JIM“Jim, papa mau ke Jakarta,” pinta papa selepas sholat Subuh. “Mau apa? Tak usahlah!” jawabku cepat. Terus terang aku kaget dengan keinginanya yang tak disangka. “Papa mau menagih utang dari Roy. Ada sekitar sepuluh miliar! Dulu dia mengemis minta pinjaman, papa kasih. Janjinya setahun dilunasi. Ternyata pura-pura lupa setelah sukses. Bukti perjanjiannya papa simpan di Romi. Di mana, ya dia sekarang?” Aku ternganga mendengar hal tersebut. Mengapa papa baru bicara sekarang. Kalau sebelumnya aku masih bisa mencari Romi, asisten setia kami dulu. Kalau saat ini bingung juga harus mencari ke mana. “Reno juga punya utang lima miliar. Dia janji bayar enam bulan lalu, tapi malah kabur.” Lalu, papa menuliskan siapa saja yang punya utang padanya. Kalau diakumulasi ternyata ada sekitar empat puluh miliar. Itu bisa jadi modal kami usaha kalau bisa diambil. Tapi biasanya tak semudah itu. Kadang yang punya utang lebih galak dari pemberi utang saat ditagih. “Jim janji akan urus ini, tapi ta
AFGAN“Jim, gue mo kenalin lo ma cewek baru gue!” “Pamer?” Aku tertawa mendengar nada sinis Jim. Untuk urusan cewek, Jim memang selalu sewot. Katanya kesal sebab aku terlalu lebay. Kalau dibandingkan koleksi ceweknya tak ada apa-apa. Aku senang saja menggoda Jim. Pria yang merupakan teman sejak kuliah ini tergolong akrab. Punya hobby sama dan ke mana pun selalu bersama. Bahkan, dalam karir kami berlomba sehat untuk jadi yang terbaik. Dia tak segan memberi formula jitu menyelesaikan persoalan marketing. Pun denganku yang tak sungkan memberi penilaian akan kinerja kerjanya. Bisa dibilang kami tumbuh bersama dari nol hingga jadi pebisnis ulung. “Hai, Honey masih di mana? Katanya Jim sudah tak sabar ingin lihat bidadari Afgan!” Kurasakan satu tinju kecil mendarat di lengan. Jim mungkin sebal dengan kelebayan temannya. Sebenarnya, aku serius kali ini ingin meminta pendapat Jim tentang Cindy. Dia sangat jeli menilai wanita. Aku selalu punya keyakinan pandangan Jim selalu tepat dalam
AFGANberat. Raut wajahnya yang tadi ceria kini berubah suram. “Aku memang kejam telah membuatmu hancur sehancur hancurnya. Kau kehilangan istri, anak bahkan ingatan sebab jiwa sangat tertekan. Semua itu akulah penyebabnya! Aku memang pendosa yang tak pantasGiliranku yang menarik napas berat. Ingatan ini sebenarnya tak ingin masuk pada masa itu. Namun, kata-kata Jim memaksanya untuk terbuka kembali lembaran hitam tersebut. Melintaslah bayangan saat Cindy menghinadinakanku setiap hari. Ia memakiku seolah suaminya ini tak punya perasaan. Seorang Afgan saat itu tak lebih dari pria pesakitan yang tak memiliki harga di hadapan Cindy. Ia hanya bisa menerima tanpa mampu membalas perlakuan kasar istrinya. Anaklah yang membuatku bertahan dalam sakit tak berdarah itu. Pikirku jika bercerai mereka akan jadi korban utama keegoisan kami. Akhirnya Allah menunjukkan fakta mengapa Cindy bersikap seperti itu. DarI sanalah aku sadar sesadar sadarnya bahwa segala pengorbanan itu tiada guna. Aku pu
AFGANHanya saja, waktu tak bisa diulang. Waktu maju ke depan, bukan mundur ke belakang. “Jim, kalau semedinya sudah beres, temui aku. Kita jalin pertemanan seperti dulu!” “Insya Allah! Sekarang aku mau fokus mengobati dan mendidik Ela agar mau taat pada Allah. Seburuk apapun, tetaplah dia istriku. Aku punya kewajiban membawanya ke jalan kebenaran!” Luar biasa, Jim benar-benar sudah berubah. Dia sedang menapaki jalan kebenaran. Itulah kuasa Allah memberi hidayah pada siapapun yang dikehendakiNya. Kepergian Jim membawaku pada lamunan masa lalu. Di mana suka dan duka silih berganti terjadi dalam hidup ini. Tak pernah menyangka akan mengalami fase kehidupan semenyedihkan itu. Dikhianati sahabat sendiri hingga jatuh pada titik kehidupan paling rendah. Untung aku hanya gila, tidak sampai nekat bunuh diri. Tak terbayangkan jika itu terjadi. Betapa akan abadi di neraka nanti. Bunuh diri adalah kondisi di mana manusia telah kufur pada rahmat Allah. Dia tak yakin lagi bahwa Tuhan memilik
