"Mas, cepat pulang dan bawa Nayla ke dokter kandungan. Aku baru saja bertengkar hebat dengannya."Aku yang baru saja selesai meeting dengan klien sontak meninggalkan ruangan rapat begitu saja. Apa yang terjadi?Ainun tak menjelaskan dengan jelas malah justru meninggalkan teka-teki begitu besar. Aku melajukan mobil dengan kecepatan sedikit tinggi. Aku khawatir terjadi sesuatu pada mereka berdua.*"Mas, dia tadi menyerangku secara brutal!" adu Nayla ketika aku sudah tiba di rumah."Bagaimana dengan anak kita?" tanyaku khawatir. Bagaimana pun, aku tidak ingin anak itu terluka. Aku mengelus perut itu dengan perasaan terluka. Anak ini tak bersalah. "Mas, bagaimana kalau kita periksa di dokter kandungan saja?" usul Ainun. Tanganku berhenti bergerak mencoba mencerna usulan Ainun.Benar juga, harusnya aku memeriksakan kondisi calon anak kami. Aku sangat takut sesuatu terjadi. Ah, Ainun, hatimu begitu baik. Kamu tak memanfaatkan kesempatan ini untuk melukai anak kami."Kalau begitu bantu M
Pov RashaSatu minggu telah berlalu. Semenjak saat itu aku memilih diam. Aku memilih tidur di ruang kerja atau ruang keluarga dibanding harus bertemu dengan Nayla.Seperti biasa aku perhatikan akhir-akhir ini Ainun sering keluar rumah. Aku tak tahu kemana perginya. Harusnya dia meminta izin padaku sebagai suaminya."Kamu akhir-akhir ini tampak sibuk, Dek, Mas lihat. Lagi ngurusin apa?" tanyaku saat kami sama-sama menikmati sarapan."Aku ada urusan, Mas," jawabnya begitu dingin."Iya, Mas tahu itu. Mas kenal kamu, Dek. Tidak mungkin kamu membuang-buang waktu di luaran sana kalau bukan untuk mengurus hal penting."Aku berusaha sebisa mungkin untuk menghangatkan suasana yang terasa dingin dan kaku."Itu tidak bisa aku katakan, Mas."Aku meletakkan sendok lalu menatapnya dalam. Inikah Ainunku? Aku berusah mencari kejujuran lewat matanya.Ainun berhenti mengunyah sejenak. Diperhatikan
"Rasha," ucap Papa setelah lama kami saling memilih diam. "I-iya, Pa," jawabku. Jujur kali ini aku begitu takut."Bisakah papa bilang, kali ini kamu sangat melukai papa?" Hening. Aku tak berani untuk sekedar menatap wajahnya. Kepalaku terus menunduk menatap keramik lantai. Aku tahu, papa sangat murka."Kamu tahu, papa dan mama sudah puluhan tahun bersama. Tentunya banyak drama yang kami lalui bersama. Tapi, satu hal yang sangat papa hindari. Pengkhianatan."Papa menjeda ucapannya. Ada rasa nyeri di dalam dada menyeruak. "Abahmu adalah sahabat kecil papa. Abahmu tak pernah sedikitpun menyakiti hati papa. Tapi, kenapa, justru anak kebanggaan papa yang tega menyakiti hati putri kesayangannya?""Apakah ini adil untuknya?" lanjut Papa lagi.'Tidak, Pa, ini sangat tidak adil untuknya. Terlebih Ainun. Aku sudah menyakitnya begitu dalam,' batinku. Rasanya mulut ini begitu kaku untuk mengeluarkan sepatah kata. Aku takut ini akan justru meluk
