JIM Keluarga Kevin kabur keluar negeri dengan membawa harta yang masih bisa mereka ambil. Entah berapa miliar yang dilarikan, tak kupedulikan juga. Aku membiarkan saja hal itu sebab tak punya kuasa mencegah. Intinya tiga orang itu menyerahkan semua urusan padaku saat kapal perusahaan tengah tenggelam. Aku sendiri pun bisa mengamankan uang tunai sebanyak tiga koper besar. Semua perhiasan mama dan Ela juga barang berharga aku dan papa berhasil diselamatkan. Kulakukan itu sekitar tiga bulan sebelum perusahaan dinyatakan bangkrut. Untunglah otak ini masih punya ide cemerlang. Kalau tidak kami mungkin sudah jadi gembel di hari itu. Hari di mana semua diepaskan dari kami. Harta lain tak ada satu pun yang dapat dibawa. Rumah, tanah, mobil semua disita bank. Sebagian dipakai untuk membayarkan kewajiban pada karyawan yang harus kehilangan pekerjaan. Di hari kehancuran itu jiwaku sudah lebih kuat sebab sebelumnya memang telah dipersiapkan. Saat semua yang telah kami bangun roboh tanpa bisa
JIM“Jim, papa mau ke Jakarta,” pinta papa selepas sholat Subuh. “Mau apa? Tak usahlah!” jawabku cepat. Terus terang aku kaget dengan keinginanya yang tak disangka. “Papa mau menagih utang dari Roy. Ada sekitar sepuluh miliar! Dulu dia mengemis minta pinjaman, papa kasih. Janjinya setahun dilunasi. Ternyata pura-pura lupa setelah sukses. Bukti perjanjiannya papa simpan di Romi. Di mana, ya dia sekarang?” Aku ternganga mendengar hal tersebut. Mengapa papa baru bicara sekarang. Kalau sebelumnya aku masih bisa mencari Romi, asisten setia kami dulu. Kalau saat ini bingung juga harus mencari ke mana. “Reno juga punya utang lima miliar. Dia janji bayar enam bulan lalu, tapi malah kabur.” Lalu, papa menuliskan siapa saja yang punya utang padanya. Kalau diakumulasi ternyata ada sekitar empat puluh miliar. Itu bisa jadi modal kami usaha kalau bisa diambil. Tapi biasanya tak semudah itu. Kadang yang punya utang lebih galak dari pemberi utang saat ditagih. “Jim janji akan urus ini, tapi ta
AFGAN“Jim, gue mo kenalin lo ma cewek baru gue!” “Pamer?” Aku tertawa mendengar nada sinis Jim. Untuk urusan cewek, Jim memang selalu sewot. Katanya kesal sebab aku terlalu lebay. Kalau dibandingkan koleksi ceweknya tak ada apa-apa. Aku senang saja menggoda Jim. Pria yang merupakan teman sejak kuliah ini tergolong akrab. Punya hobby sama dan ke mana pun selalu bersama. Bahkan, dalam karir kami berlomba sehat untuk jadi yang terbaik. Dia tak segan memberi formula jitu menyelesaikan persoalan marketing. Pun denganku yang tak sungkan memberi penilaian akan kinerja kerjanya. Bisa dibilang kami tumbuh bersama dari nol hingga jadi pebisnis ulung. “Hai, Honey masih di mana? Katanya Jim sudah tak sabar ingin lihat bidadari Afgan!” Kurasakan satu tinju kecil mendarat di lengan. Jim mungkin sebal dengan kelebayan temannya. Sebenarnya, aku serius kali ini ingin meminta pendapat Jim tentang Cindy. Dia sangat jeli menilai wanita. Aku selalu punya keyakinan pandangan Jim selalu tepat dalam
AFGANberat. Raut wajahnya yang tadi ceria kini berubah suram. “Aku memang kejam telah membuatmu hancur sehancur hancurnya. Kau kehilangan istri, anak bahkan ingatan sebab jiwa sangat tertekan. Semua itu akulah penyebabnya! Aku memang pendosa yang tak pantasGiliranku yang menarik napas berat. Ingatan ini sebenarnya tak ingin masuk pada masa itu. Namun, kata-kata Jim memaksanya untuk terbuka kembali lembaran hitam tersebut. Melintaslah bayangan saat Cindy menghinadinakanku setiap hari. Ia memakiku seolah suaminya ini tak punya perasaan. Seorang Afgan saat itu tak lebih dari pria pesakitan yang tak memiliki harga di hadapan Cindy. Ia hanya bisa menerima tanpa mampu membalas perlakuan kasar istrinya. Anaklah yang membuatku bertahan dalam sakit tak berdarah itu. Pikirku jika bercerai mereka akan jadi korban utama keegoisan kami. Akhirnya Allah menunjukkan fakta mengapa Cindy bersikap seperti itu. DarI sanalah aku sadar sesadar sadarnya bahwa segala pengorbanan itu tiada guna. Aku pu