AFGANDetik demi detik yang kulewati seolah sedang menanti eksekusi algojo di tiang gantungan. Mau duduk atau berdiri tetap saja salah. Kadang hanya mondar mandir di ruang tunggu. Kadang mengetuk-ngetuk jari pada dinding.. “Bagaimana Rida, Afgan. Apa sudah selesai. Kok, lama sekali!” tanya mama mertua. Wanita itu lebih panik dariku. Wajahnya sudah pucat, bibirnya pun bergetar. “Belum, Mah. Masih proses.” Aku yang sedang galau tetap harus memperlihatkan diri lebih tenang. Kalau sama-sama panik bakal membuat makin tegang suasana. Di tengah ketegangan, ponsel berbunyi. Ternyata dari Adela. Pastilah akan bertanya soal Rida. Langsung saja kujawab belum selesai operasinya. Efeknya, Adela jadi cemas juga. Sekarang yang mengalami keresahan jadi bertambah. Setelah sekian lama menunggu, saat yang dinantikan pun tiba. Dokter yang menangani proses operasi keluar ruangan.. “Selamat, putra Anda lahir dengan selamat!” Seketika ruangan seakan menjadi lebih luas. Hal paling membahagiakan tel
ELA Bangkrut? Miskin? Tidak, itu tidak boleh terjadi! Aku tak mau hidup melarat, tidak mau! Tidak terbayang jika harus menjadi gembel. Mengapa tetap hancur? Bukankah Jim sudah mati-matian menahan kehancuran? Apa sehebat itu kekuatan suami cindy? Persetan wanita itu! Bangsat kalian! “Mas, apa tak ada cara lain untuk mengembalikan posis perusahaan? Lalu, apa gunanya usaha kita selama ini?” Jim tetap membisu dan itu membuat darahku makin mendidih. Rasanya aku ingin sekali berteriak dan memarahinya habis-habisan. “Dasar lelaki tak berguna! Cih, menyesal aku menikah denganmu! Lihat, sekarang kita miskin! Melarat!” “Cukup Ela, cukup! Jangan bicara sembarangan, aku sudah berupaya mati-matian, kau tahu’kan. Aku rela tak tidur siang malam demi apa?” Jim menghentikan perdebatan tak berguna ini. Ia lebih baik pergi dari hadapanku daripada lepas kendali. Seperti itulah hidup kami di masa menuju kebangkrutan. Mulailah ketakutan demi ketakutan menghiasi hidup keluarga Pratama. Sampai Sampa
“Sedang apa, Sayang?” Aku bosan mengapa lelaki itu selalu bertanya demikian. Aku sudah mengatakan bahwa sedang menimang bayi mungil ini. Apa tak melihatnya? Ah, kurasa dia sudah gila. “Sssst, bayi baru tidur, jangan berisik, nanti dia bangun!” Untunglah, lelaki ini tak bertanya lagi. Ia hanya menatapku lama. Aneh, mengapa selalu begitu. Bertanya terus diam kalau sudah dijawab. Ya, ya mungkin dia kurang waras. Kasihan sekali. “Ela, mandi, yuk. ‘Kan sebentar lagi ustazah datang!” Dasar tak waras, mengapa dia menyuruhku mandi. Aku sudah mandi dengan bayi tadi pagi. Sekarang ‘kan sudah malam. Aku menepis tangan yang ingin menyentuh tubuh ini. Dengar, ya aku ini wanita bersuami. Mengapa pegang-pegang sembarangan. Dan, dia terus memaksaku. Tanganya direkatkan pada tubuh. Aku tak mau, tak mau! “Aaaaaa!” Aku marah, aku ingin menghajar lelaki kurang ajar ini. Aku tidak terimaaa. Dan, aku pun lemas. Lalu jatuh. * “Ela, makan sedikit saja, nanti kita jalan-jalan, ayo!” Kekuatan cin