"Kamu licik, Nay!" geramku. Aku tak menyangka, wanita yang ada di hadapanku ini begitu licik. Dia sangat memperdayaku hingga aku lupa tentang proses perceraian. Nasi sudah menjadi bubur. Statusku kini berubah. Tak lagi bisa mempertahankan rumah tangga yang susah payah aku pertahankan. "Kenapa malah menyalahkan aku, Mas? Toh ini juga kesalahan kamu.""Kamu sengaja melakukan itu semua. Menahanku agar proses persidangan itu berlalu dengan cepat. Dan lihat! Aku kehilangan Ainun!""Aku cuma ingin kamu sadar. Ainun sudah tidak mencintai kamu lagi!" teriaknya tak kalah lantang. Aku menatalnya tajam. Rasa benci ini semakin membuatku ingin melenyapkannya begitu saja.Kutarik tangannya, tubuhnya kuhempaskan pada tembok pembatas ruangan. Nayla memekik, dan aku justru puas mendengarnya terluka. "Kalau bukan karena kamu, keluargaku tidak akan sehancur ini. Kenapa kamu harus kembali. Hah?!""Harusnya kamu mati saja!"Baru saja aku ingin mencekik leher Nayla dengan kuat, dering ponsel menghentik
"Diary Ainun."Aku tertegun kala melihat sebuah buku berwarna pink dengan sampul tulisan tangannya. Perlahan tanganku meraih benda persegi itu lalu membuka setiap lembaran. Dilihat tahunnya, sepertinya saat Ainun belum bertemu denganku. 'Hari ini begitu terasa berat. Kekasihku yang jauh di sana harus menahan perih yang begitu dalam karena cinta yang tak berpihak pada kami. Aku dijodohkan dengan seorang pria yang tak ku ketahui namanya.'Kubuka lagi lembaran berikutnya. 'Berat. Sungguh berat. Perjuangan kami harus tertahan karena hadirnya pria itu. Bisa kah aku mengatakan kalau aku membencinya?"Aku tak sanggup membaca semua kisah masa lalunya. Benar, aku hadir sebagai perebut kebahagiaan mereka. Tanganku terhenti saat aku membaca kisah tentang kami. 'Dia pria yang baik. Dia mampu menyembuhkan luka masa laluku. Maafkan aku, Suamiku. Selama ini cintaku tertuju pada sosok masa lalu. Kini, aku baktikan hidup i
"Aku tidak menyangka, Nay. Kamu sungguh licik!" Aku berlalu meninggalkan dia setelah melempar ponsel yang sejak tadi kugenggam."Sha, aku bisa jelaskan!" Nayla berusaha mengejarku. Namun, langkah ku percepat. "Jelaskan apa lagi? Semua sudah jelas kan?""Sha! Dengarkan dulu!" Nayla terus berusaha mencegatku. Ku dorong dengan kuat tubuhnya. Aku sudah benar-benar muak dibuatnya. "Tadinya aku ingin memaafkanmu dengan menerima kamu kembali. Aku nggak nyangka, Nay, kamu hanya memperalatku.""Bukan gitu, Sha. Aku bisa jelaskan!"Aku mengemasi barang-barangnya. Aku ingin dia entah dari hadapanku. "Sha, ku mohon!"Aku menatapnya dengan penuh amarah. Ingin sekali tangan ini menampar wajahnya. Namun, urung ku lakukan. Aku sadar dengan siapa saat ini aku berhadapan. Wanita licik yang bisa saja melakukan segala cara agar aku hancur. Sebisa mungkin aku menahan amarah ini. "A-aku dije
Pagi ini aku hendak menuju rumah. Papa dan mama harus tahu tentang ini semua. Tak peduli jika mereka akan menertawakan buah dari kebodohanku. Meskipun aku yakin mama dan papa tidak akan seperti itu. Saat hendak membuka pintu mobil, Nayla mencegatku. "Mau kemana, Sha?""Ke rumah," jawabku singkat seraya membuka pimtu mobil. "Aku ikut," cegatnya lagi. "Buat apa?""Pokoknya aku ikut," paksanya. "Nggak!" tolakku. Nayla terus memaksa untuk ikut. Apa-apaan dia? Kenapa dia begitu ngotot?Karena tidak tahan dengan sikapnya, sekuat tenaga ku dorong tubuhnya hingga dia jatuh tersungkur. Gegas aku mendudukkan diri di balik kemudi lalu menyalakan mesin dan meninggalkannya. Dari kaca spion, tampak dia terus memanggilku. Mobil ku lajukan lebih cepat dari sebelumnya. *"Ma, papa mana?" tanyaku setelah memberi salam. Mama yang sedang merapikan tanaman hiasnya berhenti s
