[Ih, kamu ini ndak tau apa? Satu kampung heboh, suamimu nikah sama Dian.][Suami? Hampir mantan][Tapi kan belum][Bentar lagi]Juleha kembali mengirim gambar Mas Veri yang tengah mencium pucuk kepala Dian. Wanita tua yang menjadi selingkuhannya selama ini. Astaga, melihatnya saja aku ingin muntah. Kenapa keluarganya mengizinkan mereka menikah?Bukannya Dian masih berstatus istri orang. Sedangkan Mas Veri belum ada putusan. Nggak masuk akal?[Gil* ya, keluarga Veri. Apa kagak punya malu ya. Habis digrebek lalu menikah. Pake senyum-senyum segala lagi] Aku hanya membaca saja pesan dari Juleha tanpa berniat membalasnya. Lebih baik aku ikut tidur saja bersama Arum. ****POV Veri"Pak, ini uang buat bayar denda dan juga buat bayar sekolah Anis." Aku menyodorkan setumpuk uang. Semua orang yang tengah duduk di depan televisi pun heran dibuatnya dari mana aku mendapatkan uang tersebut?"Darimana kamu dapet uang sebanyak ini, Ver?" tanya Mama yang langsung cepat duduk dengan posisi tegap."
POV DewiSeperti biasa, aku bangun pagi setelah mendengar adzan subuh berkumandang. Menunaikan sholat dua rekaat selebihnya menyiapkan semua kebutuhan Arum. Sabar Nak, kita pasti bisa melewati ini semua. Aku yakin kamu akan tumbuh menjadi anak yang kuat dan juga Sholehah meski tanpa sosok ayah yang mendampingi. Aku yakin Tuhan memiliki rencana yang jauh lebih indah lebih dari yang kita harapkan. Meskipun kali ini kita harus merasakan sakit terlebih dahulu.Tanganku masih sibuk menyiapkan sarapan pagi. Namun pikiranku kembali mengingat wanita yang datang kemarin."Ibu kemarin bicara apa dengan wanita itu?" Ibu menghentikan aktivitasnya mencuci piring sejenak lalu kembali melanjutkan."Ibu ndak bicara apa-apa! Ibu hanya bicara kalau ibu Ndak punya hubungan dengan suaminya. Itu saja!""Dia percaya?""Nggak tau. Lek Tarno kemarin kenapa ndak datang?" Ibu berbalik badan agar bisa melihatku."Lek Tarno ndak ada dirumah. Malah Bulek Riris marah-marah Ndak jelas.""Memang begitu sifatnya, ma
Hari ini aku libur bekerja. Setelah dua bulan lamanya aku mengurus surat cerai akhirnya status janda kini sudah aku sandang. Harus ekstra sabar dengan omongan tetangga dan juga harus kuat mengurus semua sendirian. Meskipun Arum harus tumbuh tanpa Ayah di sampingnya. Tak masalah bagiku, kucurahkan kasih sayang berlebih untuknya seorang. Ditambah Ibu selalu setia menjaga nya menambah kasih sayang, membuat Arum tak pernah kekurangan kasih sayang."Assalamualaikum." Salam terdengar dari luar rumah. Aku yang sedang sarapan pun meletakan sendok berniat membuka pintu."Sudah, Ibu saja. Kamu lanjutkan makan!" Aku mengangguk. Ibu yang tengah membawa seikat daun pepaya dan juga daun singkong ia letakan diatas meja. Lalu berjalan menuju sumber suara."Waalaikumsalam," ucap Ibu sembari membuka pintu. Aku langsung meletakan piring kotor pada wastafel lalu mencuci tangan. Berjalan menghampiri siapa yang bertamu.Aku berjalan menuju ruang tamu. Melihat Ibu sudah memeluk Mas Bayu dan juga Mbak Ika si
