Revan sedang berbicara dengan seorang wanita di proyeknya, Rara yang duduk tak jauh dari tempat mereka berdiri memperhatikan dengan seksama.
Rara sedikit kesal melihat klien wanita disamping Revan itu terus melihat dan memperhatikan suaminya.Rara tahu tatapan wanita itu bukan tatapan yang biasa, tapi tatapan suka dan memuja. Padahal Revan tadi sudah memperkenalkan Rara sebagai istrinya pada wanita itu, tapi ternyata tak membuat wanita itu menjaga matanya."Dasar wanita genit." Rara mengomel sendiri, dia menyesap jus jeruk yang ada didepannya.Revan memang laki-laki yang tampan, bahkan ketampanannya diatas rata-rata. Tubuhnya yang tinggi dan atletis dengan berat badan yang ideal membuatnya semakin rupawan.Revan sesekali terlihat menoleh ke arah Rara, saat mata mereka bertemu, senyum mereka saling mengembang. Rara menyukai interaksi kecilnya dengan Revan.Dulu ketika bersama dengan Nathan, entah mengapa Rara tidak pernah mendapati hal-hal kecil yang manis seperti ini."Baiklah kalau begitu, nanti staff saya akan mengirimkan revisi sesuai dengan kesepakatan kita." kata Revan yang masih berbicara dengan klien wanitanya, mereka tampak berjalan kembali ke arah meja dimana Rara duduk."Terima kasih ya pak Revan, saya senang sekali perusahaan Bapak mau bekerja sama dengan perusahaan saya, saya yakin investasi kita pasti akan berhasil ditempat ini." kata wanita itu."Pak Revan sudah makan siang? Bagaimana kalo kita makan siang bersama, ada restoran yang sangat spesial didekat sini." ajak wanita itu karena masih ingin bersama dengan Revan lebih lama, dia bahkan tidak melihat ke arah Rara sama sekali."Oh, maaf. Saya sudah ada rencana dengan istri saya" kata Revan menolak.Revan menyentuh tangan Rara memberikan kode agar istrinya itu berdiri.Wanita itu menatap Rara, dia tersenyum tapi terpaksa."Saya tidak menyangka loh, beberapa hari yang lalu kita bertemu, pak Revan masih singgle.""Sekarang, tau-tau sudah menikah aja." kata wanita itu, gaya bahasanya tidak lagi formal, membuat Revan tak suka."Baiklah, saya rasa pekerjaan kita sudah selesai, untuk selanjutnya staff saya yang akan melanjutkan.""Saya akan memantaunya dari Jakarta." kata Revan tanpa merespon ucapan wanita itu.Wanita itu mengangguk, tapi wajahnya terlihat masam karena Revan tidak menanggapi perkataannya.Revan kemudian menggandeng tangan Rara dan melenggang pergi setelah berpamitan.Wanita itu menghentakkan kakinya kesal, padahal dia sudah susah payah mencari cara agar perusahaannya bisa bekerja sama dengan perusahaan Revan. Dia sudah senang ketika mendengar Revan sendiri yang akan datang melihat proyek, dan dia berharap bisa mendekati Revan melalui kerja sama mereka, tapi ternyata semuanya malah zonk. Revan sudah menikah.***"Klien kamu tadi genit banget ya, Van." kata Rara ketika mereka sudah didalam mobil."Sayang, cemburu?." tanya Revan sambil tersenyum."Gak suka aja sih lihatnya." kata Rara ketus.Revan tertawa mendengar ucapan Rara. Diremasnya jemari Rara dengan satu tangannya yang tidak sibuk menyetir."Makanya aku bawa kamu ke proyek tadi, karena itu klien memang suka curi-curi kesempatan." kata Revan.Rara menoleh."Itu Klien yang kamu temui kemarin malam?." tanya Rara.Revan mengangguk."Apa semua klien wanita kamu seperti itu, Van?." tanya Rara lagi."Hmmm...gak semua sih Ra, biasanya yang udah oma-oma