"Pagi, Ma," sapa Aira yang tengah sarapan ditemani Bik Uni.
"Pagi juga, Aira." kucium kening Aira lembut. Kemudian duduk dan mengambil sarapan. Tak kulihat cucunguk itu duduk ikut sarapan. Kemana dia? Pergi kah? Bagus deh kalau ia sadar diri dan memilih keluar tanpa aku usir.
"Mas Wisnu ngga pulang, Bik?" tanyaku meyakinkan jika Buaya buntung itu benar-benar tak pulang.
"Pulang, Non. Tadi pagi jam empat subuh." bisik Bik Uni padaku, "mungkin sekarang sedang tidur."
"Ohh .... " hanya itu yang keluar dari mulutku, kukira ngga pulang. Terus dari mana dia? Apa melanjutkan berkencan dengan wanita kemarin? Ah, sudahlah. Kenapa aku harus memikirkan itu. Fokusku sekarang menyelamatkan asetku dan kemudian mengurus perceraian. Sudah! Aku akan hidup tenang tanpa benalu yang tak tahu diri.
"Ma, hari ini aku dianter mama kan?"
"Iya, Sayang. Ya sudah tunggu di mobil
Aku memilih duduk pojok depan, sengaja agar dapat mengawasi situasi. Lalu lalang para pegawai yang sibuk melayani pembeli. Kuhitung sekitar ada empat orang termasuk yang satu duduk dibagian keuangan. Dia terlihat santai dalam bekerja, tak seperti yang lain yang tetap fokus. Bahkan satu kakinya ia angkat."Mbak, saya ikut duduk di sini agak lama ya?" kataku pada seorang yang tengah membereskan meja di sebelahku. Aku juga menyodorkan piring bekas makanku."Baik, Mbak. Sikahkan.""Saya pesen coffelatte satu ya, Mbak." pelayan mengangguk kemudian berlalu untuk mengambilkan pesananku.Tak berapa lama pesanan itu datang, "Silahkan, Mbak.""Terima kasih, saya minta bil-nya. Takut nanti saya pergi tergesa-gesa." ia mengangguk, kemudian kembali kemeja kasir.Kukeluarkan uang pecahan seratus ribu dua lembar. "Kembalinya ambil saja!"Pelayan memgang
Kulihat Lastri makin panik, setelah beberapa kali menekan telfonnya namun sepertinya yang dihubungi tak jua mengangkatnya. Terlihat bagaimana sewotnya dia, bahkan beberapa kali meremas rambutnya yang lurus itu."Maaf, rumah makan ini tutup sementara!" ucap seorang bodyguart pada beberapa pembeli yang baru datang. Wanita bernama Ayu pun tak kalah ikut panik, apalagi melihat para pelanggan yang berdatangan ditolak."Jangan begitu, Bang! Biarkan mereka makan, lihat makanan masih banyak seperti ini, bagaimana ....""Diam!" kembali satu orang penjaga Bang Ridho membentak Ayu. Seketika wajah Ayu memucat, sedangkan pelayan lain memilih diam. Hanya saling berbisik saja. Entah apa yang mereka ghibahkan."Bagaimana? Bisa pergi dari sini sekarang juga?!" Bang Ridho menengaskan sekali lagi pada Lastri. Dia yang masih kesal dengan terus memocel HPnya. Lucu."Tunggu dong, ini pasti kesalahan.
