Pagi kusambut dengan perasaan yang lega. Entah mengapa hari ini aku ingin memulai hidup dengan tenang tanpa disangkutpautkan oleh apapun.
Sudah puluhan kali ponselku berdering. Aku tahu siapa pelakunya.
"Teh, mau kemana?" tanya Bagus.
"Ke kebun teh."
"Kangen sama si Aa pasti. Makanya mau healing."
Aku tersenyum kaku. "Sok tahu kamu."
Aku terus mengayuh sepedaku menuju kebun teh yang terletak dua kilometer dari rumah.
Sekali-sekali aku berlomba dengan Bagus. Saudara sepupuku ini memang yang paling dekat denganku. Setiap pulang, dia lah yang menyambut kami. Sayangnya, saat terakhir bersama Mas Rasha, dia harus menjaga abahnya di rumah sakit.
"Teteh kuat pisan, euy, ngayuh sepedanya. Salut Bagus teh," ucapnya dengan napas ngos-ngosan.
"Harus atuh. Biar kuat jalani hidup."
Alis Bagus saling bertaut. Aku tahu dia pasti kebingungan.
"Aya-aya wae Teteh, mah. Segala disangku
"Umi, hari ini masak apa?" tanyaku pada umi yang sibuk memotong sayuran. "Sayur lodeh, tempe orek, dan ikan bakar." "Neng bantu ya?" Aku membantu umi memotong bahan untuk sayur lodeh. Saat kami asyik sibuk di dapur, seseorang mengetuk pintu. Aku segera melangkah untuk melihat siapa yang bertamu sepagi ini. "Assalamualaikum." "W*'alaikumussalam. Eh Aisyah?" Aku segera mempersilahkannya masuk. Tampak wajah Aisyah pucat. Ada apa dengannya? Wajahnya tertunduk lesu. Tak seperti biasa, Aisyah kali ini tampak berbeda. "Ada apa, Aisyah?" "Bantu aku, Teh. Aku ingin periksa kesehatan tanpa harus Aa tahu." Aku mengerutkan kening. "Memangnya kenapa kalau Fariz tahu?" Aisyah mengangkat wajahnya seraya tersenyum tipis. "Aku tidak ingin menjadi beban fikiran Aa. Teh Ainun mau kan?" Aku menimbang permintaannya. Pasti ada alasan lain mengapa Aisy
Pov Rasha."Tunggu mas pulang ya, Sayang. Ini mas lagi di jalan. Kebetulan jalannya lagi macet banget.""Iya, Mas. Adek dan Naura sudah kangen sama kamu," ucap wanita yang sudah tiga tahun bersamaku.Dia Ainun, gadis cantik yang dulu dijodohkan denganku. Dulu, tak ada rasa cinta sedikitpun di antara kami berdua. Aku masih menyimpan rasa dengan teman kuliahku, begitupun dia yang ku dengar sudah memiliki tambatan hati.Namun, perjodohan tetaplah perjodohan. Keputusan kedua orang tua kami tidak dapat diubah. Kami harus menyerah pada takdir yang diatur oleh kedua orang tua kami.Seiring berjalannya waktu, rasa itu muncul dengan sendirinya dan semakin kuat. Aku bersyukur memiliki dia, wanita sholehah yang dikirimkan Tuhan untukku."Ya sudah, mas tutup dulu ya, Sayang."Aku memutuskan sambungan telpon setelah memberikan kecupan manis lewat udara.Lama aku menunggu, tapi macet kali ini sungguh mengganggu. Aku p
"Mas, kapan kamu bawa Nayla pergi," tanya Ainun saat kami tengah bersiap untuk tidur."Nanti saja, Dek. Mas masih sibuk."Ainun diam lalu memunggungiku. Entah berapa kali semenjak kehadiran Nayla, Ainun terus merajuk.Jujur saja, aku tak tega mengusirnya dari rumah. Ini murni kesalahanku. Jika papa tahu, tamat riwayatku di detik itu juga.*"Pagi, Sayang. Wah masakannya harum banget. Mas jadi lapar."Aku memeluk Ainun dari belakang lalu mencium pipinya dengan gemas. Istriku ini sangat tahu keinginan suaminya.Ainin terus memaksaku untuk menunggu di meja makan, tapi aku tak pernah menghiraukannya."Mas, di meja aja loh nunggunya. Adek nggak bisa kerja kalau mas malah gangguin terus."Aku terkekeh dan semakin mengeratkan pelukan."Biarkan mas seperti ini dulu, Sayang," bisikku di telinganya."Mas ih."Aku melepaskan pelukan kemudian berlalu menuju meja. Di sana s
