“Kamu telpon nomor ini, tanyakan apa tuan Adnan ada di sana. Jangan bilang saya nanyain, cepat!” Aku menyodorkan nomor telpon rumah keluarga mas Adnan. Aku tak mungkin melakukannya sendiri. Bisa-bisa diceramahi sepanjang rel kereta api. Setelah pelayan itu menelpon diterimalah kabar bahwa mas Adnan tak ada di sana. Bahkan katanya sudah seminggu tak mengunjungi mereka. Seketika tubuhku lemas. Kalau saja tak berpegangan pada tembok, mungkin tubuh ini terhuyung. Ke mana lagi harus kucari pria baperan itu? Otakku tak mampu menggapai informasi tempat – tempat yang mungkin disinggahi mas Adnan. Aku harus duduk sejenak untuk merenung. Siapa tahu ketemu jalan keluar. Aku tak boleh bernasib tragis seperti Rida, ditinggalkan orang yang sama, yaitu,. Adnan. Kalaupun mau cerai, aku harus sudah punya ganti. Seorang Ela tak boleh terlihat mengenaskan di mata publik. Apa kata dunia kalau aku jadi janda miskin. Itu tak boleh terjadi. Pusinglah, lebih baik aku diam sejenak, memikirkan, apa yang
Jikapun dia meminta hubungan badan, kurasa aku akan melayani dengan senang hati. Kurangnya nafkah batin dari mas Adnan membuat otakku jadi liar saat berdekatan dengan Jim. Bahkan, kadang ingin sekali mengajaknya memadu asmara. Namun, aku masih tahan harga. Tak boleh sampai memulai lebih dulu sebab bisa jatuh haga diri ini. Hari ini aku sengaja mengajaknya berlama-lama bicara. Bahkan kukatakan tak usah ke kantor lagi. Pastilah mudah memberi alasan bagi ketidakhadiran seorang atasan. Ada hal sangat urgen yang ingin kubahas. Ini terkait masa depan hubungan kami. Sama seperti pada pria-pria sebelumnya, aku akan mendesak mereka memberikan status resmi. Hammm, tak jadi dengan Kevin, Jim pun tak apa. Toh, sama-sama orang kaya. Keduanya setaraf dalam ketampanan juga gemerlapnya harta dunia. “Mas, aku tak mau hubungan ini tak jelas arahnya. Apalagi kita sama-sama sudah punya pasangan. Kamu suami orang, aku juga istri orang. Bagaimana kalau istrimu tahu, apa kau akan membuangku seperti sepu
Yang kupikirkan saat ini adalah nasib hubungan ini. Akankah kandas sebagaimana hubungan dengan Kevin? Tak tahulah apa yang akan terjadi nanti. Hanya saja perkiraanku bicara bahwa Jim takkan lagi menghubungiku setelah ini.. Dari sikapnya pada Cindy tergambar jelas ia masih mencintai istrinya. Mungkin padaku hanya napsu saja, sama dengan Kevin hanya lebih halus. Dasar laki-laki. Nyatanya tak ada yang bisa dipercaya. Kere saja ada yang banyak tingkah, apalagi uang berlimpah. Istri memang satu, tapi mainan malam itu ribuan. Rupanya keberuntungan belum berpihak padaku. Hasratku menikahi pria kaya masih harus disimpan kembali sampai ada mangsa baru. Sialan memang! * Benar saja apa yang kuprediksi, Jim tak lagi menghubungiku. Bahkan, ketika aku menelpon nomornya tak bisa dihubungi. Sepertinya diblokir. Mau marah, marah pada siapa? Inilah resiko berhubungan dengan suami orang. Tak semua laki-laki bisa melepas istri demi wanita keduanya. Meski pun yang melakukannya banyak, tetap ada sat
Aku tak tahan untuk memendam pertanyaan. Aku butuh jawaban atas rasa penasaran yang sejujurnya menciutkan nyali.Pria itu menghela napas berat. Ia meneguk minuman yang disajikan pelayan beberapa tegukan. Setelah meletakkan gelas pialanya, ia kembali berkata, “Kalau kita bercerai bukan karena aku kembali pada mereka. Itu karena kau yang tak bisa memperbaiki kesalahanmu. Apa kau pikir aku harus terus menerus bodoh percaya pada manusia yang jelas tak bisa dipercaya?”Kata-kata mas Adnan telak menampar wajahku. Aku benar-benar seperti sedang disidang oleh hakim di pengadilan. Namun, aku harus berjuang untuk tidak diceraikan.“Beri aku kesempatan sekali lagi, Mas. Jika aku berbuat salah kembali, aku siap diceraikan,” pintaku dengan nada bergetar. Seumur hidup baru sekarang aku mengemis pada seorang pria. Biasanya mereka yang mengiba padaku.“Aku janji akan mencinta anak-anak, Mas. Mereka sesekali akan kuasuh jika mba Rida mengizinkan. Lagipula aku’kan belum punya anak jadi waktunya luang.