PoV WisnuSial! Gara-gara Ainun, aku gagal kencan dengan Lusi, bagaimana dia bisa melabrag Lusi dijalanan begitu, yang lebih parah ia bukan mempermasalahkan aku yang selingkuh namun justru menggugat karena mobil yang aku bawa adalah miliknya. Hancur sudah repotasiku didepan Lusi. Sialnya mobil ini juga tak mau kompromi, seolah membela si pemilik bahwa mobil ini tak boleh digunakan untuk maksiat.Kubuka dompetku, hanya tersisa tiga lembar uang merah, mana ini masih pertengahan bulan lagi! Lebih baik aku ke Bandung saja, siapa tahu Lastri mau memberiku uang. Lusi gagal masih ada Ninik. Aku tersenyum senang, Ah ... Wanita kenapa engkau begitu mudah diberdaya jika ada uang?Persetan dengan Ainun, ia kan cuma baru tahu kalau aku sempat punya hubungan dengan Wina, bahkan Lastri saja berhasil ibu yakinkan jika itu adalah saudara jauhku."Memang seorang ibu akan membela anaknya walau ia salah." ungkapa
Sore ini aku sedang menunggu kedatangan tamu istimewa, kebetulan juga kulihat Mas Wisnu sudah pulang. Ah ... Makin seru nih, aku akan membuat Mas Wisnu tak lagi berkutik dengan gundiknya.Bel berbunyi, aku tahu itu Lastri sudah pasti, karena akulah yang menyuruh orang menjemputnya. Mengatakan jika ia di suruh oleh Mas Wisnu. Untuk melancarkan dan Lastri percaya bahwa Mas Wisnu yang menyuruh, aku sengaja menggunakan mobil yang biasa Mas Wisnu bawa."Mas, hari ini kamu pake mobil yang merah!""Kenapa?" tanya Mas Wisnu heran."Mau aku servis, bukankah kemarin mogok?" akhirnya tanpa curiga Mas Wisnu menyetujuinya. Sekarang Lastri sudah tiba di rumah. Itu artinya pak sopir tak butuh waktu lama meyakinkan Lastri."Bik!" kupanggil Bik Uni, ia segera datang membawa permintaanku. Kursi roda."Ayo, Bik. Dorong aku sampai kedepan!" bibik mengangguk, dia sedikit tersenyu
"Ini tak adil, Dek!" Mas Wisnu masih berusaha protes. Tak adil apa maksudnya?"Kamu mau minta keadilan yang seperti apa, Mas?" tanyaku dengan sekuat tenaga menahan genangan air mata yang hampir jatuh. Ya ... Aku menangis bukan karena kehilangan Mas Wisnu, melainkan karena aku terlalu lama di tipu olehnya."Aku ngga mau kita cerai, Dek! Pokoknya aku tak mau!""Kenapa, Mas? Kamu takut miskin!""Bukan gitu, Dek. Pikirkan Aira. Dia pasti kecewa pada kita.""Dia akan lebih kecewa jika tahu papanya memberi adik dari ibu lain!" cebikku, Mas Wisnu terdiam."Mbak benar-benar menyerahkan Mas Wisnu untukku?" Lastri seolah belum percaya."Iya, Las! Kamu pikir aku cuma bercanda? Hal semacam ini tak bisa dibuat bercanda Lastri.""Pi ...." Lastri memanggil Mas Wisnu, diiringi dengan senyum, namun tidak dengan Mas Wisnu
Tanganku bergetar hebat, bagaimana ini jika benar Mas Wisnu akan merebut Aira dariku, aku pasti tak akan hidup tenang dan aku tak akan bisa menjalani hari-hatiku lagi, karena Aira itu penyemangatku satu-satunya.'Aku harus minta bantuan!'Kutekan nomor ponsel Bang Ridho dengan kondisi tangan masih gemetaran."Ha-halo, Bang.""Iya, Nun. Kenapa, kok sepertinya suara kamu bergetar. Kamu sakit?""Ngga, Bang. Cuma aku sedang ketakutan, tadi Lastri dan Mas Wisnu menelfon dan mengatakan kalau dia akan merebut hak asuh Aira, Bang. Aku takut ....""Haaa ... Haa... Kamu kenapa harus takut? Dia itu tak punya kekuatan dan dasar hukum sedikitpun." Bang Ridho justru tertawa, aku sampai kesal mendengarnya."tapi, Bang?""Cobalah tarik nafas dalam, kemudian beristighfar. Kamu sepertinya terkena serangan panik berlebih."
