Karena Azkia memiliki sifat tak mudah dekat dengan orang baru, ia malah memelukku erat. Aku merasa tak enak pada pria yang sudah berbaik hati mengambilkan bola.“Ayo, ambil bolanya dari om,” bisikku sambil mengelus rambut. Anak ini memang memiliki rasa malu tinggi. Meski sudah dimotivasi tetap saja ia tak mau.“Om kasih kakak saja, ya,” ucap pria berkaca mata itu setelah melihat Azkia tak kunjung menyambut bolanya.Ia lalu menyerahkan bola pada Azka. Setelah diterima pria yang mungkin seusia mas Adnan kembali bicara, “Nama Om Afgan, Siapa nama kakak?”“Azka, Om! Terima kasih bolanya,” jawab Azka. Anak tersebut sudah biasa mengucapkan kata terima kasih pada siapapun yang membantu. Aku memang menanamkan adab pergaulan sejak dini dengan harapan kelak akan menjadi anak yang berakhlak mulia. “Sama-sama, Sayang. Om pamit, ya. Nanti kita main bola mau?” Azka melirik ke arahku untuk minta persetujuan. Karena ia sangat berharap aku anggukan kepala.Senyum b
Hari minggu pagi aku mempersiapkan bekal untuk acara jalan-jalan. Hanya keliling kebun teh untuk menghibur hati buah hatiku. “Kakak, kakak! Jangan lupa bawa tasnya!” Aku memanggil Azka berulang-ulang. Namun, tetap tak ada sahutan. Biasanya anak itu akan langsung datang di panggilan pertama. Karena penasaran, aku hentikan kegiatan membereskan bekal. Aku keluar dapur dengan maksud mencari Azka. Karena belum ditemukan, aku pun keluar rumah. Dan, pantas saja Azka tak menjawab panggilanku. Rupanya om yang ditunggu ada di halaman. Saat melihat kedatanganku, lelaki itu menurunkan Azka dari gendongannya. Ia kemudian mengangguk sopan serta mengembangkan senyuman. Selanjutnya pria berkacamata itu melangkah ke arahku sambil menuntun Raka. Untuk meredakan kegugupan, aku berdeham pelan. “Maaf, tadi belum sempat mengucapkan salam. Saya langsung bermain dengan kakak Azka. Assalamualaikum, mama Azka!” “Oh, eh, assalamualaikum, Om Afgan!” Aku benar-b
LELAKI YANG DIKHIANATI AFGAN Azka dan Azkia membawaku pada kenangan masa lalu. Kenangan indah yang kini hanya ada dalam memori. Meski demikian, takkan pernah hilang ditelan waktu. Dua buah hatiku telah pergi akibat sebuah pengkhianatan. Pengkhianatan seseorang yang bergelar ibu. Sosok manusia yang harusnya menjadi tempat mereka bermanja, nyatanya hanya monster perampas kebahagiaan sekaligus nyawa. Canda tawa dan keriangan di wajah-wajah polos itu serupa magnet yang membuatku sanggup menyisihkan waktu untuk dapat menemuinya. Di tengah segala kesibukan, aku mengupayakan satu hari saja untuk datang.. Pada hatiku dan hati keduanya seperti ada ikatan. Itulah mungkin yang dinamakan pengalihan rindu. Dengan begitu aku tak perlu lagi tidur mendekap dua foto wajah permata hati. * “Darimana kau?” tanyaku pada wanita yang jalannya selalu membusungkan dada. Bahu terbuka yamg menampilkan kulit seputih pualam itu menjengkit. “Bukan urusanmu!” ejeknya.
