Pov. Ainun
'Aku sudah kembali dari perjalanan bisnis. Tunggu aku, Ai, aku akan segera menyusulmu.'Sebuah pesan masuk di ponselku. Hatiku sedikit takut saat mengingat apa yang disampaikan Mas Rasha kemarin.Hatiku gundah. Ingin menolak tapi tak tahu harus berkata apa.Kuletakkan ponselku begitu saja. Aku memilih berpura-pura sibuk sambil memikirkan bagaimana nantinya aku menghadapi Raffa.Saat kaki hendak melangkah keluar, sebuah panggilan masuk kembali berbunyi. Ah, paling itu adalah Raffa karena pesannya yang tak ku balas.Lebih baik aku menyibukkan diri di luar dari pada aku harus mengangkat telponnya.*Tiga jam berlalu, aku kembali ke kamar untuk mengecek ponselku. Pandanganku menyipit kala lima panggilan tak terjawab dari Mas Rasha juga sebuah pesan. Ada apa?Segera kugeser ikon kunci ponselku. Pesan darinya langsung ku buka.'Mas mohon, Dek. Dengarkan mas kali ini. Mas hanya ingin meli"Jadi, bagaimana, Abah? Apa Raffa diizinkan suatu hari nanti untuk menjaga Ainun? Saya siap menunggu."Kekhawatiranku lenyap seketika saat Rasha menampakkan diri di pintu bersama seorang wanita. Siapa dia?"Tidak!"Raffa dan Abah sontak menoleh ke arah pintu. Wajah Raffa pias seketika saat menyadaei siapa yang datang. Abah mempersilahkan ke duanya masuk. Tapi, di mana yang lain? Bukankah kata abah papa dan pengacaranya juga datang?"B-Bella?""Maaf, Abah, Rasha baru sampai."Mas Rasha mencium takzim tangan abah kemudian duduk di sampingku berjarak beberapa centimeter. Raffa terus merasa gelisah semenjak wanita itu tiba. "Maaf, kedatanganku mendadak. Kenalkan saya Bella-calon istri Raffa."Abah dan Umi tampak terkejut. Aku menggigit bibir kala mengetahui aku hampir saja menjadi korban. "Bella!" tegur Raffa.Wanita yang bernama Bella itu menoleh ke arahnya dengan tatapan pe
"Kamu itu laki-laki brengsek!" ucap Rasha penuh emosi. "Maksud kamu apa?!" ujar Mas Rasha tak kalah emosi. "Kamu menghamili Nayla tapi tidak mau bertanggung jawab!" tuding Raffa. "Apa?!" ucap kami hampir bersamaan. Semua pandangan kini tertuju pada Rasha."Bohong! Sejak kapan aku menghamili Nayla? Menyuntuhnya pun tidak.""Nayla yang menceritakan semuanya padaku."Mas Rasha tersenyum sinis. "Dan kamu percaya?""Tentu saja. Saat itu dia kekasihku dan kamu malah tega menikamku dari belakang hanya karena dia lebih memilihku," cibir Raffa."Kamu harusnya sadar sekarang. Dia itu ular berbisa. Di hadapan kamu dia mengaku akulah yang menghamilinya. Tapi, di depanku, dia meninggalkan hari pernikahan kami karena dia hamil anakmu."Aku semakin tak mengerti. Mengapa mereka saling menuduh satu sama lain. Siapa sebenarnya pelaku di sini?"Sha, kamu tahu siapa aku. Aku memang menjalin hubungan d
Pov. Raffa. "Raffa, buka pintunya!" teriak seseorang yang sangat kukenal siapa pemilik suara itu. Aku yang sedang asyik menonton gegas meuju pintu utama. Setelah pintu kubuka, tampaklah seorang gadis yang tampak sangat acak-acakan. "Nay?"Aku mengedarkan pandangan ke sekitar, akan tetapi tidak ada seorang pun di sana. "Loh, kamu sendiri?"Nayla menghambur ke arahku hingga tubuh yang tak siap ini hampir terjatuh. Nayla menangis sesegukan di dalam pelukanku. Aku membelai rambutnya memberi ketenangan. "Raffa, tolong aku," ucapnya di sela isak tangis. "Masuk dulu, Nay!"Aku membawanya ke dalam rumah. Nayla duduk di sofa sedangkan aku meninggalkannya sebentar untuk mengambilkannya segelas air putih. Nayla tertunduk dan terus menangis. Aku mendekatinya lalu memberikannya segelas air putih agar dia bisa sedikit tenang. "Apa yang terjadi, Nay?" tanyaku lembut.