Malam terus berlalu. Aku memilih sibuk dengan duniaku sendiri. Nayla tampaknya belum mau menyerah. Dia terus berusaha bersikap baik padaku. Aku yang sedang memeriksa berkas laporan, tiba-tiba disuguhi secangkir kopi panas. Wanginya memang menggugah selera. Namun, wasiat papa terus teringat. "Sha, diminum ya.""Aku sudah delivery," jawabku datar. Nayla mengembuskan napas. Aku tahu dia mulai menahan kesabarannya. Sengaja membuatnya kesal agar dia segera menjauh."Kopinya keburu dingin," ucapnya lagi. "Sha—""Iya? Oh, sudah di depan? Baik. Saya segera ke sana."Segera ku hampiri kurir yang mengantar pesananku. Sepaket pizza dan minuman dingin. Setelah melakukan transaksi, ku ucapkan terima kasih kemudian kembali di ruang kerja. Nayla menatapku dengan tatapan sedih. Kopinya ku abaikan justru memilih memesan makanan di luar. "Sha, kamu bisa nggak menghargai usahaku?"Aku me
Waktu berlalu begitu cepat. Hingga tak terasa Naura mengandung anak keduanya. Anak pertama diberi nama Muhammad Abhyzar Wicaksono. Kini, kandungan Naura memasuki usia tujuh bulan. Seperti sebelumnya, kedua belah pihak keluarga mengadakan acara tujuh bulanan. Awalnya semua berjalan dengan baik, hingga Nayla yangbsedang sibuk di dapur terjatuh begitu saja. Mwreka yang sedang berada di dalam rumah, gegas menghampiri Nayla lalu mengangkatnya. "Ibu Nayla pingsang!" pekik mereka. Suasana menjadi semakin gaduh. Arkan langsung memanggil Fariz untuk memberitahunya. "Papa, Mama Nayla pingsang!"Fariz segera berdiri lalu berbisik di telinga Rasha. Prosesi masih berjalan. Fariz langsung menggantikan posisi Rasha. Rasha berlari sekuat yang dia mampu kemudian mencari istrinya di antara kerumunan. "Nay!" pekiknya begjtu melihat istrinya lemah tak berdaya. "Arkan, hubungi ambu
"Naura, aku ingin bertemu sebentar," ucap Nino melalui sambungan telepon. Naura yang baru saja lepas dinas hanya bisa mengembuskan napas pelan. Dia begitu tahu bagaimana perasaan Nino saat ini. Namun, bagaimanapun, Naura sudah menerima cinta Arif. Sosok lelaki yang selama ini diam-diam menaruh hati padanya. "Naura, bisa kan?" "Kita ketemu di rumah saja.""Tidak. Aku sudah ada di rumah sakit untuk menjemputmu."Naura memijit pelipisnya. Dia tahu bahwa Nino itu orang yang sangat nekat. Seperti saat ini. Nino sudah tahu Naura telah memantapkan hati untuk siapa."Naura, please! Untuk kali terakhir."Naura menerawang. Dia.dilanda kecemasan. Dia begitu menjaga perasaan Arif calon suaminya. "Arif harus tahu.""Tidak pelu. Aku kan sahabatmu."Naura mengalah. Akhirnya dia memilih untuk mengikuti keinginan Nino. "Baiklah, tunggu aku di sana!"Naura bergegas menu