enggak begitu." kata Revan sambil melirik Rara."Ihsss..." Rara meninju lengan Revan membuat laki-laki itu tertawa."Ternyata nikah sama sahabat sendiri itu kayak gini ya, Ra." kata Revan tiba-tiba.Rara mengernyitkan keningnya."Seru..asik...bisa manis, bisa romantis, bisa gemesin..." kata Revan."Panas di ranjang, seru di obrolan." lanjutnya sambil mencubit pipi Rara dengan gemas.Rara tersipu mendengar ucapan Revan. Tapi Revan benar, Rara merasa lebih lepas dan bisa menjadi dirinya sendiri ketika bersama dengan Revan. Mereka akrab seperti teman, tapi sangat panas ketika urusan ranjang."Ra, bulan madu yuk!." ajak Revan."Hmmm...mau ga yaaa..." Rara pura-pura ragu."Eh, udah pinter becandain suami sendiri sekarang ya." kata Revan sambil mengelitik pinggang Rara, membuat Rara tertawa geli.Mobil mereka sudah sampai di tujuan sekarang."Sini, sayang." Revan menarik tubuh Rara dan membawanya ke pangkuannya."Van, ini di mobil loh!." kata Rara mengingatkan."Cuma duduk aja, gak keliatan kok dari luar, kaca mobilku gelap" kata Revan.Rara akhirnya menurut.Revan mengelus lembut pipi Rara, merapikan anak rambutnya dan membingkai wajah wanita itu."I love you, Kinara." kata Revan lembut lalu mencumbu bibir Rara.Mereka berciuman cukup lama sampai akhirnya berhenti karena nafas yang hampir habis."Kamu mau bulan madu ke mana, sayang?." tanya Revan sambil memeluk pinggang Rara, sedangkan tangan Rara melingkari leher Revan."Hmmmm, gimana kalau ke Bali?." usul Rara."Boleh, kamu suka Bali?." tanya Revan.Rara mengangguk."Tapi, apa kamu gak sibuk, Van? Kerjaan kamu gimana?." tanya Rara."Bisa diatur sayang, kan lagi cuti menikah.""Karyawan aku aja bisa cuti habis menikah, masa bosnya gak bisa!." kata Revan membuat Rara tertawa.Revan sangat candu sekali mendengar suara tawanya."Seminggu aja ya, Van." kata Rara."Kenapa? Kita bisa kok lebih lama disana, sebulan juga boleh." kata Revan.Rara mendelik mendengarnya, suaminya pasti modus lagi."Aku ada jadwal pameran bulan depan, aku belum bikin apa-apa buat galeri aku." kata Rara.Revan baru ingat, istrinya ini adalah seorang pelukis, dari kecil memang bakat Rara adalah menggambar dan memainkan warna, jadi tidak heran sekarang dia menjadi pelukis."Oh ya, sayang, di Jakarta nanti, kamu mau tinggal di apartemen atau di rumah seperti rumah papa mama?." tanya Revan teringat."Hmmm, kita tinggal sendiri?" tanya Rara."Iya, kita tinggal sendiri aja ya, biar kita lebih ada privasi" jawab Revan.Rara mengangguk, memang lebih baik tinggal dirumah sendiri ketika mereka sudah menikah."Hmmm, kalau rumah aja gimana, biar aku bisa bikin kebun bunga" kata Rara kemudian."Oke, Nyonya.""Perintah Nyonya akan segera saya laksanakan" kata Revan sambil menempelkan tangannya ke kening membuat Rara tertawa.Mereka akhirnya turun dari mobil sambil bergandengan tangan, wajah mereka berseri-seri tampak sangat bahagia.Sayangnya senyum kebahagiaan mereka memudar ketika melihat sosok seseorang yang sedang menatap tajam ke arah mereka."Van, aku mau bicara!" kata sosok itu ketika sudah lebih dekat dengan mereka.Rara menggigit bibirnya dalam, dia menatap Revan dan sosok wanita itu bergantian. Rara lalu melepaskan tangannya dari tangan Revan, membuat Revan menoleh."Aku tunggu disana, Van." kata Rara lalu segera masuk ke restoran tanpa menunggu jawaban suaminya.Revan