Waktu terus berlalu dan aku semakin tersihir olehnya. Tak kupedulikan dosa yang kutanggung.Suatu hari aku.sangat kecewa karena ulah Ainun. Dia mengusir Nayla dari rumah kami. Tentu saja rasa kecewaku tidaku kutampakkan.Aku memaklumi kegundahan hatinya. Tapi, aku juga bersyukur, dengan begitu aku berhenti dari permainan gila ini.Kami melalui hari-hari seperti biasa. Sejenak aku bisa melupakan sosok Nayla. Aku lebih memilih fokus pada istriku. Tentang dosa itu biar aku saja dan Tuhan yang tahu.Namun, sepertinya alam tak memihak padaku. Baru saja seminggu kepergian Nayla, dia kembali muncul dengan mengirimkan pesan singkat. Dia bahkan share lokasi tempatnya kini."Sha, aku butuh kamu," ucapnya di seberang."Tapi, Nay, itu sebuah kesalahan.""Sha, kamu sudah janji untuk terus bersamaku. Kenapa kamu malah seolah lupa itu? Tega ya kamu!"Aku frustrasi dibuatnya.Dasar bodoh. Bodoh. Bodoh. Bisa-bisan
Tiga tahun berlalu, selama itu pula aku telah mengkhianati istriku. Aku telah menciptakan malapetaka untukku sendiri.Aku menjalin hubungan terlarang dengan Nayla. Hampir setiap bulan aku mendatanginya dengan alasan dinas di luar kota."Dek, mas pergi nggak lama kok. Sabar ya, Sayang."Aku mencium keningnya mesra. Jujur saja ada rasa yang sangat bersalah setiap aku menyentuh istriku.Kekhawatiran menularkan penyakit padanya muncul seketika. Bahkan terkadang saat aku sedang melakukan ibadah bersamanya, justru bayangan Nayla yang muncul."Hati-hati, Mas."Istriku, bidadari duniaku, yang kini kusia-siakan begitu saja.Andai waktu bisa diputar kembali, aku tidak akan membawa Nayla dalam kehidupan rumah tangga kami.*Mobil melaju membelah jalanan ibu kota. Sepanjang jalan aku terus merutuki diri yang terlalu bodoh diperdaya oleh Nayla.Harusnya aku tidak menerimanya kembali. Dia
Dua bulan berlalu setelah kejadian itu aku tak lagi pernah menemui Nayla.Semua panggilannya kublokir termasuk akun sosmednya. Hingga suatu hari dia datang ke kantorku. Tentu saja aku ketakutan dibuatnya. Di kantor rata-rata rekan bisnis istriku. Bagaimana jika mereka melaporkanku yang tidak-tidak?Aku menarik tangannya menjauh dari keramaian."Kenapa kamu ke sini?" tanyaku sambil memastikan suasana tetap sepi."Apa lagi? Kamu selama dua bulan ini sudah dihubungi. Bahkan kamu memblokir semua aksesmu. Maksud kamu apa hah?!""Nay, kita harus akhiri hubungan terlarang ini. Kamu hiduplah dengan baik tanpa aku. Dan aku akan kembali hidup normal dengan istriku."Plak.Sebuah tamparan keras mengenai pipiku. Aku hanya bisa mengelusnya. Perih dan sakit luar biasanya.Tatapan Nayla nanar, air matanya luruh begitu saja."Laki-laki brengsek! Bagaimana aku bisa meninggalkanmu? Aku mengandung anakmu, Bang