"Dapatkan informasi tentangnya termasuk istrinya. Aku ingin masuk ke dalam rumah tangga mereka sebagai wanita ke dua.""Biar wanita itu tahu rasanya terluka," lanjutnya."Tidak! Aku tidak setuju jika kamu melibatkan orang lain. Wanita itu tidak salah. Dia bahkan hadir jauh setelah dia mencampakkanmu," tolakku secara tegas. "Aku tidak peduli, Raffa.""Aku setuju kamu ingin membalaskan dendam di masa lalu. Tapi, jangan libatkan wanita itu.""Rasha sangat mencintai wanita itu! Bisa jadi karena wanita itu aku dicampakkan.""Aku yakin bukan karena dia," bantahku. "Kamu tahu apa, hah? Meskipun mereka setahun setelah aku dicampakkan, tapi aku yakin ini ada kaitannya dengan wanita itu."Aku mendengus kasar. "Terserah kalau itu maumu."Nayla tersenyum sinis. Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat sikapnya yang sangat berubah saat ini. Dendam bisa saja merubah seorang kucing yang lucu menjad
Pov. Nayla"Rasha, aku tidak akan membiarkanmu bahagia dengan wanita itu!" desisku. Aku menggetakkan gigi kala melihat akun sosial media mereka. Tampak mereka adalah keluarga yang sangat bahagia. Bahkan banyak yang memuji kebahagiaan mereka. [ Benar-benar pasangan yang serasi], tulis salah satu akun di kolom komentar. [ Anaknya masya Allah cantik banget ], puji salah satunya lagi. [Lihat dulu, dong, siapa ibu bapaknya], balas yang lain.[ Sakinah, mawaddah, wa rohmah, ya, kalian. Semoga langgeng hingga maut memisahkan], timpal yang lain sehingga membuat darahku mendidih. "Akulah mautnya," desisku. *Aku berjalan menyusuri setiap lorong di sebuah pedesaan. Bertanya ke sana ke mari akan alamat yang pernah diberikan Gisel. Hingga langkah ini terhenti pada sebuah gubuk tua. Kakiku melangkah mendekati gubuk tersebut. Tekadku sudah kuat. Aku melakukannya demi merebut kembali Rasha. Aku ak
"Mereka sudah masuk ke dalam perangkap," ucapku pada seseorang di ujung telpon. Terdengar embusan napas berat. "Ya, sudah. Lakukan rencanamu. Ingat, jangan menyakiti istrinya!"Aku berdecik kesal. "Itu urusanku, Fa! Kamu diam saja di sana!"Aku mematikan sambungan telpon dengan perasaan yang kesal.Raffa menyebalkan sekali. Bisa-bisanya dia melarangku untuk menyakiti Ainun. Dia harus merasakan sakitnya dicampakkan."Aku harus mulai menjalankan rencanaku. Susuk ini sudah berfungsi. Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini," gumamku. Aku berjalan menuju pintu kemudian mengintip di balik daun pintu. Tampak Rasha dan Ainun begitu mesra. Aku geram dibuatnya. Dadaku terbakar api cemburu yang luar biasa. "Aku harus cepat bertindak!"Aku membuka tas pakaian yang sejak tadi kubawa. Meskipun aku berencana bunuh diri, tapi pakaian harus sedia. Kubentangkan kimono berbahan tipis dengan belahan dada