sedikit keberatan, dia hendak mengejar Rara namun wanita didepannya menghandang. Matanya melotot."Kamu mau apa sih, ganggu banget jadi cewek!" kata Revan kesal."Kamu berhutang penjelasan sama aku, Van!" kata wanita itu.Revan menarik nafasnya panjang. Kesal."Dengar ya, Dinda. Dari awal kamu ngejar aku, aku sudah bilang gak akan menjanjikan hubungan apa-apa sama kamu.""Kita cuma one night stand, gak lebih!.""Aku juga gak pernah maksa kamu. Jadi aku gak berhutang apa-apa sama kamu!." kata Revan dengan suara rendah tapi penuh penekanan. Wajahnya marah dan serius."Tapi aku mencintai kamu, Van." kata Dinda sedih, air matanya berlinang.Revan melihat ora
"Van, ayo kita ngobrol!." kata Rara ketika melihat Revan yang baru saja keluar dari kamar mandi.Revan tertegun, ternyata Rara masih mengingat janjinya siang tadi."Baiklah, aku ganti baju dulu ya." kata Revan sambil membuka lemari dan mengambil piyama tidurnya.Rara duduk ditepian ranjang menunggu suaminya berganti pakaian. Rara sudah mulai terbiasa melihat tubuh polos suaminya.Revan terdiam sesaat sebelum menghampiri Rara. Sebenarnya ada perasaan takut terselip dihatinya, Revan takut Rara tidak bisa menerima masa lalunya dan membuat pernikahan mereka yang baru seumur jagung menjadi berantakan."Ra, aku sudah cerita kan kalo aku jatuh cinta padamu sejak dulu." kata Revan setelah duduk disebelah istrinya.Rara mengangguk, dibiarkannya Revan menggenggam jemari tangannya."Dan, saat aku tahu kalau kamu bertunangan, aku patah hati." Revan terdiam sejenak sebelum melanjutkan ceritanya."Aku mulai suka mabuk-mabukan.""Aku sering menghabiskan waktu di club. Aku jadi suka kehidupan malam."
"Rara..." Revan terkejut saat melihat istrinya sudah bangun dan sedang duduk ditepian ranjang."Sudah bangun?." Revan berusaha tenang dan tersenyum padahal hatinya cemas, apakah Rara tadi mendengarnya sedang menerima telpon didalam kamar mandi.Rara membalas senyum Revan dan memandangnya, terlihat sekali jika laki-laki sedang memperhatikan mimik wajahnya. Mungkin dia sedang mencari kecurigaan dimata Rara."Hmm...Aku baru saja bangun." jawab Rara pendek."Kamu tadi kemana?." tanyanya, berharap suaminya itu jujur."Aku kekamar mandi, buang air kecil." jawab Revan sambil membelai rambut Rara yang hitam berkilau."Ohhhh..." ada sedikit rasa kecewa di hati Rara, dan Revan melihatnya dari cara Rara menatapnya."Hmmm...tadi sekretarisku telpon, tiket pesawat dan hotel untuk bulan madu kita sudah siap. Siang besok kita bisa berangkat." kata Revan yang akhirnya memilih bercerita dia juga mengangkat telpon."Sekretaris kamu?." tanya Rara. Revan mengangguk.Rara ingin bertanya siapa namanya, nam
"Apa kau juga termasuk yang mengincar suamiku?." tanya Rara sengaja, membuat senyum Ines memudar dan menatap tajam ke arahnya.Kedua wanita itu saling menatap dingin, membuat Revan menjadi salah tingkah."Hmmm...sayang ayo kita pergi." ajak Revan pada istrinya. Namun Rara masih enggan beranjak.Rara melihat Ines yang melangkah mendekatinya, wanita itu tersenyum sinis dan berbisik didekat telinganya."Suamimu itu, pernah menghabiskan malam panas denganku.""Dia sangat hebat diranjang, hmmm aku sangat menikmati permainannya." kata Ines sedikit mendesah mencoba mempengaruhi Rara."Apa dia pernah bercerita?." tanya Ines sambil tertawa.Tangan Rara mengepal, dia sudah mengira bahwa wanita seperti Ines pasti akan mengatakan hal seperti itu.Ines sedikit menjauh dari tubuh Rara setelah berbisik. Dia menatap puas pada wajah Rara. Dia berharap Rara marah dan mempermalukan dirinya sendiri.Namun Rara justru tersenyum menatap Ines, membuat wanita itu heran. Rara lalu mendekati Ines dan berbisik
