RIDA
Entah setan apa yang merasuki pikiran mas Adnan. Rumah tangga yang aman sentosa dia akhiri demi napsu semata. Setidakberharga itu, kah tujuh tahun kebersamaan kami. Lalu, apa arti bakti dan ketaatanku selama ini?
Katanya dulu ia cinta mati. Akan bersama hingga raga menua. Nyatanya, silang kata itu pemanis bibir saja. Aku kini, tak lebih dari sepah yang dibuang setelah manisnya hilang.Jika ada penobatan lelaki tertega, itu pantas disematkan padanya.
Kalaulah aku seorang pendosa. Durhaka dan tak tahu diri wajarlah ia berpaling . Ini’kan tidak. Hubungan kami pun baik-baik saja. Jangankan bertengkar, bahkan bersuara tinggi padanya pun aku tak pernah
Ah, sudahlah! Takdir tak dapat diubah. Jodohku dan jodohnya hanya di rentang tujuh tahun saja. Meski belum dapat kulihat hikmah di balik tragedi ini, aku percaya pasti ada kebaikan di depan sana.
*
“Papa, kok belum pulang, Ma?” tanya Azka, putra sulungku setelah hari ketiga papanya tak datang lagi.
“Papa masih banyak kerjaan, jadi belum bisa pulang,” jawabku atas pertanyaan yang entah sudah berapa kali ia lontarkan. Sebanyak itu pula aku berbohong agar anak sekecil itu tak perlu masuk pada hal yang belum pantas diketahui.
“Kerjanya lama amat. Kakak ‘kan pengen ketemu papa. Katanya mau beliin mobil-mobilan baru,” rajuk Azka. Kalau sudah begini aku hanya bisa diam. Tak tahu harus bicara apa untuk membuatnya mengerti bahwa Sekarang keadaannya beda. Papa takkan tinggal bersamanya lagi. Acara bermain dan beli mainan mungkin takkan pernah terjadi lagi.
“Kakak sekarang mandi dulu, ya. ‘Kan udah Ashar harus pergi ngaji?” titahku untuk mengakhiri pertanyaan yang jawaban aslinya pasti menyedihkan. Sebelum ia menyanggah, aku cepat-cepat meraih tangannya dan membawa anak ini ke kamar mandi.
“Kakak mandi sendiri, ya. Mama mau ambil adik. Bangunkayaknya, ”perintah lanjutanku pada anak lelaki itu.
Azka tak menjawab. Ia hanya mengangguk perlahan. Setelah menutup pintu kamar mandi aku bergegas menuju kamar.
“Eh, anak Mama bangun! Kok, nangis?” ucapku pada putri kecil yang baru berusia dua tahun. Aku meraih dan mendudukkannya di pangkuan.
Kukecup pipi gembul yang membuat siapapun jadi gemas. Dilihat dari sisi manapun Azkia amatlah lucu. Namun, aku bingung mengapa kelucuan putri kecil ini tak membuat mas Adnan mengubah pikirannya. Setersesat itukah napsunya.
Padahal katakan saja apa kurangku supaya bisa memperbaiki diri. Demi kelanggengan rumah tangga, aku rela menjadikan diri lebih baik lagi. Alih-alih menjawab pertanyaan tentang kekurangan, ia malah membentengi hatinya dengan napsu bertopengkan cinta.
Katanya ia tak sanggup menahan hasrat pada Ela hingga takut terjerumus pada dosa. Dengan alasan itu ia bergeming saat air mata ini jatuh sebab sakit yang tak terlukiskan.
Ketika kutawarkan poligami, ia katakan Ela tak bersedia jadi istri kedua. Wanita itu memberi syarat jika mas Adnan menginginkannya, maka aku harus diceraikan.
Kesedihan, kemarahan dan kehancuranku bagai debu tertiup angin. Semuanya tak berarti apapun di sisinya.
Keras, teramat keras hatinya saat ini.