"Sha, kapan mau bawa aku? Capek tahu sembunyi kayak gini!"Lagi dan lagi Nayla menuntutku untuk mengakuinya di depan Ainun. Tidakkah dia berpikir sejenak saja jika dia ada di posisi Ainun, bagaimana perasaannya? Atau hatinya sudah mati?Aku berusaha mengabaikan permintaannya itu. Tapi, bukan Nayla namanya jika apa yang diinginkan tidak tercapai."Kamu pikir aku nggak punya nomor istrimu?"Aku menoleh ke arahnya. Layar ponselnya menampakkan kontak bernama Ainun beserta nomornya."Nay! Jangan gila kamu!""Aku emang gila dan kamu udah tahu kan? Kalau kamu masih mengulur waktu, mending aku aja yang mempercepat waktu."Aku berdiri berusaha merebut ponsel yang da di genggamannya. Dari mana dia dapat nomor itu?"Aku nggak sebodoh itu, Sha. Aku tahu, sampai kapan pun kamu nggak akan pernah mau mengakui keberadaan kami berdua. Jadi, aku bakal lakuin itu sendiri. Toh, lambat laun semuanya juga akan kebongkar."Aku meny
Baru saja aku ingin membuka pintu kamar kami terdengar suara tangis yang tertahan dari arah dapur. Aku mendekat dengan perlahan.."Bunda?" sapa gadis kecil kami.Gegas Ainun mengusap sisa air mata di wajah cantiknya.Puteri kecilku mendekat sembari menatap lekat istriku."Bunda menangis?" tanyanya dengan penuh kekhawatiran.Ainun menggeleng kuat seraya tersenyum."Tidak, Sayang. Tadi nggak sengaja ada biji cabe yang masuk ke mata bunda. Makanya mata bunda perih."Aku tahu Ainun berbohong. Betapa hebatnya dia bisa menyembunyikan luka yang amat dalam itu di hadapan putrinya.Naura mendekat lalu memeluknya. Ingin rasanya aku juga memeluk tubuh wanitaku."Bunda nggak boleh terluka. Bunda nggak boleh sakit apalagi menangis. Naura sayang bunda," lirihnya.Ainunku kembali menangis seraya memeluk tubuh mungil putri kami begitu erat. Kamu terlalu kuat untuk menyembunyikan lukamu.
Waktu berlalu begitu cepat. Hingga tak terasa Naura mengandung anak keduanya. Anak pertama diberi nama Muhammad Abhyzar Wicaksono. Kini, kandungan Naura memasuki usia tujuh bulan. Seperti sebelumnya, kedua belah pihak keluarga mengadakan acara tujuh bulanan. Awalnya semua berjalan dengan baik, hingga Nayla yangbsedang sibuk di dapur terjatuh begitu saja. Mwreka yang sedang berada di dalam rumah, gegas menghampiri Nayla lalu mengangkatnya. "Ibu Nayla pingsang!" pekik mereka. Suasana menjadi semakin gaduh. Arkan langsung memanggil Fariz untuk memberitahunya. "Papa, Mama Nayla pingsang!"Fariz segera berdiri lalu berbisik di telinga Rasha. Prosesi masih berjalan. Fariz langsung menggantikan posisi Rasha. Rasha berlari sekuat yang dia mampu kemudian mencari istrinya di antara kerumunan. "Nay!" pekiknya begjtu melihat istrinya lemah tak berdaya. "Arkan, hubungi ambu
"Naura, aku ingin bertemu sebentar," ucap Nino melalui sambungan telepon. Naura yang baru saja lepas dinas hanya bisa mengembuskan napas pelan. Dia begitu tahu bagaimana perasaan Nino saat ini. Namun, bagaimanapun, Naura sudah menerima cinta Arif. Sosok lelaki yang selama ini diam-diam menaruh hati padanya. "Naura, bisa kan?" "Kita ketemu di rumah saja.""Tidak. Aku sudah ada di rumah sakit untuk menjemputmu."Naura memijit pelipisnya. Dia tahu bahwa Nino itu orang yang sangat nekat. Seperti saat ini. Nino sudah tahu Naura telah memantapkan hati untuk siapa."Naura, please! Untuk kali terakhir."Naura menerawang. Dia.dilanda kecemasan. Dia begitu menjaga perasaan Arif calon suaminya. "Arif harus tahu.""Tidak pelu. Aku kan sahabatmu."Naura mengalah. Akhirnya dia memilih untuk mengikuti keinginan Nino. "Baiklah, tunggu aku di sana!"Naura bergegas menu