Pagi ini Naura disibukkan oleh pasien yang tiba-tiba membludak di poli umum.Suster Lisa yang membantu ikut kerepotan hingga dia berinisiatif memanggil Manda-rekan profesinya. Waktu berlalu begitu cepat hingga akhirnya pasien terakhir masuk. Naura yang sedang meluruskan tangannya tiba-tiba berhenti sejenak saat menyadari siapa yang tengah duduk di depannya. "Nino?" ucapnya sedikit ragu. Sosok yang ada di depannya mengulas senyum tipis tanpa membalas ucapan Naura. Naura berusaha bersikap normal. Matanya mulai berkaca. Ingin sekali dia menumpahkan segala kekesalan yang ada pada dirinya. Namun, Naura urung melakukannya. Selain karena masih di lingkungan kerja, dia juga tak ingin terlihat lemah di depan orang yang masih mengisi hatinya. "Pagi, Dokter Naura!" sapa Nino yang menyadarkan Naura dari lamunannya. "Hai, Nin!"Hanya itu yang bisa diucapkan saat ini. Naira sedang berperang dengan ak
Setahun sudah pernikahan kami. Suatu kesyukuran dari pernikahan kami lahirlah seorang putra yang kami beri nama Muhamma Arkan Hafiz. Berharap kelak Arkan akan menjadi anak sholeh dan penghafal Al Qur'an. Aa Fariz melantunkan adzan di telinga bayi kami. Suara merdunya membuatku menitikkan air mata. "Pa, ini adek Naura kan?" tanya putri kami. "Iya, Sayang. Nanti dia yang akan menjaga Naura dari orang jahat."Mata Naura berbinar. "Naura punya teman main dong, Bunda?""Iya, Sayang," jawabku. Arkan lahir melalui operasi sesar. Ketuban pecah dini dan semakin berkurangnya air ketuban membuatku harus menjalani operasi itu. Operasi sesar yang menurut orang di luar sana begitu mengerikan. Kuakui memang. Tapi, apapun itu, aku menikmati semuanya. Bagiku, yang penting bayiku lahir dengan selamat. "Assalamu'alaikum," sapa Sinta. "Wa'alaikumussalam."Ternyata Sinta tidak sendiri. Ada Mas Yuda, Nino, dan juga Raffa. "Wah si ganteng. Mirip pap
"Papa, Bunda, Naura ingin bicara," ucap Naura pada kedua orangtuanya saat mereka sedang duduk santai di teras rumah. "Soal apa, Sayang?" tanya Fariz. Naura memilin ujung jilbabnya. Berulang kali dia menggingit bibir bawahnya. Fariz dan Ainun saling memandang satu sama lain. Mereka masih menunggu putrinya angkat bicara. "Naura?" tanya Ainun. "Pa, Bunda, eum itu. A-arif katanya mau datang ke rumah.""Oh, ya? Kapan?" tanya Ainun. Fariz menoleh ke arah istrinya. Dahinya mengernyit karena maaih belum mengerti tentang apa yang dikatakan istrinya."Papa masih belum ngerti, Bun."Ainun menoleh ke arah suaminya dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya. Ainun meraih tangan suaminya lalu mengelus punggung tangannya. "Itu loh, si Arif-temannya Naura mau datang ke rumah.""Iya, Papa juga dengar tadi. Cuma, dalam rangka apa?"Ainun gemas mendengar penuturan suaminya yan
"Sha, aku sudah siapkan makan malam buat kita.""Iya."Selalu saja seperti itu. Dia tidak pernah sedikitpun bersikap manis padaku. Kecuali jika ada Ainun. Rasha selalu saja bersikap dingin. Aku hanya bisa menangis dalam hati saat diperlakukan seperti ini. Kembali ku langkahkan kaki ini menuju meja makan. Aku menunggu dia yang masih betah memandangi wajah mantan istrinya. Jangan tanya sakitku seperti apa. Tentu kamu tahu rasanya di posisi ini. Ibarat lagi Armada, 'Aku punya ragamu tapi tidak hatimu.' Menyesakkan bukan?Waktu berlalu dan aku masih betah menunggunya di sini. Di meja makan. Aku sudah memoersiapkan semuanya. Makan malam dengan masakan kesukaannya. Bahkan aku meminta resep pada Ainun. Nyatanya, itu lebih memyakitkan. "Ainun kirim makanan?" tanyanya saat beberapa sendok kiah soto Betawi masuk ke dalam mulutnya. "Ainun?" Dia mengangguk. "Masakan ini Ainun yang buat kan