POV DewiKerompyang ….Terdengar suara gaduh dari kamar Mbak Ika. Semua orang yang tengah berkumpul di kamarku hanya bisa saling melempar pandangan. Ada apa lagi ini?"Istrimu kenapa itu, Yu?" tanya Ibu sembari mengusap punggung Arum.Mas Bayu tidak menjawab. Dia langsung bergegas menuju kamar, mencari tahu apa yang telah terjadi disana."Apa yang kamu lakukan, Ika?" tanya Mas Bayu sembari memungut kaleng roti yang berisi kerupuk itu. "Nathan ini lho, Pah. Suka makan yang aneh-aneh. Mama kan sudah bilang jangan makan beginian! Ngerti nggak sih?!""Papa …." Nathan memeluk Mas Bayu, dia terlihat ketakutan mendengar Mbak Ika berteriak dihadapannya."Astagfirullahaladzim," ucap Mas Bayu pelan, tangannya tak henti mengusap kepala putranya dengan lembut. Aku yang sudah berdiri dibelakang Mas Bayu hanya bisa ikut beristighfar.Entah bagaimana hati Mas Bayu saat ini? Apakah merasa malu atau merasa tak enak sendiri padaku dan juga Ibu. Mbak Ika yang baru saja tiba sudah memperlihatkan sikap y
POV DewiKerompyang ….Terdengar suara gaduh dari kamar Mbak Ika. Semua orang yang tengah berkumpul di kamarku hanya bisa saling melempar pandangan. Ada apa lagi ini?"Istrimu kenapa itu, Yu?" tanya Ibu sembari mengusap punggung Arum.Mas Bayu tidak menjawab. Dia langsung bergegas menuju kamar, mencari tahu apa yang telah terjadi disana."Apa yang kamu lakukan, Ika?" tanya Mas Bayu sembari memungut kaleng roti yang berisi kerupuk itu. "Nathan ini lho, Pah. Suka makan yang aneh-aneh. Mama kan sudah bilang jangan makan beginian! Ngerti nggak sih?!""Papa …." Nathan memeluk Mas Bayu, dia terlihat ketakutan mendengar Mbak Ika berteriak dihadapannya."Astagfirullahaladzim," ucap Mas Bayu pelan, tangannya tak henti mengusap kepala putranya dengan lembut. Aku yang sudah berdiri dibelakang Mas Bayu hanya bisa ikut beristighfar.Entah bagaimana hati Mas Bayu saat ini? Apakah merasa malu atau merasa tak enak sendiri padaku dan juga Ibu. Mbak Ika yang baru saja tiba sudah memperlihatkan sikap y
"Danu siapa?""Danu Kang cilok." Dewi mengernyitkan kening ketika mendengar teman dekatnya menjawab."Halah, masa kamu lupa sih? Danu mantan kamu waktu sekolah.""Astaga, ngomong dong. Iya ya, kalau inget waktu SMA aku masih unyu-unyu nan cantik," ucap Dewi sambil matanya mengerling."Halah, kepedean. Sekarang dia jadi pimpinan kita. Istrinya meninggal setahun yang lalu kena kanker ganas.""Kok kamu tahu? Kepo ya? Atau malah diem-diem kamu cari tahu?" Dewi menebak diiringi senyuman yang sulit diartikan."Apaan sih, ya nggak mungkin lah, Wi! Buat apa coba? Suamiku itu lebih ganteng dari Danu."Dewi hanya mengangguk sembari bibirnya maju dua centi."Kek nya kalian jodoh deh, Wi. Kamu janda dia duda. Dah pas banget," ucap Juleha dengan mendekatkan jari manis sebelah kanan dan juga sebelah kiri."Ngomong apa kamu, Juleha?"Dewi dan juga Juleha melanjutkan pekerjaan dan juga obrolannya yang semakin tidak jelas. Membicarakan banyak hal membuat mereka lupa akan waktu dan pekerjaan tak terasa
"Nis, kamu ambil minum sana! Mama haus, ambilkan juga buat Tante Dian." Tangan Halimah menepuk paha Anis sedikit kasar. Agar sang anak paham posisinya saat ini."Apa sih, Ma? Ambil aja sendiri!" Anis menolak. Pandangannya masih fokus pada benda pipih di tangan. "Sudah, buru!" Tangan Halimah menyambar ponsel milik Anis lalu matanya melotot agar Anis segera bangkit dari duduknya."Iya, iya! Bawel," ucap Anis dengan sedikit jengkel."Ih, bocah satu itu. Susah dibilangin!" "Kamu mau makan, Sayang? Aku ambilkan," tanya Veri pada Dian. Namun pandangan Dian tak beralih dari ponsel yang sedari tadi menjadi perhatiannya."Nggak usah! Aku mau pergi sebentar, nanti pulang sebelum acara pengajian dimulai. Oh, ya jangan lupa kamu cek berapa panen kita hari ini dan juga kamu bersihin kandang sapi. Besok ada yang mau beli sapi. Jadi kandang harus bersih!""Tapi, Sayang. Aku kan lagi ngurus acara ini, nanti siapa yang ngurus?""Kan ada Mama? Kalau ada bahan atau barang yang kurang biar Mama yang ny