Pagi ini Naura disibukkan oleh pasien yang tiba-tiba membludak di poli umum.Suster Lisa yang membantu ikut kerepotan hingga dia berinisiatif memanggil Manda-rekan profesinya. Waktu berlalu begitu cepat hingga akhirnya pasien terakhir masuk. Naura yang sedang meluruskan tangannya tiba-tiba berhenti sejenak saat menyadari siapa yang tengah duduk di depannya. "Nino?" ucapnya sedikit ragu. Sosok yang ada di depannya mengulas senyum tipis tanpa membalas ucapan Naura. Naura berusaha bersikap normal. Matanya mulai berkaca. Ingin sekali dia menumpahkan segala kekesalan yang ada pada dirinya. Namun, Naura urung melakukannya. Selain karena masih di lingkungan kerja, dia juga tak ingin terlihat lemah di depan orang yang masih mengisi hatinya. "Pagi, Dokter Naura!" sapa Nino yang menyadarkan Naura dari lamunannya. "Hai, Nin!"Hanya itu yang bisa diucapkan saat ini. Naira sedang berperang dengan ak
Setahun sudah pernikahan kami. Suatu kesyukuran dari pernikahan kami lahirlah seorang putra yang kami beri nama Muhamma Arkan Hafiz. Berharap kelak Arkan akan menjadi anak sholeh dan penghafal Al Qur'an. Aa Fariz melantunkan adzan di telinga bayi kami. Suara merdunya membuatku menitikkan air mata. "Pa, ini adek Naura kan?" tanya putri kami. "Iya, Sayang. Nanti dia yang akan menjaga Naura dari orang jahat."Mata Naura berbinar. "Naura punya teman main dong, Bunda?""Iya, Sayang," jawabku. Arkan lahir melalui operasi sesar. Ketuban pecah dini dan semakin berkurangnya air ketuban membuatku harus menjalani operasi itu. Operasi sesar yang menurut orang di luar sana begitu mengerikan. Kuakui memang. Tapi, apapun itu, aku menikmati semuanya. Bagiku, yang penting bayiku lahir dengan selamat. "Assalamu'alaikum," sapa Sinta. "Wa'alaikumussalam."Ternyata Sinta tidak sendiri. Ada Mas Yuda, Nino, dan juga Raffa. "Wah si ganteng. Mirip pap
"Papa, Bunda, Naura ingin bicara," ucap Naura pada kedua orangtuanya saat mereka sedang duduk santai di teras rumah. "Soal apa, Sayang?" tanya Fariz. Naura memilin ujung jilbabnya. Berulang kali dia menggingit bibir bawahnya. Fariz dan Ainun saling memandang satu sama lain. Mereka masih menunggu putrinya angkat bicara. "Naura?" tanya Ainun. "Pa, Bunda, eum itu. A-arif katanya mau datang ke rumah.""Oh, ya? Kapan?" tanya Ainun. Fariz menoleh ke arah istrinya. Dahinya mengernyit karena maaih belum mengerti tentang apa yang dikatakan istrinya."Papa masih belum ngerti, Bun."Ainun menoleh ke arah suaminya dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya. Ainun meraih tangan suaminya lalu mengelus punggung tangannya. "Itu loh, si Arif-temannya Naura mau datang ke rumah.""Iya, Papa juga dengar tadi. Cuma, dalam rangka apa?"Ainun gemas mendengar penuturan suaminya yan