Semenjak kedatangan segerombolan ibu-ibu tukang gosip itu, aku jadi stres dibuatnya. Bisa-bisanya dia dengan tanpa berdosa mau mengusirku. Mereka belum tahu saja dia sedang berhadapan dengan siapa. Nayla tidak akan pernah kalah. Hari ini Ainun tampak baik padaku. Biasanya dia akan menyuruhku mengurus diri sendiri tanpa peduli apakah aku lapar atau tidak. Namun, hari ini berbeda. Dia bahkan dengan senang hati membiarkanku jus lemon. Tak ada rasa curiga bahwa dia akan berbuat jahat. Toh, selama tinggal di sini, dia tak pernah melakukan hal jahat padaku. Satu gelas jus lemon habis tak bersisa. Namun, ada rasa keanehan yang kualami. Kepalaku mendadak berat, pandanganku buram hingga gelap. Setelah itu aku tak tahu karena tubuhku semakin melemah. Mataku mengerjai menangkap cahaya yang begitu terang. Berusaha memfokuskan pandangan yang masih memburam. Saat mata bisa menangkap jelas gambar yang ada di depan, aku tersentak saat menyadari suas
Semakin hari semakin aku menguasai Rasha. Raga memang milik Ainun, tapi soal hati? Dia sudah perlahan berpaling padaku.Aku selalu berusaha menjadi simpanan yang mengerti akan kegundahan hatinya. Padahal, tanpa dia sadari justru itu menjadi senjataku untuk merebutnya sepenuhnya dengan leluasa."Sha, kapan dinas di luar kota?" Tanyaku melalui sambungan telepon."Mungkin tiga hari lagi," jawabnya datar."Oh, gitu. Pulang dinas, mampir ya." Rasha terdiam tanpa membalas permintaanku. Ada apa? Apa dia takut lagi untuk mengkhianati istrinya? "Kenapa? Kamu takut lagi?" Tanyaku. "Nanti aja ya. Kalau keseringan ketemu, Ainun akan curiga. Lagian aku sudah mengkhianati istriku terlalu dalam. Dia istri yang sangat mencintaiku. Aku tidak mung —""STOP!" Aku mengatur napas yang sudah mulai tak beraturan. Tanganku mengepal kuat. "Kamu tahu kan, aku paling nggak suka kamu memuji istrimu di depanku."
Waktu berlalu begitu cepat. Hingga tak terasa Naura mengandung anak keduanya. Anak pertama diberi nama Muhammad Abhyzar Wicaksono. Kini, kandungan Naura memasuki usia tujuh bulan. Seperti sebelumnya, kedua belah pihak keluarga mengadakan acara tujuh bulanan. Awalnya semua berjalan dengan baik, hingga Nayla yangbsedang sibuk di dapur terjatuh begitu saja. Mwreka yang sedang berada di dalam rumah, gegas menghampiri Nayla lalu mengangkatnya. "Ibu Nayla pingsang!" pekik mereka. Suasana menjadi semakin gaduh. Arkan langsung memanggil Fariz untuk memberitahunya. "Papa, Mama Nayla pingsang!"Fariz segera berdiri lalu berbisik di telinga Rasha. Prosesi masih berjalan. Fariz langsung menggantikan posisi Rasha. Rasha berlari sekuat yang dia mampu kemudian mencari istrinya di antara kerumunan. "Nay!" pekiknya begjtu melihat istrinya lemah tak berdaya. "Arkan, hubungi ambu
"Naura, aku ingin bertemu sebentar," ucap Nino melalui sambungan telepon. Naura yang baru saja lepas dinas hanya bisa mengembuskan napas pelan. Dia begitu tahu bagaimana perasaan Nino saat ini. Namun, bagaimanapun, Naura sudah menerima cinta Arif. Sosok lelaki yang selama ini diam-diam menaruh hati padanya. "Naura, bisa kan?" "Kita ketemu di rumah saja.""Tidak. Aku sudah ada di rumah sakit untuk menjemputmu."Naura memijit pelipisnya. Dia tahu bahwa Nino itu orang yang sangat nekat. Seperti saat ini. Nino sudah tahu Naura telah memantapkan hati untuk siapa."Naura, please! Untuk kali terakhir."Naura menerawang. Dia.dilanda kecemasan. Dia begitu menjaga perasaan Arif calon suaminya. "Arif harus tahu.""Tidak pelu. Aku kan sahabatmu."Naura mengalah. Akhirnya dia memilih untuk mengikuti keinginan Nino. "Baiklah, tunggu aku di sana!"Naura bergegas menu
