"Iya kawin, kamu mau ndak?""Maksud Mama Veri nikah lagi begitu?""Iya. Tapi ingat, sama perempuan kaya tapi juga nggak pelit!""Tapi kan Veri belum resmi bercerai, Ma.""Itu bisa diatur," ucapku sembari memainkan kedua alis.Aku harus bisa meyakinkan Veri agar dia mau menikah lagi. Urusan omongan tetangga itu dipikir belakangan. Yang aku mau hanya Veri menikah dengan perempuan kaya meskipun janda tak masalah. Yang terpenting bagiku dia bisa memberiku uang.***POV Dewi"Wi, kamu hari ini libur?""Iya, Bu. Mau ngurus soal perceraian. Biar Dewi lekas berpisah dengan Mas Veri.""Iya, Ibu setuju. Tapi inget kamu tetep jaga kesehatan ya? Jangan lupa makan yang banyak.""Halo, Mbak Dewi. Kok tumben nginep di rumah sendiri lama? Sudah semingguan lho disini." tanya salah satu tetangga yang tiba-tiba datang tak diundang. Mungkin mereka penasaran ada apa denganku?"Eh, Bude Wati. Mau kemana?" Aku justru bertanya kembali tanpa menjawab pertanyaan darinya. Karena memang masalah keluargaku tak a
POV Dian "Kita sebaiknya berpisah!" Mataku memanas seakan ada air bening yang siap meluncur dari tempatnya. "Aku minta maaf, Mas. Aku khilaf." Aku memohon agar Mas Bambang mau memikirkan kembali keputusannya itu. Tidak akan pernah mudah aku menjalani semuanya jika tanpa dia. Aku mengakui dia pria yang baik. Sudah dua puluh lima tahun lamanya menemaniku. Tapi aku juga manusia aku juga seorang wanita yang membutuhkan kasih sayang. Sedangkan Mas Bambang, dia merantau kota sebelah. Sebulan sekali dia pulang. Tapi jika tiba-tiba rindu menyeruak dalam hati aku bisa apa?Hanya bisa memeluk guling tanpa merasakan hangat nafasnya. Mas Bambang tahu betul tentang diriku. Tentang keinginanku tentang hal itu masih terlalu tinggi. Di usiaku yang hampir menginjak angka 50 tepatnya 47 tahun.Terkadang jika aku bermain dengannya, dia kewalahan. Usianya yang tidak lagi muda tidak mampu mengimbangi keinginanku yang masih bergejolak. Ah, aku bisa apa? Banyak wanita lain yang merasa lelah jika harus m
POV DEWI"Pelan-pelan saja, Wi." ucap Ibu sembari menepuk pundak belakang. Bagaimana aku bisa tenang? Arum ada di tangan Ayahnya. Ayah? Bukannya Mas Veri itu Ayah kandung Arum? Kenapa aku harus takut. Padahal tak mungkin jika lelaki itu berani menyakiti darah dagingnya sendiri.Hah, apa yang telah terjadi padaku? Kenapa aku menjadi separno ini dengan lelaki itu?"Wi, Arum masih butuh sosok kamu!""Astagfirullahaladzim," jawabku sontak mengerem motor saat itu juga.Beruntung tidak ada motor maupun kendaraan lain dibelakang. Andai saja ada mungkin akan berbeda cerita.Tak berapa lama motor yang kami kendarai tiba di halaman rumah Mas Veri. Nampak motor lelaki itu juga terparkir diteras."Mas Veri? Tolong, buka pintunya!" Aku mengetuk pintu sembari berteriak. Entah apa yang ada dipikiran para tetangga aku tidak peduli yang aku harapkan kali ini aku bisa bertemu Arum dengan keadaan sehat tanpa kurang suatu apapun.Ceklek,Sosok lelaki tua membuka pintu utama. Tatapannya penuh tanya, ada a