“
“Ibu jangan pergi, rumah ini hak ibu dan anak-anak. Enak saja pelakor jalang itu yang menguasai semuanya. Saya gak rela, Bu!” ucap bi Enah yang sudah membantuku mengurus rumah tiga tahun lamanya. Aku mempekerjakan asisten saya mengandung Azkia. Sebelumnya semua kutangani sendiri.
“Saya tak ingin hidup dalam bayang-bayang masa lalu, Bi. Saya juga ingin menyelamatkan anak-anak dari hayalan kebersamaan dengan papanya. Mereka akan lebih menderita kalau ada di sini. Saya ingin pergi dan melupakan semuanya. Saya dan anak-anak berhak bahagia!”
Bi Enah memelukku. Ia terisak-isak sebab terlalu sedih melihat nasib majikannya ini.
“Bawa semua benda berharga, Bu. Jangan sisakan satupun untuk pelakor itu. Jual saja semua benda-benda ini dan bawa uangnya pergi!” saran bi Enah. Nampak sekali emosi dari nada suara yang dikeluarkan.
Aku menggeleng perlahan. Kukatakan semua barang itu milik mas Adnan.
Meski ada hak anak-anak, nanti saja kalau sudah besar urusannya.
Aku ingin menjauh dan menenangkan diri dalam batas waktu tertentu. Mungkin dengan pergi dari masa lalu, luka ini dapat sembuh secepatnya. Akan lebih menyakitkan kalau aku harus menyaksikan kemesraan pasangan itu.
Dengan terpaksa, bi Enah mengepak barang-barang yang akan kubawa. Sesekali ia masih menyeka air mata. Aku tahu kesedihan itu bukan rekayasa. Namun, keputusan pergi ini sudah bulat.
Aku hanya membawa barang-barang yang memang diakadkan untuk pribadi saat dibelikan mas Adnan. Seperti perhiasan, pakaian, uang, surat tanah dan mobil yang dibeli atas namaku. Ponsel akan kutinggalkan agar tak bisa dilacak. Mobil pun rencananya akan dijual agar tak meninggalkan jejak.
Setelah semua beres, aku pamitan pada bi Enah. Saat kuberi uang pesangon ia menolak. Katanya nanti minta saja pada mas Adnan. Meski dipaksa, ia tetap menolak.
“Ini surat untuk mas Adnan. Tolong sampaikan padanya. Sekali lagi saya minta maaf telah membuat bi Enah repot. Maaf, Bi!”
Kami berpelukan tanpa bisa menahan jatuhnya air mata kembali. Wanita paruh baya ini mengelus punggungku. Tak lupa ia melantunkan doa untuk kebaikanku dan anak-anak.
“Hati-hati, ya, Bu!”
Setelah itu ia tak bisa berkata lagi. Air matanyalah yang mengiringi kepergian ini.
Selamat tinggal, Mas. Kuharap kita takkan pernah bertemu lagi. Biarlah segala sakit hati dan derita ini, Allah yang akan membalasnya. Aku berjanji akan mendidik anak-anak sebaik-baiknya. Yang pasti mereka tak boleh mewarisi sifatmu..
Sebelum benar-benar pergi, aku menoleh sekali lagi. Kukedipkan mata dua kali untuk menahan runtuhnya kembali air mata. Aku harus tegar menutup masa lalu dan menatap masa depan.