Mereka semua merapatkan badan ketika aku sudah mengebrag meja, sedangkan Mas Wisnu salah tingkah."Ada yang berani pecat saya!" pekikku kembali. Mereka semua terlihat heran dengan sikapku."Mas ... Pelayan kamu kok aneh gitu?" perempuan yang menyebutnya pacar Mas Wisnu bertanya."A-anu, Nik. Dia ... Dia ...." Mas Wisnu kesulitan untuk berbicara, mataku masih melotot pada mereka berdua."Katakan pada mereka, Mas! Siapa saya?!" kembali aku berkata dengan lantang."I-iya, Dek.""Apa, Dek? Memang siapa dia?" tanya perempuan yang dari tadi di panggil Nik."Dia ... Dia istriku, Nik!" dengan pelan dan tertunduk Mas Wisnu berkata."Calon mantan istri! Mantan, kuperjelas lagi biar ngga ada salah paham, kami memang sedang proses cerai." jelasku."Oh, calon mantan. Tak kira kamu berbohong padaku, Mas. Ternya
Kini dia hanya memakai baju yang lebih mirip daster, bahkan rambutnya yang kemarin lurus dan kinclong kini sedikit mengembang dan kusut. Anaknya yang ia gendong sepertinya tengah terlelap dalam mimpi."Mbak! Apa Mas Wisnu di sini?" tanyanya tanpa basa basi."Masuk dulu, Las. Kasian anakmu itu." aku berusaha menawarkan ia masuk, melihat Nuri yang terlelap tertidur dalam gendongan aku jadi tak tega."Udah lah, Mbak. Tinggal jawab saja, tak usah merasa kasian dengan kondisiku sekarang. Itu sama saja kamu mengejekku, Mbak!" Lastri sedikit sewot, niat baikku ia salah terima."Kan dia sudah aku usir bersama kamu dulu! Jadi buat apa dia di sini!" akhirnya aku berkata apa adanya. Sepertinya wanita seperti itu tak perlu di kasih hati."Bener, Mbak. Jangan bohong?""Buat apa aku bohong dan buat apa juga aku nyembunyiin dia. Dia itu hanya mantan suami, calon mantan kare
"Bertahan ya ... Sebentar lagi kita sampai!" ucapku menenangkan. Sebenarnya aku sendiri panik setengah mati. Bagaimana tidak, melihat kondisi Ning Ria yang sudah tak karuan. Tiba di lobi rumah sakit, aku segera turun, berlari memanggil perawat untuk segera membawa tandu. "Tolong! Gawat darurat!" Aku berlari, seketika dengan sigap beberapa perawat datang menuju mobil. "Kamu harus kuat ya, Neng!" ucapku sambil terus berjalan mengimbangi roda. Bude hanya bisa menangis, melihat kondisi Ning Ria yang sudah setengah sadar. Perawat dengan sigap memanggil dokter untuk segera melakukan pemeriksaan. Aku langsung memeluk Bude, saat Ning Ria sudah memasuki IGD. "Tenang, Bude. Pasti semua baik-baik saja." Kuelus punggung Bude dan membawanya untuk duduk. Fahri terlihat tergesa berjalan menuju tempat kami. "A, sudah hubungi Kyai Salim?" tanyaku begitu ia tiba. "Udah, Dek. Mereka sedang menuju kesini." Aku bernafas lega, setidaknya dalam kondisi seperti ini keluarga tahu. Aku terus berdo'a u
"Ada apa, Dok?" aku bertanya sedikit panik melihat raut wajah dokter yang seperti nya memiliki masalah.Beliau menghela nafas panjang, aku yakin dia berat untuk menyampaikan."Begini, Bu, Pak. Menurut hasil Lap yang saya terima, jika maaf Sperm* Pak Fahri kurang sehat."Deg! Aku langsung berpaling kepada Fahri yang berada di sebelahku, pasti ia terpukul dengan penuturan dokter Rafli. Raut wajah Fahri terlihat sendu."I-itu artinya kalau saya mandul, Dok?" Fahri bersuara dengan bergetar.Kami tidak memvonis Pak Fahri mandul, cuma jika Pak Fahri ingin memiliki momongan. Sebaiknya Pak Fahri sering konsultasi dan menjalani pola hidup sehat. Agar keinginan itu dapat terwujud.***Fahri keluar dengan lemas. Bahkan ketika aku pegang tangannya ia tak merespon sama sekali. Pandangannya kosong dan entah apa yang sedang ia pikirkan."A ...."Dia masih diam saja, berjalan dengan lambat."Aa ngga papa kan?" Kugoyangkan sedikit tubuhnya."Astaghfirullah ... Maaf, Dek. Aa hampir putus asa menerima