AFGAN Minum obatnya, Kak!” titah Alan, adik yang selama aku di rumah sakit jiwa dialah yang menjalankan roda perusahaan. Badannya sampai kurus saking lelah lahir batin. Setahun bukan waktu yang sebentar menanggung beban berat di pundak. Selain harus mengurus perusahaan, dia juga menahan sakit melihatku jatuh berguling-guling. Pastilah kavau pikiran dan hatinya. Untunglah ia memiliki istri sholehah yang mampu menjadi pendamping di saat suami susah. Aku juga punya adik perempuan yang tak henti memotivasi kakaknya ini. Di tengah kerepotannya mengurus bayi, tetap menyempatkan diri menjenguk. Katanya ia selalu datang membawa makanan kesukaanku. Entahlah, aku tak ingat. Orang tua kami sudah tiada, jadi hanya sesama saudaralah saling bahu membahu. Jika satu kesusahan, yang lain menyingsingkan lengan baju untuk membantu. Hanya aku yang memiliki pasangan durjana. Dua adikku dikaruniai pasangan luar biasa baiknya. Semoga akan langgeng selamanya. Aku mengambi
AFGAN Aku menerima uluran tangannya dan kami berjabatan dengan kuat dan erat. Pria ini sepertinya baik. Ia mungkin dulu pekerja handal. Mama Azka menyilakan kami untuk makan bersama. Wanita yang kutahu tak punya suami itu tampak berseri menyambut temannya. Tak sulit bagiku untuk tahu siapa mama Azka. Tinggal minta penjaga villa mencari informasi detil sudah langsung kudapat keterangannya. Kata bapak penjaga villa, namanya Rida, janda beranak dua. Di tempat ini baru tinggal sekitar tiga bulan. Hanya itu informasi yang diberikan penjaga villa. Bagiku sebagai awal perkenalan itu sudah cukup. Entahlah, pertama melihatnya, aku sudah merasa dia wanita baik, keibuan dan penuh kasih sayang. Jika dibandingkan dengan Cindy, mungkin akan jadi 180 derajat jauhnya. Mungkin akan ada harapan ke depan. Meski sepertinya sulit sebab pada binar matanya masih tersirat luka mendalam. Aku dapat memahami sebab pernah mengalami hal seperti itu. Kami makan di ter
AFGAN “Segaring itu? Gus Afgan gak boleh bohong!” cecarnya lagi. “Itu kenyataannya, ngobrol saja tak pernah sama janda cantik itu!” “Eaaa, janda cantik!” goda Adela “Masa iya janda ganteng!” kilahku. Adela meleletkan lidah. Kalau kalah dia akan begitu. “Wait, jujur padaku sekarang. Kakak suka ‘kan sama mama Azka alias mba Rida?” Aku melarik senyuman pada wanita yang langsung menembak sasaran. Dan, dia makin gemas sebab tak ada jawaban apapun. “Kak Afgan nakal! Ngomong napa!” Aku malah bangkit sambil mengacak rambutnya. Dan Adela jadi murka. “Assalamualaikum!” Aksi balas dendam Adela tertahan sebab terdengar salam. Dari suaranya aku tahu itu Rian. Syukurlah aku jadi selamat dari amukan Adela. “Kekasih tercinta datang, tuh! Bye!” Meski matanya mendelik, ia tak bisa berbuat apa-apa. Jelaslah harus menyambut suaminya dulu. Menghindari Adela adalah hal terbaik saat ini. Bicara dengannya itu serba salah. Jujur akan dike
ADNAN Mimpi apa aku bisa bekerja langsung di bawah kepemimpinan Mr Afgan Sanjaya. Pria bertangan dingin yang dikagumi kawan, disegani lawan. Meski pernah menghilang dari peredaran, saat kembali kharismanya tak pudar. “Aku merasa sangat beruntung, Sayang. Kupikir kaulah pembawa keberuntungan itu. Dalam waktu singkat karirku melesat, dan sekarang bisa bersama tuan Afgan!” Aku meluapkan kebahagiaan di dalam mobil. Kugenggam tangan Ela yang matanya juga berbinar-binar. Jelaslah sekarang dia adalah istri direktur, jabatan yang lebih tinggi dari sebelumnya tentu. “Iya, Sayang, aku terharu. Aku benar-benar bahagia. Kamu memang luar biasa, Aku yakin kelak Mas akan sejajar dengan Mr Afgan!” respon Ela. Dan, kebahagianku makin sempurna dengan pujian dan dukungannya. “Mas, apa nanti aku boleh ikut ke pertemuan-pertemuan terkait proyek ini. Aku ingin belajar agar bisa bantu kamu nanti,” pinta Ela. Wanita ini memang memiliki antusias tinggi untuk sebuah kemajuan. Ia