Ketika ia membuka pakaian, aku membantunya. Ia membiarkan saja tanpa kata-kata. Lalu mengikutinya ke toilet. Mas Adnan pun tak bereaksi.Ini adalah kesempatan terbaik, aku akan memberinya servis paling memuaskan. Mas Adnan pun tak menghardikku saat lebih intens lagi menyentuhnya. Hmmm, sepertinya lelaki ini memang menginginkannya. Baiklah, Sayang, aku akan membuatmu terkapar.Kami pun melupakan sejenak pertikaian. Bahkan mungkin akan selesai dengan persatuan raga ini. Begitulah mas Adnan, ia tak akan berdaya kalau sudah urusan pemenuhan biologisnya.Jika tetap seperti ini, selamanya ia akan ada dalam genggamanku.*“Mas, aku tuh kangen berat loh sama kamu,” kataku setelah kami selesai membersihkan badan dan berganti pakaian.Aku bicara sambil mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. Pria ini hanya asyik menatap cermin. Mungkin juga sedang mengingat permainan panas barusan.“Aku pijitin, ya. Ayo sini!”Aku menarik tangannya hingga kini kami ada di ranjang. Setelah badannya telungkup,
ADNAN Aku sengaja memaafkan Ela dengan tekad menbawanya kembali ke jalan yang benar. Jika memang jodoh kami panjang, aku berharap akan ada kehidupan lebih baik ke depan. Upaya ini berbatas waktu. Tiap bulan akan ditinjau ulang. Jika semua cara yang kutempuh tak ada hasilnya, maka pilihan terakhir adalah perpisahan. Aku tak melepas Ela bukan berarti bodoh akibat cinta buta. Bukan sama sekali. Aku hanya ingin ia berubah bersamaku yang ingin hijrah. Kegagalan kisahku dengan Rida cukuplah menjadi pelajaran. Aku tak mau hal tersebut terulang kembali. Perceraian itu adalah jalan menyakitkan, apalagi ada anak di antaranya. Aku sengaja membawa Ela ke pesta Rida agar dia bisa melihat kejayaan orang lain. Di situlah sifat sombong dan dengkinya akan tercabik. Kuharap ia mau sedikit merendahkan hati. Raut wajah syok, bingung dan kesal pada Ela dapat tertangkap netra ini. Ia pastinya sangat tak menikmati kemegahan yang sedang dinikmati Rida, wanita yang pernah ia zolimi. Beda hal dengan Rid
Lintasan kebersamaan kami hadir lagi. Betapa kini kusadari saat itu Rida menjadikanku raja. Ia tak pernah sekalipun bersuara tinggi, senantiasa mentaati perintah dan menjadi pendengar setia keluh kesah suaminya. Rida bukan pasif, tapi ia ingin memberi kesempatan padaku untuk memutuskan. Perempuan seperti itu berorientasi pada kebahagian dan kepuasan pasangan bukan diri sendiri. Kini, aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Bidadari itu telah bahagia dalam pelukan kekasih barunya. Afgan pasti akan mendapatkan ketenangan, cinta kasih dan kepuasan lahit batin di sisinya. Kuusap wajah untuk mengembalikan kesadaran agar tak terus dalam kenangan masa lalu. Semua itu tak mungkin terulang. Benarlah penyesalan itu di akhir, bukan di awal. Kadang laki-laki terlalu digulung napsu hingga lupa pada resiko dari tindakannya. “Aduh, Mas, aku nyari ke sana-sini. Kenapa ninggalin, sih?” Lamunanku buyar sempurna oleh teguran Ela yang kini sudah ada di depan meja kami. Ia kemudian menarik satu kurs
