dulu sering mereka datangi sewaktu belum pada menikah. Azril memesan segelas kopi cappuccino sambil merenungi apa saja kesalahan yang sudah dibuatnya kepada Devina. Ketika yang diingatnya semakin banyak, maka rasa bersalahnya pun meningkat. Azril memilih duduk di sudut cafe sambil memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang. "Aku merindukanmu!" Dua kata yang baru saja terdengar di telinga Azril membuatnya mengedarkan pandangan. Dia melihat dan memperhatikan setiap orang yang ada di cafe itu dan pandangannya jatuh kepada kedua orang yang sedang dicarinya. Namun, ada seseorang yang terasa tidak asing sedang menemani mereka berdua. Seorang laki-laki yang sedari dulu memang selalu melindungi
Adrian sudah memasang perangkap untuk bisa menangkap Nurdin tanpa membuat Aira berada dalam bahaya. Benerapa orang yang ada di rumah Devina, terutama yang bertugas membantu pernikahannya bukanlah orang sembarangan. Memang bukan hanya Nurdin yang akan melancarkan aksi jahatnya, tapi dia juga meminta bantuan orang yang berada di rumah Devina. Orang yang rela melakukan apapun demi uang, dan sekarang wanita ini yang sedang memegang kendali atas Aira. "Kamu tenanglah, Aira pasti akan baik-baik saja." Adrian berusaha sebisa mungkin untuk menenangkan Devina. "Aku bisa pastikan, asal kita harus tenang sebagai orang tuanya." lanjutnya. Devina langsung terdiam, tapi air mata terus mengalir dari matanya tanpa bisa dihentikan. "Aku minta Aira selamat. Aku yakin Mas pasti punya rencana di balik ini semua." lirihnya sambil menatap Adrian lembut. "Betul. Tunggulah sebentar lagi, jangan lupa untuk mendoakan, ya." Adrian mengusap puncak kepalanya lembut. Sengaja, ia tidak memberitahu kalau Azril
Azril terus aja mencari keberadaan di mana laki-laki yang bernama Nurdin itu di kota tempatnya kuliah, tapi tetap saja tidak ketemu. Banyak orang dia kerahkan, tapi tetap tidak membuahkan hasil. "Kira-kira di mana dia berada? Aku tidak ingin dia datang menyakiti keluargaku." Azril berucap lirih. Ia sudah faham betul jalan ceritanya. Jika ada Nurdin tahu kalau Pak Herman, laki-laki yang selama ini melindunginya itu sudah berada di tahanan, dia tidak mungkin akan diam saja. "Sepertinya belum ada pergerakan, ya." Haris menanggapi dengan biasa saja. "Terus bagaimana dengan bayimu, apa dia sudah ada pergerakan?" tanyanya lagi. Azril memilih diam daripada menjawab pertanyaan Haris. Ia tahu kalau sahabatnya itu pasti sudah mendengar kabar kelahiran Devina. "Apa kamu masih belum melihatnya?" tanya Haris lagi sambil menatap Azril bingung. "Aku tidak punya kesempatan untuk melihatnya." lirih Azril membuat Haris menatap kesal ke arahnya. "Alasan apa itu? Jika kamu memang cinta dan peduli
Azril memerintahkan orang-orangnya untuk menangkap Herman dan juga Nafisah. Ia ingin mereka mendapatkan balasan yang setimpal dan sesuai dengan proses hukum. Terlebih lagi, Herman memang seorang mafia yang sudah berhasil menipu banyak orang dan perusahaan untuk kesenangannya sendiri. Melihat Azril jarang pulang ke rumah membuat Pak Halim dan Bu Ami bisa bernapas lega. Mereka sudah berjanji kepada Devina tidak akan mengatakan kalau bayinya sudah lahir dengan selamat dan sehat. Devina sementara waktu tidak ingin bertemu dengan Azril karena hatinya sedang membutuhkan pertolongan. "Darimana, Pa?" Suara yang terdengar seperti menodong membuat Bu Ami dan Pak Halim menghentikan langkah. Hari ini adalah hari kedua setelah putra Devina lahir dan mereka selalu pulang-pergi untuk melihat kondisi cucunya. "Dari luar dan kamu tidak perlu tahu hal itu!" tegas Bu Ami kemudian. Azril tersenyum kecut. Ada rasa sedih ketika melihat kedua orang tuanya lebih memilih berbohong daripada mengatakan y