AFGANHanya saja, waktu tak bisa diulang. Waktu maju ke depan, bukan mundur ke belakang. “Jim, kalau semedinya sudah beres, temui aku. Kita jalin pertemanan seperti dulu!” “Insya Allah! Sekarang aku mau fokus mengobati dan mendidik Ela agar mau taat pada Allah. Seburuk apapun, tetaplah dia istriku. Aku punya kewajiban membawanya ke jalan kebenaran!” Luar biasa, Jim benar-benar sudah berubah. Dia sedang menapaki jalan kebenaran. Itulah kuasa Allah memberi hidayah pada siapapun yang dikehendakiNya. Kepergian Jim membawaku pada lamunan masa lalu. Di mana suka dan duka silih berganti terjadi dalam hidup ini. Tak pernah menyangka akan mengalami fase kehidupan semenyedihkan itu. Dikhianati sahabat sendiri hingga jatuh pada titik kehidupan paling rendah. Untung aku hanya gila, tidak sampai nekat bunuh diri. Tak terbayangkan jika itu terjadi. Betapa akan abadi di neraka nanti. Bunuh diri adalah kondisi di mana manusia telah kufur pada rahmat Allah. Dia tak yakin lagi bahwa Tuhan memilik
AFGANDetik demi detik yang kulewati seolah sedang menanti eksekusi algojo di tiang gantungan. Mau duduk atau berdiri tetap saja salah. Kadang hanya mondar mandir di ruang tunggu. Kadang mengetuk-ngetuk jari pada dinding.. “Bagaimana Rida, Afgan. Apa sudah selesai. Kok, lama sekali!” tanya mama mertua. Wanita itu lebih panik dariku. Wajahnya sudah pucat, bibirnya pun bergetar. “Belum, Mah. Masih proses.” Aku yang sedang galau tetap harus memperlihatkan diri lebih tenang. Kalau sama-sama panik bakal membuat makin tegang suasana. Di tengah ketegangan, ponsel berbunyi. Ternyata dari Adela. Pastilah akan bertanya soal Rida. Langsung saja kujawab belum selesai operasinya. Efeknya, Adela jadi cemas juga. Sekarang yang mengalami keresahan jadi bertambah. Setelah sekian lama menunggu, saat yang dinantikan pun tiba. Dokter yang menangani proses operasi keluar ruangan.. “Selamat, putra Anda lahir dengan selamat!” Seketika ruangan seakan menjadi lebih luas. Hal paling membahagiakan tel
ELA Bangkrut? Miskin? Tidak, itu tidak boleh terjadi! Aku tak mau hidup melarat, tidak mau! Tidak terbayang jika harus menjadi gembel. Mengapa tetap hancur? Bukankah Jim sudah mati-matian menahan kehancuran? Apa sehebat itu kekuatan suami cindy? Persetan wanita itu! Bangsat kalian! “Mas, apa tak ada cara lain untuk mengembalikan posis perusahaan? Lalu, apa gunanya usaha kita selama ini?” Jim tetap membisu dan itu membuat darahku makin mendidih. Rasanya aku ingin sekali berteriak dan memarahinya habis-habisan. “Dasar lelaki tak berguna! Cih, menyesal aku menikah denganmu! Lihat, sekarang kita miskin! Melarat!” “Cukup Ela, cukup! Jangan bicara sembarangan, aku sudah berupaya mati-matian, kau tahu’kan. Aku rela tak tidur siang malam demi apa?” Jim menghentikan perdebatan tak berguna ini. Ia lebih baik pergi dari hadapanku daripada lepas kendali. Seperti itulah hidup kami di masa menuju kebangkrutan. Mulailah ketakutan demi ketakutan menghiasi hidup keluarga Pratama. Sampai Sampa
“Sedang apa, Sayang?” Aku bosan mengapa lelaki itu selalu bertanya demikian. Aku sudah mengatakan bahwa sedang menimang bayi mungil ini. Apa tak melihatnya? Ah, kurasa dia sudah gila. “Sssst, bayi baru tidur, jangan berisik, nanti dia bangun!” Untunglah, lelaki ini tak bertanya lagi. Ia hanya menatapku lama. Aneh, mengapa selalu begitu. Bertanya terus diam kalau sudah dijawab. Ya, ya mungkin dia kurang waras. Kasihan sekali. “Ela, mandi, yuk. ‘Kan sebentar lagi ustazah datang!” Dasar tak waras, mengapa dia menyuruhku mandi. Aku sudah mandi dengan bayi tadi pagi. Sekarang ‘kan sudah malam. Aku menepis tangan yang ingin menyentuh tubuh ini. Dengar, ya aku ini wanita bersuami. Mengapa pegang-pegang sembarangan. Dan, dia terus memaksaku. Tanganya direkatkan pada tubuh. Aku tak mau, tak mau! “Aaaaaa!” Aku marah, aku ingin menghajar lelaki kurang ajar ini. Aku tidak terimaaa. Dan, aku pun lemas. Lalu jatuh. * “Ela, makan sedikit saja, nanti kita jalan-jalan, ayo!” Kekuatan cin