Sudah seminggu Bayu tinggal bersama Dewi dan juga Ibunya. Kebutuhan keluarga semakin bertambah. Dewi harus mengeluarkan uang lebih banyak lagi untuk mengisi perut maupun kebutuhan yang lain. "Mas, kamu serius mau kerja jadi tukang bangunan?" tanya Ika dengan serius."Iya, memangnya kenapa?""Panas lah, Mas. Nanti kamu hitam, kotor lagi," ucap Ika dengan bibir mencebik. Dia hanya gengsi, melihat sang suami bekerja kasar. Padahal selama ini mereka terkenal sukses di kota. Apa kata tetangga, jika sekarang melihat Bayu menjadi tukang bangunan."Untuk sementara saja, nanti kalau sudah punya modal kita bisa jualan lagi. Kamu yang sabar, ya."Ika menatap langit-langit rumah. Lalu pandangannya beralih pada lelaki yang tengah duduk disebelahnya."Mas.""Apa?" tanya Bayu. Matanya menatap sang istri dengan seksama."Kita cari pinjaman saja, Mas. Gimana?""Pinjaman? Ika, kita sudah tidak memiliki apa-apa. Jadi kita tidak punya jaminan, tidak bisa!""Bisa, Mas.""Maksud kamu? Pinjaman online? Pok
"Kamu libur hari ini, Wi?" tanya Bayu yang tengah duduk sembari menyisir rambut Nathan."Iya, Mas. Kebetulan libur tiga hari. Tanggal merah, nanti Dewi ikut ke pasar ya?""Arum gimana?""Biar Arum sama Ibu di rumah. Sudah, kalian pergi saja!""Assalamualaikum." Terdengar salam dari luar rumah. Dewi bergegas keluar, berniat mencari tahu siapa yang datang."Waalaikumsalam, siapa ya?" tanya Dewi spontan. Setelah melihat seseorang yang tak ia kenal. "Saya Udin teman Bayu. Bayu nya ada, Mbak?" tanya lelaki itu dengan sopan.Bayu yang mendengar suara Udin, segera bergegas keluar. Menyapa lelaki yang pernah ia tolong hingga membuatnya menjadi sekarang ini."Udin? Kemana aja kamu?" tanya Bayu segera menjabat tangan teman semasa sekolah itu."Maaf, ada beberapa masalah jadi nggak sempet ngabari!""Iya, waktu itu aku sempat ke rumahmu tapi malah di usir sama pembantu?""Pembantu? Rumah yang dulu itu sudah aku jual! Mungkin itu penghuni barunya.""Ow, ya sudah silahkan duduk dulu. Ada perlu apa
"Apa yang aku takutkan terjadi, andai kamu mau jujur sama Dewi, Bu. Semua tidak akan seperti ini.' Dewi bermonolog dalam hati."Bu Romlah, ada apa? Apakah semuanya tidak bisa dibicarakan baik-baik? Maaf, bukan bermaksud lancang. Tetapi kami sedang ada tamu," ucap Dewi sembari mengalihkan pandangannya kepada keluarga Danu.Fatimah menunduk, dia tidak berani berkata banyak. Sedangkan Romlah menghela napas panjang. Lalu membuangnya perlahan. Ada sesuatu hal yang ingin dia sampaikan."Fatimah, kenapa kamu tidak membayar hutangmu!" Nada bicara Romlah sudah di bisa ditebak, marah luar biasa."Maaf, Bu. Saya belum ada uang!""Terus kalau kamu nggak ada uang, kamu nggak bayar begitu?! Ada uang atau tidak itu bukan urusanku. Yang penting kamu bayar hutangmu, sini mana uangnya!"Fatimah masih diam tak menjawab. Dewi hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus bagaimana? Uang tabungannya sudah habis diberikan pada Bayu. Kini hanya tinggal beberapa lembar uang lima puluhan ribu. Itup