ADNAN Cindy menangis tertahan, kusuruh ia menutup mulut agar tak terdengar. Proses perekaman adegan laknat itu harus rampung agar jadi bukti kuat. Setelah tugas selesai, aku memaksa Cindy meninggalkan tempat ini. Meski sangat ingin menghajar Jim aku menahan diri. Ini pesta Rida, tak pantas kami membuat huru hara di hari bahagianya. Aku pernah membuatnya menderita, tak mungkin sekarang menghancurkan nama baik mereka. Aku menyeret Cindy yang terlihat tak rela pergi begitu saja. Kuyakinkan ia bahwa melabrak saat ini hanya akan menghancurkan nama baiknya. Apalagi ini di pesta pernikahan mantan suami yang pernah dikhianati. Tentu akan jadi bahan gunjingan dan tertawaan orang-orang. Kulakukan ini semata-mata karena dorongan kemanusiaan. Aku kasihan pada wanita yang sekarang tak henti-hentinya mencucurkan air mata. Dari luar saja sudah terlihat menderita Bagaimana yang ada di dalam hatinya. Cindy akhirnya pasrah sebab cekalan tanganku amat kuat hingga dia tak sanggup lepas. Kubawa wani
RIDA“Ela selalu bilang takut tobatnya tak diterima. Ia selalu berkata dosanya sangat besar, ia ingin menebusnya meski harus bertaruh nyawa. Ela, Ela...” Akhirnya tangisan Jim pecah. Ia menutup wajah dengan satu tangan.. Aku yang menyaksikannya pun tak kuat menahan jatuhnya air mata. “Setahun aku mendampinginya dalam sakit. Kupenuhi pintanya agar mewujudkan ketenangan. Rupanya Ela lebih ingin pergi menghadap- Nya daripada tetap di sisiku. Katanya ia tak mau menyusahkanku, ia ingin pulang saja pada Allah. Dia juga sering menyuruhku menikah lagi dan menceraikannya. Aku, aku tak bisa. Ela adalah separuh jiwaku. Kalau dia pergi aku bagaimana?” Tangisanku kini telah bersuara. Aku tak menyangka seperti itu nasib mereka. Ela, kau telah menebus dosamu sungguh. Aku akan bersaksi di hadapan-Nya nanti bahwa kau telah berada di jalan-Nya. Setelah ini aku dan Jim terjebak dalam kebisuan. Hanya tangisan yang memenuhi gendang telinga. Sunyi... * Aku diizinkan masuk ke ruang rawat Ela. Hati in
RIDA Awalnya aku tak percaya melihat perubahan penampilan Ela. Wanita itu menutup auratnya rapat, tak berhias seperti dahulu. Pancaran wajah tak menguarkan aura keangkuhan, malah bersinar dan makin menguatkan pesona keelokan parasnya. Aku kembali mencubit punggung tangan sebelah untuk memastikan bahwa yang terlihat bukan ilusi. Kenyataannya terasa sakit tangan yang dicubit. Artinya ini alam nyata bukanlah mimpi. Kekagetanku akan perubahan penampilan Ella ditambah dengan keterkejutan melihat sikapnya. Dia mengucapkan salam dengan santun dan penuh kelembutan. Sungguh jejaknya di masa lalu benar-benar telah tertutup oleh perubahan itu. Aku hanya bisa melafadzkan hamdalah tasbih dan tahlil ketika yakin bahwa Ela memang telah berubah. Tiada kata yang dapat melukis bahagia ini selain mengucap puja puji syukur ke hadirat Ilahi. Kuseka air mata yang tak bisa dicegah untuk jatuh. Kiranya melihat musuh tobat lebih membahagiakan daripada menyaksikan kehancurannya. Ela pun sama, pipinya tel
ELAAku menyerahkan pemesanan makanan pada Jim. Bingung juga harus memesan apa sebab yang ada dalam daftar menu serasa asing. Aneh memang sebab kata Jim dulu kami sering ke sini. Wah, dapat darimana uang untuk membayarnya. “Makanannya pasti mahal, apa kau punya uang untuk membayar harganya?” Aku ingin memastikan bahwa kami tidak akan malu pulang dari sini. Jadi perlu diselidiki soal keuangan yang ia miliki. “Insya Allah, ada. Aku juga akan membawamu ke hotel. Kita akan menginap di sana sampai kau ingat tujuan kita ke sini. Tadinya aku mau membawamu pulang, tapi dipikir lagi lebih baik dituntaskan sekarang!” Aku hanya bisa bengong mendengar penjelasannya. Selepas itu aku hanya perlu meyakini bahwa yang dikatakan Jim itu benaLalu, aku membayangkan seperti apa kamar sebuah hotel. Pastilah bagus sekali. Kasurnya empuk, ruangannya luas, dinding kokoh dan jendela besar. Mungkin! Aku jadi tak sabar ingin ke sana. Bukan apa-apa, penasaran saja. Benarkah kenyataannya sesuai hayalanku.