"Pak Bambang tadi ke kantor, Pak. Dia menceritakan semua disana dengan pimpinan Veri. Dia meminta ketegasan beliau," tutur Veri dengan kepala menunduk."Pak Bambang suaminya Dian?"Veri hanya mengangguk. Allahu Akbar, jika Veri tidak lagi bekerja, bagaimana nasib keluargaku nanti?"Pak, bagaimana ini? Kita juga harus membayar denda. Jumlahnya tidak sedikit, dari mana kita punya uang sebanyak itu?" Aku memijat pelipis dengan pelan. Rasanya kepalaku berdenyut nyeri, setelah mendengar kabar tentang pemecatan Veri."Sabar, Bu. Bapak akan pikirkan jalan keluarnya.""Bagaimana kalau kita pinjam uang saja pada Pak Raji?""Pak Raji?" tanya Veri sembari menatapku dengan seksama."Mama yakin mau pinjem uang sama Pak Raji? Bunganya gede lho, Ma. Nanti kalau Ndak bisa bayar bisa-bisa rumah kita disita." ucap Anis sembari menatap kami bergantian. "Lha mau gimana lagi, Nis? Mama juga sudah ndak punya tabungan. Ini semua gara-gara kamu, Ver. Kalau kamu ndak tergoda sama paha mulus milik Dian, semua
##BAB 17"Astagfirullahaladzim, Ibu kok bicara seperti itu?" Aku segera mengangkat Arum, lalu mengajaknya sedikit menjauh. Takut jika nanti dia kembali berkata kasar."Munafik," ucap si wanita tua itu dengan mata berapi-api."Bu, mungkin ini semua salah paham. Kita bisa bicarakan semuanya baik-baik. Ada anak kecil yang mendengarkan." Ibu mencoba menanggapi kemarahan wanita tua ini dengan sabar. Meskipun dia sendiri tidak tahu permasalahannya."Sudah, ndak usah sok baik deh! Kamu inget ndak waktu itu kamu gendong bayi itu terus di beri tumpangan sama suamiku?""Astagfirullahaladzim, waktu motor Lek Tarno mogok dijalan? Ya Allah, Bu. Itu suami Ibu sendiri lho yang menawarkan. Katanya kasihan melihat saya panas-panas dorong motor. Lalu saya diantar sampai ke pasar. Sudah itu saja ndak lebih. Ada saksinya kok, Lek Tarno.""Halah, Ndak usah banyak alesan.""Wi, coba kamu panggil Lek Tarno biar dia menjelaskan semua." "Baik, Bu." Aku segera pergi ke rumah Lek Tarno yang tidak terlalu jauh.
[Ih, kamu ini ndak tau apa? Satu kampung heboh, suamimu nikah sama Dian.][Suami? Hampir mantan][Tapi kan belum][Bentar lagi]Juleha kembali mengirim gambar Mas Veri yang tengah mencium pucuk kepala Dian. Wanita tua yang menjadi selingkuhannya selama ini. Astaga, melihatnya saja aku ingin muntah. Kenapa keluarganya mengizinkan mereka menikah?Bukannya Dian masih berstatus istri orang. Sedangkan Mas Veri belum ada putusan. Nggak masuk akal?[Gil* ya, keluarga Veri. Apa kagak punya malu ya. Habis digrebek lalu menikah. Pake senyum-senyum segala lagi] Aku hanya membaca saja pesan dari Juleha tanpa berniat membalasnya. Lebih baik aku ikut tidur saja bersama Arum. ****POV Veri"Pak, ini uang buat bayar denda dan juga buat bayar sekolah Anis." Aku menyodorkan setumpuk uang. Semua orang yang tengah duduk di depan televisi pun heran dibuatnya dari mana aku mendapatkan uang tersebut?"Darimana kamu dapet uang sebanyak ini, Ver?" tanya Mama yang langsung cepat duduk dengan posisi tegap."