Rara mendengar suara seseorang memencet kode keamanan pada pintu apartemen, tak lama pintu pun terbuka dan Revan terlihat masuk."Sayang, kamu belum tidur?." Revan menatap Rara yang masih duduk di sofa sambil menonton tivi."Hmmm...aku belum bisa tidur." jawab Rara sambil berdiri dan menghampiri Revan. Diambilnya tas kerja Revan dari tangannya."Apa kamu sengaja menungguku?" tanya Revan dengan berbinar, dikecupnya pipi Rara dengan mesra. Rara hanya tersenyum samar, tapi tak menolak ciuman Revan dipipinya."Kamu sudah makan?" tanya Rara mengalihkan perhatian."Belum? Kamu?"Rara menggeleng, dilepasnya dasi Revan dari kerah kemejanya."Kamu mandi aja dulu, aku panasin makanan." kata Rara sambil berlalu, dia hendak menyimpan tas kerja Revan juga dasinya.Revan terdiam, merasakan sesuatu yang berbeda dari istrinya. Rara terlihat agak murung malam ini."Sayang, apa terjadi sesuatu?" tanya Revan sambil menyusul langkah Rara.Rara berhenti, ditatapnya Revan dengan sorot mata datar."Kamu man
"Sya, ini istri saya, Kinara." kata Revan memperkenalkan Rara. Rara tertegun mendengar Revan menyebut nama sekretarisnya.Marsya tersenyum, matanya bergantian menatap Rara dan Revan."Selamat pagi, bu Kinara, saya Marsya sekretaris pak Revan." kata Marsya sambil mengulurkan tangan. Kinara menyambutnya."Selamat pagi." Rara mengulum senyumnya yang paling cantik. Rara menatap lekat manik mata wanita itu, dan menangkap kegelisahan disana.Marsya melepas tangannya dengan salah tingkah. Beberapa kali Rara melihat wanita itu mencuri pandang ke arah suaminya."Saya haus, boleh saya minta air?" pinta Rara. Marsya terkejut lalu memandang Revan."Bawakan istri saya jus jeruk dan air mineral ya, juga camilan. Biar istri saya gak bosen nemenin saya di kantor." kata Revan sambil menatap Marsya. Rara memperhatikan interaksi mereka. Dari sudut Revan, Rara melihat suaminya bersikap biasa saja. Namun dari sudut Marsya, Rara melihat wanita itu sedikit keberatan."Ba...baik, Pak." terdengar suara gugup
"Van, kamar sebelah aku pake buat kerja ya?,""Barang-barangku besok datang, tadi ekspedisi yang kirim telpon." kata Rara sambil mengoleskan lotion ditangannya."Perlu kita renovasi gak kamar sebelah?." tanya Revan."Gak usah. Gitu aja.""Aku cuma bawa dikit, yang penting-penting aja. Nanti lukisanku yang udah ready, langsung aku taruh di galeri." kata Rara.Revan memeluk tubuh Rara dari belakang ketika dilihatnya Rara sudah selesai mengoles lotion di tubuhnya. Rara meletakkan botol lotionnya diatas meja."Sayang, kamu kalo lagi dapet tanggal berapa?." tanya Revan sambil mengendus leher dan pipi Rara.Rara merasa geli dengan tingkah suaminya."Hmmm, kalo tanggalnya suka maju sih, Van. Kenapa?" tanya Rara."Kamu catetin gak?." tanya Revan."Catet sih, di aplikasi hape aku." jawab Rara sambil meraih ponselnya yang ada di ranjang.Rara lalu membuka aplikasi khusus wanita yang gunanya untuk mencatat periode bulanannya.Rara terhenyak. Kalau berdasarkan aplikasi itu seharusnya kemarin dia