“Jim, bolehkah aku minta bantuan?” “Apa, katakan saja!” “Aku ingin ke Jakarta.” Pria itu melepas pelukan, lantas mengubah posisi duduk. Ia kini menghadapkan badannya padaku. “Aku ingin menemui Rida, Adnan dan Cindy. Aku ingin minta maaf pada mereka. Bukankah kyai bilang dosa pada manusia akan diampuni Allah jika manusia itu mengampuninya.” Keputusanku untuk meminta maaf pada mereka sudah bulat. Ini adalah hasil perenungan panjang. Aku telah menang melawan ego yang selalu menghalangi atas nama harga diri. Aku tak pernah tahu kapan usia ini berakhir. Untuk itu harus segera menjalankan satu masalah yang belum terselesaikan, yaitu minta keikhlasan maaf dari orang-orang yang kusakiti. “Alhamdulillah, masya Allah. Inilah yang kutunggu, Ela. Kesediaanmu menyingkirkan ego. Besok kita minta izin kyai untuk pergi ke Jakarta. * “Pakailah kerudung dan gamis baru itu. Kita akan bertemu orang-orang baik. Anggap saja ini sebagai bentuk penghargaan pada manusia. Dan jangan sampai juga mereka
RIDA“Ela selalu bilang takut tobatnya tak diterima. Ia selalu berkata dosanya sangat besar, ia ingin menebusnya meski harus bertaruh nyawa. Ela, Ela...” Akhirnya tangisan Jim pecah. Ia menutup wajah dengan satu tangan.. Aku yang menyaksikannya pun tak kuat menahan jatuhnya air mata. “Setahun aku mendampinginya dalam sakit. Kupenuhi pintanya agar mewujudkan ketenangan. Rupanya Ela lebih ingin pergi menghadap- Nya daripada tetap di sisiku. Katanya ia tak mau menyusahkanku, ia ingin pulang saja pada Allah. Dia juga sering menyuruhku menikah lagi dan menceraikannya. Aku, aku tak bisa. Ela adalah separuh jiwaku. Kalau dia pergi aku bagaimana?” Tangisanku kini telah bersuara. Aku tak menyangka seperti itu nasib mereka. Ela, kau telah menebus dosamu sungguh. Aku akan bersaksi di hadapan-Nya nanti bahwa kau telah berada di jalan-Nya. Setelah ini aku dan Jim terjebak dalam kebisuan. Hanya tangisan yang memenuhi gendang telinga. Sunyi... * Aku diizinkan masuk ke ruang rawat Ela. Hati in
RIDA Awalnya aku tak percaya melihat perubahan penampilan Ela. Wanita itu menutup auratnya rapat, tak berhias seperti dahulu. Pancaran wajah tak menguarkan aura keangkuhan, malah bersinar dan makin menguatkan pesona keelokan parasnya. Aku kembali mencubit punggung tangan sebelah untuk memastikan bahwa yang terlihat bukan ilusi. Kenyataannya terasa sakit tangan yang dicubit. Artinya ini alam nyata bukanlah mimpi. Kekagetanku akan perubahan penampilan Ella ditambah dengan keterkejutan melihat sikapnya. Dia mengucapkan salam dengan santun dan penuh kelembutan. Sungguh jejaknya di masa lalu benar-benar telah tertutup oleh perubahan itu. Aku hanya bisa melafadzkan hamdalah tasbih dan tahlil ketika yakin bahwa Ela memang telah berubah. Tiada kata yang dapat melukis bahagia ini selain mengucap puja puji syukur ke hadirat Ilahi. Kuseka air mata yang tak bisa dicegah untuk jatuh. Kiranya melihat musuh tobat lebih membahagiakan daripada menyaksikan kehancurannya. Ela pun sama, pipinya tel
ELAAku menyerahkan pemesanan makanan pada Jim. Bingung juga harus memesan apa sebab yang ada dalam daftar menu serasa asing. Aneh memang sebab kata Jim dulu kami sering ke sini. Wah, dapat darimana uang untuk membayarnya. “Makanannya pasti mahal, apa kau punya uang untuk membayar harganya?” Aku ingin memastikan bahwa kami tidak akan malu pulang dari sini. Jadi perlu diselidiki soal keuangan yang ia miliki. “Insya Allah, ada. Aku juga akan membawamu ke hotel. Kita akan menginap di sana sampai kau ingat tujuan kita ke sini. Tadinya aku mau membawamu pulang, tapi dipikir lagi lebih baik dituntaskan sekarang!” Aku hanya bisa bengong mendengar penjelasannya. Selepas itu aku hanya perlu meyakini bahwa yang dikatakan Jim itu benaLalu, aku membayangkan seperti apa kamar sebuah hotel. Pastilah bagus sekali. Kasurnya empuk, ruangannya luas, dinding kokoh dan jendela besar. Mungkin! Aku jadi tak sabar ingin ke sana. Bukan apa-apa, penasaran saja. Benarkah kenyataannya sesuai hayalanku.