ELA“Mas Adnan beneran cinta sama aku? Bohong dosa, loh!” rajukku pada lelaki yang hatinya telah kubeli. Sedikit sentuhan jari di tubuhnya saja, ia akan menggelepar. Selemah itu pertahanannya ternyata.“Ela masih ragu, nih? Apa belum cukup perhatian Mas selama ini?” jawabnya dengan napas tertahan. Ia pastilah sedang menahan hasrat kelelakiannya.Aku menyandarkan kepala pada dada bidang pria bercambang tipis ini. Lalu, menggerakkan kepala untuk menggodanya.Kami berdua menikmati suasana kota Jakarta dari arah jendela kantor. Pinggangnya dilingkarkan pada perutku sementara kepala ini bersandar di dadanya“Kapan Mas akan bercerai dengan mba Rida. Aku udah gak enak, loh dengan desas-desus di kantor ini tentang hubungan kita. Aku gak mau dituduh terus sebagai pelakor, Mas! Lagipula ayah sudah bertanya lagi apakah Mas serius padaku,” cecarku sebagai bentuk tekanan psikologis pada manajer keuangan, sekaligus bosku di pe
ADNANDuka akibat perpisahan ini tenggelam oleh kebahagiaan sebab hasratku memiliki Ela tergapai. Yang melintas di benakku adalah bagaimana menikmati manisnya madu pengantin baru.Gelora yang meledak-ledak hampir saja membelah dada. Aku telah kehilangan kewarasan karena seorang wanita. Ela itulah dia. Pemilik wajah secantik rembulan dipadu body sempurna. Kaki jenjang dengan kulit laksana porselen mampu menyihir mata batinku.Aku kalah hanya karena kerling manjanya. Sungguh, semua kebaikanku sebagai pria terlibas oleh napsu menggila. Tak ada lagi idealisme mewujudkan rumah tangga sakinah bersama Rida dan anak-anak. Semua terempas oleh napsu durjana.Persetan dengan janji sehidup semati bersama Rida. Semua hanya lintasan masa lalu yamg lekas-lekas harus kukubur di palung hati. Istriku sekarang adalah Ela, dialah yang akan membersamai dalam menjalani hidup ini.Aku yakin bersama Ela hidup akan selalu berwarna. Tidak datar dan membosankan seperti saat
ELAAku harus tampil sempurna di malam pertama kami. Seluruh make up wajib dipakai untuk mengangkat kecantikan wajah ini. Bukan karena paras yang jelek, tidak sama sekali, tapi ingin lebih cetar saja.Kecantikan yang kumiliki sejak lahir ini adalah senjata ampuh untuk menaklukan laki-laki. Tanpa make up pun pasti mereka terpesona, hanya saja akan lebih terjerat jika dipulas dengan paduan warna eksotis.Sudah banyak lelaki kaya yang terjerat oleh pesonaku. Mereka bahkan rela meninggalkan istri, tunangan atau pacar demi bersamaku. Sepertinya aku wajib diberi gelar sang penakluk pria.Ada kebanggaan tersendiri jika sudah bisa menaklukan seorang pria. Apalagi jika korbanku itu kaya dan beristri. Kepuasan memenangkan pertarungan dengan istri sah itu benar-benar menjadi candu dalam hidup ini.Mas Adnan bukan korban pertamaku, tapi yang paling sulit ditaklukan.. Tarik ulur perceraiannya saja berlangsung satu tahun. Namun, kepuasannya juga sebanding. Tanpa
ADNANSegala hasrat telah kutuntaskan bersama Ela. Wanita itu begitu sempurna memberi pelayanan biologis suaminya. Aku terkapar, menggelapar tanpa daya. Puas, puas sudah jiwa raga.Malam ini aku merasa menjadi lelaki paling beruntung di jagat raya. Ela benar-benar memberikan surga dunia yang tak terlukis kenikmatannya.“Terima kasih, Sayang,” bisikku mesra.Hanya itu kalimat yang mampu kuucapkan. Sebab setelahnya raga berada dalam puncak kelelahan. Tenagaku terkuras setelah menjalankan permainan panas berkali-kali.*Hari-hariku penuh warna bersama Ela. Hidup serasa makin seru dan menggebu-gebukan rindu selalu. Rasanya bulan madu seminggu terlalu singkat untuk menikmati madu pengantin baru.Kini, kami harus menjalani rutinitas seperti biasa. Aku bekerja, sementara Ela di rumah. Ia menuruti perintahku untuk tak bekerja lagi. Cukup jadi nyonya Adnan Saputra saja. Apapun yang diinginkan akan kupenuhi.Lagipula aku ingi