Revan membuka pintu apartemennya dengan sedikit kesusahan, karena kedua tangannya penuh dengan barang belanjaan."Van, beli apa aja, banyak banget!." tanya Rara terkejut melihat Revan membawa beberapa tas belanja.Revan menaruh barang belanjaannya di sofa, dia menyempatkan mencium pipi Rara.Ini test pack dan susu hamil, yang ini camilan buat kamu." kata Revan bangga.Rara mengernyitkan keningnya, dia membuka tas belajaan dari apotek yang tampak penuh. Matanya membola saat melihat dua kotak susu ibu hamil dan segambreng alat tes kehamilan."Ya ampun, Revan!. Banyak banget belinya!." kata Rara sambil melihat gemas pada suaminya."Gak papa sayang, aku tadi bingung mau pilih yang mana!." jawab Revan sambil meringis.Rara geleng-geleng mendengar jawaban Revan."Terus ini susu buat apa?." tanya Rara sambil menatap suaminya."Biar langsung bisa minum begitu besok positif hehee..."Revan mendekat dan berlutut sehingga wajahnya ada didepan perut Rara."Papa yakin dedek sudah ada disini." kata
"Sepertinya wanita ini putus asa, Bastian. Hingga dia memerlukan pertolonganmu untuk menghamilinya!.""Dan dia melakukannya agar bisa menekanku untuk bertanggung jawab padanya!." Revan melihat Bastian yang tengah menatap tajam pada Marsya. Rahang laki-laki itu mengeras karena marah pada wanita didepannya."Apa itu benar, Sya!. Kamu memperalatku?." tanya Bastian, sedangkan Marsya menggeleng lemah."Katakan, Sya!. Apa benar Bastian adalah ayah bayimu?." tantang Revan."Bukankah kamu tidak ingin hamil dan melahirkan tanpa seorang suami?.""Aku tidak mungkin bertanggung jawab, karena aku tidak menghamilimu!.""Jadi, sekarang Bastian adalah satu-satunya kesempatanmu, Sya!.""Ayah kandung anakmu ada didepanmu, apa kamu tidak mau menyuruhnya bertanggung jawab?." Sindir Revan.Marsya terdiam, air matanya masih mengalir membasahi pipinya. Dia tidak menyangka kalau jebakannya pada Revan tidak berhasil. Dia tidak pernah tahu kalau laki-laki itu memutus jalur spe*manya."Bas...aku..." Marsya tida
"Lepas, Van!. Sakitt!." Marsya menarik tangan Revan yang tengah mencengkram rahangnya.Revan melepaskan wajah Marsya dengan kasar membuat wanita itu terhuyung dan nyaris terjatuh."Revan!. Kau bisa mencelakai anak kita!." protes Marsya dengan suara yang sedikit keras. Dia berani membentak Revan karena percaya diri kalau anak yang tengah dikandungnya adalah milik Revan."Anakku?. Benarkah?." ejek Revan sambil memindai Marsya dari atas sampai bawah."Marsya...Marsya...aku tidak percaya ternyata aku membesarkan ular selama ini!." kata Revan sambil mengambil minuman dari meja bar dan meneguknya.Marsya yang mendengar ejekan Revan hanya mengernyitkan keningnya."Kupikir selama ini kamu adalah wanita yang polos, Sya!. Dan aku sangat merasa bersalah karenanya!.""Bersalah karena sudah meniduri wanita polos dan lugu sepertimu..." Revan duduk di meja bar sambil menggoyang gelasnya, matanya memperhatikan Marsya yang masih berdiri ditempatnya."Ternyata aku salah, kamu ternyata adalah seorang pe