Pagi ini Naura disibukkan oleh pasien yang tiba-tiba membludak di poli umum.Suster Lisa yang membantu ikut kerepotan hingga dia berinisiatif memanggil Manda-rekan profesinya. Waktu berlalu begitu cepat hingga akhirnya pasien terakhir masuk. Naura yang sedang meluruskan tangannya tiba-tiba berhenti sejenak saat menyadari siapa yang tengah duduk di depannya. "Nino?" ucapnya sedikit ragu. Sosok yang ada di depannya mengulas senyum tipis tanpa membalas ucapan Naura. Naura berusaha bersikap normal. Matanya mulai berkaca. Ingin sekali dia menumpahkan segala kekesalan yang ada pada dirinya. Namun, Naura urung melakukannya. Selain karena masih di lingkungan kerja, dia juga tak ingin terlihat lemah di depan orang yang masih mengisi hatinya. "Pagi, Dokter Naura!" sapa Nino yang menyadarkan Naura dari lamunannya. "Hai, Nin!"Hanya itu yang bisa diucapkan saat ini. Naira sedang berperang dengan ak
Setahun sudah pernikahan kami. Suatu kesyukuran dari pernikahan kami lahirlah seorang putra yang kami beri nama Muhamma Arkan Hafiz. Berharap kelak Arkan akan menjadi anak sholeh dan penghafal Al Qur'an. Aa Fariz melantunkan adzan di telinga bayi kami. Suara merdunya membuatku menitikkan air mata. "Pa, ini adek Naura kan?" tanya putri kami. "Iya, Sayang. Nanti dia yang akan menjaga Naura dari orang jahat."Mata Naura berbinar. "Naura punya teman main dong, Bunda?""Iya, Sayang," jawabku. Arkan lahir melalui operasi sesar. Ketuban pecah dini dan semakin berkurangnya air ketuban membuatku harus menjalani operasi itu. Operasi sesar yang menurut orang di luar sana begitu mengerikan. Kuakui memang. Tapi, apapun itu, aku menikmati semuanya. Bagiku, yang penting bayiku lahir dengan selamat. "Assalamu'alaikum," sapa Sinta. "Wa'alaikumussalam."Ternyata Sinta tidak sendiri. Ada Mas Yuda, Nino, dan juga Raffa. "Wah si ganteng. Mirip pap
"Papa, Bunda, Naura ingin bicara," ucap Naura pada kedua orangtuanya saat mereka sedang duduk santai di teras rumah. "Soal apa, Sayang?" tanya Fariz. Naura memilin ujung jilbabnya. Berulang kali dia menggingit bibir bawahnya. Fariz dan Ainun saling memandang satu sama lain. Mereka masih menunggu putrinya angkat bicara. "Naura?" tanya Ainun. "Pa, Bunda, eum itu. A-arif katanya mau datang ke rumah.""Oh, ya? Kapan?" tanya Ainun. Fariz menoleh ke arah istrinya. Dahinya mengernyit karena maaih belum mengerti tentang apa yang dikatakan istrinya."Papa masih belum ngerti, Bun."Ainun menoleh ke arah suaminya dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya. Ainun meraih tangan suaminya lalu mengelus punggung tangannya. "Itu loh, si Arif-temannya Naura mau datang ke rumah.""Iya, Papa juga dengar tadi. Cuma, dalam rangka apa?"Ainun gemas mendengar penuturan suaminya yan