ADNAN Dengan menahan getaran di dada aku menghampiri keduanya. Aku mencium tangan Ibu dan menjabat tangan kakak lelaki Rida. Lepas itu kupersilakan kembali keduanya duduk. “Rida dan anak-anak mana? Panggillah, mama kangen banget!” Kalimat perintah tersebut seperti sebuah letusan senjata api di telingaku. Tungkai kaki mendadak jadi lemas membayangkan aura kemarahan mereka jika tahu yang sebenarnya. Sialan tangan ini, kenapa harus bergetar. Kuletakkan tangan di pinggir paha agar tak terlihat getarannya. “Minum dulu Mah, Bang!” tawarku setelah bi Asih meletakkan jamuan. Wanita ini tanpa harus disuruh, sudah melakukan tugasnya. Ia pun undur diri beberapa menit kemudian. Sepertinya mereka memang haus. Pastilah sebab perjalanan dari bandara ke rumah ini cukup jauh. Apalagi sebelumnya telah mengudara selama dua jam di angkasa. Belum lagi perjalanan dari rumah mama menuju bandaranya. Panjanglah perjalanan itu. “Kok, mama gak bilang dulu kalau mau dat
RIDA“Ela selalu bilang takut tobatnya tak diterima. Ia selalu berkata dosanya sangat besar, ia ingin menebusnya meski harus bertaruh nyawa. Ela, Ela...” Akhirnya tangisan Jim pecah. Ia menutup wajah dengan satu tangan.. Aku yang menyaksikannya pun tak kuat menahan jatuhnya air mata. “Setahun aku mendampinginya dalam sakit. Kupenuhi pintanya agar mewujudkan ketenangan. Rupanya Ela lebih ingin pergi menghadap- Nya daripada tetap di sisiku. Katanya ia tak mau menyusahkanku, ia ingin pulang saja pada Allah. Dia juga sering menyuruhku menikah lagi dan menceraikannya. Aku, aku tak bisa. Ela adalah separuh jiwaku. Kalau dia pergi aku bagaimana?” Tangisanku kini telah bersuara. Aku tak menyangka seperti itu nasib mereka. Ela, kau telah menebus dosamu sungguh. Aku akan bersaksi di hadapan-Nya nanti bahwa kau telah berada di jalan-Nya. Setelah ini aku dan Jim terjebak dalam kebisuan. Hanya tangisan yang memenuhi gendang telinga. Sunyi... * Aku diizinkan masuk ke ruang rawat Ela. Hati in
RIDA Awalnya aku tak percaya melihat perubahan penampilan Ela. Wanita itu menutup auratnya rapat, tak berhias seperti dahulu. Pancaran wajah tak menguarkan aura keangkuhan, malah bersinar dan makin menguatkan pesona keelokan parasnya. Aku kembali mencubit punggung tangan sebelah untuk memastikan bahwa yang terlihat bukan ilusi. Kenyataannya terasa sakit tangan yang dicubit. Artinya ini alam nyata bukanlah mimpi. Kekagetanku akan perubahan penampilan Ella ditambah dengan keterkejutan melihat sikapnya. Dia mengucapkan salam dengan santun dan penuh kelembutan. Sungguh jejaknya di masa lalu benar-benar telah tertutup oleh perubahan itu. Aku hanya bisa melafadzkan hamdalah tasbih dan tahlil ketika yakin bahwa Ela memang telah berubah. Tiada kata yang dapat melukis bahagia ini selain mengucap puja puji syukur ke hadirat Ilahi. Kuseka air mata yang tak bisa dicegah untuk jatuh. Kiranya melihat musuh tobat lebih membahagiakan daripada menyaksikan kehancurannya. Ela pun sama, pipinya tel
ELAAku menyerahkan pemesanan makanan pada Jim. Bingung juga harus memesan apa sebab yang ada dalam daftar menu serasa asing. Aneh memang sebab kata Jim dulu kami sering ke sini. Wah, dapat darimana uang untuk membayarnya. “Makanannya pasti mahal, apa kau punya uang untuk membayar harganya?” Aku ingin memastikan bahwa kami tidak akan malu pulang dari sini. Jadi perlu diselidiki soal keuangan yang ia miliki. “Insya Allah, ada. Aku juga akan membawamu ke hotel. Kita akan menginap di sana sampai kau ingat tujuan kita ke sini. Tadinya aku mau membawamu pulang, tapi dipikir lagi lebih baik dituntaskan sekarang!” Aku hanya bisa bengong mendengar penjelasannya. Selepas itu aku hanya perlu meyakini bahwa yang dikatakan Jim itu benaLalu, aku membayangkan seperti apa kamar sebuah hotel. Pastilah bagus sekali. Kasurnya empuk, ruangannya luas, dinding kokoh dan jendela besar. Mungkin! Aku jadi tak sabar ingin ke sana. Bukan apa-apa, penasaran saja. Benarkah kenyataannya sesuai hayalanku.