Rara akhirnya sudah diperbolehkan pulang oleh dokter, dengan catatan dia harus beristirahat total di rumah.Sepulang dari rumah sakit, Revan segera membawa Rara ke rumah baru mereka yang terletak di kawasan perumahan elit tengah kota."Van, aku bisa jalan sendiri!." protes Rara ketika Revan menggendongnya saat turun dari mobil."Dokter bilang kamu gak boleh banyak bergerak dulu, sayang!.""Itu artinya kamu harus digendong!." kata Revan lembut.Rara mencebikkan bibirnya, mau tak mau dia mengalungkan tangannya ke leher suaminya."Bawa barang-barang kami ke atas ya, bik!." kata Revan pada wanita paruh baya yang merupakan asisten rumah tangga."Baik, den!." jawabnya.Revan lalu membawa Rara ke lantai atas, ke kamar mereka. Rara memperhatikan sekeliling rumah itu, namun tidak semuanya bisa dia lihat."Sekarang istirahat dulu ya, besok aku akan membawamu melihat-lihat rumah kita!." kata Revan lembut ketika memperhatikan Rara mengedarkan pandangannya.Rara hanya terdiam, dia tidak menjawab u
"Aku mendengar kamu tidak jadi menikah. Dan itu kabar baik buatku."Rara melihat mata Revan yang menatapnya lebih dalam, seolah sedang menyelami perasaan Rara."Aku tergila-gila padamu, Ra!. Perasaanku tidak pernah bisa hilang sejak kita masih kecil!.""Jadi, ketika kamu putus dengan tunanganmu, aku berusaha mencari cara untuk mendekatimu!.""Aku mulai meninggalkan semua kehidupan malamku, termasuk Marsya.""Aku berhenti ke club, aku berhenti mencari wanita-wanita diluar sana, dan aku berhenti menemui Marsya.""Kami hanya bertemu di kantor!."Rara berusaha merangkai penjelasan Revan. Itu artinya sudah cukup lama Revan dan Marsya tidak bertemu."Kapan terakhir kali kamu menemui Marsya secara pribadi?. Apakah di apartemennya?." tanya Rara karna mengingat jas Revan yang tertinggal disana.Suami Rara itu terlihat menghembuskan nafas panjang."Sebulan sebelum aku bertemu denganmu, itu terakhir kali aku menemuinya di apartemennya." jawab Revan."Tapi kami hanya bicara, kami tidak melakukan
"Marsya mengaku dia hamil anak Revan,." kata Revan membuat kedua orang tuanya terkejut."Revan yakin, Marsya menyuruh ibunya untuk meneror Rara. Wanita itu sengaja mendatangi Rara dan mengatakan kehamilan anaknya!." kata Revan terlihat marah."Revan, tunggu...apa maksud kamu?. Sekretaris kamu hamil, apa itu anakmu?." tanya papanya tak percaya."Enggak pa, itu bukan anak Revan!." sanggah Revan cepat."Kamu yakin?." tanya papanya lagi. Tentu saja dia ikut merasa cemas.Mama Revan tampak sedih dan meneteskan air mata. Dia bisa membayangkan bagaimana perasaan Rara."Revan yakin, Pa. Revan bahkan menantang Marsya untuk tes DNa, tapi dia tidak mau.""Dia ingin Revan menikahi dia, setelah dia melahirkan baru dia bersedia tes DNa...""Tapi, Revan yakin kalau itu hanya akal-akalan Marsya saja, Pa!.""Dia mau menjebak Revan." kata Revan panjang lebar.Papa Revan membetulkan letak kacamatanya. Dengan bijaksana dia bertanya pada Revan."Jika dia anak kamu, bagaimana?.""Kamu berani bertindak, kam
Revan memarkir mobilnya dengan sembarangan ketika sudah sampai didepan rumah sakit, dia bahkan meninggalkan mobilnya masih lengkap dengan kuncinya. Dia langsung turun dan segera berlari kedalam rumah sakit, meninggalkan mobilnya dengan pintu yang terbuka."Dimana pasien atas nama Kinara Larasati?." tanya Revan dengan terburu-buru, nafasnya memburu karena dia berlari sejak tadi."Nyonya Kinara ada di ruang observasi ibu hamil, disebelah sana!." petugas front office memberikan arah pada Revan. Revan segera berlari, jantungnya berdegup sangat kencang, ada ketakutan menyergapnya.Seseorang menelpon Revan ketika dia sedang meeting, mengabarkan bahwa Rara terjatuh di supermarket dan sedang dibawa oleh ambulance ke rumah sakit. Revan seketika menghentikan rapatnya dan menuju ke rumah sakit.Ruang Observasi Ibu Hamil. Revan membaca papan petunjuk didepan pintu, Revan segera masuk dan melihat seorang perawat."Pasien atas nama Kinara Larasati, apakah istri saya ada disini?." tanyanya dengan ce