"Apa, Bude. Alhamdulilah ... Ya Allah, rahasia Allah memang tak terduga ya. Selamat ya, Bude. Semoga debay dan ibunya sehat sampai lahiran." Aku turut bahagia mendengar kabar tentang kehamilan Ning Ria. Pasti kini dia tengah bahagia, setelah merasa terpuruk atas meninggalnya Bang Ridho."Iya, Nun. Bude bersyukur banget, bude dapat penghibur untuk hidup Bude. Cuma kata dokter Ria kandungannya lemah dan harus di jaga sebaik mungkin. Kamu mau kan ikut menjaga?"Aku melonggo, tak maksud dengan apa yang di sampaikan oleh Bude Sri. Aku, ikut menjaga?"Maksud, Bude?""Maksud Bude, ingin agar kamu menemani dia saat cek up dan sebisa mungkin sering main kesini. Hibur dia agar tak terus merasa sedih."Ucapan Bude ada benarnya, memang jika kandungan lemah akan sangat rentan jika stres. Aku harus membantu Bude untuk merawat Ria sampai melahirkan, aku harus pastikan Bang Ridho junior lahir kedua ini dengan selamat. Aku berjanji padamu, Bang! "Baik, Bude. Nanti aku usahakan waktu yang banyak untuk
PoV Wisnu"Kamu kerja baru setengah bulan udah izin empat hari! Kamu pikir ini usaha milik nenek moyangmu?!" gentak Pak Suid pemilik cucian motor dimana tempatku bekerja. Ya ... Sejak setengah bulan yang lalu, aku bekerja sebagai buruh cuci motor. Terpaksa untuk menyambung hidup."Maaf, Pak. Saya sakit, ngga bisa di paksa kalau lagi kambuh," ucapku pelan berharap dia mengerti."Memangnya kamu sakit apa? Sakit maag!""Bu-bukan, Pak. Sa-saya sakit gonore,"jawabku pelan."Apa kamu kena gonore, kencing nanah, raja singa, aids." Dia menyebutkan macam-macam penyakit, padahal semua itu berbeda. Ah! Dia itu lebay sekali.Aku tertunduk, tak mau berdebat pada orang yang minim ilmu, yang mengira antara gonore dengan raja singa bahkan Aids itu sama."Mulai hari ini saya kamu pecat! Saya tak mau punya karyawan memiliki penyakit kelamin. Bisa-bisa nular lagi." Kata tajam pemilik usaha itu membuat nyeri ulu hati."Tapi, Pak! Penyakitmu tak menular jika hanya bersentuhan." Belaku berharap ia lebih ta
PoV RiaMenjadi istri seorang bernama Ridho Herlambang. Ternyata begitu bahagia, walau telat karena keegoisanku. Kini aku sadari jika menjadi istri Mas Ridho, itu sebuah keberuntungan. Selain dia baik, pengertian, juga sangat penyayang. Aku merasa bak jadi seorang putri raja saat bersamanya, dia memanjakanku lebih dari Abah.Andai saja, aku sejak pertama tak menolaknya, berlaku menjadi istri sepenuhnya, mungkin aku tak akan merasa sebersalah ini. Bagaimana tidak, saat aku terpuruk dan di vonis menderita kista ovarium, dia yang belum menyentuh ku sama sekali masih saja menerima ku apa adanya. Bahkan jika aku tak dapat memiliki anak."Kan masih ada solusi, Dek. Hidup berumah tangga bukan melulu soal keturunan. Buktinya yang anaknya banyak saja bisa mereka bercerai. Aku tak memusingkan hal itu, kita bisa adopsi anak kan?" ucapnya kala aku masih ragu untuk kembali padanya."Tapi, Mas. Kamu anak satu-satunya. Pasti ibumu menginginkan penerus untuk usahamu dan pasti harus anak kandung. Buka