ELAGawat, mas Adnan menelpon terus. Ia pasti sudah ada di rumah. Aku sengaja tidak mengangkat panggilan sebab belum punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang akan dilemparkan. Lebih baik disenyapkan saja agar tak terdengar. Anggap tidak pernah berdering.Reputasiku bakal hancur kalau pulang terlambat. Bisa bisa citraku yang telah baik di matanya berubah menjadi buruk. Efeknya tingkat kepercayaan Mas Adnan akan turun drastis.Kupikir dia akan pulang jam sepuluh atau sebelas malam. ‘Kan katanya banyak kerjaan yang belum diselesaikan. Kenapa juga sudah pulang sekarang. Dasar plin plan!“Macet sialan! Bangsat, gue buru-buru, Woy!”Kupencet klakson hingga suaranya membahana. Persetan dengan kekesalan orang-orang sebab telinganya pekak. Salah sendiri menghalangi jalanku.Dan, untuk beberapa menit terjadilah persaingan klakson dari pengemudi bar-bar. Sumpah, rasanya ingin keluar dan meluapkan emosi dengan memarahi orang-orang
ADNANAku merasa bersalah pada Ela sebab telah membuatnya tertekan. Untung saja kecelakaan itu tak merenggut nyawanya. Kalau sampai Ela terluka parah atau meninggal, aku pasti takkan bisa memaafkan diri sendiriKenapa juga aku mengedepankan prasangka buruk saat Ela belum pulang. Bisa jadi ia terjebak kemacetan atau memang masih ada keperluan.Tentang seringnya ia pergi keluar mungkin saja karena kesepian. Bisa jadi itu untuk melepas kebosanan akibat rehat bekerja. Selepas bulan madu aku jarang punya waktu untuknya.Harusnya aku memahami hal tersebut, bukan malah menuduhnya yang bukan-bukan. Apalagi sampai membandingkan Ela dan Rida. Jelaslah takkan sama. Rida itu wanita kuno, kalau Ela ‘kan modern. Ia tak mungkin betah di rumah sebab butuh aktualisasi diri.Untuk menebus kesalahan, aku bersikap jauh lebih baik padanya. Kumanjakan ia selama masa perawatan. Istriku ini tak boleh sakit lama-lama sebab itu sama saja menyakiti diri sendiri.
ADNANAku menghentikan langkah saat mendengar ucapan bi Enah. Selanjutnya kubalikkan badan hingga menghadap ke arah wanita paruh baya ini.Jelas aku kaget dengan ucapan tak disangka itu. Apalagi katanya mereka pergi tiga minggu lalu. “Tidak ada bagaimana, Bi? Jalan-jalan, ke rumah mama atau bagaimana?” cecarku.Yang ditanya menatapku lekat. Ia seolah ingin mengulitiku selapis demi selapis. Baru kali ini bi Enah bersikap demikian. Biasanya bi Enah hanya sekilas menatapku. Ia pun takkan berdiri lama-lama di hadapan majikannya. Perempuan itu sama seperti Rida, tak banyak bicara.“Ibu bilang tak sanggup berada di rumah ini lagi. Beliau tak bisa hidup dalam angan masa lalu. Ibu juga tak kuat melihat Kak Azka dan Dik Azkia sedih menanti kehadiran papa yang tak kunjung datang. Jadi ibu memutuskan pergi jauh dan saya pun tidak diberi tahu ke mana perginya.”Kejelasan keterangan yang diberikan bi Enah membuat dada