POV DewiSeperti biasa, aku bangun pagi setelah mendengar adzan subuh berkumandang. Menunaikan sholat dua rekaat selebihnya menyiapkan semua kebutuhan Arum. Sabar Nak, kita pasti bisa melewati ini semua. Aku yakin kamu akan tumbuh menjadi anak yang kuat dan juga Sholehah meski tanpa sosok ayah yang mendampingi. Aku yakin Tuhan memiliki rencana yang jauh lebih indah lebih dari yang kita harapkan. Meskipun kali ini kita harus merasakan sakit terlebih dahulu.Tanganku masih sibuk menyiapkan sarapan pagi. Namun pikiranku kembali mengingat wanita yang datang kemarin."Ibu kemarin bicara apa dengan wanita itu?" Ibu menghentikan aktivitasnya mencuci piring sejenak lalu kembali melanjutkan."Ibu ndak bicara apa-apa! Ibu hanya bicara kalau ibu Ndak punya hubungan dengan suaminya. Itu saja!""Dia percaya?""Nggak tau. Lek Tarno kemarin kenapa ndak datang?" Ibu berbalik badan agar bisa melihatku."Lek Tarno ndak ada dirumah. Malah Bulek Riris marah-marah Ndak jelas.""Memang begitu sifatnya, ma
Hari ini aku libur bekerja. Setelah dua bulan lamanya aku mengurus surat cerai akhirnya status janda kini sudah aku sandang. Harus ekstra sabar dengan omongan tetangga dan juga harus kuat mengurus semua sendirian. Meskipun Arum harus tumbuh tanpa Ayah di sampingnya. Tak masalah bagiku, kucurahkan kasih sayang berlebih untuknya seorang. Ditambah Ibu selalu setia menjaga nya menambah kasih sayang, membuat Arum tak pernah kekurangan kasih sayang."Assalamualaikum." Salam terdengar dari luar rumah. Aku yang sedang sarapan pun meletakan sendok berniat membuka pintu."Sudah, Ibu saja. Kamu lanjutkan makan!" Aku mengangguk. Ibu yang tengah membawa seikat daun pepaya dan juga daun singkong ia letakan diatas meja. Lalu berjalan menuju sumber suara."Waalaikumsalam," ucap Ibu sembari membuka pintu. Aku langsung meletakan piring kotor pada wastafel lalu mencuci tangan. Berjalan menghampiri siapa yang bertamu.Aku berjalan menuju ruang tamu. Melihat Ibu sudah memeluk Mas Bayu dan juga Mbak Ika si
"Kamu libur hari ini, Wi?" tanya Bayu yang tengah duduk sembari menyisir rambut Nathan."Iya, Mas. Kebetulan libur tiga hari. Tanggal merah, nanti Dewi ikut ke pasar ya?""Arum gimana?""Biar Arum sama Ibu di rumah. Sudah, kalian pergi saja!""Assalamualaikum." Terdengar salam dari luar rumah. Dewi bergegas keluar, berniat mencari tahu siapa yang datang."Waalaikumsalam, siapa ya?" tanya Dewi spontan. Setelah melihat seseorang yang tak ia kenal. "Saya Udin teman Bayu. Bayu nya ada, Mbak?" tanya lelaki itu dengan sopan.Bayu yang mendengar suara Udin, segera bergegas keluar. Menyapa lelaki yang pernah ia tolong hingga membuatnya menjadi sekarang ini."Udin? Kemana aja kamu?" tanya Bayu segera menjabat tangan teman semasa sekolah itu."Maaf, ada beberapa masalah jadi nggak sempet ngabari!""Iya, waktu itu aku sempat ke rumahmu tapi malah di usir sama pembantu?""Pembantu? Rumah yang dulu itu sudah aku jual! Mungkin itu penghuni barunya.""Ow, ya sudah silahkan duduk dulu. Ada perlu apa
"Apa yang aku takutkan terjadi, andai kamu mau jujur sama Dewi, Bu. Semua tidak akan seperti ini.' Dewi bermonolog dalam hati."Bu Romlah, ada apa? Apakah semuanya tidak bisa dibicarakan baik-baik? Maaf, bukan bermaksud lancang. Tetapi kami sedang ada tamu," ucap Dewi sembari mengalihkan pandangannya kepada keluarga Danu.Fatimah menunduk, dia tidak berani berkata banyak. Sedangkan Romlah menghela napas panjang. Lalu membuangnya perlahan. Ada sesuatu hal yang ingin dia sampaikan."Fatimah, kenapa kamu tidak membayar hutangmu!" Nada bicara Romlah sudah di bisa ditebak, marah luar biasa."Maaf, Bu. Saya belum ada uang!""Terus kalau kamu nggak ada uang, kamu nggak bayar begitu?! Ada uang atau tidak itu bukan urusanku. Yang penting kamu bayar hutangmu, sini mana uangnya!"Fatimah masih diam tak menjawab. Dewi hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus bagaimana? Uang tabungannya sudah habis diberikan pada Bayu. Kini hanya tinggal beberapa lembar uang lima puluhan ribu. Itup