"Sha, aku sudah siapkan makan malam buat kita.""Iya."Selalu saja seperti itu. Dia tidak pernah sedikitpun bersikap manis padaku. Kecuali jika ada Ainun. Rasha selalu saja bersikap dingin. Aku hanya bisa menangis dalam hati saat diperlakukan seperti ini. Kembali ku langkahkan kaki ini menuju meja makan. Aku menunggu dia yang masih betah memandangi wajah mantan istrinya. Jangan tanya sakitku seperti apa. Tentu kamu tahu rasanya di posisi ini. Ibarat lagi Armada, 'Aku punya ragamu tapi tidak hatimu.' Menyesakkan bukan?Waktu berlalu dan aku masih betah menunggunya di sini. Di meja makan. Aku sudah memoersiapkan semuanya. Makan malam dengan masakan kesukaannya. Bahkan aku meminta resep pada Ainun. Nyatanya, itu lebih memyakitkan. "Ainun kirim makanan?" tanyanya saat beberapa sendok kiah soto Betawi masuk ke dalam mulutnya. "Ainun?" Dia mengangguk. "Masakan ini Ainun yang buat kan
"Pov Nayla."Naura, mama ingin bicara," ucapku saat Naura tengah duduk di taman bunga milik Ainun. Naura tak menyahut. Hal itu membuat hatiku sedikit menciut. Dia sejak dulu sudah membenciku. Di awal pertemuan kami aku telah menciptakan rasa benci untukku hingga dia pendam sampai kini. Bukan salah Naura jika dia membenciku begitu sangat. Ini memang salahku yang hadir menjadi penghancur istana yang susah payah mereka bangung. Hanya demi sebuah ambisi yang tak masuk akal, aku sudah menghancurkan hati banyak orang. Termasuk Naura. "Mama minta maaf sama kamu, Sayang," ucapku tulus. Namun, lagi dan lagi Naura tak menggubrisku. Aku paham akan itu semua. Jika aku berada di posisinya. Aku akan melakukan hal yang sama. "Mama sudah menghancurkan kebahagiaan kalian.""Sudahlah, Ma. Naura malas buat bahas masa lalu," ucapnya dingin. "Meskipun begitu, mama masih merasa bersalah.""Telat."
Lima belas tahun berlalu. Waktu berlalu begitu cepat. Kini aku menyaksikan putriku-Naura memakai jas berwarna putih.Suatu kebanggan bagi kami para orangtuanya. Cita-cita yang didambakan sejak dulu kini sudah menjadi nyata. "Dokter Naura!" sapaku lembut. Dia tersipu malu. "Ah, Bunda bisa aja."Naura telah menyelesaikan pendidikan profesi dokternya dan kini bekerja di salah satu instansi di Jakarta.Naura dikenal sebagai salah satu dokter yang berdedikasi tinggi. "Papa mana, Bun?" tanyanya sambil celingukan."Papa manti nyusul bareng Ayah dan Mama Nay."Naura memeluk tubuhku dengan sayang. Sejak dulu Naura seperti ini. Tak pernah berubah. "Bunda, Naura mau tanya sesuatu."Aku menoleh ke arahnya. "Iya, Sayang?""Sebenarnya ada yang ingin melamar Naura," ucapnya. Aku merasa bahagia. Senyum di wajahku tergambar begitu jelas. Dia gadis kecilku yang kini berusia dua p
"Bagaimana para saksi? Sah?""SAH!""SAH!"Suara menggema di segala sudut ruangan. Di sini, sebuah gedung dengan dekorasi nuansa putih dan pink yang memperindah tempatku melangsungkan pernikahan.Fariz melalui arahan dari penghulu nikah menyentuh ubun-ubunku seraya membacakan doa yang kuaminkan.Air mata perlahan metes kala sebuh sentuhan hangat mendarat di keningku. Tanganku kemudian meraih tangannya kemudian mencium punggung tangan sosok yang kini menjadi suamiku.Aku telah resmi menjadi istri seorang Muhammad Alfariz. Tangannya perlahan menyematkan cincin di jari manis sebelah kananku. Pandangan kami bertemu. Ada rasa getar cinta yang terasa begitu kuat. "Terimakasih sudah menerimaku, Ai," bisiknya. Aku mengangguk seraya mengulum senyum ini.Dari jauh kulihat Raffa dan Rasha memandangku dengan pandangan yang berbeda. Tak ada senyum darinya. Wajahnya begitu terlihat mendung. "Bunda!" pekik Naura saat kami selesai melak