ELA Mataku terbuka saat aroma tajam menembus lubang hidung. Entah apa yang dioleskan di batang dan bawah hidung. Baunya tak menyenangkan. Meski sudah terbuka, aku belum otomatis menyadari ini sedang ada di mana? Maka dari itu kesibukan sekarang adalah menggerakkan bola mata ke kanan dan kiri. Karena tak juga menemukan jawaban, aku mencoba bangun. Ternyata untuk menggerakkan badan, tenaga ini sangatlah payah. Karena gagal, aku kembali rebahan. Mungkin butuh waktu beberapa saat lagi agar pulih. “Alhamdulilah kamu sudah sadar, Sayang!” Aku menoleh pada seseorang yang kini menghampiri. Jim ya dia Jim. Ya ampun kenapa harus ada jeda dulu baru mengingat. Hubunganku saat Ini dengannya apa? Mengapa dia mencium keningku? Oh, iya kami suami istri. Tapi, dari kapan kami menikah? Lalu, mas Adnan ke mana? Astagfirullah! Apa yang terjadi denganku? Mengapa tiba-tiba lupa ini dan itu? “Aku di mana?” tanyaku pada lelaki yang kini sedang mengelus pipi ini. “Kau tak ingat?” Jim malah balik ber
ADNAN Hari ini waktu yang kugunakan untuk membersamai keluarga. Kesempatan libur tak kusia-siakan sebab memang jarang punya waktu untuk mereka. Azka dan Azkia bukan jadwal di sini. Kemarin mereka baru dipulangkan pada Rida. Kadang, tak rela harus berpisah sementara dengan mereka. Namun, mau bagaimana lagi, hanya itu jalan nyaman agar anak-anak tetap mendapat kasih sayang orang tua kandungnya. Kurasa Rida pun sama. Meski tak diperlihatkan, aku bisa menduga ia tak rela kalau mereka dijemput. Dia akan mencium dan memeluk anak kami kalau waktu berpisah lagi. Meski saat ini sudah tak ada air mata, tetap saja di hati muncul denyut nyeri. Anak korban perceraian tetap tak bisa sama dengan anak yang hidup dalam naungan keluarga utuh. Mereka harus mengikuti ritme hidup orang tua yang telah tak satu rumah. Tak akan juga menyaksikan ayah dan ibunya bersama seiring sejalan lagi. Padahal, mungkin sangat ingin anak-anak itu melihat kembali kebersamaan tersebut. “Tuan, Nyonya maaf menganggu, ada
ADNAN“Ini adik kak Diva, kak Azkia dan ka Azka!” terangku saat ketiga bocah itu berkumpul mengelilingi adik bayinya. Mereka baru diijinkan menengok mama Lestari dan adik bayi. “Adik, adik?” celetuk Azkia. Mungkin dia bingung mengapa yang baru lahir pun di sebut adiknya. Selama ini yang Azkia tahu, adiknya adalah anak yang dilahirkan Rida. “Iya, dedek bayi ini adalah adik kak Azkia. Sama dengan adik Alfan” jawab Lestari. Setelah mengangguk, Azkia mulai memanggil bayi baru itu dengan kata Adik. Begitu juga Azka dan Diva. Mereka terlihat antusias mencandai adiknya. “Nah, sekarang adik bayi mau mimi dulu. Ayo kita bermain di luar!” Aku menggiring tiga bocah ini keluar untuk memberi kesempatan pada Lestari menidurkan putri kami. Bayi kecil itu baru berusia tujuh hari. Di ruang keluarga tak henti-hentinya tiga anak ini bertanya. Tentang bayi, tentang ingin mengajaknya bermain.. Bahkan Azkia ingin memberinya permen. Aku terangkan perlahan bahwa permen bukan makanan bayi. Kalau sampai