Gawat, Rida adalah menantu kesayangan Mama. Bisa-bisa beliau murka kalau mengetahui fakta sebenarnya! Pikiranku yang kacau makin kacau melihat kedatangan Mama. Wanita yang wajahnya lebih muda dari usianya pastilah akan mencecarku habis-habisan jika tahu realita rumah tanggaku yang telah kandas. .Mama sangat menyayangi Rida dan anak-anak. Bahkan, mantan istriku itu sudah seperti anaknya sendiri. Jika aku terlihat kurang perhatian, ia akan ngomel tanpa titik koma.Rida memang telah membeli hati mama dengan kebaikannya. Mereka tergolong mertua dan menantu akur. Hampir tak pernah ada percekcokan di antara keduanya. Yang ada malah saling memuji dan menyayangi.Sesungguhnya memang tak ada satu cela pun pada diri Rida. Dia benar-benar baik. Dan, kadang aku pun berpikir mengapa bisa setega itu menancapkan belati kepedihan pada inti hatinya.Pelayanan dan ketaatannya sempurna. Secara fisik pun tak buruk rupa. Ia pandai merawat wajah ju
RIDA“Ela selalu bilang takut tobatnya tak diterima. Ia selalu berkata dosanya sangat besar, ia ingin menebusnya meski harus bertaruh nyawa. Ela, Ela...” Akhirnya tangisan Jim pecah. Ia menutup wajah dengan satu tangan.. Aku yang menyaksikannya pun tak kuat menahan jatuhnya air mata. “Setahun aku mendampinginya dalam sakit. Kupenuhi pintanya agar mewujudkan ketenangan. Rupanya Ela lebih ingin pergi menghadap- Nya daripada tetap di sisiku. Katanya ia tak mau menyusahkanku, ia ingin pulang saja pada Allah. Dia juga sering menyuruhku menikah lagi dan menceraikannya. Aku, aku tak bisa. Ela adalah separuh jiwaku. Kalau dia pergi aku bagaimana?” Tangisanku kini telah bersuara. Aku tak menyangka seperti itu nasib mereka. Ela, kau telah menebus dosamu sungguh. Aku akan bersaksi di hadapan-Nya nanti bahwa kau telah berada di jalan-Nya. Setelah ini aku dan Jim terjebak dalam kebisuan. Hanya tangisan yang memenuhi gendang telinga. Sunyi... * Aku diizinkan masuk ke ruang rawat Ela. Hati in
RIDA Awalnya aku tak percaya melihat perubahan penampilan Ela. Wanita itu menutup auratnya rapat, tak berhias seperti dahulu. Pancaran wajah tak menguarkan aura keangkuhan, malah bersinar dan makin menguatkan pesona keelokan parasnya. Aku kembali mencubit punggung tangan sebelah untuk memastikan bahwa yang terlihat bukan ilusi. Kenyataannya terasa sakit tangan yang dicubit. Artinya ini alam nyata bukanlah mimpi. Kekagetanku akan perubahan penampilan Ella ditambah dengan keterkejutan melihat sikapnya. Dia mengucapkan salam dengan santun dan penuh kelembutan. Sungguh jejaknya di masa lalu benar-benar telah tertutup oleh perubahan itu. Aku hanya bisa melafadzkan hamdalah tasbih dan tahlil ketika yakin bahwa Ela memang telah berubah. Tiada kata yang dapat melukis bahagia ini selain mengucap puja puji syukur ke hadirat Ilahi. Kuseka air mata yang tak bisa dicegah untuk jatuh. Kiranya melihat musuh tobat lebih membahagiakan daripada menyaksikan kehancurannya. Ela pun sama, pipinya tel
ELAAku menyerahkan pemesanan makanan pada Jim. Bingung juga harus memesan apa sebab yang ada dalam daftar menu serasa asing. Aneh memang sebab kata Jim dulu kami sering ke sini. Wah, dapat darimana uang untuk membayarnya. “Makanannya pasti mahal, apa kau punya uang untuk membayar harganya?” Aku ingin memastikan bahwa kami tidak akan malu pulang dari sini. Jadi perlu diselidiki soal keuangan yang ia miliki. “Insya Allah, ada. Aku juga akan membawamu ke hotel. Kita akan menginap di sana sampai kau ingat tujuan kita ke sini. Tadinya aku mau membawamu pulang, tapi dipikir lagi lebih baik dituntaskan sekarang!” Aku hanya bisa bengong mendengar penjelasannya. Selepas itu aku hanya perlu meyakini bahwa yang dikatakan Jim itu benaLalu, aku membayangkan seperti apa kamar sebuah hotel. Pastilah bagus sekali. Kasurnya empuk, ruangannya luas, dinding kokoh dan jendela besar. Mungkin! Aku jadi tak sabar ingin ke sana. Bukan apa-apa, penasaran saja. Benarkah kenyataannya sesuai hayalanku.