ELA Mataku terbuka saat aroma tajam menembus lubang hidung. Entah apa yang dioleskan di batang dan bawah hidung. Baunya tak menyenangkan. Meski sudah terbuka, aku belum otomatis menyadari ini sedang ada di mana? Maka dari itu kesibukan sekarang adalah menggerakkan bola mata ke kanan dan kiri. Karena tak juga menemukan jawaban, aku mencoba bangun. Ternyata untuk menggerakkan badan, tenaga ini sangatlah payah. Karena gagal, aku kembali rebahan. Mungkin butuh waktu beberapa saat lagi agar pulih. “Alhamdulilah kamu sudah sadar, Sayang!” Aku menoleh pada seseorang yang kini menghampiri. Jim ya dia Jim. Ya ampun kenapa harus ada jeda dulu baru mengingat. Hubunganku saat Ini dengannya apa? Mengapa dia mencium keningku? Oh, iya kami suami istri. Tapi, dari kapan kami menikah? Lalu, mas Adnan ke mana? Astagfirullah! Apa yang terjadi denganku? Mengapa tiba-tiba lupa ini dan itu? “Aku di mana?” tanyaku pada lelaki yang kini sedang mengelus pipi ini. “Kau tak ingat?” Jim malah balik ber
ADNAN Hari ini waktu yang kugunakan untuk membersamai keluarga. Kesempatan libur tak kusia-siakan sebab memang jarang punya waktu untuk mereka. Azka dan Azkia bukan jadwal di sini. Kemarin mereka baru dipulangkan pada Rida. Kadang, tak rela harus berpisah sementara dengan mereka. Namun, mau bagaimana lagi, hanya itu jalan nyaman agar anak-anak tetap mendapat kasih sayang orang tua kandungnya. Kurasa Rida pun sama. Meski tak diperlihatkan, aku bisa menduga ia tak rela kalau mereka dijemput. Dia akan mencium dan memeluk anak kami kalau waktu berpisah lagi. Meski saat ini sudah tak ada air mata, tetap saja di hati muncul denyut nyeri. Anak korban perceraian tetap tak bisa sama dengan anak yang hidup dalam naungan keluarga utuh. Mereka harus mengikuti ritme hidup orang tua yang telah tak satu rumah. Tak akan juga menyaksikan ayah dan ibunya bersama seiring sejalan lagi. Padahal, mungkin sangat ingin anak-anak itu melihat kembali kebersamaan tersebut. “Tuan, Nyonya maaf menganggu, ada
ADNAN“Ini adik kak Diva, kak Azkia dan ka Azka!” terangku saat ketiga bocah itu berkumpul mengelilingi adik bayinya. Mereka baru diijinkan menengok mama Lestari dan adik bayi. “Adik, adik?” celetuk Azkia. Mungkin dia bingung mengapa yang baru lahir pun di sebut adiknya. Selama ini yang Azkia tahu, adiknya adalah anak yang dilahirkan Rida. “Iya, dedek bayi ini adalah adik kak Azkia. Sama dengan adik Alfan” jawab Lestari. Setelah mengangguk, Azkia mulai memanggil bayi baru itu dengan kata Adik. Begitu juga Azka dan Diva. Mereka terlihat antusias mencandai adiknya. “Nah, sekarang adik bayi mau mimi dulu. Ayo kita bermain di luar!” Aku menggiring tiga bocah ini keluar untuk memberi kesempatan pada Lestari menidurkan putri kami. Bayi kecil itu baru berusia tujuh hari. Di ruang keluarga tak henti-hentinya tiga anak ini bertanya. Tentang bayi, tentang ingin mengajaknya bermain.. Bahkan Azkia ingin memberinya permen. Aku terangkan perlahan bahwa permen bukan makanan bayi. Kalau sampai