"Punya, Wi. Ibu masih punya uang tabungan, meskipun sedikit. Tapi lumayan bisa buat nambah-nambah modal Bayu.""Kamu harus semangat, Mas. Memastikan kalau usahamu bakalan sukses. Lihat, Ibu sudah mengorbankan uang tabungannya untuk modal kamu!""Siap, Wi. Mas mu ini semangat banget. Karena sekitaran sini kan belum ada yang jualan bakso. Semoga kedepannya lancar, dan juga laris manis. Amin," tutur Bayu panjang lebar. Semua orang mengamini doa Bayu. Barang belanjaan dibawa ke dapur. Setelah gerobak datang, Bayu segera membereskan kursi yang ada di teras. Menggantinya dengan gerobak lalu menyiapkan segala sesuatu nya di dapur. Meracik bumbu dan juga membuat bulatan-bulatan bakso yang siap di jual. Bayu pandai meracik bumbu. Dengan telaten dia menghaluskan bawang putih, merica dan juga garam. Tak lupa ia berikan penyedap rasa. Ada beberapa bumbu rahasia lain supaya bakso milik Bayu berbeda dengan bakso yang di jual. Sebuah langkah besar yang diambil Bayu. Berharap ada kebahagiaan di uj
"Iya, Ibumu pinjem duit sama Bu Romlah. Kamu tahu kan Bu Romlah? Kalau pinjem duit sama dia biasanya bunganya nyekek leher," tutur Riris panjang lebar. Dewi hanya diam saja. Menerawang jauh, memikirkan Fatimah, kenapa meminjam uang pada Romlah tidak memberi tahu Dewi? Apakah Fatimah tidak tahu bagaimana resikonya jika meminjam uang pada wanita itu.Wanita licik dan juga picik. Disaat memberikan uang, penuh dengan senyuman dan juga pujian. Andai terlambat membayar satu hari saja, lidahnya bak pisau yang tajam. Yang mampu membunuh tanpa menyentuh. "Wi, aku pulang dulu ya! Titip ini buat Arum," ucap Veri sembari menyerahkan amplop pada Dewi."Wah, duit itu?" tanya Riris yang melihat sekilas amplop berwarna putih itu.Tak ada seorang pun menjawab pertanyaan Riris. Veri yang cukup terganggu dengan kehadiran Riris pun langsung berpamitan. Meninggalkan Dewi yang masih diliputi rasa penasaran."Wi, berapa itu duitnya?" Riris kembali bertanya. Matanya tak lepas dari amplop. Dewi masih diam,
"Bay, kamu bilang istrimu pulang kampung. Ada urusan, terus kata Riris kemarin apa?" tanya Fatimah dengan nada bicara sedikit menggebu."Maafkan, Bayu. Bayu nggak bermaksud buat berbohong sama Ibu. Hanya saja, Bayu bingung bagaimana ngomongnya sama Ibu, Bayu takut!""Astagfirullahaladzim, Bayu. Ibu ini Ibu kandungmu. Sudah sewajarnya kalau kamu cerita sama Ibu. Terus, apa yang dikatakan Bulek mu itu bener? Kalau Ika pergi sama pria?""Bayu nggak tahu, Bu. Andai saja benar adanya. Itu alasan yang masuk akal agar aku bisa berpisah dengannya.""Astagfirullahaladzim, Bayu. Kamu ini lelaki, Nak. Kamu ini kepala keluarga, jangan seperti itu. Kamu akan bertanggung jawab kelak di akhirat. Ibu lihat kamu nggak ada perjuangannya, merubah Ika?"Bayu menunduk. Fatimah memperhatikan anak lelakinya itu dengan seksama. "Apa perlu Ibu jual rumah ini buat kamu usaha lagi?""Jual rumah?" tanya Dewi yang tiba-tiba sudah diambang pintu. Entah kapan Dewi sudah pulang, hingga mereka tidak mendengar suara