"Astaghfirullah, Pak. Kita kesana, ini yang kecelakaan mobilnya Bang Ridho." Aku panik ketika yakin jika mobil itu milik Bang Ridho, semoga saja bukan Bang Ridho yang bawa. Melihat dari kondisi mobilnya yang rusak parah pasti pengemudi nya juga tak kalah parah."Kita putar balik ya, Pak!""Iya, Bu. Sebentar di depan kan over boden jadi kita harus memutar agak jauh.""Iya, Pak. Tapi cepat ya!"Ya Allah, lindungilah orang-orang yang aku sayangi, keluargaku juga teman-temanku. Aku masih panik dan harap-harap cemas. Ya Allah .... Aku terus menyebut nama-nya.Ketika tiba di sana, ambulan sudah datang, masih banyak orang yang berkerumun. Aku langsung turun ketika Pak Sopir sudah memarkirkan mobilnya. Segera berlari menuju TKP. Tak kuhiraukan panggilan Pak Sopir yang mungkin khawatir karena aku lari."Pak! Bagaimana keadaannya?" tanyaku pada salah satu orang lewat yang sepertinya sudah melihat."Yang mobil pribadi, meninggal ditempat, Mbak. Karena tercepit setir dan kepalanya pecah."Astaghf
"Assalamualaikum, Dek." "Waalaikumsalam," jawabku dengan datar, namun tetap aku meraih tanganya untuk Salim takzim.Fahri menjatuhkan diri di sofa, sebenarnya aku ingin langsung berkata, tapi melihat raut wajahnya yang seolah lelah, aku urung melakukan. Takut membawa setan. Biarkan ia tenang terlebih dahulu.Aku mengambil segelas air putih untuknya."Minum, A."Ia meraih gelas yang kubawa dan meneguknya sampai habis. Tak lama kemudian ia bangkit dan mengatakan jika ia ingin mandi.Setelah isya lewat, baru Fahri kembali dari masjid Pesantren, aku yang siap untuk mengikuti semua dramanya sudah tak sabar menunggu."Uni, biasa ya!" Dari depan pintu kamar ia sedikit mengeraskan suara. "Apa, A? Mau ngopi ya. Biar aku bikinin, Uni sedang beres-beres di dapur Pesantren.""Tak usah, Dek! Nanti nunggu Uni saja!" Dia menghentikan langkahku yang akan menuju dapur."A ... Apa bedanya sih buatanku dengan Uni, apa buatanku kurang manis? Atau kemanisan. Katakan saja biar aku bisa introspeksi diri."
"Dek!" Aku menghela nafas berlahan, agar embun di mataku segera sirna. Kubalikan badan setelah yakin jika aku kuat tanpa harus menangis."Terserah, Aa saja! Intinya aku tak mentolerir jika terbukti suamiku berkhianat!" Kuputuskan untuk melangkah pergi, tak kupedulikan Fahri yang masih memanggilku. Sungguh, aku merasa tak berdaya kali ini. Aku tak punya bukti perselingkuhan mereka, dengan siapa aku harus meminta tolong."Bang Ridho." Seketika aku terlintas ingat akan dia, dulu aku selalu membagi suka dukaku padanya, namun sekarang? Ah! Aku segan jika harus bercerita padanya. Sementara dia juga punya masalah yang kadarnya hampir sama.Ponselku berdering, nama Bang Ridho terpampang. Dia panjang umur, baru saja kuingat langsung menelfon."Assalamualaikum, Hallo, Bang.""Waalaikumsalam, ngapain, Nun? Kamu sibuk nggak?""Sibuk apaan, Bang. Biasa aja cuma jalan-jalan keliling pesantren tiap hari.""Hahaha ... Iya, ya. Sekarang kan anakmu ratusan, harus sering-sering bertemu agar hafal nama
PoV RidhoAku masih sangat berharap jika Ria tetap menjadi istriku. Tak peduli jika Ria tak mudah hamil, bukankah ada solusi lain! Hidup bukan hanya soal keturunan."Kamu itu, Dho! Masih saja mengharapkan perempuan yang kemungkinan susah hamil. Kaya kaga ada perempuan lain saja!" Cetus Mama yang tak pernah lelah mengomel hal yang sama.Aku memaklumi dan tak menjawab apapun. Karena bagiku itu sama saja akan menjadi Boomerang bagiku. Jadi aku memilih diam.Tiap pagi aku selalu chat Ria, sekedar menanyakan keadaannya. Sungguh, sebenarnya aku rindu, rindu senyumnya, rindu manjanya bahkan rindu saat ia selalu menyuruhku melakukan hal-hal yang lebih banyak di kerjakan perempuan, walau itu tugas seorang suami.Aku rindu! Pekikku sendiri."Mas, sudah makan?" Dari sebrang sana terdengar suara lembut istriku. Aku tergugup, ini kali pertama ia menanyakan hal yang sepele."Be-belum, Dek. Nanti saja!" Gagapku, tak menyangka jika Ria menelfon hanya sekedar untuk menanyakan itu."Makanlah, jangan sa