ELA Mataku terbuka saat aroma tajam menembus lubang hidung. Entah apa yang dioleskan di batang dan bawah hidung. Baunya tak menyenangkan. Meski sudah terbuka, aku belum otomatis menyadari ini sedang ada di mana? Maka dari itu kesibukan sekarang adalah menggerakkan bola mata ke kanan dan kiri. Karena tak juga menemukan jawaban, aku mencoba bangun. Ternyata untuk menggerakkan badan, tenaga ini sangatlah payah. Karena gagal, aku kembali rebahan. Mungkin butuh waktu beberapa saat lagi agar pulih. “Alhamdulilah kamu sudah sadar, Sayang!” Aku menoleh pada seseorang yang kini menghampiri. Jim ya dia Jim. Ya ampun kenapa harus ada jeda dulu baru mengingat. Hubunganku saat Ini dengannya apa? Mengapa dia mencium keningku? Oh, iya kami suami istri. Tapi, dari kapan kami menikah? Lalu, mas Adnan ke mana? Astagfirullah! Apa yang terjadi denganku? Mengapa tiba-tiba lupa ini dan itu? “Aku di mana?” tanyaku pada lelaki yang kini sedang mengelus pipi ini. “Kau tak ingat?” Jim malah balik ber
ADNAN Hari ini waktu yang kugunakan untuk membersamai keluarga. Kesempatan libur tak kusia-siakan sebab memang jarang punya waktu untuk mereka. Azka dan Azkia bukan jadwal di sini. Kemarin mereka baru dipulangkan pada Rida. Kadang, tak rela harus berpisah sementara dengan mereka. Namun, mau bagaimana lagi, hanya itu jalan nyaman agar anak-anak tetap mendapat kasih sayang orang tua kandungnya. Kurasa Rida pun sama. Meski tak diperlihatkan, aku bisa menduga ia tak rela kalau mereka dijemput. Dia akan mencium dan memeluk anak kami kalau waktu berpisah lagi. Meski saat ini sudah tak ada air mata, tetap saja di hati muncul denyut nyeri. Anak korban perceraian tetap tak bisa sama dengan anak yang hidup dalam naungan keluarga utuh. Mereka harus mengikuti ritme hidup orang tua yang telah tak satu rumah. Tak akan juga menyaksikan ayah dan ibunya bersama seiring sejalan lagi. Padahal, mungkin sangat ingin anak-anak itu melihat kembali kebersamaan tersebut. “Tuan, Nyonya maaf menganggu, ada
ADNAN“Ini adik kak Diva, kak Azkia dan ka Azka!” terangku saat ketiga bocah itu berkumpul mengelilingi adik bayinya. Mereka baru diijinkan menengok mama Lestari dan adik bayi. “Adik, adik?” celetuk Azkia. Mungkin dia bingung mengapa yang baru lahir pun di sebut adiknya. Selama ini yang Azkia tahu, adiknya adalah anak yang dilahirkan Rida. “Iya, dedek bayi ini adalah adik kak Azkia. Sama dengan adik Alfan” jawab Lestari. Setelah mengangguk, Azkia mulai memanggil bayi baru itu dengan kata Adik. Begitu juga Azka dan Diva. Mereka terlihat antusias mencandai adiknya. “Nah, sekarang adik bayi mau mimi dulu. Ayo kita bermain di luar!” Aku menggiring tiga bocah ini keluar untuk memberi kesempatan pada Lestari menidurkan putri kami. Bayi kecil itu baru berusia tujuh hari. Di ruang keluarga tak henti-hentinya tiga anak ini bertanya. Tentang bayi, tentang ingin mengajaknya bermain.. Bahkan Azkia ingin memberinya permen. Aku terangkan perlahan bahwa permen bukan makanan bayi. Kalau sampai