"Pov Nayla."Naura, mama ingin bicara," ucapku saat Naura tengah duduk di taman bunga milik Ainun. Naura tak menyahut. Hal itu membuat hatiku sedikit menciut. Dia sejak dulu sudah membenciku. Di awal pertemuan kami aku telah menciptakan rasa benci untukku hingga dia pendam sampai kini. Bukan salah Naura jika dia membenciku begitu sangat. Ini memang salahku yang hadir menjadi penghancur istana yang susah payah mereka bangung. Hanya demi sebuah ambisi yang tak masuk akal, aku sudah menghancurkan hati banyak orang. Termasuk Naura. "Mama minta maaf sama kamu, Sayang," ucapku tulus. Namun, lagi dan lagi Naura tak menggubrisku. Aku paham akan itu semua. Jika aku berada di posisinya. Aku akan melakukan hal yang sama. "Mama sudah menghancurkan kebahagiaan kalian.""Sudahlah, Ma. Naura malas buat bahas masa lalu," ucapnya dingin. "Meskipun begitu, mama masih merasa bersalah.""Telat."
Lima belas tahun berlalu. Waktu berlalu begitu cepat. Kini aku menyaksikan putriku-Naura memakai jas berwarna putih.Suatu kebanggan bagi kami para orangtuanya. Cita-cita yang didambakan sejak dulu kini sudah menjadi nyata. "Dokter Naura!" sapaku lembut. Dia tersipu malu. "Ah, Bunda bisa aja."Naura telah menyelesaikan pendidikan profesi dokternya dan kini bekerja di salah satu instansi di Jakarta.Naura dikenal sebagai salah satu dokter yang berdedikasi tinggi. "Papa mana, Bun?" tanyanya sambil celingukan."Papa manti nyusul bareng Ayah dan Mama Nay."Naura memeluk tubuhku dengan sayang. Sejak dulu Naura seperti ini. Tak pernah berubah. "Bunda, Naura mau tanya sesuatu."Aku menoleh ke arahnya. "Iya, Sayang?""Sebenarnya ada yang ingin melamar Naura," ucapnya. Aku merasa bahagia. Senyum di wajahku tergambar begitu jelas. Dia gadis kecilku yang kini berusia dua p
"Bagaimana para saksi? Sah?""SAH!""SAH!"Suara menggema di segala sudut ruangan. Di sini, sebuah gedung dengan dekorasi nuansa putih dan pink yang memperindah tempatku melangsungkan pernikahan.Fariz melalui arahan dari penghulu nikah menyentuh ubun-ubunku seraya membacakan doa yang kuaminkan.Air mata perlahan metes kala sebuh sentuhan hangat mendarat di keningku. Tanganku kemudian meraih tangannya kemudian mencium punggung tangan sosok yang kini menjadi suamiku.Aku telah resmi menjadi istri seorang Muhammad Alfariz. Tangannya perlahan menyematkan cincin di jari manis sebelah kananku. Pandangan kami bertemu. Ada rasa getar cinta yang terasa begitu kuat. "Terimakasih sudah menerimaku, Ai," bisiknya. Aku mengangguk seraya mengulum senyum ini.Dari jauh kulihat Raffa dan Rasha memandangku dengan pandangan yang berbeda. Tak ada senyum darinya. Wajahnya begitu terlihat mendung. "Bunda!" pekik Naura saat kami selesai melak