Kami sampai di pintu gerbang mansion milik Edward Douglas alias suami Cindy. Untuk tembus ke dalam, harus melewati satpam yang tampangnya cukup garang. Jim akhirnya mengatakan bahwa Cindy pasti mau menemuinya. Ia sedikit memaksa pada satpam agar menyampaikan hal tersebut pada majikannya. Setelah debat cukup alot, akhirnya satpam itu menyerah. Dia menyampaikan kepada majikan bahwa ada tamu yang ingin bertemu. Tak lupa juga menyebut namaku. Kami butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk menunggu izin masuk ke rumah Cindy. Untunglah kami duduk di dalam mobil hingga bisa bertahan lama dalam penantian ini. Jika tidak, akan terkena sengatan mentari Jakarta yang pastilah membakar kulit. Aku dan Jim mengucapkan hamdalah ketika izin untuk masuk telah keluar. Mobil pun kembali dikemudikan oleh Jim untuk memasuki gerbang menuju pelataran.. Ternyata jarak antar gerbang dan pintu utama lumayan jauh. Kalau ditempuh jalan kaki bisa-bisa kelelahan. Luar biasa memang tempat tinggal Edward Douglas.
“Jim, bolehkah aku minta bantuan?” “Apa, katakan saja!” “Aku ingin ke Jakarta.” Pria itu melepas pelukan, lantas mengubah posisi duduk. Ia kini menghadapkan badannya padaku. “Aku ingin menemui Rida, Adnan dan Cindy. Aku ingin minta maaf pada mereka. Bukankah kyai bilang dosa pada manusia akan diampuni Allah jika manusia itu mengampuninya.” Keputusanku untuk meminta maaf pada mereka sudah bulat. Ini adalah hasil perenungan panjang. Aku telah menang melawan ego yang selalu menghalangi atas nama harga diri. Aku tak pernah tahu kapan usia ini berakhir. Untuk itu harus segera menjalankan satu masalah yang belum terselesaikan, yaitu minta keikhlasan maaf dari orang-orang yang kusakiti. “Alhamdulillah, masya Allah. Inilah yang kutunggu, Ela. Kesediaanmu menyingkirkan ego. Besok kita minta izin kyai untuk pergi ke Jakarta. * “Pakailah kerudung dan gamis baru itu. Kita akan bertemu orang-orang baik. Anggap saja ini sebagai bentuk penghargaan pada manusia. Dan jangan sampai juga mereka
“Sedang apa, Sayang?” Aku bosan mengapa lelaki itu selalu bertanya demikian. Aku sudah mengatakan bahwa sedang menimang bayi mungil ini. Apa tak melihatnya? Ah, kurasa dia sudah gila. “Sssst, bayi baru tidur, jangan berisik, nanti dia bangun!” Untunglah, lelaki ini tak bertanya lagi. Ia hanya menatapku lama. Aneh, mengapa selalu begitu. Bertanya terus diam kalau sudah dijawab. Ya, ya mungkin dia kurang waras. Kasihan sekali. “Ela, mandi, yuk. ‘Kan sebentar lagi ustazah datang!” Dasar tak waras, mengapa dia menyuruhku mandi. Aku sudah mandi dengan bayi tadi pagi. Sekarang ‘kan sudah malam. Aku menepis tangan yang ingin menyentuh tubuh ini. Dengar, ya aku ini wanita bersuami. Mengapa pegang-pegang sembarangan. Dan, dia terus memaksaku. Tanganya direkatkan pada tubuh. Aku tak mau, tak mau! “Aaaaaa!” Aku marah, aku ingin menghajar lelaki kurang ajar ini. Aku tidak terimaaa. Dan, aku pun lemas. Lalu jatuh. * “Ela, makan sedikit saja, nanti kita jalan-jalan, ayo!” Kekuatan cin