"Anis, hamil." Halimah menunduk begitu pula Veri. Ada rasa malu dan juga bersalah pastinya. Keluarga yang mereka bangga-banggakan dulu ternyata berujung kepahitan."Insyaallah, kami akan datang," jawab Fatimah dengan senyum mengembang.Tak ada tanggapan yang berarti mengenai kehamilan Anis. Bukan suatu hal yan perlu mereka urusi. "Wi, kamu belum menikah?" tanya Veri setelah cukup lama terdiam. Dewi hanya menggeleng. "Jika aku bercerai dengan Dian, maukah kau kembali kepadaku lagi?""Astagfirullahaladzim, jadi Mas Veri kesini mau minta saja balik lagi sama kamu?! Jangan harap, Mas. Aku nggak akan pernah kembali, biarkan masa lalu menjadi masa lalu. Tapi tak ada niat sedikitpun untuk mengulang.""Tapi, Wi.""Mas, kalau niatmu kesini minta aku kembali lagi, mending kamu pulang saja!" Semua orang yang ada di ruangan itu terdiam. Tak berapa lama ada sebuah mobil Pajero berwarna putih berhenti di pekarangan rumah. Semua orang yang ada di ruangan itu sontak menoleh ke luar."Siapa itu, Ba
Setelah pertengkaran tempo hari. Ika tak kunjung pulang ke rumah. Entah kemana dia pergi? "Yu, kamu nggak nyari istrimu? Rumah tangga itu pasti ada pasang surutnya, wajar. Tapi apa kamu mau menyerah begitu saja?" tanya Fatimah yang tengah duduk di kursi yang ada di dapur."Nathan, kamu belajar ya di kamar. Papa mau bicara dulu sama Nenek!""Iya, Pa," jawab Nathan.Setelah Nathan pergi ke kamar. Bayu kembali melanjutkan pembicaraannya dengan Fatimah, dia tidak ingin jika Nathan mendengar masalah antara papa dan juga mamanya."Bayu, sudah nggak bisa mikir lagi, Bu! Bayu sudah berusaha merubah Ika, namun sayang, Ika terlalu keras kepala!""Tapi, Mas. Apa kamu nggak kasihan sama Ibu? Kalau Mas Bayu bercerai, apa kata tetangga mengenai keluarga kita? Aku sudah gagal berumah tangga, jangan sampai Mas Bayu juga demikian," sahut Dewi. Ia menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi dekat dengan Fatimah. Tangannya sibuk mengaduk teh yang baru saja ia seduh."Maafkan, Bayu. Bu, Bayu …." Bayu menghentik
"Dewi? Ini Dewi kan?" Seketika Dewi dan juga Juleha terdiam. Mata mereka saling menatap lalu memperhatikan lelaki yang tengah menghampiri."I-iya saya Dewi, Bapak …." Dewi tak melanjutkan ucapannya. Takut jika dugaannya salah."Aku Danu. Masak lupa sama man- mantan," ucap Danu dengan senyuman menggoda.Dewi hanya menggaruk tengkuk leher yang tidak gatal. Sembari tersenyum menutupi malu. "Cie, disamperin mantan." Juleha menggoda. "Apa kabar?" tanya Danu pada Dewi. "Alhamdulilah, baik. Kabar kamu sendiri gimana?""Alhamdulilah, kabar baik. Kamu kerja disini juga?"" Iya, dilihat dari penampilannya sepertinya kamu orang kantor ya?" Dewi memperhatikan dengan seksama pria yang ada di hadapannya saat ini. Pria ini begitu berbeda, lebih bersih, tampan dan juga mempesona. Uluh … uluh … bisa CLBK kalau begini."Iya, aku bagian administrasi. Boleh minta nomer nggak?""Boleh saja, apa sih yang enggak buat mantan terindah. Hi hi, mana ponsel kamu, Wi?" Juleha menepuk tangan Dewi lalu meminta
Dewi masih sibuk memoles bedak pada wajahnya. Sedangkan Arum sudah bangun, ia sedang sibuk bermain boneka di atas ranjang."Arum sayang, Ibu kerja ya. Cari uang buat Arum, nanti kalau Ibu pulang Arum pengen dibawain apa?"Gadis kecil itu hanya nyengir, lalu memukul-mukul boneka yang berada disamping dan juga berada di depannya.Tak berapa lama pintu kamar terbuka, Dewi menoleh, mencari tahu siapa yang datang."Maaf, Wi.""Nggak papa masuk saja, Bu!" pinta Dewi pada wanita tua itu."Wi, kamu pacaran sama Joko?" Entah mengapa tidak ada angin tidak ada hujan Fatimah langsung bertanya. Memastikan kebenaran berita itu pada putrinya."Ibu, dapat informasi itu dari mana? Bulek Riris?"Fatimah terlihat menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. "Ibu tahu sendiri gimana Bulek, mana mungkin Dewi dekat dengan lelaki sampai Ibu tidak tahu! Ibu, untuk saat ini Dewi pengen fokus sama Arum dan juga Ibu. Jadi Ibu nggak perlu mikirin yang lain." Dewi menghampiri Fatimah, memeluknya bersamaan