ELA Mataku terbuka saat aroma tajam menembus lubang hidung. Entah apa yang dioleskan di batang dan bawah hidung. Baunya tak menyenangkan. Meski sudah terbuka, aku belum otomatis menyadari ini sedang ada di mana? Maka dari itu kesibukan sekarang adalah menggerakkan bola mata ke kanan dan kiri. Karena tak juga menemukan jawaban, aku mencoba bangun. Ternyata untuk menggerakkan badan, tenaga ini sangatlah payah. Karena gagal, aku kembali rebahan. Mungkin butuh waktu beberapa saat lagi agar pulih. “Alhamdulilah kamu sudah sadar, Sayang!” Aku menoleh pada seseorang yang kini menghampiri. Jim ya dia Jim. Ya ampun kenapa harus ada jeda dulu baru mengingat. Hubunganku saat Ini dengannya apa? Mengapa dia mencium keningku? Oh, iya kami suami istri. Tapi, dari kapan kami menikah? Lalu, mas Adnan ke mana? Astagfirullah! Apa yang terjadi denganku? Mengapa tiba-tiba lupa ini dan itu? “Aku di mana?” tanyaku pada lelaki yang kini sedang mengelus pipi ini. “Kau tak ingat?” Jim malah balik ber
ADNAN Hari ini waktu yang kugunakan untuk membersamai keluarga. Kesempatan libur tak kusia-siakan sebab memang jarang punya waktu untuk mereka. Azka dan Azkia bukan jadwal di sini. Kemarin mereka baru dipulangkan pada Rida. Kadang, tak rela harus berpisah sementara dengan mereka. Namun, mau bagaimana lagi, hanya itu jalan nyaman agar anak-anak tetap mendapat kasih sayang orang tua kandungnya. Kurasa Rida pun sama. Meski tak diperlihatkan, aku bisa menduga ia tak rela kalau mereka dijemput. Dia akan mencium dan memeluk anak kami kalau waktu berpisah lagi. Meski saat ini sudah tak ada air mata, tetap saja di hati muncul denyut nyeri. Anak korban perceraian tetap tak bisa sama dengan anak yang hidup dalam naungan keluarga utuh. Mereka harus mengikuti ritme hidup orang tua yang telah tak satu rumah. Tak akan juga menyaksikan ayah dan ibunya bersama seiring sejalan lagi. Padahal, mungkin sangat ingin anak-anak itu melihat kembali kebersamaan tersebut. “Tuan, Nyonya maaf menganggu, ada
ADNAN“Ini adik kak Diva, kak Azkia dan ka Azka!” terangku saat ketiga bocah itu berkumpul mengelilingi adik bayinya. Mereka baru diijinkan menengok mama Lestari dan adik bayi. “Adik, adik?” celetuk Azkia. Mungkin dia bingung mengapa yang baru lahir pun di sebut adiknya. Selama ini yang Azkia tahu, adiknya adalah anak yang dilahirkan Rida. “Iya, dedek bayi ini adalah adik kak Azkia. Sama dengan adik Alfan” jawab Lestari. Setelah mengangguk, Azkia mulai memanggil bayi baru itu dengan kata Adik. Begitu juga Azka dan Diva. Mereka terlihat antusias mencandai adiknya. “Nah, sekarang adik bayi mau mimi dulu. Ayo kita bermain di luar!” Aku menggiring tiga bocah ini keluar untuk memberi kesempatan pada Lestari menidurkan putri kami. Bayi kecil itu baru berusia tujuh hari. Di ruang keluarga tak henti-hentinya tiga anak ini bertanya. Tentang bayi, tentang ingin mengajaknya bermain.. Bahkan Azkia ingin memberinya permen. Aku terangkan perlahan bahwa permen bukan makanan bayi. Kalau sampai