"Punya, Wi. Ibu masih punya uang tabungan, meskipun sedikit. Tapi lumayan bisa buat nambah-nambah modal Bayu.""Kamu harus semangat, Mas. Memastikan kalau usahamu bakalan sukses. Lihat, Ibu sudah mengorbankan uang tabungannya untuk modal kamu!""Siap, Wi. Mas mu ini semangat banget. Karena sekitaran sini kan belum ada yang jualan bakso. Semoga kedepannya lancar, dan juga laris manis. Amin," tutur Bayu panjang lebar. Semua orang mengamini doa Bayu. Barang belanjaan dibawa ke dapur. Setelah gerobak datang, Bayu segera membereskan kursi yang ada di teras. Menggantinya dengan gerobak lalu menyiapkan segala sesuatu nya di dapur. Meracik bumbu dan juga membuat bulatan-bulatan bakso yang siap di jual. Bayu pandai meracik bumbu. Dengan telaten dia menghaluskan bawang putih, merica dan juga garam. Tak lupa ia berikan penyedap rasa. Ada beberapa bumbu rahasia lain supaya bakso milik Bayu berbeda dengan bakso yang di jual. Sebuah langkah besar yang diambil Bayu. Berharap ada kebahagiaan di uj
"Iya, Ibumu pinjem duit sama Bu Romlah. Kamu tahu kan Bu Romlah? Kalau pinjem duit sama dia biasanya bunganya nyekek leher," tutur Riris panjang lebar. Dewi hanya diam saja. Menerawang jauh, memikirkan Fatimah, kenapa meminjam uang pada Romlah tidak memberi tahu Dewi? Apakah Fatimah tidak tahu bagaimana resikonya jika meminjam uang pada wanita itu.Wanita licik dan juga picik. Disaat memberikan uang, penuh dengan senyuman dan juga pujian. Andai terlambat membayar satu hari saja, lidahnya bak pisau yang tajam. Yang mampu membunuh tanpa menyentuh. "Wi, aku pulang dulu ya! Titip ini buat Arum," ucap Veri sembari menyerahkan amplop pada Dewi."Wah, duit itu?" tanya Riris yang melihat sekilas amplop berwarna putih itu.Tak ada seorang pun menjawab pertanyaan Riris. Veri yang cukup terganggu dengan kehadiran Riris pun langsung berpamitan. Meninggalkan Dewi yang masih diliputi rasa penasaran."Wi, berapa itu duitnya?" Riris kembali bertanya. Matanya tak lepas dari amplop. Dewi masih diam,
"Bay, kamu bilang istrimu pulang kampung. Ada urusan, terus kata Riris kemarin apa?" tanya Fatimah dengan nada bicara sedikit menggebu."Maafkan, Bayu. Bayu nggak bermaksud buat berbohong sama Ibu. Hanya saja, Bayu bingung bagaimana ngomongnya sama Ibu, Bayu takut!""Astagfirullahaladzim, Bayu. Ibu ini Ibu kandungmu. Sudah sewajarnya kalau kamu cerita sama Ibu. Terus, apa yang dikatakan Bulek mu itu bener? Kalau Ika pergi sama pria?""Bayu nggak tahu, Bu. Andai saja benar adanya. Itu alasan yang masuk akal agar aku bisa berpisah dengannya.""Astagfirullahaladzim, Bayu. Kamu ini lelaki, Nak. Kamu ini kepala keluarga, jangan seperti itu. Kamu akan bertanggung jawab kelak di akhirat. Ibu lihat kamu nggak ada perjuangannya, merubah Ika?"Bayu menunduk. Fatimah memperhatikan anak lelakinya itu dengan seksama. "Apa perlu Ibu jual rumah ini buat kamu usaha lagi?""Jual rumah?" tanya Dewi yang tiba-tiba sudah diambang pintu. Entah kapan Dewi sudah pulang, hingga mereka tidak mendengar suara
"Anis, hamil." Halimah menunduk begitu pula Veri. Ada rasa malu dan juga bersalah pastinya. Keluarga yang mereka bangga-banggakan dulu ternyata berujung kepahitan."Insyaallah, kami akan datang," jawab Fatimah dengan senyum mengembang.Tak ada tanggapan yang berarti mengenai kehamilan Anis. Bukan suatu hal yan perlu mereka urusi. "Wi, kamu belum menikah?" tanya Veri setelah cukup lama terdiam. Dewi hanya menggeleng. "Jika aku bercerai dengan Dian, maukah kau kembali kepadaku lagi?""Astagfirullahaladzim, jadi Mas Veri kesini mau minta saja balik lagi sama kamu?! Jangan harap, Mas. Aku nggak akan pernah kembali, biarkan masa lalu menjadi masa lalu. Tapi tak ada niat sedikitpun untuk mengulang.""Tapi, Wi.""Mas, kalau niatmu kesini minta aku kembali lagi, mending kamu pulang saja!" Semua orang yang ada di ruangan itu terdiam. Tak berapa lama ada sebuah mobil Pajero berwarna putih berhenti di pekarangan rumah. Semua orang yang ada di ruangan itu sontak menoleh ke luar."Siapa itu, Ba