Hari ini adalah jadwal Rara untuk kembali berkunjung ke dokter guna memeriksakan kehamilannya. Revan sudah sangat tidak sabar, sejak pagi suami Rara itu terus menerus menelpon Rara mengatakan akan menjemput Rara dan mengingatkan Rara bahwa mereka akan ke dokter."Ya ampun, Van!. Kamu udah berapa kali telpon hari ini?.""Aku ingat sayang, kita akan pergi ke dokter buat lihat junior!." kata Rara gemas."Sekarang masih jam tiga, Van. Dokternya nanti jam tujuh malam.""Apa, mau pulang sekarang?."Rara hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah suaminya. Tapi hatinya juga merasa sangat bahagia, karena Revan begitu senang dan bersemangat menyambut kehamilan Rara."Sayang, papa kamu sangat sayang sekali loh sama kamu.""Dia gak sabar pingin lihat kamu, nanti kamu kasih lihat papa kalau kamu udah tambah besar diperut mama ya!.""Biar papa seneng, oke!." kata Rara lembut sambil mengusap perutnya yang masih rata. Rara tersenyum.Tak lama, Revan benar-benar datang seperti yang dia katakan ketika
Rara melihat Revan yang sudah selesai mandi, dia segera menghampiri dan memberikan piyama tidur untuk suaminya itu."Makasih, sayang!." kata Revan sambil tersenyum."Makanannya udah aku hangatin, makan yuk!." ajak Rara. Perutnya juga terasa sudah mulai lapar sekarang. Sejak hamil, Rara memang merasa jadi mudah sekali lapar.Revan mengganguk dan segera berganti pakaian. Revan kemudian memeluk istrinya hanga dan mencium keningnya. Mereka lalu bergandengan tangan keluar dari kamar menuju ke meja makan.Rara melayani suaminya dengan baik, dia mengambilkan nasi dan lauk pauk, juga menuang air putih dalam gelas.Revan sangat bahagia melihat kebersamaannya dengan Rara. Rara adalah wanita impiannya, dan sekarang mereka sudah menikah, bahkan akan segera memiliki anak, membuat Revan tak menginginkan apa-apa lagi dalam kehidupannya. Bagi Revan hidupnya kini sudah lengkap dan sempurna!."Makasih, sayang!." kata Revan. Mereka lalu menikmati makanan mereka dengan tenang sambil mengobrol ringan."Sa
"Apa saya boleh masuk?." tanya Marsya sambil menatap lekat Rara.Rara tidak serta merta menginjinkan permintaan sekretaris Revan itu untuk masuk, karena dia melihat ada maksud terselubung dari kedatangan wanita itu."Tidak perlu, karena saya rasa kamu tidak berkepentingan untuk masuk ke dalam apartemen kami!." tolak Rara."Bos kamu, suami saya, sedang ada di kantor, jadi kalau kamu mencarinya harusnya disana!. Bukan kesini!." ketus Rara. Dia merasa tidak perlu berbicara dengan baik pada wanita seperti Marsya.Marsya terlihat menekan emosinya. Tangannya yang sedang memegang sebuah paper bag tampak mencengkram lebih erat."Saya sudah tidak bekerja dikantor pak Revan!." kata Marsya yang seketika membuat Rara terkejut, tapi dia segera bersikap sewajar mungkin."Karena itu saya tidak mencarinya dikantor!." lanjut wanita itu."Kebetulan saya tahu pasword apartemen ini karena saya sering kesini.""jadi ya saya datang kesini!." Rara menghela nafasnya, dia tahu wanita didepannya ini sedang in