Kami sampai di pintu gerbang mansion milik Edward Douglas alias suami Cindy. Untuk tembus ke dalam, harus melewati satpam yang tampangnya cukup garang. Jim akhirnya mengatakan bahwa Cindy pasti mau menemuinya. Ia sedikit memaksa pada satpam agar menyampaikan hal tersebut pada majikannya. Setelah debat cukup alot, akhirnya satpam itu menyerah. Dia menyampaikan kepada majikan bahwa ada tamu yang ingin bertemu. Tak lupa juga menyebut namaku. Kami butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk menunggu izin masuk ke rumah Cindy. Untunglah kami duduk di dalam mobil hingga bisa bertahan lama dalam penantian ini. Jika tidak, akan terkena sengatan mentari Jakarta yang pastilah membakar kulit. Aku dan Jim mengucapkan hamdalah ketika izin untuk masuk telah keluar. Mobil pun kembali dikemudikan oleh Jim untuk memasuki gerbang menuju pelataran.. Ternyata jarak antar gerbang dan pintu utama lumayan jauh. Kalau ditempuh jalan kaki bisa-bisa kelelahan. Luar biasa memang tempat tinggal Edward Douglas.
“Jim, bolehkah aku minta bantuan?” “Apa, katakan saja!” “Aku ingin ke Jakarta.” Pria itu melepas pelukan, lantas mengubah posisi duduk. Ia kini menghadapkan badannya padaku. “Aku ingin menemui Rida, Adnan dan Cindy. Aku ingin minta maaf pada mereka. Bukankah kyai bilang dosa pada manusia akan diampuni Allah jika manusia itu mengampuninya.” Keputusanku untuk meminta maaf pada mereka sudah bulat. Ini adalah hasil perenungan panjang. Aku telah menang melawan ego yang selalu menghalangi atas nama harga diri. Aku tak pernah tahu kapan usia ini berakhir. Untuk itu harus segera menjalankan satu masalah yang belum terselesaikan, yaitu minta keikhlasan maaf dari orang-orang yang kusakiti. “Alhamdulillah, masya Allah. Inilah yang kutunggu, Ela. Kesediaanmu menyingkirkan ego. Besok kita minta izin kyai untuk pergi ke Jakarta. * “Pakailah kerudung dan gamis baru itu. Kita akan bertemu orang-orang baik. Anggap saja ini sebagai bentuk penghargaan pada manusia. Dan jangan sampai juga mereka
“Sedang apa, Sayang?” Aku bosan mengapa lelaki itu selalu bertanya demikian. Aku sudah mengatakan bahwa sedang menimang bayi mungil ini. Apa tak melihatnya? Ah, kurasa dia sudah gila. “Sssst, bayi baru tidur, jangan berisik, nanti dia bangun!” Untunglah, lelaki ini tak bertanya lagi. Ia hanya menatapku lama. Aneh, mengapa selalu begitu. Bertanya terus diam kalau sudah dijawab. Ya, ya mungkin dia kurang waras. Kasihan sekali. “Ela, mandi, yuk. ‘Kan sebentar lagi ustazah datang!” Dasar tak waras, mengapa dia menyuruhku mandi. Aku sudah mandi dengan bayi tadi pagi. Sekarang ‘kan sudah malam. Aku menepis tangan yang ingin menyentuh tubuh ini. Dengar, ya aku ini wanita bersuami. Mengapa pegang-pegang sembarangan. Dan, dia terus memaksaku. Tanganya direkatkan pada tubuh. Aku tak mau, tak mau! “Aaaaaa!” Aku marah, aku ingin menghajar lelaki kurang ajar ini. Aku tidak terimaaa. Dan, aku pun lemas. Lalu jatuh. * “Ela, makan sedikit saja, nanti kita jalan-jalan, ayo!” Kekuatan cin