Setelah pertengkaran tempo hari. Ika tak kunjung pulang ke rumah. Entah kemana dia pergi? "Yu, kamu nggak nyari istrimu? Rumah tangga itu pasti ada pasang surutnya, wajar. Tapi apa kamu mau menyerah begitu saja?" tanya Fatimah yang tengah duduk di kursi yang ada di dapur."Nathan, kamu belajar ya di kamar. Papa mau bicara dulu sama Nenek!""Iya, Pa," jawab Nathan.Setelah Nathan pergi ke kamar. Bayu kembali melanjutkan pembicaraannya dengan Fatimah, dia tidak ingin jika Nathan mendengar masalah antara papa dan juga mamanya."Bayu, sudah nggak bisa mikir lagi, Bu! Bayu sudah berusaha merubah Ika, namun sayang, Ika terlalu keras kepala!""Tapi, Mas. Apa kamu nggak kasihan sama Ibu? Kalau Mas Bayu bercerai, apa kata tetangga mengenai keluarga kita? Aku sudah gagal berumah tangga, jangan sampai Mas Bayu juga demikian," sahut Dewi. Ia menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi dekat dengan Fatimah. Tangannya sibuk mengaduk teh yang baru saja ia seduh."Maafkan, Bayu. Bu, Bayu …." Bayu menghentik
"Dewi? Ini Dewi kan?" Seketika Dewi dan juga Juleha terdiam. Mata mereka saling menatap lalu memperhatikan lelaki yang tengah menghampiri."I-iya saya Dewi, Bapak …." Dewi tak melanjutkan ucapannya. Takut jika dugaannya salah."Aku Danu. Masak lupa sama man- mantan," ucap Danu dengan senyuman menggoda.Dewi hanya menggaruk tengkuk leher yang tidak gatal. Sembari tersenyum menutupi malu. "Cie, disamperin mantan." Juleha menggoda. "Apa kabar?" tanya Danu pada Dewi. "Alhamdulilah, baik. Kabar kamu sendiri gimana?""Alhamdulilah, kabar baik. Kamu kerja disini juga?"" Iya, dilihat dari penampilannya sepertinya kamu orang kantor ya?" Dewi memperhatikan dengan seksama pria yang ada di hadapannya saat ini. Pria ini begitu berbeda, lebih bersih, tampan dan juga mempesona. Uluh … uluh … bisa CLBK kalau begini."Iya, aku bagian administrasi. Boleh minta nomer nggak?""Boleh saja, apa sih yang enggak buat mantan terindah. Hi hi, mana ponsel kamu, Wi?" Juleha menepuk tangan Dewi lalu meminta
Dewi masih sibuk memoles bedak pada wajahnya. Sedangkan Arum sudah bangun, ia sedang sibuk bermain boneka di atas ranjang."Arum sayang, Ibu kerja ya. Cari uang buat Arum, nanti kalau Ibu pulang Arum pengen dibawain apa?"Gadis kecil itu hanya nyengir, lalu memukul-mukul boneka yang berada disamping dan juga berada di depannya.Tak berapa lama pintu kamar terbuka, Dewi menoleh, mencari tahu siapa yang datang."Maaf, Wi.""Nggak papa masuk saja, Bu!" pinta Dewi pada wanita tua itu."Wi, kamu pacaran sama Joko?" Entah mengapa tidak ada angin tidak ada hujan Fatimah langsung bertanya. Memastikan kebenaran berita itu pada putrinya."Ibu, dapat informasi itu dari mana? Bulek Riris?"Fatimah terlihat menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. "Ibu tahu sendiri gimana Bulek, mana mungkin Dewi dekat dengan lelaki sampai Ibu tidak tahu! Ibu, untuk saat ini Dewi pengen fokus sama Arum dan juga Ibu. Jadi Ibu nggak perlu mikirin yang lain." Dewi menghampiri Fatimah, memeluknya bersamaan