Kami sampai di pintu gerbang mansion milik Edward Douglas alias suami Cindy. Untuk tembus ke dalam, harus melewati satpam yang tampangnya cukup garang. Jim akhirnya mengatakan bahwa Cindy pasti mau menemuinya. Ia sedikit memaksa pada satpam agar menyampaikan hal tersebut pada majikannya. Setelah debat cukup alot, akhirnya satpam itu menyerah. Dia menyampaikan kepada majikan bahwa ada tamu yang ingin bertemu. Tak lupa juga menyebut namaku. Kami butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk menunggu izin masuk ke rumah Cindy. Untunglah kami duduk di dalam mobil hingga bisa bertahan lama dalam penantian ini. Jika tidak, akan terkena sengatan mentari Jakarta yang pastilah membakar kulit. Aku dan Jim mengucapkan hamdalah ketika izin untuk masuk telah keluar. Mobil pun kembali dikemudikan oleh Jim untuk memasuki gerbang menuju pelataran.. Ternyata jarak antar gerbang dan pintu utama lumayan jauh. Kalau ditempuh jalan kaki bisa-bisa kelelahan. Luar biasa memang tempat tinggal Edward Douglas.
“Jim, bolehkah aku minta bantuan?” “Apa, katakan saja!” “Aku ingin ke Jakarta.” Pria itu melepas pelukan, lantas mengubah posisi duduk. Ia kini menghadapkan badannya padaku. “Aku ingin menemui Rida, Adnan dan Cindy. Aku ingin minta maaf pada mereka. Bukankah kyai bilang dosa pada manusia akan diampuni Allah jika manusia itu mengampuninya.” Keputusanku untuk meminta maaf pada mereka sudah bulat. Ini adalah hasil perenungan panjang. Aku telah menang melawan ego yang selalu menghalangi atas nama harga diri. Aku tak pernah tahu kapan usia ini berakhir. Untuk itu harus segera menjalankan satu masalah yang belum terselesaikan, yaitu minta keikhlasan maaf dari orang-orang yang kusakiti. “Alhamdulillah, masya Allah. Inilah yang kutunggu, Ela. Kesediaanmu menyingkirkan ego. Besok kita minta izin kyai untuk pergi ke Jakarta. * “Pakailah kerudung dan gamis baru itu. Kita akan bertemu orang-orang baik. Anggap saja ini sebagai bentuk penghargaan pada manusia. Dan jangan sampai juga mereka
“Sedang apa, Sayang?” Aku bosan mengapa lelaki itu selalu bertanya demikian. Aku sudah mengatakan bahwa sedang menimang bayi mungil ini. Apa tak melihatnya? Ah, kurasa dia sudah gila. “Sssst, bayi baru tidur, jangan berisik, nanti dia bangun!” Untunglah, lelaki ini tak bertanya lagi. Ia hanya menatapku lama. Aneh, mengapa selalu begitu. Bertanya terus diam kalau sudah dijawab. Ya, ya mungkin dia kurang waras. Kasihan sekali. “Ela, mandi, yuk. ‘Kan sebentar lagi ustazah datang!” Dasar tak waras, mengapa dia menyuruhku mandi. Aku sudah mandi dengan bayi tadi pagi. Sekarang ‘kan sudah malam. Aku menepis tangan yang ingin menyentuh tubuh ini. Dengar, ya aku ini wanita bersuami. Mengapa pegang-pegang sembarangan. Dan, dia terus memaksaku. Tanganya direkatkan pada tubuh. Aku tak mau, tak mau! “Aaaaaa!” Aku marah, aku ingin menghajar lelaki kurang ajar ini. Aku tidak terimaaa. Dan, aku pun lemas. Lalu jatuh. * “Ela, makan sedikit saja, nanti kita jalan-jalan, ayo!” Kekuatan cin