"Sha, aku sudah siapkan makan malam buat kita.""Iya."Selalu saja seperti itu. Dia tidak pernah sedikitpun bersikap manis padaku. Kecuali jika ada Ainun. Rasha selalu saja bersikap dingin. Aku hanya bisa menangis dalam hati saat diperlakukan seperti ini. Kembali ku langkahkan kaki ini menuju meja makan. Aku menunggu dia yang masih betah memandangi wajah mantan istrinya. Jangan tanya sakitku seperti apa. Tentu kamu tahu rasanya di posisi ini. Ibarat lagi Armada, 'Aku punya ragamu tapi tidak hatimu.' Menyesakkan bukan?Waktu berlalu dan aku masih betah menunggunya di sini. Di meja makan. Aku sudah memoersiapkan semuanya. Makan malam dengan masakan kesukaannya. Bahkan aku meminta resep pada Ainun. Nyatanya, itu lebih memyakitkan. "Ainun kirim makanan?" tanyanya saat beberapa sendok kiah soto Betawi masuk ke dalam mulutnya. "Ainun?" Dia mengangguk. "Masakan ini Ainun yang buat kan
"Pov Nayla."Naura, mama ingin bicara," ucapku saat Naura tengah duduk di taman bunga milik Ainun. Naura tak menyahut. Hal itu membuat hatiku sedikit menciut. Dia sejak dulu sudah membenciku. Di awal pertemuan kami aku telah menciptakan rasa benci untukku hingga dia pendam sampai kini. Bukan salah Naura jika dia membenciku begitu sangat. Ini memang salahku yang hadir menjadi penghancur istana yang susah payah mereka bangung. Hanya demi sebuah ambisi yang tak masuk akal, aku sudah menghancurkan hati banyak orang. Termasuk Naura. "Mama minta maaf sama kamu, Sayang," ucapku tulus. Namun, lagi dan lagi Naura tak menggubrisku. Aku paham akan itu semua. Jika aku berada di posisinya. Aku akan melakukan hal yang sama. "Mama sudah menghancurkan kebahagiaan kalian.""Sudahlah, Ma. Naura malas buat bahas masa lalu," ucapnya dingin. "Meskipun begitu, mama masih merasa bersalah.""Telat."
Lima belas tahun berlalu. Waktu berlalu begitu cepat. Kini aku menyaksikan putriku-Naura memakai jas berwarna putih.Suatu kebanggan bagi kami para orangtuanya. Cita-cita yang didambakan sejak dulu kini sudah menjadi nyata. "Dokter Naura!" sapaku lembut. Dia tersipu malu. "Ah, Bunda bisa aja."Naura telah menyelesaikan pendidikan profesi dokternya dan kini bekerja di salah satu instansi di Jakarta.Naura dikenal sebagai salah satu dokter yang berdedikasi tinggi. "Papa mana, Bun?" tanyanya sambil celingukan."Papa manti nyusul bareng Ayah dan Mama Nay."Naura memeluk tubuhku dengan sayang. Sejak dulu Naura seperti ini. Tak pernah berubah. "Bunda, Naura mau tanya sesuatu."Aku menoleh ke arahnya. "Iya, Sayang?""Sebenarnya ada yang ingin melamar Naura," ucapnya. Aku merasa bahagia. Senyum di wajahku tergambar begitu jelas. Dia gadis kecilku yang kini berusia dua p
"Bagaimana para saksi? Sah?""SAH!""SAH!"Suara menggema di segala sudut ruangan. Di sini, sebuah gedung dengan dekorasi nuansa putih dan pink yang memperindah tempatku melangsungkan pernikahan.Fariz melalui arahan dari penghulu nikah menyentuh ubun-ubunku seraya membacakan doa yang kuaminkan.Air mata perlahan metes kala sebuh sentuhan hangat mendarat di keningku. Tanganku kemudian meraih tangannya kemudian mencium punggung tangan sosok yang kini menjadi suamiku.Aku telah resmi menjadi istri seorang Muhammad Alfariz. Tangannya perlahan menyematkan cincin di jari manis sebelah kananku. Pandangan kami bertemu. Ada rasa getar cinta yang terasa begitu kuat. "Terimakasih sudah menerimaku, Ai," bisiknya. Aku mengangguk seraya mengulum senyum ini.Dari jauh kulihat Raffa dan Rasha memandangku dengan pandangan yang berbeda. Tak ada senyum darinya. Wajahnya begitu terlihat mendung. "Bunda!" pekik Naura saat kami selesai melak