Kami sampai di pintu gerbang mansion milik Edward Douglas alias suami Cindy. Untuk tembus ke dalam, harus melewati satpam yang tampangnya cukup garang. Jim akhirnya mengatakan bahwa Cindy pasti mau menemuinya. Ia sedikit memaksa pada satpam agar menyampaikan hal tersebut pada majikannya. Setelah debat cukup alot, akhirnya satpam itu menyerah. Dia menyampaikan kepada majikan bahwa ada tamu yang ingin bertemu. Tak lupa juga menyebut namaku. Kami butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk menunggu izin masuk ke rumah Cindy. Untunglah kami duduk di dalam mobil hingga bisa bertahan lama dalam penantian ini. Jika tidak, akan terkena sengatan mentari Jakarta yang pastilah membakar kulit. Aku dan Jim mengucapkan hamdalah ketika izin untuk masuk telah keluar. Mobil pun kembali dikemudikan oleh Jim untuk memasuki gerbang menuju pelataran.. Ternyata jarak antar gerbang dan pintu utama lumayan jauh. Kalau ditempuh jalan kaki bisa-bisa kelelahan. Luar biasa memang tempat tinggal Edward Douglas.
“Jim, bolehkah aku minta bantuan?” “Apa, katakan saja!” “Aku ingin ke Jakarta.” Pria itu melepas pelukan, lantas mengubah posisi duduk. Ia kini menghadapkan badannya padaku. “Aku ingin menemui Rida, Adnan dan Cindy. Aku ingin minta maaf pada mereka. Bukankah kyai bilang dosa pada manusia akan diampuni Allah jika manusia itu mengampuninya.” Keputusanku untuk meminta maaf pada mereka sudah bulat. Ini adalah hasil perenungan panjang. Aku telah menang melawan ego yang selalu menghalangi atas nama harga diri. Aku tak pernah tahu kapan usia ini berakhir. Untuk itu harus segera menjalankan satu masalah yang belum terselesaikan, yaitu minta keikhlasan maaf dari orang-orang yang kusakiti. “Alhamdulillah, masya Allah. Inilah yang kutunggu, Ela. Kesediaanmu menyingkirkan ego. Besok kita minta izin kyai untuk pergi ke Jakarta. * “Pakailah kerudung dan gamis baru itu. Kita akan bertemu orang-orang baik. Anggap saja ini sebagai bentuk penghargaan pada manusia. Dan jangan sampai juga mereka
“Sedang apa, Sayang?” Aku bosan mengapa lelaki itu selalu bertanya demikian. Aku sudah mengatakan bahwa sedang menimang bayi mungil ini. Apa tak melihatnya? Ah, kurasa dia sudah gila. “Sssst, bayi baru tidur, jangan berisik, nanti dia bangun!” Untunglah, lelaki ini tak bertanya lagi. Ia hanya menatapku lama. Aneh, mengapa selalu begitu. Bertanya terus diam kalau sudah dijawab. Ya, ya mungkin dia kurang waras. Kasihan sekali. “Ela, mandi, yuk. ‘Kan sebentar lagi ustazah datang!” Dasar tak waras, mengapa dia menyuruhku mandi. Aku sudah mandi dengan bayi tadi pagi. Sekarang ‘kan sudah malam. Aku menepis tangan yang ingin menyentuh tubuh ini. Dengar, ya aku ini wanita bersuami. Mengapa pegang-pegang sembarangan. Dan, dia terus memaksaku. Tanganya direkatkan pada tubuh. Aku tak mau, tak mau! “Aaaaaa!” Aku marah, aku ingin menghajar lelaki kurang ajar ini. Aku tidak terimaaa. Dan, aku pun lemas. Lalu jatuh. * “Ela, makan sedikit saja, nanti kita jalan-jalan, ayo!” Kekuatan cin