”Tidak ada kata paling indah, selain aku mencintaimu karena Allah." ucap seorang laki-laki yang selalu dipanggil Ustaz Abdul oleh kelurga Pak Dean. "Namun kata-kata itu akan indah ketika diucapkan atau di katakan ketika orang yang menerimanya adalah pasangan halal kita. Karena apa? Karena tidak ada cinta karena Allah sebelum menikah. Semuanya pasti karena nafsu." jelasnya membuat Adrian dan yang lainnya menundukkan pandangan. "Jadi, maksud Nak Adrian ke sini benar untuk melamar sepupu saya, keponakan saya, sekaligus tetangga saya yang baik dan selalu mencintai orang lain dengan tulus?" tanyanya pada Adrian. Adrian hanya mengangguk. Matanya berusaha terlihat tegar, padahal ingin sekali dia menangis untuk mengungkapkan segala isi hatinya. Proses acara lamaran pun selesai. Meksipun keluarga Pak Dean dan keluarga Pak Halim bukan orang yang kolot, tapi tetap saja mereka menjalankan tradisi seperti dulu. Yaitu, yang mana laki-laki dan perempuan tidak boleh bersentuhan sebelum menikah. M
"Bagaimana bisa kau tahu tentang Devina?" Azril menatap Septi dingin. Suasana tiba-tiba menjadi berubah sepi karena Azril yang mengatakan tentang yang dialami Devina selama ini. Septi tersenyum menyeringai. "Siapa yang tidak kenal Devina? Bukan kampus yang selalu dingin kepada semua mahasiswa, kecuali padamu!" ucapnya geram sambil menatap Azril dengan penuh kebencian. Azril berdecih. "Oh, ternyata kau adalah salah satu laki-laki yang tertolak. Mau bagaimana lagi, hanya aku yang ada di matanya." "Aku tidak ditolak, karena memang tidak menyatakan perasaan. Hanya saja, sangat disayangkan perasaannya yang halus dirobek olehmu." Septi memilih untuk menjauh dari Azril dan mendekat ke arah Ayu. "Kupikir kau mencintaiku dengan setulus hati, nyatanya tidak. Mulai saat ini, kita bukan lagi hubungan suami-istri." tegasnya. Nafisah mulai tersenyum lebar. Jika Septi menalak Ayu, tandanya laki-laki masih punya perasaan padanya. Dengan penuh percaya diri, dia mendekat ke arah Septi. "Pasti kar
Azril sudah ada perasaan tidak enak ketika mendatangi rumah pakdenya Nafisah yang dulu pernah dia tinggali selama beberapa waktu itu. Sangat hening dan sepi. Sudah ada perasaan kalau penghuni rumahnya sedang tidak di tempat. Sementara Nafisah malah membuka setiap pintu kamar dengan tangis yang hampir pecah. "Jangan sampai kau menunjukkan rasa kasihanmu, karena aku tidak akan kasihan apapun keadaanmu," tegas Azril. Nafisah tidak bicara jelas kepada Azril, dari tadi dia hanya bergumam. "Sudahlah, tidak usah berteriak dengan sekuat tenaga. Keluargamu memang sudah meninggalkan rumah ini," jelas Azril membuat Nafisah geram. "Jangan sembarangan bicara kalau tidak tahu apapun!" teriaknya kepada Azril. Rasa panik pun semakin menjadi ketika tidak ada satu pun anggota keluarganya yang berada di rumah. Bahkan, baju-baju terbaik mereka pun sudah tidak ada lagi. "Kau memang tidak punya harapan!" lirih Azril. Dia memilih untuk duduk di teras sambil menunggu Nafisah melakukan apa yang ingin
Devina dan Bu Ani yang mendengar teriakan Azril pun langsung berlarian menghampiri. Namun, mereka sangat terkejut kalau Azril ternyata sudah mengetahui motif asli Nafisah. "Mama sudah tahu motif dia masuk ke keluarga ini lebih awal, kan? Kenapa Mama tidak memberitahu aku?" Azril kini menatap Bu Ami seolah menyalahkan. Adrian yang mendengar tuduhan Azril tertawa terbahak-bahak. Begitu pun Randi dan Pak Halim. Azril yang mendengar hal itu semakin diselimuti dengan kemarahan yang berlipat-lipat dan beberapa kali menatap tajam ke arah Nafisah. Ingi rasanya dia langsung melenyapkan wanita yang sudah dengan beraninya berbohong ini. Bahkan, Nafisah mengatakan kalau dirinya tidak bisa berhubungan dalam jangka waktu dua bulan, dikarenakan sakit. Ternyata, Nafisah memang tidak ingin berhubungan dengan semua laki-laki yang menjadi suaminya, kecuali Septi. Laki-laki yang dicintainya. "Kebenaran yang bagaimana yang kau inginkan?" Pak Halim memilih untuk mendekat ke anak laki-lakinya itu. Ad
Benar saja apa yang dikatakan Adrian, setelah pulang kembali ke rumahnya, mereka sama sekali tidak membicarakan tentang kejadian itu kepada siapapun. Bukan hanya karena takut Devina kembali kepada Azril, tapi juga takut Nafisah melukai orang-orang yang berada di rumah. Nafisah bukan gadis yang sederhana, dia sangat nekat. Bisa melakukan apapun bahkan dengan mata terbuka atau tanpa berkedip. "Kalau sedang di rumah, cukup awasi Devina. Aku takut dia menjadi sasaran wanita itu." pinta Adrian. "Kalau sibuk di rumah sakit, gapapa. Gak usah kepikiran juga. Biar masmu ini menyiapkan orang-orang terbaiknya." lanjutnya sambil menatap Devina dari kejauhan. Daripada rasa suka, Adrian lebih memperhatikan Devina untuk memastikan keselamatannya. Apalagi cinta yang sudah dipendamnya selama belasan tahun semakin lama semakin besar, seringkali ia merasa heran kepada Azril malah tidak mencintainya? Dari kejauhan, Adrian bisa melihat kalau Azril berulangkali mendekat ke arah Devina untuk mengajaknya
Ketika malam, Nafisah melihat asistennya Bu Ami sedang menyiapkan jus di dapur dan dia pun langsung membuat siasat. "Bu Dewi, ya." Nafisah pura-pura menyapa. "Iya, kenapa? Mau dibuatkan sesuatu?" Meksipun tahu kalau Nafisah bukanlah orang yang baik, Bu Dewi tetap saja bersikap baik padanya. Bagi wanita paruh baya yang sudah bekerja cukup lama di rumahnya Bu Ami itu, apapun masalah majikan, pekerja tidak perlu tahu. Apalagi mencari tahu dan terlibat. Nafisah menggeleng. "Tidak, saya hanya mau membuat minum saja." Sesuai dugaan Nafisah, Bu Dewi sudah membuat jus semangka yang sudah siap di dalam gelas. Tinggal di antarkan saja ke target Nafisah. Untunglah Bu Dewi sedang mengaduk sup yang sedang mendidih di atas kompor. Melihat asisten lengah, Nafisah langsung mengambil kesempatan untuk mencampurkan obat penghilang pusing dosis tinggi yang sudah dihaluskan ke dalam jusnya itu. Caranya melakukan kejahatan sangat apik. Siapapun yang melihatnya, pasti akan menyangka kalau Nafisah mema